Pendekar Gila
Mawar Maut Perawan Tua
Pendekar Gila
Episode 09
Mawar Maut Perawan Tua
Karya : Firman Raharja
SATU
Udara malam itu terasa sangat dingin. Halimun turut hadir menyertai. Suara lolongan anjing dan lengkingan burung hantu membuat suasana malam terasa mencekam. Belum lagi angin yang berderak menerpa rumpun bambu. Menambah suasana malam itu makin mengerikan.
Tampak empat orang lelaki penjaga pintu gerbang lingkungan Kadipaten Pamakasan sedang duduk di gardu. Tangan mereka menggenggam tombak yang setiap waktu siap digunakan. Rokok kelobot yang mereka linting kini telah dinyalakan.
"Huh Udara malam ini panas sekali," keluh Gimin, sambil menghembuskan asap rokok kawung setelah menghisapnya dalam-dalam.
"Iya ya, Kang," sahut Damus. "Padahal, seharusnya tengah malam seperti ini udara dingin. Malam ini memang aneh sekali..."
Keempat penjaga itu kemudian melangkah menyusuri lingkungan kadipaten untuk meronda. Setelah merasa aman, mereka kembali menuju pos jaga. Sepi sekali suasana sekitar kadipaten. Keempat orang prajurit jaga itu kembali menghisap rokok kawungnya dalam-dalam. Lalu mereka telibat dalam percakapan yang menuangkan isi hati masing-masing.
"Sejak Kanjeng Adipati menikah lagi, tugas kita semakin bertambah berat saja," keluh Gimin.
"Iya, Kang. Coba bayangkan. Dulu kita tidak pernah melakukan pekerjaan yang sangat berat. Bahkan setiap jaga, Kanjeng Adipati senantiasa menengok kita. Memberi uang tambahan atau makanan. Tapi sekarang...," Sarnopo membuka telapak tangannya dengan raut wajah kurang senang.
"Ya. Bagaimana lagi? Kita orang kecil, Dimas,"
Karja berusaha menyabarkan hati temannya sekaligus hatinya. Memang sejak Adipati Pamakasan yang bernama Sumagatri menikah lagi, mereka memikul tanggung jawab yang lebih berat dibanding sewaktu adipati itu belum menikah.
"Benar, Kang. Sulit bagi kita yang hanya prajurit. Jadi serba salah...," gumam Damus yang termuda di antara mereka.
"Aaa..."
Tengah keempat prajurit itu asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar jeritan menyayat seorang wanita dari dalam kadipaten. Mereka tersentak kaget. Dan segera berhamburan ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Tidak lama berselang, keempatnya mendengar suara teriakan Adipati Sumagatri
"Prajurit, tolong…" terdengar suara Adipati Sumagatri.
"Hei, ada apa, Kang?" tanya Damus.
"Entahlah Sepertinya ada yang tidak beres" sahut Gimin dengan mata membelalak.
Keempat prajurit itu bergegas menuju kamar Adipati Sumagatri. Mata mereka membelalak ketika menyaksikan istri Adipati Pamakasan yang baru saja dinikahi tujuh hari yang lalu telah terkapar tanpa nyawa. Dada wanita itu ditembus sekuntum mawar merah.
"Prajurit, kenapa kalian tidak melihat ada orang masuk?" bentak Adipati Sumagatri.
"Ampun, Kanjeng. Kami telah berjaga dengan seksama. Dan kami tidak melihat seorang pun masuk ke dalam kadipaten," jawab Gimin ketakutan.
"Bodoh Apakah kalian tidak melihat buktinya?" dengus Adipati Sumagatri gusar. Matanya melotot merah terbakar api amarah.
Keempat prajurit itu terdiam seraya menundukkan kepala.
"Jangan hanya mematung, Tolol Cepat kejar dan tangkap pembunuh itu" perintah Adipati Sumagatri.
"Baik, Kanjeng," jawab mereka bersamaan.
Setelah menjura hormat, keempat prajurit itu berkelebat keluar mencari pembunuh istri Adipati Sumagatri.
***
Setelah cukup lama mencari, mereka tidak juga menemukan jejak pembunuh itu. Walaupun sudah memeriksa ke segenap penjuru kadipaten, namun tetap tak ditemukan jejaknya.
"Aneh Bagaimana mungkin orang itu bisa masuk?" gumam Gimin. Matanya terus memandang ke sekeliling yang sepi dan gelap. Tak ada tanda-tanda kalau ada orang masuk ke tempat itu.
"Mungkin dari atas, Kang."
Mereka memandang ke atas bangunan kadipaten. Namun, tetap tidak terlihat adanya sesosok bayangan.
"Tak ada, Kang," kata Sarnopo.
"Mungkinkah orang dalam?" tanya Karja menaruh curiga. "Bagaimana kalau kita geledah semua yang ada di dalam kadipaten?"
"Setuju Bukankah Kanjeng Adipati telah me-merintahkan kita mencari si pembunuh?" sambut Damus.
"Ya Semua patut dicurigai," tambah Gimin.
"Semua ini untuk keamanan," sambung Sarnopo.
"Ayo kita segera ke sana" ajak Karjo.
Keempat prajurit jaga itu sepakat untuk memeriksa di dalam kadipaten, yang dicurigai telah menyelinap seorang pembunuh. Belum juga tiba di tempat yang dituju, keempatnya merasakan ada yang membuntuti. Seketika langkah mereka terhenti dan berbalik sigap, degnan tombak siap menusuk.
"Hm… Apa kau tidak merasa ada yang mengikuti kita, Dimas?" tanya Sarnopo. Matanya ditajamkan, memandang ke sekeliling tempat itu.
"Ya. Aku merasa ada yang mengikuti," sambut Karja.
"Aneh. Tidak terlihat siapa pun," gumam Gimin.
Bulu kuduknya meremang. Padahal, tadi dia merasa ada yang mengikuti dari belakang.
"Mungkin perasaan kita saja, Kang,"' tambah Damus.
Sarnopo menghela napas. Matanya masih menyapu ke sekeling dengan tajam. Berusaha meyakinkan diri bahwa tak ada yang mengikuti mereka.
"Hhh.... Apa mungkin perasaanku saja?" gumam Sarnopo. Nada suaranya tidak yakin. Dia merasa ada yang mengikutinya.
"Mungkin, Kang. Sudahlah, kita harus segera memeriksa seisi kadipaten," ajak Gimin.
Mereka kembali melangkah untuk memeriksa ruang dalam kadipaten. Tapi tiba-tiba....Zwing, zwing....
Empat buah benda yang entah dari mana datangnya, melesat cepat ke arah empat prajurit itu. Mereka tersentak ke belakang seraya membalikkan tubuh.
Berusaha melihat suara yang mendesing itu. Mata keempatnya membelalak. Empat buah benda berbentuk bunga mawar merah melesat ke arah mereka. Tanpa dapat dielakkan, keempat bunga itu menghunjam ke dalam dada mereka dengan tangkai terlebih dahulu.
Zleb zleb…
"Aaa..."
"Wuaaa..."
Terdengar jeritan susul-menyusul. Dari dada keempat prajurit itu menyembur darah segar. Mata mereka melotot tegang. Setelah mengejang sesaat, lalu ambruk tanpa nyawa. Di dada keempat prajurit itu terbenam setangkai mawar merah.
Hebat sekali pelempar bunga-bunga mawar itu. Orang itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi. Sekuntum bunga mampu menembus dada manusia, bahkan merenggut nyawanya. Suasana di halaman kadipaten menjadi sepi dan mencekam.
"Prajurit..." seru Adipati Sumagatri dari dalam, berusaha memanggil keempat prajurit itu yang belum juga nampak batang hidungnya.
Tak ada jawaban. Adipati Sumagatri tidak tahu kalau para prajurit itu telah tergeletak tanpa nyawa dengan bunga mawar merah menghunjam di dada.
Mereka tak ada yang menyahuti, Adipati Sumagatri dengan gusar berlari keluar. Saat itu orang-orang dalam kadipaten turut terbangun setelah mendengar suara Adipati Sumagatri.
"Ada apa, Kanjeng?" tanya lelaki tua berjubah ungu dengan rambut putih digelung ke atas. Walau sudah berusia tua, lelaki yang bernama Ki Balacatra ini masih terlihat tampan. Dia dulu adalah Panglima Kerajaan Sumba Lawang, dan kini menjabat sebagai penasihat Kadipaten Pamakasan.
"Bodoh semuanya" dengus Adipati Sumagatri.
Semua merundukkan kepala. Tidak terkecuali Ki Balacatra. Lelaki tua berjubah ungu itu tak berani membantah atau melawan.
"Apa kalian tidak mendengar istriku terbunuh?"
Semua mata membelalak saling pandang, mendengar berita mengejutkan itu. Mereka sungguh tidak menyangka kalau istri sang Adipati yang baru dinikahi tujuh hari yang lalu telah tewas.
"Siapa pembunuhnya, Kanjeng?" Ki Balacatra memberanikan diri bertanya.
"Huh Kalau tahu pembunuhnya, sudah kubunuh dia" dengus Adipati Sumagatri kesal.
Kembali semua mata membelalak. Kening mereka berkerut mendengar penuturan Adipati Pamakasan itu. Dan, bertanya-tanya heran dalam hati. Kalau tidak tahu siapa pembunuhnya, bagaimana mungkin mereka menangkap si pelaku?
"Ki Balacatra, kuperintahkan kau mencari pembunuh itu"
"Daulat, Kanjeng."
"Cepat"
"Baik, Kanjeng."
Tanpa membantah, Ki Balacatra segera menyembah. Diiringi beberapa prajurit, lelaki tua ini meninggalkan tempat itu untuk mencari pembunuh istri Adipati Sumagatri. Tapi baru saja Ki Balacatra keluar, langkahnya segera terhenti. Matanya ber-tumbukan dengan tubuh empat orang prajurit yang tewas dengan dada tertembus bunga mawar merah.
"Hm.... Tentu pelakunya bukan orang sembarangan. Hanya dengan sekuntum bunga, dia mampu membunuh orang," gumam Ki Balacatra sambil memandang keempat mayat prajurit itu.
Kemudian pandangan Ki Balacatra beralih ke sekeliling tempat itu, mencari jejak pelaku. Tapi, tidak ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan. Seakan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Ki Balacatra mengerutkan kening. Namun, penciuman lelaki tua itu sangat tajam. Hidungnya mendengus-dengus, mencium bau yang lain dengan bau orang-orangnya.
"Hm.... Benar juga. Rupanya, ada orang yang masuk ke kadipaten ini," kembali Ki Balacatra bergumam lirih. "Sayang, dia telah pergi."
"Siapa orangnya, Ki?" tanya Wedatama, salah seorang punggawa kadipaten.
"Dari baunya, dia seorang wanita," jawab Ki Balacatra.
"Wanita, Ki?"
"Ya," sahut Ki Balacatra. "Kita harus mengejarnya."
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang kadipaten itu bergegas keluar. Mencari pembunuh istri Adipati Sumagatri
***
Ki Balacatra dan orang-orangnya tak mampu menemukan jejak pembunuh itu. Dia seperti menghilang ditelan kegelapan malam. Bau wangi seorang wanita yang bercampur bau bunga mawar menghilang seketika. Tak tercium hidung Ki Balacatra.
"Berhenti"
"Ada apa, Ki?" tanya Wedatama. Tak mengerti, mengapa Ki Balacatra menghentikan pengejaran.
"Kurasa percuma saja kita terus mengejarnya," kata Ki Balacatra.
"Mengapa...?" Wedatama belum mengetahui apa alasan Ki Balacatra.
"Kau harus berpikir bahwa pengejaran kita akan sia-sia belaka. Kita tidak tahu siapa pelaku pembunuhan itu. Di dunia persilatan aku banyak mengenal tokoh-tokoh wanita. Namun yang
bersenjatakan setangkai bunga mawar, rasanya aku baru mendengarnya. Dia tentu seorang wanita yang berilmu tinggi. Sulit bagi kita untuk menghadaplnya," ujar Ki Balacatra menjelaskan alasannya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya Wedatama lagi. Punggawa kadipaten ini berpakaian abu-abu. Ototnya tampak bersembulan keluar.
Rambutnya diikat dengan kain hitam dari serat kulit kayu kuat. Wajahnya menunjukkan kewibawaan. Alis matanya tipis dengan kumis tebal melintang. Ki Balacatra mendesah pelan.
"Huh. Aku juga tak tahu harus bagaimana. Rasanya, semua kejadian ini sebuah misteri yang sulit untuk disingkap. Terlebih senjata pembunuh itu sangat aneh dan belum pernah ada di rimba persilatan," gumam Ki Balacatra.
"Apa tidak sebaiknya kita tanyakan pada orang-orang persilatan di kadipaten ini, Ki?" tanya Wedatama.
"Itu yang sedang kupikirkan, Weda. Bagaimanapun juga, masalah ini adalah masalah kita bersama. Pembunuh itu bermaksud merongrong kadipaten," tutur Ki Balacatra.
Semua terdiam. Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu dengan tajam, takut jika si pembunuh tiba-tiba muncul. Namun sampai ayam jantan berkokok, pembunuh misterius itu tidak juga muncul.
"Huh Rupanya, pembunuh itu telah benar-benar pergi," gumam Ki Balacatra. "Entah bencana apa yang akan terjadi di kadipaten ini...?"
Ki Balacatra akhirnya mengajak orang-orangnya untuk kembali ke kadipaten. Di ufuk timur nampak cahaya matahari merambat naik. Pagi telah tiba. Burung-burung berkicau riang, berbeda dengan apa yang tengah terjadi di Kadipaten Pamakasan..
Pagi itu, suasana di kadipaten gempar. Kematian istri sang Adipati dan keempat prajurit jaga telah mengejutkan warga di sekeliling kadipaten Mereka berbondong-bondong datang ke kadipaten untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam kadipaten sendiri, Adipati Sumagatri sedang berduka dan mengurung diri di dalam kamar. Adipati Pamakasan yang bertubuh tinggi besar ini masih memikirkan kejadian aneh yang menimpa kadipatennya. Rasanya seperti dalam mimpi.
Semua orang di dalam kadipaten tak ada yang tahu kapan pembunuh itu masuk. Jika dilihat senjatanya yang berupa bunga mawar, kemungkinan pelakunya seorang wanita. Tapi siapa...? Pertanyaan itu tidak dapat dijawab Adipati Sumagatri.
Jangankan melihat pelakunya, saat kematian istrinya saja Adipati Sumagatri tidak tahu. Lelaki setengah baya ini terbangun ketika istrinya telah menjadi mayat dengan dada tertancap sekuntum mawar merah.
"Kanjeng, Ki Balacatra hendak menghadap" ucap seorang prajurit dari luar ruangan itu. "Apakah Kanjeng berkenan menerimanya?"
"Suruh dia masuk" perintah Adipati Sumagatri. Pintu kamar terbuka. Kemudian, masuklah seorang lelaki tua berjubah ungu yang menjadi penasihat kadipaten. Lelaki tua itu langsung bersila di depan Adipati Sumagatri.
"Maaf. Hamba mengganggu, Kanjeng Adipati," ujar Ki Balacatra seraya merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Ada apa, Ki?" tanya Adipati Sumagatri.
"Hamba ingin mengatakan sesuatu pada Kanjeng."
"Katakanlah."
"Bagaimana jika kita mengadakan sayembara. Semua orang rimba persilatan diundang. Bagi siapa yang dapat menangkap pembunuh itu, akan diberi hadiah," usul Ki Balacatra.
"Coba terangkan lebih jelas," pinta Adipati Sumagatri.
Ki Balacatra segera menjelaskan rencananya. Semua rencana itu dijalankan dengan rapi dan tersembunyi, agar si pembunuh tidak mendengarnya.
"Bila perlu, kita mengundang Pendekar Gila. Bagaimana, Kanjeng?"
Adipati Sumagatri terdiam sejenak. Kepalanya mengangguk-angguk. Seakan menerima saran penasihatnya.
"Kalau memang itu jalan yang terbaik, aku setuju. Segeralah sebar undangan pada semua pendekar."
"Daulat, Kanjeng" Ki Balacatra menyembah, lalu beringsut mundur. Dan keluar meninggalkan Adipati Sumagatri yang kembali seorang diri, mengurung di dalam kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk tidak menentu.
***
DUA
Pagi itu tampak dua orang berpakaian prajurit kadipaten tengah memacu kudanya dengan kencang menuju Desa Sewogiring. Di tangan mereka tergenggam gulungan daun lontar. Kedua prajurit itu sedang mengantarkan surat undangan Adipati Sumagatri, yang akan disampaikan pada Pendekar Gila dan Nyi Gendis Awit.
"Hiya, hiya..."
Kedua prajurit itu menggebah kudanya agar berlari kencang. Keduanya nampak memburu waktu agar segera sampai di tempat tujuan. Tengah mereka melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba kuda-kuda mereka meringkik keras. Larinya yang semula kencang kini berhenti sama sekali. Sepertinya kuda-kuda itu merasa takut.
"Hieeekh..."
Kedua kuda itu meringkik keras, dengan kaki depan diangkat tinggi-tinggi. Seakan berusaha memberi tahu tuannya bahwa ada bahaya di tempat itu.
"Hei, kenapa kuda-kuda ini?" tanya prajurit yang bernama Galarana terheran-heran. Kudanya seketika menjadi beringas dan menolak meneruskan berjalan. Kuda itu terus meminta kembali.
"Hush, hush... Ayo, kita harus segera sampai," perintah prajurit yang bernama Bandra Gali pada kudanya yang juga binal, sambil menarik tali kekang sekuat mungkin agar tidak jatuh.
"Hieeekh..." Kuda-kuda itu tetap tak mau berjalan. Kedua binatang itu seperti melihat sesuatu yang menakutkan di hadapannya, hingga tak berani melangkah maju.
Galarana berwajah tampan. Rambutnya digelung ke atas seperti prajurit lainnya. Matanya tajam lebar dengan alis mata tipis. Kumisnya melintang dengan dagu panjang. Tubuhnya berotot karena latihan keras selama menjadi prajurit.
Sementara Bandra Gali lebih muda usianya dari Galarana. Wajahnya bulat agak gemuk. Bertubuh agak pendek dan bermata tajam serta beralis lebat. Rambutnya digelung ke atas. Hidungnya tidak begitu mancung. Kumis tipis menghias atas bibirnya yang agak tebal.
"Hm.... Ada apa dengan kuda-kuda ini?" gumam Galarana terus berusaha mengendalikan tali kekang kudanya.
"Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan, Galarana," ujar Bandra Gali. "Biasanya binatang lebih peka dari manusia."
"Hm...," Gialarana menggumam lirih. Matanya menyapu ke sekeliling. Tampak pepohonan tumbuh lebat di kanan dan kiri jalan yang tengah dilalui.
Namun sejauh itu tak ada tanda-tanda ada sesuatu yang mencurigakan atau membuat takut kuda-kuda itu. Galarana masih berusaha mengendalikan kudanya yang beringas dan berusaha berputar ke arah semula. Pendengarannya dipasang tajam-tajam agar suara sekecil apa pun dapat terdengar. Kresek
"Hm...," gumam Galarana. "Bandra Gali, kau mendengar suara orang melangkah?"
"Ya."
"Kurasa itu yang membuat kuda-kuda kita beringas," dengus Galarana.
Belum lagi kedua prajurit itu tahu siapa orang yang bersembunyi, tiba-tiba terdengar desingan keras yang disertai kelebatan dua benda ke arah mereka.
Swing, swing...
"Awas..." seru Galarana.
"Hop"
Mereka segera melenting ke atas dan berputaran beberapa kali, mengelakkan senjata-senjata yang melesat ke arah mereka. Dua buah benda berwarna merah darah yang terbuat dari logam besi terus menderu dengan kencang. Kecepatannya melebihi dua prajurit yang bersusah payah mengelakkan serangan gelap itu.
"Uts Celaka..." pekik Galarana dengan mata melotot. Senjata rahasia lawan seperti memiliki mata hingga mampu mengejar.
"Uh Mati aku..." Bandra Gali pun memekik kaget Kedua prajurit kadipaten itu terdesak. Nyawa mereka terancam. Tinggal menunggu saat-saat kematian yang tragis ketika tiba-tiba terdengar suara suling mengalun merdu. Tiupan suling itu mampu menghantam dua buah senjata rahasia yang menyerang mereka. Sehingga....
Pluk, pluk
Dua senjata rahasia itu runtuh, berjatuhan ke tanah. Mata kedua prajurit kadipaten itu membelak kaget. Tapi, hati mereka lega karena terhindar dari kematian.
"Kurang ajar Siapa yang berani mencampuri urusanku?"
Terdengar suara wanita membentak keras. Dari balik pepohonan, muncul sesosok tubuh wanita setengah tua dengan pakaian warna biru laut.
Matanya lebar, memandang dua prajurit kadipaten yang menyurut mundur. Wanita berpakaian biru laut dengan rambut terurai itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Di punggungnya tersandang pedang kembar. Meski usianya sudah berkepala empat, namun kecantikannya masih terlihat. Dia adalah Nyi Gendis Awit atau Perawan Tua dari Dagelan.
"Bedebah Rupanya kau, Nyi?" dengus Bandra Gali setelah mengetahui siapa orang yang telah menyerang mereka. Ternyata seorang pendekar wanita dari wilayah Kadipaten Pamakasan sendiri.
"Hm.... Ada apa orang kadipaten datang ke wilayahku?" tanya Nyi Gendis Awit. Matanya memandang dengan nakal ke arah dua prajurit itu.
"Kami diperintahkan Kanjeng Adipati untuk mengantarkan undangan padamu," jawab Galarana.
Kemudian disodorkannya surat undangan yang berada di tangannya kepada Nyi Gendis Awit yang segera menerimanya. Kemudian, segera dibukanya surat undangan itu.
"Hm.... Jadi Kanjeng Adipajj mengalami kesulitan?" tanya Nyi Gendis Awit.
"Benar, Nyi," sahut Galarana.
"Aku akan ke sana. Kini aku ingin tahu, siapa yang tadi meniup suling hingga mampu merontokkan senjataku. Ayo, keluar Jangan bisanya hanya bersembunyi..." seru Nyi Gendis Awit menantang.
"Ha ha ha..."
Terdengar suara gelak tawa dari balik pepohonan. Suara itu berasal dari atas. Nampaknya pemilik suara itu tengah berada di atas pohon. Tawanya berkumandang laksana berada di setiap penjuru angin.
"Kurang ajar Cepat keluar" bentak Nyi Gendis Awit. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari asal suara tawa yang menggelegar.
"Ha ha ha..."
Sebuah bayangan berkelebat, kemudian muncul seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular. Di tangannya tergenggam sebuah suling terbuat dari emas murni dengan kepala naga. Kedatangan pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila ini cukup mengejutkan ketiga orang itu.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tersenyum-senyum. Jalannya seperti seekor kera. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, membuat ketiganya bertanya-tanya siapa pemuda tampan berbaju rompi kulit ular itu.
"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya Bandra Gali, seolah berbicara pada diri sendiri.
"Dari tingkah lakunya, dialah yang dimaksudkan Kanjeng Adipati...," kata Galarana. Mata kedua prajurit itu mengawasi gerak-gerik pemuda itu.
"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya Nyi Gendis Awit mencoba menebak-nebak. Dia memang sering mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya belum pernah.
"Aha Rupanya kalian tengah berpesta. Mengapa tidak mengajakku...?" tanya Sena alias Pendekar Gila.
Wajahnya mendongak ke atas, lalu terdengar tawanya kembali.
"Ha ha ha..."
"Anak muda. Katakan, siapa kau sebenarnya? Dan apa urusanmu merontokkan senjataku?" tanya Nyi Gendis Awit seraya memandang tajam sosok pemuda tampan di hadapannya.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak seraya menyelipkan Suling Naga Sakti ke sabuk di pinggangnya.
"Ah. Kukira namaku tak ada artinya, Nyi. Aku hanya tidak ingin melihat ada pembunuhan keji tanpa tahu ujung pangkalnya."
Membelalak mata Nyi Gendis Awit mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Kurang ajar Apa kau kira ucapanmu akan kudengarkan?"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang persis orang gila, semakin membuat Nyi Gendis Awit bertambah jengkel. Sedangkan kedua prajurit kadipaten semakin mengerutkan kening, menyaksikan tingkah laku pemuda itu.
"Ah Itu urusanmu, Nyi. Kau mau percaya atau tidak. Sudahlah. Tak perlu dipersoalkan lagi. Kurasa kalian memiliki maksud tertentu. Aku mohon pamit," ujar Sena seraya menjura hormat.
Nyi Gendis Awit yang ingin melihat sampai sejauh mana ilmu pemuda itu, tidak mau membiarkan Pendekar Gila berlalu dari tempat itu. Sambil membentak, perempuan setengah tua itu menyerang dengan jurus 'Cengkeraman Elang'.
"Jangan pergi dulu Terimalah seranganku Hiaaa..."
"Uts"
Sena meminngkan tubuh ke samping, mengelakkan serangan Nyi Gendis Awit yang datang cepat dan secara tiba-tiba. Hampir saja jari-jari tangan Nyi Gendis Awit mencakar mukanya. Untung Pendekar Gila segera mengelakkan serangan itu. Kemudian cepat Sena balas menyerang dengan tepukan.
"Plak"
"Uts..."
Nyi Gendis Awit tersentak. Tidak disangka kalau tepukan tangan lawan yang kelihatan sangat pelan ternyata kuat dan keras. Padahal kelihatannya sangat lamban dan lemah.
Melihat jurus lawan yang aneh, dengan cepat Nyi Gendis Awit bersalto ke udara. Berputaran beberapa kali sebetum mendaratkan kaki di tanah. Matanya memandang tajam pemuda bertingkah laku gila yang masih menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Pemuda edan, siapa kau sebenarnya?
"Ha ha ha... Lucu sekali," gumam Sena sambil menepuk-nepuk pantat. "Tapi baiklah, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Sena Manggala.
Orang biasa memanggilku Pendekar Gila. Nah Cukup jelas, bukan?"
Mata ketiga orang itu melotot ketika tahu siapa pemuda tampan berbaju kulit ular di hadapan mereka.
"Pendekar Gila...?"
Mereka berseru bersamaan. Bahkan, kedua prajurit Kadipaten Pamakasan yang masih berada di atas kuda, melompat turun dan memberi hormat.
"Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar."
"Ah. Mengapa kalian bertingkah seperti itu? Aku bukan raja atau adipati. Sudahlah. Aku tidak punya waktu banyak. Aku harus segera pergi."
"Tapi, Tuan Pendekar...," cegah Bandra Gali.
"Hm...," gumam Sena seraya menghentikan langkahnya.
"Tuan, kami diperintahkan untuk menyampaikan undangan pada Tuan," tutur Galarana sambil menyodorkan gulungan daun lontar pada Pendekar Gila yang segera membuka dan membacanya.
"Baiklah. Aku akan ke sana."
Usai berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. Begitu cepat gerakannya, sampai-sampai ketiga orang yang melihatnya termangu bingung.
"Aku pun harus ke sana secepatnya," kata Nyi Gendis Awit setelah termangu beberapa saat.
"Apakah kalian akan bersamaku?"
"Kami hanya diperintahkan untuk mengantar undangan padamu dan Pendekar Gila," sahut Bandra Gali.
"Kalau begitu, ayolah," ajak Nyi Gendis Awit.
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tempat itu. Nyi Gendis Awit dan kedua prajurit kadipaten sampai di perbatasan Desa Lawang Ireng. Saat itu mentari telah condong ke barat. Sebentar lagi malam akan datang. Mereka membutuhkan waktu semalaman untuk sampai di Kadipaten Pamakasan.
Kedua prajurit kadipaten itu merasa agak tenang berjalan bersama tokoh rimba persilatan. Keduanya mengikuti langkah Nyi Gendis Awit yang kelihatan tegar walau hanya seorang wanita. Padahal, mereka sudah kehabisan tenaga. Beberapa kali keduanya berhenti melangkah.
"Hm.... Kulihat kalian lelah."
"Naikilah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki," kata Nyi Gendis Awit, kasihan melihat kedua prajurit itu.
"Ah. Tidak, Nyi. Kami cukup kuat," jawab Galarana. "Benar...?" tanya Nyi Gendis Awit tak yakin.
"Benar, Nyi," sambung Bandra Gali.
"Perjalanan ke kadipaten masih jauh. Kalian harus ingat itu."
Kembali Nyi Gendis Awit menyarankan mereka agar mau naik kuda. Namun keduanya menolak. Malu. Seorang wanita saja kuat berjalan, mengapa mereka yang lelaki tidak? Terlebih mereka merupakan prajurit-prajurit kadipaten. Sudah seharusnya prajurit menunjukkan ketahanan tubuhnya.
"Kalau kalian lelah, katakan. Kita bisa beristirahat dan menginap di penginapan," saran Nyi Gendis Awit.
Kedua prajurit itu mengangguk. Malam pun datang menggantikan siang. Cahaya matahari yang semula terang benderang, kini hilang, berganti dengan cahaya rembulan yang indah. Namun begitu, suasana di Desa Lawang Ireng kelihatan tidak menyenangkan. Hawa dingin yang menggigilkan dan suasana sepi membuat malam itu terasa mencekam.
Tiga sosok tubuh itu terus melangkah menyelusuri jalanan yang sepi dan lengang. Di kanan dan kiri jalan terdapat pepohonan.
"Apakah tidak sebaiknya kita istirahat dulu?" tanya Nyi Gendis Awit.
"Terserah Nyai saja," sahut Bandra Gali.
"Baiklah. Kita harus mencari penginapan untuk beristirahat," kata Nyi Gendis Awit kemudian.
Ketiganya kembali meneruskan langkah untuk mencari penginapan yang ada di desa itu. Tidak lama kemudian, mereka menemukan rumah penginapan itu. Setelah memesan dua buah kamar, ketiganya masuk ke dalam kamar masing-masing. Kamar Nyi Gendis Awit berdampingan dengan kamar kedua prajurit tu. "Hm.... Malam ini aku akan mendapatkan kepuasan yang sangat menyenangkan. Kurasa keduanya pasti mau meladeni permainanku," desis Nyi Gendis Awit, mengingat kedua prajurit itu.
Karena udara sangat panas, Nyi Gendis Awit membuka pakaian. Hingga tampak tubuhnya yang menggairahkan. Tanpa sepengetahuan Nyi Gendis Awit, sepasang mata melihat tubuhnya yang telanjang lewat celah dinding. Agaknya, Nyi Gendis Awit memang sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatian dua prajurit yang ada di kamar sebelah. Sepasang mata itu melotot tak berkedip.
"Hei. Ada apa, Bandra Gali?" tanya Galarana.
"Ssst... Lihat," bisik Bandra Gali sambil menunjuk lubang kecil di dinding papan.
Dengan berjingkat-jingkat, Galarana mendekat. Lelaki itu menempelkan matanya di dinding ber-lubang kecil. Seketika matanya membelalak. Berkali-kali dia harus menelan ludah.
"Rupanya dia sengaja, Bandra," bisik Galarana.
"Ya. Ini kesempatan. Mengapa kita sia-siakan?"
"Tunggu dulu. Kita tidak boleh gegabah terhadap wanita ini. Kau ingat kata-kata Ki Balacatra?" tanya Galarana.
"Ya."
"Dia bukan wanita sembarangan. Nyi Gendis Awit terkenal dengan sebutan perawan tua, karena sampai usianya berkepala empat belum juga menikah."
Tengah kedua prajurit itu berbisik-bisik, tiba-tiba...
"Mengapa kalian berbisik-bisik? Kemarilah. Bukankah kalian lelah? Apakah tidak sebaiknya kalian kupijit?
Mata kedua prajurit kadipaten itu membelalak mendengar suara Nyi Gendis Awit yang bernada memanggil itu. Mereka tersenyum dengan dada berdebar. Dengan mengendap-endap, mereka keluar dari kamar.
"Hati-hati, jangan sampai ada orang yang tahu," kata Nyi Gendis Awit dari dalam dengan suara lirih.
"Masuklah."
Setelah melihat ke kanan dan kiri, kedua prajurit itu segera masuk ke dalam kamar Nyi Gendis Awit. Wanita itu tengah terbaring di atas dipan. Bibirnya mengurai senyum menyaksikan kedatangan mereka.
"Kunci pintunya," perintah Nyi Gendis Awit.
Galarana dan Bandra Gali bergegas hendak mengunci pintu. Nyi Gendis Awit pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kedua prajurit itu terpaku dengan mata tak berkedip memandang tubuh Nyi Gendis Awit yang polos tanpa sehelai benang pun.
"Mengapa mematung, mendekatlah," perintah Nyi Gendis Awit.
Kedua prajurit kadipaten itu mendekat.
"Bukalah pakaian kalian."
Kembali kedua prajurit itu menurut. Dan tidak lama kemudian, suasana di kamar itu pun sepi. Yang terdengar hanya suara tawa Nyi Gendis Awit.
***
TIGA
Wut, wut...
Jlep, jlep..
"Aaa..." seorang murid Perguruan Kera Merah yang sedang berjaga-jaga di pintu gerbang perguruan memekik keras.
Sebuah senjata rahasia berupa sekuntum mawar merah menghujam di dada prajurit itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba senjata rahasia itu melesat cepat ke arahnya. Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak. Ketiganya menoleh, dan betapa terkejutnya mereka melihat temannya terkapar menjadi mayat.
"Pembunuhan Mawar merah..." seru ketiga murid itu berusaha mengundang perhatian yang lainnya agar terbangun dari tidur. Namun belum juga ada yang terbangun, tiba-tiba…
Wut, wut, wut..
Tiga kuntum bunga mawar melesat kea rah mereka.
"Awas… Akh…”
Belum juga habis ucapannya, otang itu sudah memekik keras. Dadanya tertancap sekuntum mawar merah yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika mengejang kemudian ambruk tanpa nyawa.
Jlep, jlep
"Aaakh..."
Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika tangkai bungan mawar itu menghunjam dada. Mata mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan berkelebat cepat keluar dari kegelapan. Bayangan merah itu laksana angin yang berhembus. Kedua prajurit itu segera meregang nyawa dan mati.
Bayangan merah itu terus melesat ke arah kamar Ketua Perguruan Kera Merah yang bernama Ki Anggada. Dengan kekuatan penuh, jendela kamar itu didobraknya.
Brak
"Heh?" Ki Anggada tersentak.
Wut, wut
Dua tangkai mawar merah melesat cepat ke arah tubuh Ki Anggada. Beruntung lelaki tua itu cepat membuang tubuh dengan berguling ke samping. Namun tak urung, istri mduanya menjadi sasaran bunga-bunga mawar.
Jlep, jlep
Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang usianya berbeda jauh dengan Ki Anggada itu tewas. Di dada dan wajahnya tertancap bunga mawar merah.
Ki Anggada geram menyaksikan istrinya mati di tangan seorang wanita berbaju serba merah. Lelaki berparas seperti kera dengan rambut tergerai kaku serta ikat kepala berwarna dadu itu mendengus.
Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari logam yang berbentuk empat jari kera. Dengan senjata di tangan kanan, Ki Anggada membentak garang.
"Siapa kau?"
"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" tanya wanita yang sekujur tubuhnya ditutupi kain merah. Termasuk wajahnya.
"Bangsat Ditanya malah balik bertanya Katakan siapa kau sebenarnya?" bentak Ki Anggada gusar. "Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti, kau dan kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus mampus di tanganku Hiaaa..."
Ki Anggada tersentak kaget diserang begitu cepat dan tiba-tiba. Segera dia melompat ke belakang, kemudian berkelit ke samping.
"Hop Heaaa..."
Ki Anggada berusaha merangsek maju dengan cakaran kedua tangannya yang menggunakan jurus 'Kera Memetik Buah'. Namun gerakan lawan begitu cepat. Ki Anggada hampir terkena sambaran tangan lawan. Tapi, orang tua berwajah kera dengan pakaian rompi merah dadu ini memiliki ketajaman tinggi. Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi sasaran empuk pukulan lawan.
"Hari ini bagianmu, Kera Busuk Yeaaat…"
Wanita berpakaian serba merah itu terus merangsek maju menyerang Ki Anggada. Serangan-serangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada tempat-tempat mematikan. Ki Anggada yang tidak mau menjadi korban wanita misterius itu segera berkelit ke samping. Lalu dengan gerakan cepat, balas menyerang lawan. Kali ini menggunakan jurus 'Kera Merangsek Naga'.
Tangannya bergerak cepat merangsek ke arah lawan. Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain merah itu terus menyerang dengan gabungan jurus 'Pukulan Iblis Seribu' dan jurus 'Mawar Pencabut Sukma'. Sesekali tangannya melemparkan bunga mawar. Meski mawar merah itu nampaknya tak berarti, tapi di tangan wanita itu sangat berbahaya. Bunga-bunga itu mampu membunuh lawan dalam sekejap.
Swing, swing "Uts Bunga setan" maki Ki Anggada seraya mengelakkan bunga-bunga maut yang telah membunuh istrinya. Tubuh Ki Anggada bergerak ke sana ke mari, terkadang berputaran di udara untuk mengelakkan serangan bunga-bunga mawar itu.
"Hiaaa"
"Hop Uts"
Lawan benar-benar tak mau memberi kesempatan pada Ki Anggada untuk balas menyerang. Serangan-serangannya begitu cepat, disusul lemparan-lemparan mawar mautnya yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar gurunya, murid-murid Perguruan Kera Merah berdatangan hendak membantu sang Guru. Namun baru saja mereka sampai di pintu, tiba-tiba....
"Awas..." seru Ki Anggada mengingatkan.
Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita misterius itu melemparkan bunga-bunga mawarnya ke arah murid-murid Ki Anggada.
"Hih"
Swing, swing...
Jlep, jlep...
"Aaa..."
"Aaakh..."
Tiga orang murid perguruan yang berada di depan langsung roboh. Di dada mereka menghunjam setangkai mawar merah. Darah seketika muncrat keluar dari dada mereka.
"Bedebah Sebelum kukirim ke neraka, katakan siapa dirimu" bentak Ki Anggada semakin marah menyaksikan murid-muridnya menjadi korban keganasan mawar merah lawan.
"Tidak usah banyak bicara, Kera Keparat
Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku Hiaaa..." Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius itu kembali melemparkan bunga-bunga mawar merah ke arah Ki Anggada yang tersentak kaget.
Swing, swing...
"Hop Uts..."
Tubuh Ki Anggada melenting ke atas, kemudian melesat ke samping kanan untuk mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Lompatan Kera
Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa..."
Wanita misterius itu tak membiarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan cepat, pedangnya yang bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Anggada silau oleh sinar yang keluar dari pedang lawan. Ki Anggada memekik menyebutkan nama pedang di tangan wanita misterius itu.
"Pedang Perak Hei. Ada hubungan apa kau dengan Dewi Pedang Beracun? Siapa kau...?"
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Kera Busuk Kini terimalah ajalmu Hiaaat. ."
Wanita misterius yang memiliki Pedang Perak milik Dewi Pedang Beracun itu tak mau membuang waktu lagi. Segera diserangnya Ki Anggada dengan tebasan dan babatan Pedang Perak yang mengandung racun ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut
"Uhhh...," Ki Anggada mengeluh. Napasnya terasa sesak oleh racun yang ditebarkan pedang di tangan lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Anggada masih bertanya-tanya siapa wanita misterius itu.
Kalau dia Dewi Pedang Beracun, rasanya tidak mungkin. Dewi Pedang Beracun telah tiada sejak puluhan tahun silam. Ki Anggada benar-benar kaget melihat pedang di tangan lawannya. Dia belum yakin kalau wanita misterius itu Dewi Pedang Beracun. Namun jurus-jurus pedangnya, sama dengan jurus-jurus milik Dewi Pedang Beracun. Dan senjata rahasianya....
Dewi Pedang Beracun adalah tokoh sesat di Kadipaten Pamakasan. Semasa hidupnya pernah membuat heboh para pendekar di wilayah itu. Dengan bunga-bunga kenanga mautnya, Dewi Pedang Beracun banyak membunuh pendekar golongan putih.
Dewi Pedang Beracun merasa dendam pada para pendekar yang telah membunuh ayah dan ibunya, atas perintah Adipati Pamakasan. Namun, sepak terjang Dewi Pedang Beracun dapat dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Sumagatri, Ki Balamprang, Ki Anggada, Ki Mandra Dupa dan Ki Sangkutra.
Mungkinkah dia Dewi Pedang Beracun? Tapi... Dewi Pedang Beracun mengenakan pakaian hijau seperti senjatanya yang berupa bunga kenanga. Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian merah darah seperti bunga yang digunakannya.... Ki Anggada terus bertanya dalam hati sambil terus mengelakkan sabetan-sabetan senjata lawan. Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang lawan.
"Heaaa"
Pedang di tangan wanita misterius itu terus bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan babatan ke arah lawan. Sinar putih keperakan yang keluar dari pedang lawan membuat napas Ki Anggada tidak lancar lagi.
"Uhuk, uhuk..." Ki Anggada terbatuk-batuk. Tangan kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena terlalu banyak menghisap racun.
"Tamatlah riwayatmu, Kera Busuk Hiaaa..."
Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya. Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki Anggada yang tak mampu lagi mengelakkan serangan lawan. Maka....
Cras
Kepala Ki Anggada menggelinding ke bawah berlumuran darah. Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian ambruk tanpa nyawa. Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain merah segera melesat meninggalkan tempat itu.
Gerakannya begitu cepat, dalam sekejap telah hilang di kegelapan malam. Seketika suasana di rumah Ki Anggada ramai. Murid-murid hanya mampu mencaci-maki pembunuh keji yang telah membunuh guru mereka. Malam itu Perguruan Kera Merah berkabung atas kematian Ki Anggada.
Dua orang prajurit Kadipaten Pamakasan tampak memacu kudanya menuju Perguruan Kera Merah untuk menyampaikan undangan Adipati Sumagatri. Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya ketika melihat bendera kuning dipasang di kanan dan kiri jalan.
"Sagola, kau lihat bendera kuning itu?" tanya prajurit yang memegang sebuah gulungan daun lontar. Prajurit itu berparas tampan dan berhidung mancung. Matanya tidak terlalu lebar.
"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Sagola.
"Sepertinya ada kematian."
"Hei, lihat Ada keramaian di Perguruan Kera Merah," ujar prajurit pertama yang bernama Buwala.
"Benar. Ada apa di sana? Nampaknya banyak sekali orang berdatangan," desis Sagola.
"Ayo kita ke sana."
Kedua prajurit Kadipaten Pamakasan itu segera mendekat. Perguruan Kera Merah tampak dipenuhi oleh orang-orang persilatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah?" tanya Sagola pada pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar dari bangunan perguruan itu mendongakkan kepala, memandang kedua prajurit yang menegurnya.
"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah saja kejahatannya," gumam pemuda yang tak lain Sena atau Pendekar Gila itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan berambut gondrong itu, Sagola dan Buwala mengerutkan kening saling pandang. Kemudian mata keduanya memandang lekat wajah pemuda itu, yang masih tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda. Kami bertanya padamu, mengapa engkau bergumam sendiri?" tanya Sagola hampir tertawa menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang konyol dan lucu. Mirip orang gila. Terkadang mimik wajahnya sedih, kemudian berubah riang dengan senyum melekat di bibir. Bahkan yang lebih konyol, pemuda itu suka menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik mengorek telinga dengan bulu burung.
"Hi hi hi..."
Sena tertawa sambil meringis kegelian. Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu membendung tawanya.
"Pemuda gila...," gumam Sagola. "Ayo kita ke sana."
"Hi hi hi... Eh, tunggu" Sena menghentikan mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti dan mene- ngok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya Sagola.
"Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
"Ya" sahut keduanya.
"Aha Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena sambil mengorek telinganya dengan bulu burung.
"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak beri tahu, ke arah mana aku harus pergi?"
Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, mendengar pertanyaan pemuda bertingkah laku aneh itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda Edan?" tanya Buwala.
"Bukankah di kadipaten ada pesta? Tentu banyak makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana.
Aku diundang Kanjeng Adipati," tutur Pendekar Gila.
Sagola tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu hanya bercanda. Mana mungkin Adipati Sumagatri mengundang pemuda edan seperti ini? Tanya Sagola dalam hati.
"Pemuda gila.... Ah, Kanjeng Adipati tidak mengundang pemuda gila sepertimu, Kisanak. Tapi, Kanjeng Adipati mengundang para pendekar. Tak ada pesta di sana," tutur Sagola.
"Sudahlah, Sagola. Mengapa kita harus meladeni pemuda gila ini?" rungut Buwala mengajak temannya meneruskan berjalan.
"Tunggu" kembali Sena memanggil mereka.
Buwala menghela napas. Kesal juga hatinya melihat tingkah laku pemuda itu.
"Pemuda gila Apa sebenarnya yang kau inginkan, heh?" Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha Kalian ini tolol. Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju kadipaten?" Sena membentak tak kalah keras.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Buwala.
Sena tersenyum. Diambilnya gulungan daun lontar yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya. Sagola segera menerima dan cepat membuka gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak setelah membaca tulisan di daun lontar itu.
"Pendekar Gila..." seru mereka bersamaan.
"Oh. Ampuni ketololan kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan adalah Pendekar Gila," ujar Sagola sambil turun dari kudanya dan menjura memberi hormat.
"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan mau, hukumlah kelancangan kami," tambah Buwala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menyaksikan kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf. Sekarang katakan, ke arah mana aku harus berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar. Kalau diperkenankan, biarlah nanti kami bersama Tuan," pinta Sagola.
"Oho. Sangat menyesal. Aku harus segera sampai di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki Anggada telah tewas di tangan seseorang yang bersenjatakan bunga mawar," tutur Pendekar Gila.
Untuk kedua kalinya, Sagola dan Buwala membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Anggada yang hendak didatangi telah tewas. Tapi, yang membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian Ki Anggada sama dengan cara kematian istri Adipati Sumagatri dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh Bencana apakah yang tengah melanda Kadipaten Pamakasan?" keluh Sagola.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya Sena masih belum mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri Kanjeng Adipati dan empat orang teman kami yang tengah berjaga. Kini Ki Anggada," gumam Sagola setengah mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh mawar merah."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercenung diam. Mata mereka memandang ke arah Perguruan Kera Merah yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Sagola, seolah bertanya pada diri sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya menempuh perjalanan menuju Kadipaten Pamakasan.
***
EMPAT
Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten Pamakasan menyelusuri jalan setapak di tengah hutan Waranggalih. Malam telah larut. Udara dingin terasa menggigit. Namun ketiganya masih saja melangkah. Kegelapan yang mengelilingi tempat itu menjadikan suasana terasa mencekam. Terlebih dengan adanya suara-suara menyeramkan binatang-binatang hutan.
"Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, Kisanak," kata Sena sambil menghentikan langkahnya.
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja," jawab kedua prajurit kadipatan itu bersamaan.
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api dulu."
Sena melompat ke atas mencari ranting-ranting kering. Gerakannya cepat tak dapat dilihat kedua prajurit itu. Terdengar suara ranting-ranting patah. Tidak lama berselang, Pendekar Gila turun dengan membawa ranting-ranting kering.
"Buatlah api," pinta Sena.
Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tidak tahu harus bagaimana membuat api. Biasanya mereka menggunakan batu api. Tapi, bagaimana mungkin mereka mencari batu api dalam keadaan gelap seperti ini?
Sena menggaruk-garuk kepala. Rupanya, mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu. Sejenak Pendekar Gila mencari-cari, kemudian berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali dengan membawa dua buah batu api.
"Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada mereka. Dan dengan menggosok-gosokkan kedua batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala. Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan kucarikan ayam hutan. Tunggulah di sini," kata Sena, lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus kerimbunan pohon.
Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan Pendekar Gila dengan perasaan tercekam. Mereka takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti itu. Selama ini, keduanya tidak pernah berada di dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang ramai dan terang.
"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala mengingatkan.
"Ya Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi. Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata rahasia.
"Awas, ada yang menyerang" seru Sagola, mengingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing, swing...
Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat, entah dari mana datangnya. "Celaka Bunga mawar" pekik Buwala kaget.
Hidungnya mencium bau wangi bunga mawar. Mata lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya meremang. Saat itu, sekuntum mawar merah melesat ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, bunga itu menghunjam dadanya.
Jlep
"Ukh" Bulawa mengeluh. Tubuhnya sesaat mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa nyawa.
Jlep
Bunga yang lain menancap di dada Sagola yang juga tak sempat mengelak. Seperti Buwala, Sagola pun mengeluh kesakitan. Dan tewas setelah tubuhnya mengejang dengan mata melotot.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Sena tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke sekeliling. Dari kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa kuntum bunga ke arahnya.
Swing, swing..."
"Kurang ajar Siapa kau..." bentak Sena sambil bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di udara. Tangannya dikibaskan dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa bunga mawar yang menyerangnya.
Belum lagi Sena berhasil merontokkan bungabunga itu, serangan berikutnya datang. Bunga-bunga mawar merah kembali melesat ke arahnya.
"Edan Rupanya ada orang yang menginginkan nyawaku" dengus Sena sambil terus berjumpalitan mengelakkan bunga-bunga yang menyerangnya. Dicabutnya Suling Naga Sakti. Kemudian dengan cepat dibabatkan ke arah bunga-bunga itu.
"Heaaa..."
Prak, prak...
Pluk, pluk...
Bunga-bunga mawar merah yang menyebarkan aroma wangi jatuh berguguran, terkena sambaran Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
"Pengecut Tunjukkan dirimu" bentak Pendekar Gila sambil menghantamkan pukulan ke arah tempat bunga-bunga mawar itu berasal.
Tak ada sahutan. Sena semakin bertambah geram, merasa dipermainkan lawan.
"Kurang ajar Rupanya, mau main petak umpet denganku. Baik. Ha ha ha..."
Dengan tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat laksana angin, memutari wilayah itu. Larinya yang begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang.
Yang tampak hanyalah bayangannya saja. Beberapa kali Pendekar Gila memutari tempat itu, namun tidak ditemukannya seorang pun di situ.
"Hm.... Aneh. Tak ada seorang pun di sini. Lalu siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir kuda. Pendekar Gila kembali ke tempat perapian. Dipandanginya kedua mayat prajurit kadipaten. Di dada keduanya tertancap bunga mawar.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera berjongkok mengambil bunga mawar yang menancap di dada dua prajurit itu.
Prul Bunga mawar itu tercabut. Seketika mata Pendekar Gila membelalak, menyaksikan sesuatu yang aneh. Bunga mawar yang tadinya segar dalam sekejap berubah layu.
"Heh. Bunga mawar apa ini?" tanyanya tertegun seraya memandangi bunga mawar di tangannya.
Pandangannya segera beralih pada bunga mawar di dada prajurit kadipaten yang lain. Keduanya sangat berbeda. Yang masih menghunjam di dada prajurit itu nampak segar. Sedangkan yang di tangannya telah layu.
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala. Keningnya semakin berkerut heran menyaksikan keanehan itu. Dicobanya ditusukkan kembali ke tubuh prajurit itu. Keanehan pun terjadi. Bunga mawar yang semula layu menjadi segar.
"Hah? Apa aku tak salah lihat?" gumam Sena dengan mata melotot dan mulut ternganga.
Sena kembali menyapukan pandangan ke sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan diri kalau penyerang yang belum diketahui wujud dan rupanya itu memang telah pergi dari situ.
"Hm.... Rupanya, mawar merah ini bukan bunga biasa. Bunga iblis penghisap darah," gumam Sena lirih setelah melihat bagaimana bunga-bunga itu makin lama tambah merekah.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata. Tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Bunga-bunga mawar itu semakin berkembang. Kian lama kian membesar. Dari kuntum kecil dengan kelopak-kelopak kecil berubah menjadi sebesar cengkeraman tangan. Tubuh kedua prajurit itu pun mengalami perubahan. Tubuh itu berangsur-angsur memucat. Ada sesuatu yang aneh, daging kedua mayat itu mengempis. Mata pecah dan kepala retak-retak.
"Oh Apa yang terjadi?"
Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, dicabu bunga mawar yang semakin membesar. Prul
Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu ku duknya merinding. Bunga mawar itu kini memiliki aka panjang sampai ke batok kepala korban.
"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak. Benar benar bunga iblis," gumam Sena sambil membuai bunga itu jauh-jauh.
Pendekar Gila menuju mayat satunya. Denga merinding, dicabutnya bunga mawar yang menancap dan tumbuh pada tubuh prajurit itu. Lalu dibuangnya jauh-jauh.
"Hhh..." Sena mendesah. "Bencana apa lagi yang akan melanda kadipaten ini?"
Malam semakin larut. Pendekar Gila melesat meninggalkan tempat itu setelah mematikan api unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan menggunakan ilmu larinya yang melebihi kecepatan angin.
***
Pagi kembali hadir menerangi persada. Seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak menggeliat bangun dari tidurnya.
"Hua…" pemuda yang tidak lain Sena itu menguap.
Tangannya mengucek-ucek mata. Sekali lompat tubuhnya melayang turun dari atas cabang pohon di Hutan Waranggalih.
Tubuhnya digerakkan untuk melemaskan otot-ototnya yang agak kaku. Seketika matanya tertumbuk pada sebuah tulisan di pohon, yang jaraknya sekitar sepuluh tombak dari tempat dia tidur.
"Heh Rupanya ada orang yang datang ke tempat ini," gumam Sena lirih. "Hm. Bagaimana mungkin aku sampai tidak tahu?"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kakinya melangkah menuju ke pohon itu. Dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila membaca tulisan di kulit pohon itu.
Pendekar Gila, Kuharap kau jangan mencampuri urusanku Mawar Maut.
Sena mengerutkan kening. Diambilnya bulu burung yang diselipkan di pinggang. Lalu dengan nikmat kupingnya dikorek. Mulutnya meringis-ringis, sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Hm.... Apa pula maksudnya?" tanya Sena setelah bergumam. "Kurasa dia bukan orang sembarangan.
Kalau dia mau sangat mudah membunuhku."
Sena memandang berkeliling, berusaha mencari jejak seseorang yang lewat di tempat itu. Tapi tak ditemukan jejak apa pun.
"Orang itu tentu berilmu tinggi. Jejak kakinya tak ada sama sekali," gumam Sena, bicara pada diri sendiri. Pemuda itu berusaha menebak, siapa tokoh Mawar Maut yang senjata rahasianya berupa Mawar Penghisap Darah.
Setelah menghela napas panjang, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tidak gentar sedikit pun dengan ancaman Mawar Maut. Bahkan semakin ingin menyibak misteri tokoh itu. Sepak terjangnya sangat membahayakan. Terutama senjata rahasianya yang berupa bunga mawar merah.
"Hm.... Semakin kau mengancam, aku semakin penasaran, Mawar Maut" gumam Sena sambil melangkah menyelusuri jalan setapak di dalam hutan itu.
Belum begitu jauh Pendekar Gila melangkah, tiba-tiba matanya melihat sebaris tulisan. Kali ini bukan ancaman, melainkan sebuah petunjuk.
"Heh Aneh sekali Mawar Maut ini. Tadi dia mengancamku. Mengapa sekarang memberi petunjuk?"
Dengan benak dipenuhi berbagai dugaan, Sena membaca tulisan Itu, Jangan teruskan langkahmu. Berbahaya Beloklah ke kanan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Heran dengan tingkah laku Mawar Maut yang dirasa sangat aneh. Sena yakin kalau semua yang ditulis Mawar Maut benar. Terbukti, orang itu tidak membunuhnya sewaktu tidur.
"Hm.... Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi jika aku berjalan lurus," gumam Sena. Kemudian kakinya pun melangkah terus, menentang petunjuk Mawar Maut.
Seluruh panca inderanya dipasang dengan tajam. Hingga jika ada sesuatu dapat cepat diketahui. Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan setapak.
Brosss
"Akh" Sena memekik. Tiba-tiba kakinya terperosok ke bawah. Tubuhnya melayang cepat ke dalam lubang perangkap.
"Ha ha ha... Mampuslah kau di dalam sana, Pendekar Gila Bukankah sudah kukatakan jangan berjalan lurus Nah, kini tetaplah di situ menunggu kematianmu" dari atas terdengar suara seorang wanita.
"Hhh. Apa yang ditulisnya ternyata benar. Siapakah dia?" gumam sena, menduga-duga siapa Mawar Maut itu. Saat itulah, tiba-tiba telinganya menangkap suara desisan keras dari arah samping.
"Zsss..."
Pendekar Gila tersentak. Cepat-cepat tubuhnya berbalik memandang arah asal suara. Seketika matanya beradu dengan sepasang mata merah menyala.
"Ular" desis Sena seraya menyurut mundur.
"Rupanya ini sarang ular."
Pendekar Gila terus melangkah mundur. Matanya tajam memandang pemilik sepasang mata merah membara itu. Namun baru beberapa langkah, dari belakang terdengar desisan yang keras.
"Hei. Ada dua ekor" seru Sena kaget.
Dua ekor ular hitam kelam dengan mata merah menyala merayap ke arahnya. Lidah kedua binatang menyeramkan itu menjulur-julur keluar. Mulutnya yang mendesis-desis terbuka lebar, menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan berbisa.
"Ular-ular ini tentu sepasang. Hm.... Mereka mengira mudah memangsaku. Baik kawan, kita main-main," dengus Sena sambil mencabut Suling Naga Sakti.
Kedua ular besar hitam kelam itu semakin mendekati Pendekar Gila. Mata mereka bersinar menyeramkan. Mulutnya menganga, siap memangsa Sena.
Pendekar Gila segera duduk bersila. Ditiupnya Suling Naga Sakti dengan perlahan hingga menimbulkan suara mengalun merdu mendayu-dayu.
Lubang tempat Pendekar Gila berada bagai dilanda badai. Dari atas lubang menyeruak masuk beratus-ratus ekor ular kecil. Ular-ular itu seperti dipanggil oleh tiupan suling Pendekar Gila.
"Zsss..."
Ular-ular kecil itu mendesis-desis. Bagaikan diperintah, ular-ular itu menyerang kedua ular hitam besar yang semula hendak memangsa Sena. Dalam sekejap, pertarungan dua ekor ular besar dengan ratusan ekor ular kecil berlangsung. Ular-ular kecil itu dengan ganas menggigiti tubuh kedua ular hitam besar.
Semakin lama Pendekar Gila meniup sulingnya, semakin bertambah banyak ular-ular kecil berdatangan. Ular hitam besar menggelepar-gelepar, merasakan sakit akibat gigitan ular-ular kecil. Sampai-sampai Sena sendiri merasa bergidik menyaksikan banyaknya ular-ular kecil itu. Dalam sekejap, kedua ular hitam besar itu lumat dimangsa ular-ular kecil.
Kemudian dengan aneh, ular-ular kecil itu membentuk sebuah tangga. seperti menyuruh Pendekar Gila untuk naik ke atas. Dengan bergidik, Sena segera mendaki naik.
"Terima kasih, Sahabat. Kalian telah menolongku. Pergilah."
Ular-ular itu menurut. Berbondong-bondong mereka meninggalkan Pendekar Gila yang masih tertegun heran menyaksikan kejadian yang baru saja dialami.
"Hyang Jagat Dewa Batara. Terima kasih atas pertolongan-Mu padaku," desah Sena. Kemudian melesat pergi meninggalkan tempat itu.
***
LIMA
Pagi yang cerah itu, di aula Kadipaten Pamakasan tampak telah hadir beberapa orang undangan yang sengaja diundang Adipati Sumagatri. Mereka adalah Ki Balamprang, Nyi Gendis Awit, Ki Sangkutra, Ki Mandra Dupa, Ki Lurah Banjilan dan Sena Manggala atau Pendekar Gila. Keenam pendekar itu bermukim di wilayah Kadipaten Pamakasan. Selain mereka, tempat itu hadir pula Ki Balacatra, orang tua yang menjadi penasihat kadipaten.
Tidak begitu lama, muncullah Adipati Sumagatri yang dikawal dua orang prajurit pilihan. Semua yang hadir seketika bangun dari duduknya dan menjura hormat.
"Terima kasih atas kedatangan kalian," kata Adipati Sumagatri. "Silakan duduk kembali."
Mereka menurut dan duduk kembali di kursi yang sudah disediakan. Sejenak semuanya terdiam. Mata Adipati Sumagatri memandang seluruh pendekar yang hadir di tempat itu.
"Kurasa ada yang tidak hadir di sini," katanya kemudian.
"Benar, Kanjeng," sahut Ki Balacatra. "Ki Anggada tewas oleh pembunuh misterius yang sampai saat ini belum diketahui siapa sebenarnya."
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk mengerti. Dengan menghela napas, Adipati Pamakasan itu duduk di kursinya. Semua pendekar yang hadir di tempat itu terdiam, seperti turut berduka atas kematian Ki Anggada. "Kalian telah mendengar sendiri apa yang terjadi di kadipaten ini, bukan? Contoh yang nyata adalah Ki Anggada, Ketua Perguruan Kera Merah," ujar Adipati Sumagatri setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Kanjeng. Akhir-akhir ini semua penduduk dicekam rasa takut dengan kemunculan pembunuh misterius yang bersenjatakan bunga mawar merah...," tutur Ki Balamprang, orang yang paling tua di antara mereka.
Lelaki berjenggot panjang putih dengan hidung mancung dan bibir tipis itu adalah orang yang dianggap sesepuh di kadipaten setelah Ki Balacatra. Lelaki tua berbaju sederhana warna hijau ini tidak lain guru besar di Perguruan Tambak Segara.
"Ya. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat orang kewalahan menghadapinya. Senjatanya mengingatkan kita pada tokoh yang pernah membuat
kerusuhan di kadipaten ini. Tentu Ki Balamprang, Ki Lurah Banjilan, Ki Sangkutra masih ingat siapa tokoh bersenjatakan bunga kenanga, bukan?" tanya Ki Balacatra, mengejutkan semuanya termasuk Adipati Sumagatri.
"Maksudmu, Dewi Pedang Beracun?" tanya Adipati Sumagatri.
"Benar."
"Dari mana kau tahu, Ki?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?" sambut Ki Lurah Banjil.
"Aku telah memperhatikan dengan seksama korban-korban tokoh itu. Bunga mawar merah itu ternyata bunga iblis yang bisa hidup jika menancap di tubuh korbannya," ujar Ki Balacatra menjelaskan.
"Aha. Apa yang kau katakan benar, Ki," tiba-tiba Pendekar Gila yang sejak tadi hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepala kini ikut bicara. "Apakah kau juga tahu, Pendekar Gila?" tanya Adipati Sumagatri.
Sena sesaat menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum-senyum.
"Ya Dua orang prajurit kadipaten yang kemarin malam bersamaku diserang oleh Mawar Maut. Mawar itu aneh sekali. Bisa tumbuh di tubuh orang. Jika dicabut, mawar itu akan layu," tutur Sena.
"Hm... Pantas keduanya belum kembali sampai saat ini," gumam Adipati Sumagatri sambil mengangguk-angguk. Wajahnya kelihatan agak murung.
"Itulah, Kanjeng Adipati," ujar Sena.
"Ke manakah kau waktu itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra. Penasihat kadipatan itu ingin tahu mengapa dua prajurit itu sampai terbunuh Mawar Maut. Padahal, pendekar muda itu bukan orang sembarangan. Tidak mungkin menjaga dua orang prajurit saja tidak sanggup.
Setelah menggaruk-garuk kepala, Sena menceritakan apa yang terjadi kemarin malam.
"Begitulah ceritanya," kata Sena tanpa menceritakan bagaimana dia terperosok ke dalam lubang yang berisi dua ekor ular besar berwama hitam.
Semua yang mendengar mengangguk-angguk. Mereka yakin dan percaya dengan cerita Pendekar Gila. Meski sebelumnya mereka belum pernah bertemu dengan pendekar muda itu, namun tokoh yang dikenal arif dan bijaksana itu tak akan mungkin berkata bohong.
"Kalau begitu, orang yang bersenjatakan mawar maut itu memang bukan orang sembarangan. Mungkinkah Dewi Pedang Beracun hidup kembali?" tanya Ki Balamprang setengah bergumam.
"Mungkin juga," sahut Nyi Gendis Awit.
"Ah. Bagaimana kita bisa membuktikannya? Bukankah kita telah membunuhnya? Bahkan, kuburnya pun kita yang membuatkan. Bukan begitu, Ki Mandra?" tanya Ki Sangkutra. Lelaki ini paling muda di antara pendekar Kadipaten Pamakasan.
Berhidung mancung dengan kumis tipis menghias di atas bibir. Matanya sedang dan alis matanya tidak terlalu tebal. Bertubuh tinggi dengan otot-totot kekar. Pakaian yang dikenakannya hijau tua.
"Benar Kami berlima, aku, Ki Sangkutra, Ki Anggada, Ki Balamprang dan Kanjeng Adipati menyaksikannya. Rasanya, mustahil orang yang sudah mati hidup kembali," bantah Ki Mandra Dupa, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
Wajahnya kelihatan agak kasar, dihiasi cambang bauk lebat. Matanya lebar memandang garang. Hidungnya tidak begitu mancung. Berdagu panjang hingga wajahnya seperti wajah ular. Pakaiannya berwarna coklat muda. Adipati Sumagatri mengangguk-angguk membenar-kan.
"Benar, apa yang dikatakan Ki Mandra Dupa dan Ki Sangkutra. Sepuluh tahun lalu, kamilah yang menguburkan Dewi Pedang beracun beserta pedangnya," sambung Adipati Sumagatri memperkuat kata-kata Ki Sangkutra dan Ki Mandra Dupa.
"Hm...."
Mendengar penuturan tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembunuhan Dewi Pedang Beracun, Pendekar Gila mengangguk-angguk dan bergumam tak jelas.
"Tapi, cara orang itu membunuh hampir sama dengan Dewi Pedang Beracun," tutur Ki Balamprang.
"Apakah benar orang itu Dewi Pedang Beracun yang sepuluh tahun silam kita bunuh?" Semua terdiam. Larut dalam pikiran masingmasing. Mereka sungguh tak mengerti, mengapa kejadian puluhan tahun silam kembali terulang. Kalau benar Dewi Pedang Beracun yang melakukannya, sudah pasti itu arwahnya. Arwah penasaran Dewi Pedang Beracun. Mengerikan sekali jika benar arwah Dewi Pedang Beracun muncul dan bermaksud menuntut balas. Sulit untuk menanggulanginya.
"Kisanak. Kalau boleh aku tahu, bisakah Kisanak menceritakan kejadian sepuluh tahun silam itu?" tanya Sena.
"Dengan senang hati," jawab Ki Balamprang.
Kemudian Ki Balamprang menceritakan semua kejadian yang menyangkut Dewi Pedang Beracun. Sepuluh tahun silam, Kadipaten Pamakasan yang dipimpin Adipati Kerto Amabrang dihebohkan oleh seorang tokoh wanita sesat berpakaian serba hijau dengan senjata bunga kenanga. Wanita cantik itu memiliki sebatang pedang perak yang mengeluarkan racun ganas. Hingga wanita itu berjuluk Dewi Pedang Beracun.
Kemunculannya hanya ingin mengumbar nafsu belaka. Membalas dendam dengan membunuh para pendekar dan merongrong Kanjeng Adipati. Setelah diselidiki, akhirnya diketahui kalau Dewi Pedang Beracun anak sepasang suami istri yang telah dibunuh para pendekar Kadipaten Pamakasan atas perintah Kanjeng Adipati Pamakasan. Sedangkan guru Dewi Pedang Beracun adalah Dewi Kandri.
Melihat keadaan cukup genting, Adipati Kerto Amabrang mengundang lima pendekar yang ada di wilayah itu, yaitu, Ki Balamprang, Ki Sangkutra, Ki Anggada, Ki Mandra Dupa dan pendekar muda yang kini menjadi adipati. Dengan kerjasama yang kuat akhirnya mereka mampu mengalahkan Dewi Pedang Beracun dan menguburkannya di atas Bukit Lawa Ireng.
"Begitulah ceritanya. Maka jika Dewi Pedang Beracun benar-benar hidup kembali, rasanya mustahil. Mungkinkah arwahnya? Hingga gerakannya melebihi Dewi Pedang Beracun yang sebenarnya?" tanya Ki Balamprang, mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia pun merasa heran setelah mendengar cerita Ki Balamprang. Ingatannya segera melayang pada kejadian kemarin, saat dia terperosok ke dalam lubang. Sena sempat melihat sesosok bayangan berkelebat. Kakinya menginjak tanah.
"Kurasa bukan arwah Dewi Pedang Beracun," kata Sena pasti.
"Dari mana kau tahu?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Bagaimana kau tahu, Pendekar Gila?" sambut Adipati Sumagatri.
"Aha. Mudah saja. Kurasa ada orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat semua lalai oleh keadaan, dia muncul dengan gerak-gerik yang sama persis dengan Dewi Pedang Beracun.
Sayang, dia lupa akan senjata rahasia Dewi Pedang Beracun," tutur Sena membuat semuanya tercengang. Mereka tak mengira kalau Pendekar Gila mampu rnenarik kesimpulan dari cerita yang baru saja didengarnya.
"Kami belum mengerti, Pendekar Gila. Kalau berkenan, berilah penjelasan yang sempurna," pinta Ki Balacatra.
"Sebenarnya mudah sekali jika Kisanak sekalian mau memperhatikan dengan seksama. Pertama, Dewi Pedang Beracun membunuh orang dengan bunga kenanga yang menancap di kening korban, seperti yang diceritakan Ki Balamprang. Tapi orang ini membunuh dengan bunga mawar merah yang bisa hidup pada tubuh korban. Mawar itu tumbuh bagai ditanam. Kedua, pakaian yang dikenakan mereka. Dan ketiga, cara membunuh korban dengan pedang. Mungkin pedangnya sama, tapi cara menggunakan jurusnya agak berbeda."
"Maksudmu, Pendekar Gila...?" tanya Adipati Sumagatri.
"Tidakkah Kanjeng Adipati mendengar berita kematian Ki Anggada? Dia mati dengan leher tertebas. Kepalanya menggelinding. Padahal menurut cerita Ki Balamprang, Dewi Pedang Beracun hanya cukup menggoreskan pedangnya di dada lawan dengan cara menyilang...," tutur Sena menjelaskan.
Semua pendekar yang ada di tempat itu semakin kagum pada Pendekar Gila. Mereka tidak pernah menyangka kalau pendekar muda itu sanggup menarik kesimpulan dari peristiwa yang penuh misteri.
"Hm.... Benar juga. Kini kita tidak lagi dihadapkan pada keanehan dan dugaan sesat," kata Ki Balacatra.
"Sekarang tinggal bagaimana kita menangkap pelaku itu."
"Ada yang lebih penting, Ki," selak Sena.
"Apakah itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra.
"Membuktikan ke kuburan Dewi Pedang Beracun."
"Hm.... Benar" sambut Ki Sangkutra.
"Ya. Kita harus membuktikan apakah Dewi Pedang Beracun masih terkubur di sana," sambung Ki Mandra Dupa.
"Bagaimana jika kita segera ke sana?" ajak Adipati Sumagatri. "Kurasa tidak perlu semua. Biar aku dan Ki Balamprang saja," kata Sena. "Bagaimana, Ki?"
"Aku setuju."
"Baiklah, kita segera ke sana," ajak Sena.
Kemudian, keduanya segera bangun dari kursi. Setelah menjura hormat, mereka bergegas meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki Dewi Pedang Beracun yang berada di Bukit Lawang Ireng.
***
Ki Balamprang yang merupakan tokoh tua dunia persilatan, harus mengakui kehebatan ilmu lari Pendekar Gila yang usianya jauh di bawahnya. tidak jarang dirinya tertinggal, tak sanggup mengejar Pendekar Gila yang melesat melebih angin. Tubuhnya terlihat bagai terbang.
Ilmu lari apakah yang digunakannya? Tanya Ki Balamprang dalam hati. Sungguh bukan omong kosong nama Pendekar Gila. Baru ilmu larinya saja aku sudah jauh tertinggal. Apalagi ilmu silat dan ilmu kesaktiannya?
Pendekar Gila menghentikan larinya, setelah sadar Ki Balamprang tertinggal jauh di belakang. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya cengar-cengir.
"Ah. Kurasa kau mengujiku, Ki," kata Sena.
"Tidak, Pendekar Gila. Sungguh baru sekarang aku tahu kalau rimba persilatan telah banyak mengalami kemajuan. Salah satunya kau. Sulit pendekar tua sepertiku dapat menandingimu. Kau sendiri pun sulit dicari tandingannya," kata Ki Balamprang kagum.
"Jangan terlalu merendah, Ki. Kau lebih ber-pengalaman dibanding aku," ujar Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
Ki Balamprang tersenyum senang dengan tutur kata dan tindak tanduk Pendekar Gila. Meski tingkah lakunya persis orang gila, tapi cukup bijaksana dalam mengambil keputusan.
"Apa masih jauh, Ki?" tanya Sena sambil memandang lurus ke depan. Tangan kirinya bertolak pinggang, sedangkan tangan kanan menggaruk-garuk kepala. Mulutnya meringis, mirip seekor kera kepanasan.
"Sebentar lagi kita sampai, Pendekar Gila."
"Panggil saja Sena, Ki," tukas Sena.
"Baiklah, Sena. Kuburan Dewi Pedang Beracun sekitar dua mil lagi dari sini."
"Hm.... Agak dekat. Mari kubantu, Ki. Peganglah tangan kiriku. Kita harus segera sampai di tempat tujuan sebelum matahari terbenam."
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya tangan kiri Pendekar Gila.
"Siap, Ki?"
"Ya."
"Berpeganglah kuat-kuat. 'Sapta Bayu'. Yeaaa..."
Wusss
Pendekar Gila kembali melesat laksana terbang, hingga Ki Balamprang melotot ngeri merasakan tubuhnya melayang di udara. Sungguh dahsyat ilmu lari pendekar muda ini. Gumam Ki Balamprang dalam hati. Dalam sekejap mereka tiba di tempat tujuan.
"Seperti mimpi rasanya," gumam Ki Balamprang.
"Tubuhku laksana terbang. Huh. Aku hampir ketakutan."
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala, matanya memandang ke atas bukit, di mana tampak dua buah batu nisan. "Itukah kuburannya, Ki?"
"Hm...," gumam Sena. "Kita harus segera ke sana. Ayo, Ki..."
Keduanya berlari-lari mendaki bukit yang tidak begitu tinggi. Tak begitu lama, mereka pun sampai di kuburan itu. Mata Ki Balamprang mengerut ketika melihat sebagian kuburan terbongkar. Seakan mayat Dewi Pedang Beracun benar-benar bangkit dari kubur.
"Ada apa, Ki?" tanya Sena heran.
"Kau lihat, Sena. Kuburan ini terbongkar. Dewi Pedang Beracun telah keluar dari kuburnya" desis Ki Balamprang dengan bulu kuduk meremang.
"Bangkit dari kubur?" tanya Sena dengan kening berkerut.
Ki Balamprang mengangguk.
"Ah Mungkinkah itu, Ki?"
"Entahlah. Kalau memang benar sangat berbahaya," desah Ki Balamprang.
"Bagaimana kalau kita buktikan saja, Ki?"
"Maksudmu?" tanya Ki Balamprang tak mengerti.
"Sebentar lagi malam tiba. Bukankah mayat hidup selalu menunggu malam tiba?"
Ki Balamprang mengangguk-angguk.
"Benar yang kau katakan, Sena. Baiklah, kita cari tempat yang terlindung untuk mengawasinya."
"Di sana," kata Sena sambil menunjuk rimbunan semak belukar yang tidak begitu jauh. "Kita ke sana, Ki."
"Ayo," ajak Ki Balamprang. Keduanya melesat ke semak-semak yang cukup melindungi tubuh mereka dari penglihatan orang lain. Sementara, matahari terus bergulir ke barat. Sebentar lagi malam akan tiba. Suasana di bukit itu terasa mencekam.
***
ENAM
Malam yang dinanti-nantikan datang dengan membawa angin dingin. Suasana di sekitar Bukit Lawang Ireng tempat makam Dewi Pedang Beracun berada makin mencekam perasaan. Suara-suara yang seperti datang dari alam kematian menyeruak bersama datangnya kegelapan.
Pendekar Gila dan Ki Balamprang mengintip dari balik semak. Mata mereka terpaku pada kuburan tua tempat mayat Dewi Pedang Beracun bersama senjatanya tersimpan.
"Kurasa dugaanku salah, Sena," desis Ki Balamprang mulai goyah pendiriannya, setelah menunggu lama namun tidak juga muncul tanda-tanda kalau Dewi Pedang Beracun hidup kembali.
"Sabarlah, Ki. Kita tunggu sampai nanti malam," bisik Pendekar Gila pelan.
"Tapi, biasanya arwah keluar jika hari menjelang gelap seperti ini. Saat matahari tenggelam arwah akan muncul ke dunia," tutur Ki Balamprang.
"Hhh," Sena menghela napas. Matanya masih menatap kuburan Dewi Pedang Beracun. Memang tak ada tanda-tanda kalau mayat Dewi Pedang Beracun akan muncul ke dunia. Padahal hari sudah mulai gelap.
Krak
Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dari arah kuburan. Mata Sena dan Ki Balamprang langsung memandang tajam ke arah kuburan dengan penuh kengerian dan tegang. Krak
Suara itu kembali terdengar. Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan yang diselimuti kabut putih melesat ke atas.
"Lihat, Ki. Rupanya, arwah Dewi Pedang Beracun benar-benar muncul," desis Sena. Matanya memandang tegang bayangan yang diselimuti kabut, yang masih bergulung-gulung di angkasa.
"Ya Mungkinkah dia yang melakukan pembunuhan itu?" gumam Ki Balamprang ragu.
"Kita lihat saja, Ki."
Bayangan hijau bunga kenanga itu terus bergulung, lalu melesat bersama angin ke arah Kadipaten Pamakasan.
"Hei Dia menuju kadipaten. Celaka..." pekik Ki Balamprang semakin tegang.
"Kita harus mengikutinya, Ki," kata Sena.
"Mengikutinya?" tanya Ki Balamprang dengan pandangan mata penuh ketegangan. Bergidik bulu kuduknya mendengar kata-kata Pendekar Gila.
Bagaimana mungkin mereka mengikutinya? Kalau benar arwah Dewi Pedang Beracun yang membunuh, tentu sulit bagi mereka untuk menghalangi.
"Kenapa, Ki? Nampaknya kau ragu," ujar Sena.
"Sena, bagaimana mungkin kita menghadapi arwah? Dia tidak dapat dibunuh."
Sena menggaruk-garuk kepala.
"Aku akan berusaha, Ki. Semoga Suling Naga Sakti dapat membantuku," kata Sena berusaha menenang-kan hati Ki Balamprang yang kelihatan sangat gelisah.
"Suling Naga Sakti?"
Ki Balamprang nampak terkejut mendengar Suling Naga Sakti disebut Pendekar Gila. Matanya melotot, memandang tajam ke arah Sena yang masih tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Ki."
"Oh Senjata sakti itu ada padamu, Sena?" tanya Ki Balamprang belum yakin.
"Ya. Kenapa, Ki?"
"Ck ck ck.... Sungguh kau bukan pendekar sembarangan, Sena. Dengan Suling Naga Sakti di tanganmu, sulit bagi tokoh persilatan menandingimu," decak kagum keluar dari mulut Ki Balamprang.
Matanya semakin tajam memandang Pendekar Gila.
"Ah. Sudahlah, Ki. Kita tidak bisa tinggal diam di sini. Kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena.
"Peganglah tangan kiriku."
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya dengan kuat tangan kiri Pendekar Gila.
"Sudah siap, Ki?" tanya Sena.
"Sudah."
"'Sapta Bayu'. Heaaa..."
Dalam sekejap, tubuh Pendekar Gila serta Ki Balamprang melesat cepat meninggalkan bukit itu. Mereka harus segera sampai di kadipaten sebelum arwah Dewi Pedang Beracun tiba. Namun bayangan arwah Dewi Pedang Beracun yang mereka ikuti, tiba-tiba menghilang dalam gelap. Pendekar Gila tersentak dan menghentikan larinya.
"Hilang, Ki."
"Ya."
"Hm.... Ke arah mana dia menghilang?" gumam Sena sambil menyapukan pandangan ke sekeliling tempat itu. Begitu juga Ki Balamprang.
"Hik hik hik..."
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang menyeramkan. Hingga bulu kuduk kedua orang itu meremang. Bersamaan dengan tawa itu, tiba-tiba...
Swing, swing...
"Awas, Ki..." seru Sena mengingatkan, ketika beberapa bunga mawar merah melesat cepat ke arah mereka.
"Hop Heaaa..."
Ki Balamprang segera berputaran di udara mengelakkan serangan yang datang cepat dan tiba-tiba. Begitu pun dengan Pendekar Gila. Kemudian keduanya mencabut senjata masing-masing. Dengan Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila bergerak membabat bunga-bunga mawar maut yang menderu-deru ke arahnya.
"Yeaaa..."
Wut
Pluk, pluk
Bunga-bunga mawar maut berguguran terkena sapuan Suling Naga Sakti. Sementara Ki Balamprang dengan senjatanya yang berupa jala, tak mau tinggal diam. Jala yang terbuat dari anyaman sari logam itu ditebarkan di hadapannya.
Wret
Prak, prak
Bunga-bunga mawar maut yang mengarah ke tubuhnya terbendung jala di tangan Ki Balamprang. Kemudian dengan geram, Ki Balamprang segera mengangkat senjatanya. Kemudian diputar-putar di udara, sebelum dihantamkan ke arah bunga-bunga mawar merah.
Wut
Larikan sinar merah yang keluar dari ujung jala menderu ke arah bunga-bunga mawar di hadapannya. Glarrr Ledakan dahsyat terdengar menggelegar, bersamaan dengan tumbangnya beberapa pohon yang terkena hantaman ujung-ujung jala Ki Balamprang.
"Kita kejar, Ki" ajak Sena. Keduanya segera melesat ke arah hutan tempta senjata-senjata rahasia berbentuk bunga mawar merah melesat menyerang. Tapi, sesampainya di tempat itu, mereka tidak menemukan seorang pun.
"Hilang, Ki"
"Hm.... Mungkin arwah Dewi Pedang Beracun, Sena. Kita harus berhati-hati," gumam Ki Balamprang.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu yang gelap dan mencekam.
"Mungkinkan arwah Dewi Pedang Beracun, Ki?
Bukankah Dewi Pedang Beracun menggunakan bunga kenanga?" tanya Sena masih belum percaya yang menyerang mereka Dewi Pedang Beracun.
"Entahlah, Sena. Tapi kalau memang bukan arwah, bagaimana mungkin bisa menghilang begitu cepat?"
"Kita periksa lagi, Ki. Siapa tahu masih bersembunyi di sekitar tempat ini," ajak Sena.
"Aku setuju."
Belum juga keduanya memeriksa keadaan di sekitar tempat itu, kembali mereka dikejutkan oleh suara tertawa mengikik yang mendirikan bulu kuduk.
"Hik hik hik..."
"Itu dia, Ki" kata Sena.
"Benar. Suaranya seperti kuntilanak, Sena."
"Awas, Ki Serangan..." pekik Sena. Matanya melihat beberapa tangkai bunga mawar melesat ke arah mereka.
"Heaaa"
Ki Balamprang segera mencelat ke belakang, bersalto mengelakkan serangan bunga-bunga mawar maut yang menderu cepat ke arahnya.
Swing, swing...
"Heaaa...
Dengan melompat, Pendekar Gila dan Ki Balamprang segera mengibaskan senjatanya untuk memapaki serangan bunga-bunga mawar.
Wut
Pluk, pluk.., Srat
Suara jaring Ki Balamprang terdengar menderu, menyambar ke arah bunga-bunga mawar yang melaju. Seketika itu juga, bunga-bunga mawar itu jatuh berguguran.
"Setan Rupanya dia ingin mempermainkan kita, Ki," ujar Sena menggerutu kesal. Kemudian dengan masih bergerak, ditiupnya Suling Naga Sakti.
Suara suling itu mengalun keras, melengking dahsyat. Seketika suasana di tempat itu laksana dihantam prahara. Angin menderu-deru kencang merobohkan beberapa pohon. Ledakan-ledakan dahsyat tak ubahnya halilintar, menggelegar memecah kesunyian malam.
Jlegar
"Aaakh"
Dari dalam Hutan Pranggas terdengar suara pekik kesakitan. Sepertinya ada seseorang di dalam hutan. Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya.
"Ki, seperti ada suara orang. Kita periksa," ajak Sena.
Keduanya berkelebat meninggalkan tempat itu menerobos hutan. Tapi, kembali mereka tidak menemukan seorang pun di hutan itu.
"Mungkinkah arwah Dewi Pedang Beracun?" Desis Ki Balamprang dengan bulu kuduk meremang, mendapatkan kenyataan yang ada. "Hhh," Sena mendesah. "Kalau benar itu arwah, dia akan musnah, Ki."
"Ya. Suling Naga Sakti yang baru saja kutiup adalah suara 'Pelayung Sukma'. Apa pun bentuk iblis, akan dapat dimusnahkan Suling Naga Sakti," jelas Pendekar Gila.
Ki Balamprang mengangguk-angguk kagum.
"Kita harus segera ke kadipaten, Ki. Firasatku mengatakan terjadi sesuatu di sana."
"Ayo."
***
Malam menyelimuti Kadipten Pamakasan dengan kegelapan yang mencekam. Suasana di sekeliling kadipaten tempat para pendekar beristirahat, nampak sepi dan tenang. Sementara di pintu gerbang empat orang prajurit tengah berjaga-jaga. Jumlah penjagaan ditambah karena Adipati Sumagatri tidak ingin kecolongan untuk kedua kali. Terlebih di situ menginap beberapa pendekar.
Malam kian larut dengan cahaya bulan sabit. Suasana di sekitar kadipaten remang-remang ketika dari kegelapan melesat beberapa tangkai bunga ke arah keempat prajurit jaga yang tersentak kaget Mata mereka membelalak. Keempat penjaga itu berusaha mengelakkan serangan, namun bunga-bunga mawar lebih cepat menghantam dada.
Jlep, jlep, jlep...
"Aaa..."
Pekik kematian seketika terdengar, memecah kesunyian malam. Cepat sekali gerakan penyerang gelap itu. Sampai-sampai para pendekar yang sedang beristirahat dan Adipati Sumagatri tidak mendengar- nya.
Dari kegelapan, berkelebat sesosok bayangan merah melesat masuk ke lingkungan kadipaten. Terus menuju kamar sang Adipati. Perlahan-lahan bayangan merah itu membuka jendela kamar Adipati Sumagatri dengan pedangnya yang putih keperakan. Kemudian dengan sekali lompat, tubuhnya telah masuk ke dalam kamar.
"Hei, si…"
Belum habis ucapan Adipati Sumagatri, sesosok bayangan merah dengan cepat menyerang ke arahnya. Pedangnya yang putih keperakan, membuat Adipati Sumagatri sulit melihat siapa wanita berpakaian serba merah itu. Namun pedang di tangan wanita itu sangat dikenalnya. Pedang Perak itu tidak lain milik Dewi Pedang Beracun.
"Terimalah pembalasanku, Adipati Keparat Yeaaat..."
Pedang Perak di tangan wanita itu bergerak cepat, menebas ke arah Adipati Sumagatri.
"Tidak mungkin Kau sudah mati" pekik Adipati Sumagatri sambil berusaha mengelakkan tebasan-tebasan pedang lawan. Meski bertubuh besar dan agak gendut, Adipati Sumagatri mampu bergerak lincah.
Saat Adipati Sumagatri terdesak, tiba-tiba pintu kamarnya didobrak orang. Nampak Ki Balacatra dan beberapa anak buahnya menyerbu masuk.
"Tangkap pembunuh itu" seru Ki Balacatra pada anak buahnya.
Melihat orang-orang kadipaten masuk, wanita itu segera melemparkan beberapa bunga mawar. Kemudian melesat pergi melalui jendela dan menghilang di kegelapan malam. Jlep, jlep
"Aaa..."
Beberapa anak buah Ki Balacatra memekik dengan bunga mawar menancap di dada. Tubuh mereka mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
"Kejar dia..." perintah Ki Balacatra.
"Jangan" cegah Adipati Sumagatri.
Seketika semua menghentikan langkahnya.
"Mengapa tidak dikejar, Kanjeng?" tanya Ki Balacatra tak mengerti. "Bukankah jelas dia orangnya?"
Adipati Sumagatri menghela napas.
"Percuma kalian mengejarnya. Jangankan kalian, para pendekar yang ada di sini pun tidak akan mampu menghadapinya. Kita hanya bisa berharap pada Pendekar Gila," gumam Adipati Sumagatri.
"Ya. Kurasa Pendekar Gila yang mampu menghadapinya."
Bersamaan dengan selesainya ucapan Adipati Sumagatri, orang yang dimaksud datang bersama Ki Balamprang. Keduanya langsung masuk ke dalam kamar. Takut jika terjadi sesuatu pada Adipati Sumagatri.
"Oh Syukurlah, Kanjeng Adipati selamat," kata Sena. "Kami sudah mengira di sini akan terjadi kerusuhan lagi."
"Terima kasih. Hampir saja nyawaku melayang di tangan Dewi Pedang Beracun," ujar Adipati Sumagatri.
"Jadi, benar dia Dewi Pedang Beracun?" tanya Ki Balamprang dengan kening berkerut. "Dari mana Kanjeng Adipati tahu?"
"Dari pedangnya, Ki."
"Ah" pekik Ki Balamprang. "Apa warna pakaian yang dikenakannya, Kanjeng?"
"Merah," jawab Adipati Sumagatri tegas.
"Ini benar-benar aneh. Kami baru saja melihat kenyataan yang ada. Arwah Dewi Pedang Beracun muncul dari kuburnya dengan pakaian hijau bunga kenanga," ujar Pendekar Gila seraya menggaruk-garuk kepala.
Semua yang ada di situ memperhatikan Pendekar Gila yang dibantu Ki Balamprang, menceritakan kejadian yang dialaminya di Bukit Lawang Ireng.
"Begitulah ceritanya. Kami juga. Kami juga heran mengapa senjata Dewi Pedang Beracun bunga mawar? Bukan kenanga seperti yang digunakan tahun silam?" gumam Ki Balamprang.
"Ya. Misteri," sambut Adipati Sumagatri. "Ki ada sesuatu di balik semua ini."
"Maksud Kanjeng Adipati, ada orang yang memanfaatkan arwah Dewi Pedang Beracun untuk maksud-maksud tertentu?" tanya Ki Balamprang.
"Tepat Kita tak mungkin mengalahkan arwah Dewi Pedang Beracun. Yang bisa kita lakukan hanya menangkap orang yang telah memperalat Dewi Pedang Beracun," sahut Adipati Sumagatri.
"Kalau begitu, sebaiknya kita menyebar. Jika kita berkumpul di sini sangat berbahaya. Kita harus waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi," saran Sena.
Hari itu juga diadakan pertemuan untuk mem-bicarakan peristiwa itu. Hasilnya, para pendekar ditugaskan untuk mencari siapa orang yang memperalat arwah Dewi Pedang Beracun.
***
TUJUH
Siang yang panas memanggang siapa saja yang berada di bawah teriknya. Demikian pula seorang pemuda berbaju rompi kulit ular dengan rambut gondrong. Pemuda yang tidak lain Sena Manggala itu terlihat meringis-ringis kepanasan. Tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
Saat itu, Pendekar Gila tengah melangkah menelusuri jalan Desa Wedara bumi. Sena berusaha mencari sebuah kedai untuk mengisi perutnya yang kosong. Tampak berdiri megah sebuah kedai yang cukup besar. Para pengunjung yang kebanyakan kaum pendatang, memenuhi kedai itu.
Terlihat beberapa orang rimba persilatan. Pendekar Gila melangkah masuk. Matanya seketika tertumpu pada seorang wanita berpakaian lengan panjang putih dengan pedang tersandang di punggung. Tanpa sadar Sena memanggil wanita yang duduk membelakanginya itu.
"Mei Lie?"
Wanita itu menengok dengan seulas senyum. Betapa terperangahnya Sena setelah mengetahui siapa wanita itu. Ternyata bukan Mei Lie, melainkan Nyi Gendis Awit.
"Sena" seru Nyi Gendis Awit. "Kemarilah."
Pendekar Gila nyengir. Kemudian tangannya sambil menggaruk-garuk kepala didekatinya Nyi Gendis Awit.
"Aha. Kiranya kau, Nyi. Mengapa bajumu ganti, Nyi? Aku sampai tidak mengenalimu lagi," ujar Sena berseloroh sambil duduk di samping Nyi Gendis Awit Nyi Gendis Awit kembali tersenyum.
"Bukankah kita tengah mencari si Mawar Maut?" tanya Nyi Gendis Awit.
"Ya," sahut Sena.
"Itu sebabnya aku menyamar. Jangankan si Mawar maut, kau saja tertipu oleh penyamaranku," kata Nyi Gendis Awit bangga.
Pendekar Gila mengangguk-angguk sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ya ya ya.... Kau benar. Hm.... Apa kau sudah mendapat petunjuk, Nyi?" tanya Sena.
"Belum. Sulit juga mencari jejak orang itu," gumam Nyi Gendis Awit.
"Ya. Memang susah. Kita belum tahu seperti apa orang itu. Hingga kita sulit untuk mencari jejaknya.
Hhh... Kita harus sabar," desah Sena.
Pelayan kedai datang menghampiri.
"Pesan apa, Tuan?" tanyanya.
"Nasi dan ikan bakar. Kalau ada, lalap petainya sekalian," pinta Sena.
"Air putih," sahut Sena. Pelayan kedai itu segera pergi. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa pesanan Pendekar Gila. Setelah menaruhnya, pelayan kedai pun berlalu dari meja Pendekar Gila dan Nyi Gendis Awit.
Pendekar Gila segera menyantap makanannya. Sesekali dia berbincang-bincang dengan Nyi Gendis Awit.
"Kau hendak ke mana?" tanya Nyi Gendis Awit.
"Entahlah. Aku tak tahu arah mana yang harus kutuju," jawab Sena.
"Bagaimana kalau kita sejalan?"
Pendekar Gila terdiam. Tangan kirinya menggaruk- garuk kepala.
"Wah Kalau aku sedang santai, ingin rasanya aku berjalan denganmu, Nyi. Di samping bisa menikmati wajahmu yang cantik, aku juga bisa mempelajari beberapa ilmu darimu," jawab Sena. "Sayang, saat ini kita tengah menjalankan tugas. Ah. Bagaimana kalau lain waktu saja?"
Nyi Gendis Awit cemberut mendengar kata-kata Pendekar Gila. Rupanya, hatinya merasa tidak senang. Tatapan bola matanya seperti menyimpan suatu harapan.
Selesai menyantap makanannya, mereka meninggalkan kedai dengan arah berlainan. Nyi Gendis Awit ke arah barat, sedangkan Pendekar Gila ke arah timur.
***
Malam kembali menyelimuti bumi dengan kegelapan yang mencekam. Angin malam yang berhembus disertai embun, menambah rasa dingin hingga menusuk tulang sumsum.
Sesosok bayangan merah yang di punggungnya tersandang sebilah pedang, berkelebat cepat menuju bangunan Perguruan Tambak Segara. Perguruan yang dipimpin Ki Balamprang itu terletak di pesisir Desa Wedara Bumi.
Bayangan merah itu mengendap-endap, dan bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan sekelilingnya. Setelah merasa aman, bayangan merah itu melompat ke atas cabang pohon.
"Hup"
Nampak di dalam lingkungan Perguruan Tambak Segara beberapa orang murid tengah melakukan penjagaan. Rupanya, Ki Balamprang telah waspada sehingga melakukan penjagaan ketat. Dia tidak ingin kecolongan seperti yang dialami Ki Anggada.
"Hm...."
Bayangan merah itu menggumam tak jelas. Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya yang longgar. Kemudian, dilemparkannya bunga-bunga mawar merah ke arah sepuluh orang murid Ki Balamprang.
Swing, swing
"Awas serangan..." terdengar seruan seorang murid Perguruan Tambak Segara.
Dengan cepat mereka berpencar dan berusaha mengelakkan serangan gelap itu. Rupanya, laju bunga-bunga mawar merah itu lebih cepat dari gerakan mereka. Kesepuluh murid-murid Perguruan Tambak Segara tak mampu menghindar dari bunga-bunga mawar maut itu.
Jlep, jlep...
"Aaakh..."
"Aaa..."
Pekik kematian terdengar susul-menyusul. Diikuti mengejangnya sepuluh murid Perguruan Tambak Segara. Satu persatu mereka bertumbangan dengan nyawa melayang.
Mendengar keributan di luar, murid-murid Perguruan Tambak Segara yang lain menghambur keluar. Tapi, kedatangan mereka disambut oleh serangan gelap bunga-bunga mawar.
"Mawar Maut datang Awas..."
Swing, swing...
Puluhan mawar merah menderu kencang ke arah mereka. Murid-murid Perguruan Tambak Segara terpana. Dengan menjerit keras untuk mengundang yang lainnya, mereka berusaha mengelakkan serangan Mawar maut.
"Mengelak Cepat…" terdengar suara Ki Balamprang berseru mengingatkan murid-muridnya.
Namun terlambat Bunga-bunga mawar merah itu begitu cepat melesat. Maka....
Jlep, jlep...
"Aaa..."
"Wuaaa..."
Pekikan kematian kembali terdengar susul-menyusul. Diikuti berjatuhannya tubuh-tubuh korban bunga-bunga mawar itu.
"Kurang ajar Keluar kau Siapa pun dirimu, aku tak takut" bentak Ki Balamprang marah, melihat murid-muridnya banyak yang tewas.
"Hik hik hik..."
Tiba-tiba terdengar tawa mengikik seperti kuntilanak. Bulu kuduk Ki Balamprang berdiri.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, namun tidak terlihat siapa-siapa di situ. Suara tawa itu seakan berada di sekelilingnya. Hingga Ki Balamprang sulit mencari asalnya.
"Hik hik hik..."
Ki Balamprang berusaha menekan rasa takut yang mendera jiwanya. Segera senjatanya yang berupa jala dikeluarkan, dan langsung diputar-putar di atas kepala. Sambil mendengus dengan penuh kemarahan, jala maut itu dihantamkan ke arah pepohonan yang ada di sekitarnya.
Wut Brak
Seketika suasana menjadi terang oleh sinar merah yang keluar dari ujung-ujung jala. Pepohonan banyak yang roboh terhantam ujung-ujung jala. "Perempuan setan Keluar kau..." bentak Ki Balamprang melihat perempuan yang disangkanya arwah Dewi Pedang Beracun tak muncul juga.
Matanya memandang ke sekeliling dengan tegang. Tak ada sahutan.
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah"
Kembali Ki Balamprang membentak keras. Senjatanya yang berupa jala diputar-putar di atas kepala siap menyerang lawan jika sewaktu-waktu muncul.
"Aku di sini, Balamprang"
Ki Balamprang tersentak ketika dari belakang terdengar suara wanita menyapanya. Ketika berbalik matanya seketika membelalak. Wanita yang sekujur tubuhnya tertutup kain merah telah berada di belakangnya.
"Bagus Rupanya kau orangnya Hiaaat... " Ki Balamprang yang telah mengetahui kehebatan ilmu lawan, tak mau membuang-buang waktu lagi.
Diserangnya wanita itu dengan jala saktinya. Jurus yang digunakannya bernama 'Rapat Pukat Samudera'
Wut
Brat
"Uts"
Wanita berpakaian serba merah itu berkelit dengan ringan. Pedangnya yang memancarkan sinar putih keperakan segera dicabut. Melihat hal itu, Ki Balamprang tersentak kaget.
"Pedang Perak Kau... Kau benar Dewi Pedang Beracun??"
"Siapa aku, itu tak penting. Kini terimalah kematianmu Hiaaa..."
Wanita berpakaian serba merah itu dengan cepat menyerang. Pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan. Serangan kini mengarah ke dada lawan dengan jurus
'Belah Wanggala dan Neraka'.
Wut
Asap putih bergulung-gulung keluar dari pedang di tangan wanita itu. Bersamaan dengan laju pedang yang membabat dan menusuk ke arah dada lawan, wanita itu sesekali melemparkan bunga-bunga mawar arah Ki Balamprang.
"Ups Celaka..." pekik Ki Balamprang.
Ketua Perguruan Tambak Segara itu semakin kewalahan menghadapi serangan lawan. Terlebih asap beracun yang keluar dari pedang lawan mampu membuat dadanya sesak. Ki Balamprang segera menutup jalan darahnya. Lalu dengan menahan napas, kembali menyerang lawan. Jala di tangannya menderu-deru dan mencecar lawan dengan jurus
'Sapu Jala Samudera'.
"Hiaaa..."
"Ups Yiaaat..."
Wanita misterius itu dengan mudah mengelakkan setiap serangan Ki Balamprang. Bahkan, menambah gencar serangannya. Gerakan pedangnya sangat cepat, membabat dan menusuk ke dada lawan. Ditambah lagi serangan-serangan mawar mautnya.
Meski Ki Balamprang menyadari kalau lawannya berada satu tingkat di atasnya, namun sebagai seorang pendekar yang telah banyak makan asam garam, dia tak menjadi gentar. Dengan gagah berani, diladeninya serangan-serangan lawan dengan sabetan dan lemparan jala saktinya.
"Hiaaa..."
Wut
Pertarungan seru terjadi. Dengan senjata pusakanya, masing-masing berusaha membinasakan lawan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Yang ada hanya bagaimana caranya membinasakan lawan. Ki Balamprang yang terdesak hebat, terus berusaha menyerang balik. Jala saktinya menderu-deru keras, menyerang lawan.
Wut
"Kena" seru Ki Balamprang ketika ujung jala saktinya berhasil mengenai kain penutup wajah wanita misterius itu.
Bret
Kini nampaklah siapa sebenarnya wanita itu.
"Kau...?"
Belum sempat Ki Balamprang menyelesaikan ucapannya, wanita berbaju serba merah itu telah membabatkan pedangnya ke leher Ki Balamprang.
Cras
Kepala Ki Balamprang terpenggal dan menggelinding ke tanah. Sesaat tubuhnya mengejang sebelum jatuh ke tanah dengan nyawa melayang. Wanita baju serba merah melesat meninggalkan Perguruan Tambak Segara, menghilang di kegelapan malam.
***
Tidak berapa lama kemudian, nampak seorang pemuda berbaju rompi kulit ular berlari-lari menuju Perguruan Tambak Segara. Pemuda yang tak lain Sena itu melesat masuk ke dalam. Seketika langkahnya dihentikan, dan matanya membelalak menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Salah satu mayat kepalanya terpenggal. Mayat Ki Balamprang "Oh, Jagat Dewa Batara Rupanya aku terlambat.
Mawar Maut telah datang ke tempat ini," gumam Sena dengan air muka sedih, menyaksikan mayat-mayat berserakan di sana-sini. Semua mati dengan dada ditembus bunga mawar merah.
Kresek
Tengah Pendekar Gila memeriksa mayat-mayat itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara gemeresek daun kering terinjak.
"Siapa itu?"
Dengan sekali lompat, Pendekar Gila memburu ke arah suara itu. Sesosok bayangan berkelebat pergi meninggalkan tempat itu. Pendekar Gila semakin penasaran. Dengan mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu' Pendekar Gila memburu orang itu.
"Hei, berhenti" bentak Sena. Tubuhnya melesat dan mendarat di depan lelaki berpakaian rompi biru yang menggigil ketakutan.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya," ratap lelaki muda yang pakaiannya sama dengan pakaian yang dikenakan murid-murid Perguruan Tambak Segara.
Pendekar Gila mengerutkan kening, memandangi laki-laki itu dengan seksama.
"Kau pasti murid Perguruan Tambak Segara.
Mengapa lari?" tanya Sena. "Aku adalah sahabat gurumu, Ki Balamprang."
"Ampun, Tuan. Saya takut. Saya kira, Tuanlah yang telah membunuh teman-teman dan guru saya."
"Hm.... Ke mana kau waktu kejadian itu?" tanya Sena ingin tahu.
"Saya tidur di belakang, Tuan," jawab lelaki muda itu masih dengan wajah ketakutan.
Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia tahu mengapa orang ini bisa selamat. Tentu Dewi Pedang Beracun hanya menginginkan Ki Balamprang saja. Namun karena murid-muridnya menghadang, Dewi Pedang Beracun membunuh mereka. Buktinya orang ini masih hidup.
"Bersyukurlah pada Hyang Widhi, karena umurmu masih dipanjangkan. Siapa namamu, Kisanak?" tanya Sena.
"Saloka, Tuan."
"Saloka, kuharap kau mau kembali ke pergurun.
Ajaklah beberapa penduduk untuk membantumu menguburkan mayat guru dan saudara seperguruan-mu...," tutur Sena.
"Tapi, Tuan...," wajah Saloka nampak tegang.
Matanya menggambarkan ketakutan.
"Ada apa? Kau takut...?"
"Benar, Tuan."
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tak ada yang harus ditakuti. Dewi Pedang Beracun hanya mencari gurumu. Kalau Ki
Balamprang telah meninggal, dia tidak akan mencarimu. Kau tidak ada sangkut-pautnya dengan Dewi Pedang Beracun.
"Benarkah, Tuan?" tanya Saloka, belum percaya.
"Ya Kuharap begitu," jawab Sena. "Oh, ya.
Tahukah kau, arah mana Dewi Pedang Beracun pergi?"
"Ke arah timur, Tuan."
"Timur?" membelalak mata Sena mendengar jawaban Saloka.
"Benar, Tuan."
"Celaka Aku harus segera ke sana. Tentu dia menuju Kadipaten Pamakasan. Pulanglah segera ke perguruan."
Dengan cepat Pendekar Gila melesat meninggal- kan Saloka. Sementara, murid Perguruan Tambak Segara yang luput dari kematian itu hanya terpana menyaksikan ilmu lari cepat Pendekar Gila.
***
DELAPAN
Rumah Ki Lurah Banjilan nampak sepi. Di halaman rumah berukuran besar itu terlihat dua orang penjaga. Seperti para pendekar lainnya, Ki Lurah Banjilan pun memperketat penjagaannya. Takut Dewi Pedang Beracun akan datang menyatroni. Sementara, udara malam saat itu terasa dingin, menambah suasana kian mencekam.
"Hiiiy.... Dingin sekali malam ini," keluh salal seorang penjaga bertubuh tinggi kurus yang bemai Barjo.
"lya Merinding bulu kudukku," sahut penjaga lainnya yang bernama Gandra. Tubuh lelaki ini pendek dan kekar. Dengan kumis tipis menghiasi atas bibirnya.
"Hik hik hik..."
Baru saja keduanya selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang membuat bulu kuduk mereka tambah meremang.
"Kun... kuntilanak To... tolooong..."
Barjo dan Gandra berseru ketakutan dan berusaha lari dari tempat itu. Namun belum jauh berlari, dari kegelapan melesat dua buah benda ke arah mereka. Benda itu menyebarkan bau wangi bunga mawar
"Mawar Maut... Oh To...."
Belum habis keduanya berkata, mawar-mawar maut telah menghantam mereka. Bunga beracun berwarna merah itu menembus dada keduanya.
Sesaat penjaga-penjaga itu meregang, lalu ambruk tanpa nyawa. Jeritan Barjo dan Gandra rupanya membangunkan Ki Lurah Banjilan. Dengan membawa senjatanya yang berupa golok besar, lelaki bertubuh kekar berotot ini melesat keluar. Tapi baru saja kakinya sampai di halaman, beberapa kuntum bunga tiba-tiba melesat ke arahnya.
Swing, swing...
"Uts"
Ki Lurah Banjilan segera mengelak. Tubuhnya melenting ke atas, dan berputaran dengan cepat ke samping kanan. Tangannya yang memegang golok, digerakkan menebas bunga-bunga mawar merah yang terus menderu ke arahnya.
"Yiaaat..."
Wut
Bunga-bunga mawar itu rontok satu persatu. Berguguran ke tanah dengan menyebarkan bau wangi menyengat.
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah Aku telah tahu siapa kau sebenarnya. Meski kau sesosok arwah, aku tak gentar menghadapimu" bentak Ki Lurah Banjilan geram. Matanya menyapu ke sekeliling halaman rumahnya yang ditumbuhi pohon-pohon bambu.
"Hik hik hik..."
Terdengar suara tawa mengikik yang mampu mendirikan bulu kuduk. Mata Ki Lurah Banjilan kian membelalak tegang. Suara tawa itu seperti berada di sekelilingnya.
"Iblis Keluarlah"
"Aku di sini, Bajil"
Ki Lurah Banjilan berbalik, ketika dari belakangnya terdengar suara orang. Saat itu juga, pedang bersinar putih keperakan menebas ke arah leher Lurah Banjilan, yang tersentak kaget melihat wajah wanita itu.
"Kau...?"
Cras
Seketika, kepala Ki Lurah Banjilan terlepas dari batang lehernya. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar, lalu ambruk tanpa nyawa. Wanita misterius itu memasukkan pedangnya. Lalu dengan cepat berkelebat meninggalkan tempat itu.
Istri Ki Lurah Banjilan yang mendengar jeritan suaminya, seketika melompat keluar ingin tahu apa yang terjadi. Betapa terkejutnya wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu. Suaminya telah tewas dengan kepala lepas dari lehernya.
"Kangmas..."
Malam yang sunyi dan mencekam, pecah oleh suara tangis istri Ki Lurah Banjilan. Suara raungan tangis istri lurah itu membangunkan warga desa.
Berbondong-bondong mereka menuju rumah yang besar itu. Warga desa kontan gempar melihat lurahnya tewas dengan kepala terpenggal.
"Tabuh kentongan" perintah tangan kanan Ki Lurah Banjilan.
Suara kentongan yang menandakan telah terjadi bencana, terdengar susul-menyusul. Warga desa semakin banyak berdatangan dengan membawa obor.
"Kita harus mengejar pelakunya Ayo ikut aku..." ajak tangan kanan Ki Lurah Banjilan.
Para lelaki segera mengikuti tangan kanan lurah itu untuk mencari pembunuh lurah mereka. Saat itulah mereka melihat sesosok bayangan berkelebat ke arah mereka. Langsung saja warga desa yang sedang dalam keadaan marah itu bergerak menyerang pemuda berambut gondrong dengan pakaian rompi ular.
"Dia pembunuhnya Seraaang..."
Pemuda yang tak lain Sena itu tersentak kaget mendapat serangan mendadak dari warga Desa Banjilan. Dia baru saja datang hendak menemui Ki Lurah Banjilan.
"Hei Kenapa kalian?" tanya Sena berusaha menyadarkan penduduk desa yang menyerangnya.
Tubuhnya bergerak mengelakkan bacokan membabi-buta penduduk.
"Jangan beri kesempatan Dia pembunuh Ki Lurah Serang dia..." perintah lelaki berkumis lebat dengan baju wama kuning. Tutup kepalanya kain yang meruncing ke atas.
"Celaka Mimpi apa aku semalam?" keluh Sena sambil terus bergerak mengelakkan serangan-serangan gencar warga desa.
"Hiaaa..."
"Babat tubuhnya"
"Cincang pembunuh jahanam ini..."
Suara-suara pekik kemarahan keluar dari mulut warga desa. Serangan mereka semakin menjadi-jadi berusaha secepatnya membunuh pemuda tampan berrambut gondrong yang disangka pembunuh Ki Lurah Banjilan.
"Tunggu Kalian salah sangka" seru Sena. Tapi, warga desa tetap tidak peduli dengan kata-katanya.
Malah mereka semakin ganas melancarkan serangan.
"Jangan hiraukan omongannya"
"Jadikan saja kambing guling"
"Serang terus"
Pendekar Gila yang tak tahu apa-apa, harus berjumpalitan mengelakkan serangan-serangan mereka. Tubuhnya berkelit ke sana kemari, mengelakkan sabetan dan babatan senjata warga desa yang beraneka ragam.
"Berhenti Kalian salah sangka Aku datang untuk menemui lurah kalian Aku sahabatnya" seru Sena sambil terus berkelebat menghindar.
"Terus serang..."
"Dialah pembunuhnya"
"Cincang"
Hampir hilang kesabaran Pendekar Gila menghadapi mereka. Namun ketika ingat kalau warga desa ini hanya salah paham, Pendekar Gila mengurungkan niatnya menurunkan tangan jahat.
"Kalian dengar semua Aku Pendekar Gila, sahabat Ki Lurah Banjilan Hentikan..." bentak Sena.
Mendengar ucapan itu, seketika semua warga menghentikan serangan. Bahkan, mereka menyurut mundur dengan tatapan mata ketakutan. Sedangkan tangan kanan Ki Lurah Banjilan yang bernama Masopati membungkuk hormat.
"Ampunilah kami, Tuan. Sungguh kami tidak tahu. Kami sedang sangat berduka."
"Apa yang terjadi?" tanya Sena.
"Ki Lurah dibunuh seseorang. Dua pengawalnya mati dengan dada tertembus bunga mawar," jelas Masopati.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Matanya memandang seluruh warga desa yang merunduk ketakutan. "Jika memang begitu, tentu Dewi Pedang Beracun yang membunuhnya. Hm.... Ke arah mana dia pergi?"
"Kami tak tahu, Tuan Pendekar."
Pendekar Gila mengangguk-angguk mendengar jawaban Masopati. Dihelanya napas panjang-panjang. "Baiklah. Aku harus pergi," ujarnya.
Setelah menjura, Sena segera melesat mengejar Dewi Pedang Beracun yang semakin menjadi-jadi tindakannya. Dalam semalam, puluhan orang telah menjadi korban.
"Untung dia tidak marah," gumam Masopati.
"Kalau dia marah, tentu kita sudah menjadi bangkai."
"Apa benar dia Pendekar Gila, Ki?" tanya salah seorang warga.
"Ya Apa kau tadi tidak melihat tingkah lakunya yang mirip orang gila?" tanya Masopati balik bertanya.
"Masih begitu muda. Sangat lain dengan dugaanku."
"Ya Mulanya aku pun mengira Pendekar Gila dari Goa Setan telah tua. Paling tidak seusia Ki Lurah," gumam Masopati. "Kita pulang."
"Mengapa tidak meneruskan mencari pembunuh itu, Ki?"
"Tak perlu. Kalau Ki Lurah, Barjo, dan Gandra saja dapat dibunuh dengan mudah, apalagi kita? Terlebih, pembunuh Ki Lurah adalah Dewi Pedang Beracun yang telah mati. Hiiiy... Kalau begitu, bukankah arwahnya yang membunuh?"
Semua warga desa bergidik. Bulu kuduk mereka meremang setelah mendengar nama Dewi Pedang Beracun yang telah mati sepuluh tahun silam. Tanpa diperintah lagi, mereka segera meninggalkan tempat itu yang merupakan perbatasan desa dengan hutan.
Malam terus bergulir. Lolongan anjing hutan, menambah suasana kian mencekam. Terdengar deru angin yang menggiris hati. Membuat suasana malam itu seperti di pekuburan.
***
Pendekar Gila yang memburu Dewi Pedang Beracun nampak masih berlari ke arah timur menuju kadipaten. Sena mengkhawatirkan Adipati Sumagatri akan menjadi sasaran pembunuhan selanjutnya. Tengah Sena berlari, matanya menangkap sesosok bayangan berkelebat melintas di hadapannya. Bayangan merah itu menyentakkannya, sehingga dia langsung mengejar.
"Hei, tunggu. ."
Merasa ada yang mengejar, bayangan merah itu tiba-tiba mengebutkan tangan ke belakang. Saat itu pula, menderu puluhan bunga mawar berwarna merah.
"Mawar Maut" pekik Sena.
Swing, swing...
"Uts Hop..."
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak menduga kalau bayangan merah itu yang telah dicarinya. Pemuda itu melenting ke atas dan berputaran mengelakkan serangan yang dilancarkan bayangan merah itu. Puluhan bunga mawar merah terus menderu ke arahnya, bagai memiliki mata. Hingga Pendekar Gila agak kewalahan menghadapinya.
"Kurang ajar Hop Heaaa..."
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti. Lalu dengan cepat dikibaskannya ke arah bunga-bunga mawar merah yang meluncur datang.
Prat
Pluk, pluk...
Bunga-bunga mawar merah itu luruh berjatuhan ke tanah. Rontok terkena sabetan Suling Naga Sakti Pendekar Gila. Namun, Pendekar Gila kehilangan sosok bayangan merah yang dikejarnya.
"Kurang ajar Jangan lari..." seru Sena marah. Dengan mengerahkan ajian lari 'Sapta Bayu' Pendekar Gila melesat mengejar bayangan merah yang telah menghilang entah ke mana.
"'Sapta Bayu'. Heaaa..."
Pendekar Gila berlari melebihi angin. Kedua kakinya seperti tidak menginjak tanah. Mendadak, dari arah yang berlawanan tampak sesosok tubuh tengah berlari. Pendekar Gila menghentikan larinya. Pemuda itu kaget melihat siapa orang yang tengah berlari ke arahnya.
"Sena" seru wanita berbaju putih yang tidak lain Nyi Gendis Awit. "Kau ada di sini? Apa kau melihat bayangan merah lari ke arah sini?"
"Nyi Gendis Awit. Kau juga melihat bayangan merah itu?"
"Ya Aku mengejarnya. Ke arah mana dia berlari?" tanya Nyi Gendis Awit sambil mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Ah. Kurasa bayangan merah tadi dari arahku. Aku pun tengah mengejarnya...," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Dari arah barat?" tanya Nyi Gendis Awit seraya mengerutkan kening.
"Ya."
"Tidak mungkin. Aku baru saja mengejarnya. Dia dari arah timur," bantah Nyi Gendis Awit tak percaya.
Pendekar Gila semakin heran. Keningnya berkerut dan tangannya menggaruk-garuk kepala. Kalau benar Nyi Gendis Awit mengejar bayangan merah, siapa lagi yang memakai pakaian serba merah itu? Mungkinkah ada dua orang yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Tanya Sena dalam hati. Mungkin juga. Karena dalam semalam saja, dua orang tokoh persilatan seperti Ki Balamprang dan Ki Lurah Banjilan telah dibunuhnya.
"Hm.... Semakin membingungkan. Kalau benar kau mengejar bayangan merah, kurasa bukan seorang yang telah melakukan pembunuhan itu," gumam Sena.
"Mungkin juga, Sena. Ah. Sayang sekali aku tak bisa menangkapnya," desah Nyi Gendis Awit. Nada suaranya seakan menyesal tak mampu menangkap bayangan merah yang misterius itu.
"Kita berpencar, Nyi. Kurasa dia masih berada di sekitar sini," kata Sena.
"Mengapa tidak berdua saja, Sena? Kau tak mau berjalan bersamaku?" desis Nyi Gendis Awit dengan suara memelas. Matanya menatap penuh arti ke arah Pendekar Gila yang masih menggaruk-garuk kepala.
"Hm, baiklah. Ayo...."
Keduanya melangkah ke arah timur. Malam yang dingin membuat suasana terasa mencekam. Kedua pendekar itu terus melangkah menyelusuri hutan tempat mereka melihat bayangan merah.
"Aduh" tiba-tiba Nyi Gendis Awit menjerit.
"Kenapa, Nyi?" tanya Sena.
"Kakiku, Sena. Oh... Kakiku tertusuk duri," jawab Nyi Gendis Awit sambil memegangi pahanya yang tertusuk duri.
Sena memeriksanya. Nampak duri pohon beracun menancap dalam di paha Nyi Gendis Awit.
"Beracun, Nyi?"
"Oh, Sena. Tolonglah aku...," keluh Nyi Gendis Awit sambil meringis-ringis menahan sakit.
Sena kebingungan. Dia tahu jenis racun yang ada dalam duri itu. Bagaimanapun juga, Nyi Gendis Awit harus segera ditolongnya.
"Aduh, Sena" pekik Nyi Gendis Awit. "Mari kugendong."
Sena segera membopong tubuh Nyi Gendis Awit. Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun itu masih terlihat cantik, seperti baru berusia dua puluh lima tahun. Sena terus membawa tubuh Nyi Gendis Awit ke tempat yang agak lapang di dalam hutan itu, lalu dibaringkan.
"Aku harus membuka pakaianmu, Nyi," kata Sena agak bingung.
"Buka sajalah, Sena."
Sena semakin kebingungan. Namun, Nyi Gendis Awit harus segera ditolong. Kalau tidak, wanita cantik itu akan tewas. Dengan membuang muka, Sena merobek celana Nyi Gendis Awit agar dapat melihat lukanya.
Breeet...
"Mengapa mesti membuang muka, Sena? Bagaimana kau bisa melihat lukanya?" tanya Nyi Gendis Awit manja.
"Tapi...," Sena hendak berkata, ketika Nyi Gendis Awit telah menukasnya.
"Sudahlah, Sena. Bukankah tak ada orang yang melihatnya?"
Sena menghela napas. Dengan perlahan, dia memandang paha Nyi Gendis Awit yang mulus. Napas Sena tersendat. Ada gejolak yang menggelegak di dadanya. Pertarungan batin seketika terjadi. Ditambah dengan desahan Nyi Gendis Awit yang semakin merangsang nafsunya.
"Oh, Sena...."
Sena berusaha mempertahankan kekuatan imannya. Namun racun itu begitu cepat menjalar. Jalan satu-satunya dia harus membuka seluruh pakaian Nyi Gendis Awit. Pemuda itu jadi semakin bingung.
"Aduh. Jantungku sakit, Sena" keluh Nyi Gendis Awit.
Sena bertambahh cemas. Akhirnya pakaian wanita itu dibukanya. Di hadapannya kini terpampang sesosok tubuh polos yang menggiurkan.
"Sena, dekaplah aku," pinta Nyi Gendis Awit mendesah.
Sena menurut. Lupa kalau sebenarnya dia hendak menolong Nyi Gendis Awit. Setelah menyaksikan keelokan tubuh wanita itu, pikirannya seketika melayang. Direngkuhnya tubuh Nyi Gendis Awit. Tapi ketika semua akan terjadi, Sena tersadar.
"Tidak Kuharap kau jangan merayuku, Nyi. Ingat kita dalam ancaman maut Dewi Pedang Beracun. idak sepantasnya kita berbuat seperti ini. Aku akan menolongmu."
Usai berkata begitu, Sena segera menotok beberapa bagian tubuh Nyi Gendis Awit. Tubuh wanita cantik itu seketika menjadi kaku bagai patung. Sena mengobati luka di paha Nyi Gendis Awit.
"Kau sudah bebas, Nyi. Nah. Aku pergi dulu," kata Sena seraya melesat meninggalkan Nyi Gendis Awit yang telah terbebas dari racun dan totokan.
Dengan agak kecewa, Nyi Gendis Awit mengenakan pakaiannya kembali. Lalu melesat meninggalkan tempat itu.
***
SEMBILAN
Mentari sebentar lagi tenggelam di belahan bukit sebelah barat. Tampak seorang pemuda berbaju rompi kulit ular berlari ke arah Bukit Lawang Ireng, tempat makam Dewi Pedang Beracun berada.
Pemuda tampan yang tak lain Sena, rupanya tertarik dengan makam itu. Pendekar Gila ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi di makam itu dan apakah benar Dewi Pedang Beracun yang sepuluh tahun silam telah mati kini hidup kembali. Tekadnya telah buat, hendak membongkar kuburan tua itu.
"Aku harus memburu waktu. Sebentar lagi mentari akan tenggelam," gumam Sena sambil terus lari.
Sesampainya di kuburan Dewi Pedang Beracu tanpa sungkan-sungkan Sena langsung menghantam kuburan itu dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
"Heaaa..."
Glarrr
Kuburan itu meledak hebat. Tanah kuburan beterbangan ke atas hingga membentuk lubang besar. Betapa tercengangnya Pendekar Gila ketika mengetahui kuburan itu kosong. Mayat Dewi Pedang Beracun maupun pedangnya tak ada. Seakan ada yang mengambilnya.
"Hm.... Rupanya benar dugaanku. Ada seseorang vang mengambil mayat dan senjata Dewi Pedang Beracun. Orang itulah yang sekarang merajalela..." gumam Sena.
Pendekar Gila terus mengawasi kuburan itu. Tiba-tiba matanya melihat sebuah pintu di bawah makam. "Heh... Pintu? Pintu apa itu?" tanya Sena. Kembali Pendekar Gila menghantamkan pukulan 'Guntur Selaksa' ke arah pintu di bawah makam.
"Heaaa..."
Glarrr
Ledakan dahsyat kembali terdengar. Tampaklah sebuah jalan ke bawah. Pendekar Gila mengerutkan kening, memandangi jalan yang bertangga ke bawah agak membelok ke selatan.
"Hm.... Tentu ini bisa menyingkap misteri yang selama ini belum terpecahkan. Aku akan memasukinya."
Dengan hati-hati, Pendekar Gila menuruni tangga demi tangga yang ada di dalam kuburan. Ternyata tangga itu berbelok ke sebuah tempat. Di tempat itu ada sebuah jalan. Sedangkan di samping kirinya terdapat bunga-bunga mawar merah yang ganas. Bunga-bunga mawar itulah yang digunakan wanita misterius untuk membunuh lawan-lawannya.
"Bunga-bunga ini harus kuhancurkan" desis Sena.
'"Inti Brahma'. Yeaaa..."
Api bergulung-gulung keluar dari tangan Pendekar Gila, membakar bunda-bunga mawar maut yang ada di tempat itu. Dalam sekejap, bunga-bunga itu menjadi debu yang beterbangan tertiup angin.
Hm.... Kini habis sudah bunga maut itu. Tinggal membuka tabir, siapa orang yang meniru Dewi Pedang Beracun. Aku harus segera pergi. Firasatku mengatakan orang itu menuju kadipaten, karena Kanjeng Adipati merupakan musuh Dewi Pedang Beracun. Usai berpikir begitu, Pendekar Gila segera melesat pergi melalui jalan yang tadi dilalui sewaktu masuk.
***
Di Kadipaten Pamakasan, pertarungan seru tengah terjadi. Adipati Sumagatri yang dibantu Ki Mandra Dupa dan Ki Sangkutra serta Ki Balacatra menghadapi bayangan merah yang masih misterius itu. Meski dikeroyok tokoh-tokoh persilatan, sosok berpakaian merah yang menyebut dirinya Mawar Maut itu tidak mengalami kesulitan. Bahkan, beberapa kali sempat mengirimkan bunga-bunga mawarnya dengan menggunakan jurus 'Mawar Maut Memburu Mangsa'.
Swing, swing...
"Awas..." seru Adipati Sumagatri mengingatkan.
Ketiga pendekar tua itu berlompatan mengelakkan serangan bunga-bunga mawar merah. Ketiganya berhasil meloloskan diri dari kematian, begitu pun Adipati Sumagatri. Bunga-bunga mawar itu melesat, menghantam orang-orang Ki Balacatra. Maka. Jerit kematian pun terdengar susul-menyusul.
"Kurang ajar Kita harus secepatnya membinasakan iblis ini, Kanjeng" dengus Ki Balacatra marah melihat anak buahnya banyak yang tewas.
"Kita serang bersamaan" ajak Adipati Sumagatri.
"Hiaaa..."
Dengan menggunakan jurus 'Catur Angin Mengurung Naga' yang dipadu dengan jurus 'Malaikat Maut dari Empat Penjuru', keempat tokoh persilatan itu bergerak menyerang.
"Hiaaa..."
Mereka menyerang dengan senjata andalan masing-masing. Clurit di tangan Ki Mandra Dupa menderu ke arah kepala lawan. Kapak besar Ki Sangkutra membabat perut. Dan tombak di tangan Adipati Sumagatri menusuk tenggorokan. Sedangkan cambuk di tangan Ki Baiacatra melecut punggung. Keempatnya laksana malaikat maut.
"Yeaaat..."
Menghadapi keroyokan empat tokoh persilatan itu, Mawar Maut tidak merasa gentar. Kepalanya dirundukkan dengan tubuh agak membungkuk. Pedang Perak yang mengandung racun diputar cepat memapaki serangan mereka. Itulah jurus 'Tarian Bidadari Merenggut Sukma'.
"Hait..." Trang, trang...
Suara senjata beradu terdengar. Saat itu pula, tubuh keempat penyerangnya berpelantingan ke belakang. Dada mereka terasa sesak oleh asap beracun yang keluar dari pedang di tangan wanita berpakaian serba merah itu.
"Kini saatnya kalian mampus Hiaaat..."
Mawar Maut tidak membuang-buang waktu lagi. Tangan kanannya yang memegang pedang, dibabatkan ke arah Adipati Sumagatri. Sedangkan tangan kirinya, bergerak mengambil bunga mawar dari balik bajunya.
Wut
Swing, swing...
Bunga-bunga mawar merah melesat cepat ke arah Ki Mandra Dupa dan Ki Balacatra serta Ki Sangkutra. Sedangkan Pedang Perak menebas ke arah Adipati Sumagatri.
Keempat tokoh persilatan itu tersentak kaget Mereka berusaha mengelakkan serangan lawan. Ki Balacatra mampu mengelak dengan cara berguling ke samping kiri. Sedangkan ketiga temannya harus menerima kenyataan pahit.
Jlep, jlep... "Aaa. "
"Aaakh..."
Ki Mandra Dupa memekik, disusul Ki Sangkutra. Dada mereka dihunjam bunga mawar merah. Sedangkan Adipati Sumagatri dalam ancaman maut. Pedang di tangan wanita misterius itu siap menebas lehernya.
"Hiaaa..."
"Tidak" pekik Adipati Sumagatri.
Cras
Tanpa disertai jeritan, kepala Adipati Sumagatri bergulir ke bawah. Napasnya putus seketika itu juga.
"Iblis Perbuatanmu sangat kejam Aku akan mengadu jiwa denganmu Hiaaa..."
Menyaksikan bagaimana kejinya wanita misterius itu membunuh Adipati Sumagatri, Ki Balacatra segera melecutkan cambuknya dengan jurus 'Ekor Sanca Melecut Badai'.
Cletar
"Uts Rupanya kau pun ingin mampus Yiaaat..."
Setelah mengelakkan serangan cambuk lawan, Mawar Maut menyerang balik Ki Balacatra dengan babatan pedangnya. Sementara tangan kirinya merogoh ke balik baju. Tapi rupanya yang dicari telah habis. Wanita itu kehabisan bunga mawar merahnya. Melihat lawan tengah mencari-cari sesuatu, Ki Balacatra tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dengan cepat dia balik menyerang. Cambuknya kembali dilecutkan ke arah lawan dengan jurus 'Lidah Petir Menghancurkan Karang'
"Uts"
Mawar Maut masih mampu mengelakkan serangan cambuk lawan. Kemudian, balas menyerang dengan tusukan dan babatan pedang peraknya dengan jurus inti 'Silang Kala Maut'.
"Heaaat..."
Wut, wut
Mungkin kalau hanya pedang biasa tidak akan membuat lawan-lawannya kalah dengan cepat. Tapi pedang di tangan wanita misterius itu mengandung racun ganas. Bahkan mampu melemahkan dan
menguras tenaga lawan. Itu yang dialami Ki Balacatra. Lelaki tua itu merasa tenaganya terkuras habis, padahal baru beberapa puluh jurus. Biasanya, Ki Balacatra mampu bertarung sampai ratusan jurus. Namun kali ini tenaganya cepat berkurang. Dadanya pun terasa sesak.
"Heaaat.."
Wut, wut..
Pedang di tangan wanita berpakaian serba merah itu menderu dengan cepat. Sesaat lagi, Ki Balacatra akan mengalami nasib yang sama dengan Adipati Sumagatri. Pedang wanita itu semakin dekat ke arah lehernya. Hampir saja kematian merenggut nyawa Ki Balacatra, ketika tiba-tiba....
Trang
Benturan dua senjata terdengar. Terlihat percikan bunga api. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh pemuda tampan berbaju rompi kulit ular berdiri di samping Ki Balacatra. Sementara wanita misterius itu agak terhuyung ke belakang.
"Oh Syukurlah kau datang, Sena," kata Ki Balacatra dengan wajah menampakkan keceriaan.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha... Rupanya inikah si Mawar Maut itu? Ha ha ha... Lucu sekali..."
Wanita berpakaian serba merah itu mendengus, mendengar ejekan Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mampus
Dulu ketika kau terperosok dalam lubang, nyawamu kuampuni Tapi kini tak akan kuampuni Kau telah berani mencampuri urusanku Kau harus mati di tanganku Bersiaplah..."
Pendekar Gila kembali tertawa tergelak-gelak. Tingkah lakunya persis orang gila. Tangan kanannya mencabut bulu burung di ikat pinggangnya. Dan dengan seenaknya mengorek telinga dengan bulu burung itu.
"Omonganmu seperti si buntung yang ingin naik gunung saja. Ah ah ah... Sungguh terima kasih kuucapkan padamu, yang telah memberi ampunan atas nyawaku," sindir Sena.
"Kurang ajar Bersiaplah untuk mampus Heaaat..."
Dengan jurus 'Pedang Iblis Membelah Samudera', si Mawar Maut segera menyerang. Pedangnya yang mengeluarkan racun ganas bergerak membabat dan menusuk ke arah Pendekar Gila.
"Eit Leherku terlalu licin, Nyi."
Sena segera meliukkan tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu dengan cepat Suling Naga Sakti diambilnya, dan langsung disodokkan ke arah lawan.
"Ini bagianmu, Nyi Heit.."
Si Mawar Maut tersentak kaget melihat gerakan Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepintas nampak pelan dan lemah, namun sesungguhnya sangat dahsyat. Malah mampu menjangkau pinggang wanita misterius itu, yang segera menepiskan pedangnya ke arah serangan.
"Hait.." Trang
Pijaran api kembali terjadi, diikuti oleh melompat-nya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam berhadap-hadapan. Kemudian wanita misterius itu mengerahkan jurus 'Pedang Iblis Menusuk Gunung', kembali melakukan serangan.
Melihat lawan membuka jurus, Pendekar Gila dengan tersenyum-senyum dan menepuk-nepuk pantat membuka jurus pula. Kini jurus yang digunakan 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak laksana melepas lilitan tali.
Pedang perak di tangan wanita misterius itu bergerak menyilang, dan membabat ke samping. Kemudian menusuk lurus ke depan, disusul ke samping kanan dan kiri. Gerakannya sangat cepat dan lincah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga Sakti di tangan kanan diputarnya, lalu digerakkan lurus ke atas.
"Yiaaa..."
"He he he... Galak juga kau, Nyi? Heaaa..."
***
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali melakukan serangan. Pedang Perak di tangan wanita misterius itu bergerak cepat. Menusuk ke depan, membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan dari atas ke bawah, kemudian disambung dengan babatan dari kiri ke kanan.
Saking cepatnya gerakan pedang itu, Pedang Perak di tangannya seperti menghilang. Yang tampak hanya bayangan putih keperakan, yang melindungi tubuh wanita itu. Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera mengerahkan jurus andalannya, 'Si Gila Menembus Badai'.
"Heaaa"
Tangan Pendekar Gila yang memegang Suling Naga Sakti bergerak lurus ke muka. Sedangkan tangan kirinya memukul. Tubuhnya sedikit merunduk.
Kaki kirinya terangkat ke atas. Dan, kaki kanannya setengah ditekuk. Dengan cepat, Pendekar Gila menyodokkan sulingnya ke arah gulungan sinar perak lawan.
"Heaaa..."
"Haiiit..."
Wut
Trang
Dua senjata kembali saling beradu. Pijaran api keluar dari benturan senjata itu. Asap putih keperakan yang beracun terus bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila. Kalau saja tidak meminum darah ular putih, pasti Pendekar Gila telah tewas.
Namun kini dia kebal dari segala macam racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
Agak kaget juga si Mawar Maut menyaksikan Pendekar Gila tidak mempan oleh racun yang keluar dari Pedang Perak di tangannya. Gerakan pedangnya semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut
Trang
Dua buah senjata sakti itu saling beradu, berusaha mengalahkan satu sama lain. Namun sejauh itu, belum tampak ada senjata yang kalah. Pendekar Gila terus menyodokkan sulingnya dengan masih menggunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'. Sesekali sulingnya disabetkan ke tubuh lawan, atau didongak-kan ke atas berusaha membuka kain penutup yang menutupi wajah wanita misterius itu.
"Heaaa..."
"Uts"
Si Mawar Maut cepat-cepat membuang muka ke samping. Lalu dengan cepat membabatkan pedangnya ke arah Suling Naga Sakti dengan jurus 'Sapuan Badai Neraka'.
Wut
Melihat pedang lawan menderu ke arahnya, dengan cepat Pendekar Gila menarik serangannya. Lalu memutar sulingnya hingga setengah lingkaran. Memapaki tebasan pedang dengan jurus 'Si Gila Menipu Lawan Memukul Karang'.
Trang
Keduanya melompat ke belakang. Berdiri saling berhadapan. Kemudian kembali saling menyerang dengan didahului pekikan menggelegar.
"Heaaa..."
"Yiaaat..."
Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di tangan. Sesampainya di udara, mereka berusaha saling menyerang. Suling Naga Sakti menyodok ke arah wajah lawan. Sedangkan Pedang Perak menebas ke arah kepala Pendekar Gila.
"Hup"
Wut
Cepat Pendekar Gila berguling ke samping, mengelakkan babatan pedang lawan. Kemudian dengan cepat, sulingnya disodokkan kembali ke arah wajah lawan. Namun lawan dapat menghindari. Melihat wanita berpakaian serba merah itu mampu menghindari serangannya, Pendekar Gila menurunkan tangannya agak ke bawah. Kali ini sulingnya disodokkan ke dada lawan.
"Heaaa..."
Wanita misterius itu tersentak kaget mendapatkan serangan cepat itu. Dan, berusaha menangkis dengan mengebutkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya membabatkan pedang ke tubuh lawan.
"Hop Yeaaa..."
Melihat babatan pedang lawan, Sena cepat-cepat menekuk lutut ke bawah, lalu bergerak ke samping.
Setelah pedang lawan menderu, kakinya menendang ke arah pedang dengan jurus 'Si Gila Menyapu Bumi'.
Deb
"Heaaa.."
Tubuh si Mawar Maut terhuyung ke samping, terkena dorongan tenaga dalam pada pedangnya. Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan lawan terhuyung, segera menyodokkan Suling Naga Sakti ke dada lawan yang tak mampu mengelak lagi.
Dugk
"Hukh..."
Wanita misterius itu terdorong ke belakang, lalu jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara keras.
"Bangsat Aku akan mengadu jiwa denganmu, Pendekar Gila" dengus si Mawar Maut.
"Aku ladeni, Nyi" sahut Sena seraya sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bersiaplah, Pendekar Gila 'Sangkala Gatra', hiaaa..."
"Kuharap kau pun bersiap, Nyi Heaaa..."
Keduanya bergerak cepat. Pedang Perak di tangan wanita misterius itu menderu keras ke arah Pendekar Gila. Asap tebal berwarna putih keperakan semakin banyak keluar.
Ki Balacatra yang tahu kedahsyatan asap pukulan keperakan itu, cepat melangkah mundur sepuluh tombak. Lelaki tua itu tak ingin terkena racun. Wajahnya menggambarkan kecemasan, takut kalau-kalau Sena akan terkena racun ganas itu. Namun, nampaknya Sena tidak terpengaruh sedikit pun oleh racun itu.
"Heaaa..."
Trang
Suara beradunya senjata, kali ini kerap terdengar. Jurus-jurus yang mereka keluarkan nampaknya bukan jurus biasa. Jurus-jurus tingkat tinggi yang meng-andalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga, tubuh keduanya bagai menghilang. Pendekar Gila terus merangsek dengan sodokan dan babatan Suling Naga Saktinya. Sedangkan lawan dengan Pedang Peraknya tidak mau kalah. Pedang beracun itu berkelebat membabat dan menusuk.
"Heaaa..."
Wut
Trang
Keduanya terus bergerak cepat, saling menyerang dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha menyapu dan menendang lawan. Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan. Kelihatannya keduanya sama-sama kuat. Mereka terus bertarung bagai tidak mengenal lelah.
"Kukuruyuuuk..."
Dari kejauhan terdengar ayam jantan berkokok, pertanda sebentar lagi pagi akan datang. Meski begitu, keduanya tidak menghentikan pertarungan. Malah semakin bertambah cepat melakukan serangan.
"Hiaaa..."
Pedang Perak di tangan wanita misterius itu bergerak cepat ke arah Pendekar Gila. Melihat serangan lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke samping. Kemudian menghantamkan kepala Suling Naga Sakti ke dada lawan.
"Heaaa..."
Dugk
"Hukh..."
Tubuh wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus tertutup kain serba merah itu terhuyung-huyung ke belakang. Darah tampak meleleh membasahi kain penutup wajahnya. Melihat hal itu, Pendekar Gila tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat, dihantam-kannya pukulan sakti 'Inti Brahma' ke tubuh lawan.
"Terimalah kematianmu Heaaa..."
Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan api menyala-nyala ke arah tubuh si Mawar Maut. Tanpa ampun lagi, api pun membakar tubuhnya.
Blab
"Wuaaa..." si Mawar Maut menjerit.
Tubuh terbungkus pakaian merah itu berguling-guling, berusaha memadamkan api yang melahap tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Wanita misterius itu berkelojotan. Pedang Perak di tangannya terlepas. Saat itu juga, Pendekar Gila meniup Suling Naga Sakti dengan suara mendayu. Rupanya, Sena berusaha menyempurnakan kematian lawan.
"Wuaaa... Tobat" pekik wanita misterius itu dengan tubuh masih berkelojotan. Telinga dan hidungnya mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, gerakannya pun berhenti, menandakan ajal telah menjemputnya.
Sena menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya. Dengan tersenyum-senyum, pemuda itu berjumpalitan seperti monyet. Tangan kanan menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kiri menepuk-nepuk pantat. Bersama Ki Balacatra, Sena yang masih bertingkah laku konyol, mendekati tubuh wanita misterius itu. Ki Balacatra dengan hati-hati membuka kain penutup wajah wanita itu.
"Nyi Gendis Awit.." seru keduanya bersamaan.
"Hm... Tak kusangka dia orangnya," gumam Ki Balacatra tak percaya. "Rupanya, orang yang kita hadapi Nyi Gendis Awit."
"Apa arti semua ini?" tanya Sena heran, sambil memandang ke arah Ki Balacatra yang juga tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Lihat, Sena. Ada bungkusan di perutnya" seru Ki Balacatra. Lelaki tua itu segera mengambil bungkusan yang berupa kotak kecil terbuat dari logam.
"Kita buka saja, Ki," saran Sena.
Keduanya segera membuka kotak kecil itu. Di dalamnya terdapat sehelai daun lontar yang bertuliskan,
Dewi Pedang Beracun adalah kakakku yang tewas di tangan Sumagatri, Mandra Dupa, Sangkutra, Anggada dan pendekar di Kadipaten Pamakasan. Kakakku bermaksud membalas dendam atas kematian kedua orangtua kami, yang telah dibunuh mereka atas perintah Adipati Kerto Amabrang.
Melihat kakakku tak mampu membalas dendam, bahkan terbunuh oleh kelima pendekar itu, aku yang semula bermaksud tidak membalas dendam, akhirnya mencari guru kakakku untuk meminta ilmu. Dan, aku berhasil menemuinya. Agar sepak terjangku leluasa, aku pun membongkar kuburan kakakku. Kuambil senjatanya yang kebetulan ada di kuburan.
Kemudian dengan menyamar sebagai dirinya, aku membalas dendam. Meneruskan niat kakakku. Tidak kusangka, aku yang sudah bersumpah tidak akan kawin sebelum membunuh mereka, ternyata tersandung. Saat pertama kali aku bertemu dengan pemuda tampan bertingkah laku gila seperti orang gila, aku merasakan adanya sesuatu yang aneh di dalam hatiku.
Aku rela mati di tangannya, asalkan aku telah membalas semua dendam kedua orangtuaku juga kakakku.
Semoga Pendekar Gila mengerti.
Gendis Awit (Perawan Tua)
"Oh..." Sena mengeluh. "Maafkan aku, Nyi. Aku hanya menjalankan tugas. Untuk kedamaian dan ketenangan..."
"Sena, kuharap kau sudi menggantikan Kanjeng Adipati. Biarlah aku nanti yang menghadap ke kerajaan," kata Ki Balacatra.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar permintaan Ki Balacatra. "Lucu... lucu. Hi hi hi..."
"Bagaimana, Sena?"
"Tidak, Ki. Terima kasih atas kepercayaanmu. Masih banyak orang yang jauh lebih pintar dibandingkan aku. Aku hanya petualang. Ke mana angin bertiup, ke sanalah kakiku melangkah."
Ki Balacatra menghela napas. Dipegangnya pundak Sena Manggala. "Sungguh terpuji budi baikmu, Sena. Kalau begitu, aku hanya bisa berdoa semoga Hyang Widhi senantiasa menyertaimu."
"Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit"
"Mengapa mesti buru-buru? Tidakkah sebaiknya kau ikut aku ke kerajaan untuk menerima peng-hargaan atas jasamu?" tanya Ki Balacatra.
"Terima kasih. Terlalu berat aku memikulnya."
Pendekar Gila menjura hormat. Kemudian, melangkah pergi meninggalkan Ki Balacatra yang mematung dengan tatapan mata mengiringi kepergian Sena yang hendak meneruskan pengembaraannya.
"Semoga kau senantiasa dilindungi Hyang Widhi," desis Ki Balacatra lirih.
Angin pagi berhembus menerbangkan embun, seperti hari yang berganti. Dari kejauhan terdengar suara tawa Pendekar Gila membelah kesunyian pagi.
Tak lama kemudian, Ki Balacatra melangkah masuk ke kadipaten. Lalu, kembali keluar dengan menunggang seekor kuda. Dipacunya kuda itu dengan kencang meninggalkan Kadipaten Pamakasan.
SELESAI
Post a Comment
0 Comments