Pendekar Gila
Duel Di Puncak Lawu
Pendekar Gila
Episode 04
Duel Di Puncak Lawu
Karya : Firman Raharja
Gunung Lawu menjulang tinggi. Dari kejauhan kelihatan hanya warna biru, dengan kabut putih menutupi sebagian puncaknya. Asri sekali kelihatannya. Seakan dipenuhi oleh kedamaian. Selama ini, belum ada seorang pun yang datang ke puncak Gunung Lawu. Entah karena orang berpikir percuma ke puncak gunung itu. Atau memang ada sesuatu di balik keasrian dan kedamaiannya.
Seorang lelaki berjubah hitam tengah berlarilari menuju Gunung Lawu. Alisnya yang putih, memanjang hingga menutupi sebagian mata. Dan sekujur dagunya ditutupi jenggot putih yang panjang. Sesekali lelaki itu menengok ke belakang, seperti tengah meyakinkan dirinya kalau tak ada seorang pun yang melihat Lelaki tua itu menghentikan langkahnya dan kembali memandang ke belakang. Rambut putihnya yang panjang dengan gelungan di atas kepala, teriap ditiup angin. Dilihat dari taut wajahnya, sepertinya dia menyimpan penderitaan batin yang dalam.
"Rupanya apa yang kudengar selama ini memang benar," gumam lelaki tua bertubuh kurus tinggi yang bernama Catrik Ireng itu. Dihelanya napas panjang-panjang.
"Ah, benarkah dia Singo Edan?" Ki Catrik Ireng masih berdiri mematung. Mata kelabunya memandang Gunung Lawu yang membentang dari timur ke barat. Puncaknya menjulang tinggi, berwarna biru sebagian tertutup kabut.
Ki Catrik Ireng tercenung. Ingatannya melayang ke masa puluhan tahun silam, ketika usianya sekitar dua puluh lima tahun.
"Ah, mengapa aku harus melamun di tempat ini? Aku harus segera menolong muridku," gumam Ki Catrik Ireng, tersadar dari lamunannya. Kemudian dengan sekali lompat, tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Lari orang tua berjubah hitam itu sangat cepat. Dalam sekejap tubuhnya telah berada di lereng Gunung Lawu. Langkahnya telah dihentikan. Lalu kepalanya menengok ke bawah. Kembali orang tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun itu mengamati sekelilingnya, meyakinkan dirinya kalau-kalau ada yang menguntit tanpa diketahui.
Setelah yakin tak ada seorang pun yang menguntitnya, Ki Catrik Ireng kembali berlari dengan cepat untuk mendaki puncak Gunung Lawu yang tinggi. Tubuhnya serta pemuda di pundaknya menghilang di balik batu cadas yang tinggi. Sepertinya, ada sesuatu yang tersembunyi di balik batu cadas itu. Jika dilihat begitu saja, memang tak akan nampak sama sekali. Kecuali batu-batu cadas belaka. Tapi jika di-amati dengan seksama, di balik batu cadas yang menjulang tinggi itu terdapat sebuah goa.
Memang sulit untuk dapat melihat goa itu. Di kanan dan kirinya terdapat batu cadas yang menutupi. Di atas dan bawahnya pun begitu. Hanya ada lubang kecil yang dapat dimasuki oleh seekor tikus. Ki Catrik Ireng berdiri di depan lubang kecil itu. Setelah memandang ke sekelilingnya sekali lagi, tangan kirinya menjulur ke lubang dan menggerakkan batu cadas yang ada di atasnya.
Krek...
Keanehan terjadi. Batu-batu cadas di samping dan atas lubang kecil itu tiba-tiba bergerak. Semakin melebar dan akhirnya nampaklah lubang besar yang dapat dimasuki oleh dua orang. Ki Catrik Ireng melangkah ke dalam lubang itu.
Kemudian tangannya kembali memutar batu cadas yang menonjol di dalam. Kejadian aneh kembali terulang. Batu-batu cadas di sisi dan di atas lubang bergerak menyempit. Kini hanya lubang sebesar tubuh tikus saja yang ada. Lubang itu digunakan untuk keluar masuknya udara.
Pintar sekali Ki Catrik Ireng membuat tempat tinggalnya. Maka tak heran, jika selama itu belum ada seorang pun yang melihatnya. Terlebih dengan tempatnya yang begitu tinggi. Sulit bagi orang persilatan biasa untuk sampai di goa aneh itu.
Ki Catrik Ireng dengan masih memanggul tubuh pemuda berbaju kuning, melangkah menyelusuri lorong goa yang menurun. Semakin ke dalam, lorong itu semakin ke bawah.
Ki Catrik Ireng terus melangkah, menuruni lorong yang memang telah dibuat undak-undakan tangga. Kemudian dia masuk ke sebuah ruangan di samping kanan lorong. Ternyata di dalam goa itu terdapat banyak sekali ruangan. Sepertinya di tempat itu banyak sekali penghuninya.
Benar juga. Dari ruangan-ruangan yang tertutup, muncullah orang-orang berjubah hitam. Tatapan mata mereka begitu kosong. Kaki mereka melangkah kaku. Mereka bagai manusia yang tidak memiliki perasaan. Tanpa sedikit pun tegur sapa, atau sekadar tersenyum.
"Kalian rawatlah dia," kata Ki Catrik Ireng, memerintah pada orang-orang aneh itu. Nampaknya mereka menurut pada Ki Catrik Ireng. Buktinya, mereka segera melaksanakan apa yang diperintahkan lelaki tua itu.
Ki Catrik Ireng kemudian mendekati sebuah batu besar yang permukaannya rata. Kemudian duduk di atasnya untuk melakukan semadi. Dibiarkannya para pengikutnya bekerja untuk memulihkan luka dalam pemuda yang dibawanya. Mereka bergerak cepat. Satu mengambil obat-obatan. Satu mengambil air.
Dan lima orang yang lain menguruti tubuh pemuda tersebut Mereka bekerja bagai tak mengenal lelah. Setelah membuka baju pemuda itu, salah seorang dari mereka menempelkan kedua telapak tangan ke dada si pemuda. Beberapa saat kemudian, nampak asap mengepul dari dada pemuda tampan yang tergeletak itu.
"Aaakh..." Pemuda itu tiba-tiba memekik. Tubuhnya menggeliat-geliat bagai terbakar. Keringat tampak bercucuran membasahi tubuhnya.
Orang berjubah hitam yang berkumis tipis tak menghiraukan jeritan pemuda itu. Dia dan keempat rekannya terus bekerja. Tangannya yang menempel di dada pemuda itu, laksana melekat. Sementara matanya melotot merah. Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu bersinar, laksana diselimuti api yang membara. Cahaya merah itu mengalir dari tubuh orang berjubah hitam berkumis tipis, yang wajahnya kini membara pula.
"Aaakh..." Orang berjubah hitam tiba-tiba memekik keras.
Matanya melotot membara, dan tubuhnya tergetar hebat. Kemudian terkulai jatuh. Rupanya itulah cara pengobatan yang diterapkan oleh Ki Catrik Ireng. Dan orang-orang berjubah hitam itu sepertinya memang khusus ditugaskan untuk mengobati. Kalau sudah tak berarti, mereka harus menerima kematian.
Mengerikan sekali keadaan lelaki berjubah hitam berkumis tipis itu. Tubuhnya gosong, bagai dibakar api yang membara. Sementara, Ki Catrik Ireng yang tengah melakukan semadi, tampak membuka matanya. Ditatapnya para pengikutnya yang tengah memulihkan pemuda tampan itu.
"Hm.... Rupanya dia telah kembali hadir. Tantanganku dulu, rupanya ditanggapi olehnya," gumam Ki Catrik Ireng sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian kenangan pahit masa lima puluh tahun yang silam kembali terkuak dalam benaknya.
***
Lima puluh tahun silam, di kalangan persilatan ada dua pemuda gagah yang tingkat kepandaiannya tinggi. Seorang di antaranya pemuda berwatak dan bertingkah laku persis orang gila. Pemuda itu bernama Singo Edan dari Goa Setan. Yang kemudian terkenal dengan sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan. Meski nama sebenarnya adalah Singo Arya Yuda.
Seorang lagi bernama Catrik Sandangkara. Karena perbuatannya yang sangat aneh dengan ilmuilmu tinggi, akhirnya orang lebih mengenalnya dengan sebutan Catrik Aneh. Karena Catrik Aneh itu selalu memakai jubah hitam, dia kemudian disebut juga sebagai Catrik Ireng.
Kalau Catrik Ireng selalu melanglang rimba persilatan untuk mencari dan menundukkan lawan, sebaliknya Singo Edan lebih suka membantu yang lemah. Sebenarnya Catrik Ireng dalam melakukan tindakan tidak terlalu telengas. Dia hanya mau bertarung dengan para pendekar untuk mengalahkan atau dikalahkan. Namun akibat tindakannya yang selalu menantang setiap pendekar, dunia persilatan menjadi gempar.
Ki Ranu Baya yang memimpin dunia persilatan waktu itu segera mengumpulkan para pendekar untuk membahas masalah sepak terjang Catrik Ireng.
"Bagaimana kalau Singo Edan yang mewakili kita untuk menghentikan sepak terjang Catrik Ireng...?" usul Ki Ranu Baya, yang akhirnya disepakati oleh para pendekar lainnya.
Karena diberi amanat untuk menghentikan sepak terjang Catrik Ireng, Singo Edan pun melaksanakan tugasnya. Dia berkelana untuk mencari Catrik Ireng. Selama itu dia terus menolong orang lemah. Sampai akhirnya Singo Edan pun termasyhur dengan sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan.
Rupanya kemasyhuran nama Pendekar Gila dari Goa Setan, menarik perhatian Catrik Ireng yang memang bermaksud mencari pendekar sejati yang bisa menandinginya. Selama itu, pendekar yang ditemuinya dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebrakan saja.
"Katakan pada Pendekar Gila jika kalian bertemu, bersiap-siaplah untuk menghadapi Catrik Ireng" kata Catrik Ireng setiap kali bertemu dengan orang-orang persilatan yang dapat dikalahkannya.
Akhirnya mereka pun bertemu di puncak Gunung Lawu. Tempat itu menjadi penentu bagi keduanya untuk memastikan siapa si antara mereka yang ilmunya lebih tinggi.
"Catrik Ireng, aku datang untuk memintamu agar tidak meneruskan tindakanmu yang ugal-ugalan," ujar Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan, persis orang gila.
"Pendekar Gila, aku akan menundukkanmu Atau aku akan mengundurkan diri dari rimba persilatan, jika kau dapat mengalahkanku" tantang Catrik Ireng. Singo Edan tertawa tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, mengapa kita harus bertarung? Apalah artinya ilmu kita, yang belum seberapa dibandingkan ilmu yang dimiliki Hyang Widhi," tutur Singo Edan.
"Pengecut Ternyata nama besar Pendekar Gila dari Goa Setan hanya omong kosong"
"Terserah kau, Catrik. Kurasa tak ada artinya kita bertarung untuk memperebutkan pepesan kosong.,.."
"Phuih... Rupanya kau berusaha lari dari semua tanggung jawabmu Huh Tak pantas seorang pendekar bersikap sepertimu."
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Catrik. Terpaksa aku melayanimu...."
Pertarungan kedua tokoh muda rimba persilatan yang ilmunya saat itu belum ada yang menandingi tak dapat dielakkan. Keduanya bertarung tiada henti.
Dari sore hari, sampai pagi datang. Keduanya samasama memiliki kesaktian yang tinggi. Sangat sulit untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan kalah dan menang. Keduanya tetap sama-sama gesit dan lincah, walau bertempur semalaman.
Keduanya kini telah mengeluarkan senjata masing-masing. Catrik Ireng mengeluarkan senjata berbentuk bumerang kembar. Sedangkan Singo Edan mengeluarkan Suling Naga Sakti.
"Heaaa..."
"Yeaaat.."
Bumerang kembar melesat ke tubuh Singo Edan, yang dengan cepat melemparkan Suling Naga Saktinya ke arah bumerang kembar itu.
Trang Dua senjata itu beradu di udara, memercikkan api. Kemudian kedua senjata itu kembali pada tuannya. Suling Naga Sakti utuh tak ada cacat sedikit pun. Sedangkan mata Catrik Ireng membelalak, menyaksikan salah satu senjatanya patah menjadi dua bagian.
"Pendekar Gila, saat ini kaulah yang menang. Tapi, kutunggu kau di Puncak Lawu ini Lima puluh tahun lagi, aku akan datang...." Usai berkata begitu, Catrik Ireng berkelebat meninggalkan tempat itu. Sejak saat itulah Catrik Ireng tak terdengar kabar beritanya lagi, menghilang dari dunia persilatan bagai ditelan bumi. Dia terus menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diciptakan-nya. Sampai akhirnya dia muncul kembali
***
Ki Catrik Ireng tersenyum-senyum setelah mengingat semua kejadian lima puluh tahun yang silam. Kejadian yang sangat berkesan di hatinya. Kejadian itu tak akan pernah dilupakannya. Dan mungkinkah kejadian itu akan terulang lagi? Ya, akan terjadi lagi Namun kini akan lain dengan lima puluh tahun yang silam. Tekad hati Ki Catrik Ireng dengan bibir tersenyum.
"Pendekar Gila, rupanya kita akan bertemu kembali untuk menentukan siapa di antara kita yang benar-benar tinggi ilmunya Ha ha ha... Kali ini kau akan kalah, Pendekar Gila Kau akan menerima balasan ku" ujar Ki Catrik Ireng seraya tertawa terbahakbahak. Ki Catrik Ireng bangun dari duduknya. Kakinya melangkah meninggalkan tempat itu dengan langkah perlahan, menuju ke tempat di mana muridnya berada.
Nampak pemuda berbaju kuning kini terbaring dikelilingi oleh orang-orang berjubah hitam. Kelihatannya luka dalam pemuda itu telah dapat disembuhkan. Di samping tempat tidur pemuda itu, tergeletak seorang lelaki berjubah hitam dengan keadaan gosong. Tentunya lelaki itu telah menunaikan tugasnya.
"Bawa dia ke tempat penggodokan" perintah Ki Catrik Ireng.
Enam orang berjubah hitam lainnya segera mengangkat tubuh rekannya, lalu membawanya pergi dari tempat itu. Mereka benar-benar menurut sekali dengan Ki Catrik Ireng.
"Ha ha ha... Laskar Setan ku rupanya telah siap untuk menyambut pertarungan akbar. Hm, aku akan menjadi pemimpin tertinggi rimba persilatan Tak akan ada yang dapat mengalahkanku..." Ki Catrik Ireng tertawa terbahak-bahak membayangkan bagaimana dia dengan Laskar Setannya akan menjadi sebuah kekuatan yang sulit ditandingi.
Anak buahnya benar-benar patuh pada semua perintahnya. Mereka tak berani menolak atau menentang, meski nyawa mereka sebagai taruhannya. Ki Catrik Ireng melangkah ke arah pemuda berpakaian kuning yang sedang tertidur lelap. Dipandanginya wajah pemuda itu, dan dihelanya napas panjang-panjang.
"Memang kau bukan tandingannya, Anakku. Meski ilmumu tinggi, namun bukan apa-apa jika dibandingkan Pendekar Gila." Ki Catrik Ireng tak puas-puasnya memandangi pemuda itu. Wajah pemuda itu sama persis dengan wajahnya waktu muda dulu. Rupanya pemuda berpakaian kuning yang ternyata anak tunggalnya itu mewarisi wajah dan perawakan Ki Catrik Ireng.
'Prabasangka, seharusnya kau tidak menderita, Nak. Ibumu memang wanita lacur Kau ditinggal sejak kecil, sejak masih bayi. Entah di mana kini ibumu berada," gumam Ki Catrik Ireng dengan wajah murung.
Prabasangka menggeliat. Dia terbangun setelah tidur cukup lama. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat lalu memandang ke sekelilingnya.
"Ayah...," desisnya, memanggil Ki Catrik Ireng.
Ki Catrik Ireng tersenyum.
"Hampir saja kau tak tertolong, Anakku.... Untung Ayah lewat di tempat itu."
"Benarkah dia Pendekar Gila yang lima puluh tahun lalu bertarung dengan Ayah...?" tanya Prabasangka. "Mengapa dia masih muda belia? Bahkan lebih muda dariku?"
Ki Catrik Ireng tak langsung menjawab. Dihelanya napas panjang-panjang. Tangannya bersidekap. Dan matanya memandang lepas ke depan.
"Ya, itulah yang Ayah tidak mengerti. Tapi semua tingkah laku dan Suling Naga Saktinya memang miliknya. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang Pendekar Gila."
"Mungkin anaknya, Ayah?" Ki Catrik Ireng menggelengkan kepala. Di bibirnya tersungging senyuman.
"Pendekar Gila tidak pernah menikah. Bagaimana mungkin dia punya anak? Meski Ayah bersembunyi, tapi Ayah sering keluar untuk menyelidik. Dan dia tak pernah menikah. Mungkin ilmunya menjadikan dia awet muda," jelas Ki Catrik Ireng.
"Dua purnama lagi duel itu akan terulang. Ayah berharap selama itu kau mempersiapkan diri. Jika Ayah kalah, kaulah yang akan menjadi pemimpin Laskar Setan."
"Baik, Ayah."
"Aku ingin, kau seperti Ayah dulu. Taklukkan semua perguruan atau perkumpulan. Bawalah Laskar Setan bersamamu." Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng tertawa terbahak-bahak. Kemudian dengan masih tertawa, Ki Catrik Ireng meninggalkan putranya yang masih terduduk.
***
DUA
Matahari tepat berada di ubun-ubun, dengan panasnya yang terasa menyengat Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular sanca tampak tengah menyelusuri perbukitan. Bibirnya meringis karena didera panas terik yang memanggang tubuhnya. Sesekali kepalanya digaruk, kemudian menyeka keringat yang membasahi pelipisnya.
"Uhhh... Panas sekali hari ini," keluh pemuda tampan itu yang tidak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dari Goa Setan Saat itu Sena tengah melakukan perjalanan, berkelana mengikuti kata hatinya. Sekaligus berusaha mencari paman dan bibinya. Hanya mereka yang dapat dijadikan tempat bertanya dan berbagi duka. Namun entah di mana mereka, tak jelas hutan rimbanya.
Sena terus melangkah, membawa kakinya untuk menyelusuri kehidupan. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, semakin bertambah lucu dengan keadaan yang panas menyengat seperti itu. Sesekali kepalanya digaruk-garuk, kemudian mulutnya meringis bodoh. "Anak muda, tunggu..." Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita, memerintah Sena untuk menghentikan langkahnya.
Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya langsung berbalik untuk melihat orang yang menyuruhnya berhenti. Keningnya berkerut dan mulutnya nyengir, melihat seorang wanita tua yang bungkuk melangkah ke arahnya. Wanita tua itu mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya terurai lepas, dengan ikat kepala berwarna hitam pula.
Dilihat dari wajahnya, tentu semasa mudanya wanita itu cantik jelita. Wajahnya bulat telur dengan hidung bangir. Sedangkan matanya diperindah oleh alis tipis serta bulu mata yang lentik. Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya. Mulutnya cengar-cengir. Tingkahnya persis seekor monyet yang kepanasan dipanggang matahari.
"Kenapa kau menyuruhku berhenti, Nek?" tanya Sena masih dengan bertingkah seperti monyet kepanasan.
"Hik hik hik.. Pucuk dicinta ulam tiba," ucap nenek yang ternyata Nyi Kendil, guru Bidadari Cadar Merah (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah").
Sena mengerutkan kening mendengar ucapan Nyi Kendil. Kemudian tawanya meledak. Sambil menggaruk-garuk kepala mulutnya mengoceh, "Hi hi hi.... Mengapa Nenek mencintai pucuk? Lucu sekali.,.. Lagi pula, beruntung sekali kalau dapat ulam, Nek. Wah, mengapa kau tidak bagi-bagi aku?" Alis putih milik Nyi Kendil terangkat saat mendengar ucapan pemuda itu.
"Tak salah... tak salah lagi...," gumamnya seraya mengangguk-angguk.
"Apanya yang tak salah, Nek? Ah, sudahlah.
Aku harus segera pergi lagi. Ada apa, Nek..?" tanya Sena masih bertingkah laku aneh.
"Anak muda, jawablah pertanyaanku. Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan yang tersohor itu...?" tanya Nyi Kendil dengan suara lan-tang, setengah membentak.
Pendekar Gila tersentak. Sampai-sampai menyurutkan dadanya ke belakang. Matanya menyipit, dan keningnya berlipat-lipat. Kemudian tingkahnya kembali seperti semula, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, terlalu berlebihan jika disebut tersohor untuk pemuda sebodoh aku, Nek. Memang kenapa...?" balik Sena setelah menjawab pertanyaan Nyi Kendil.
"Jadi kau pendekar itu? He he he.... Bagus...," gumam Nyi Kendil sambil terkekeh-kekeh.
"Namamu yang besar sering kudengar. Menggugah hatiku untuk membuktikannya. Itu sebabnya aku keluar dari sarangku."
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir. Kemudian sambil tersenyum-senyum kepalanya digelengkan.
"Ah, mengapa begitu, Nek? Aku bukan manusia aneh. Aku tetap manusia biasa yang memiliki kelemahan. Bukan dewa yang harus dicari-cari. Apa gunanya Nenek berusaha mencariku? Bahkan hendak mencoba ilmuku?"
"Hik hik hik..." Nyi Kendil tertawa-tawa, membuat tubuhnya turut terguncang-guncang.
"Weleh, mendengar kata-katamu yang luhur, aku semakin pe-nasaran saja. Nah, Pendekar Gila, kuharap kau sudi memberi beberapa pelajaran untukku yang tua bangka ini. Bersiaplah..."
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala dengan mulut masih cengengesan. Namun ketika Nyi Kendil hendak menyerang dengan cepat Sena berseru....
"Tunggu..." Nyi Kendil mengerutkan kening. Ditatapnya pemuda itu dengan sinar mata tak mengerti.
"Ada apa lagi, Pendekar Gila?" tanyanya masih dengan mata memandang tajam serta kening berkerut "Nyi, kalau kau menantangku hanya untuk menjajal ilmuku, lebih baik aku mengalah. Kaulah yang menang. Nah, permisi."
"Tunggu..." seru Nyi Kendil, ketika melihat Sena hendak berlalu.
Sena tak menghiraukan seruan itu. Kakinya terus melangkah, meninggalkan wanita tua yang menantangnya. Hal itu membuat Nyi Kendil marah. Dia merasa telah diremehkan oleh pendekar itu.
"Kurang ajar Rupanya kau menyangka begitu mudah lari dariku, Anak Muda Heaaa..." Tubuh wanita tua itu melenting ke atas, kemudian melesat cepat untuk mengejar Pendekar Gila. Gerakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmunya bukan ilmu pasaran. Dengan usia setua itu, tentu ke-matangan ilmunya amat luar biasa.
Jleg Nyi Kendil menghentakkan kakinya ke tanah sejauh dua tombak di depan Pendekar Gila yang seketika menghentikan langkahnya.
"Ha ha ha.... Kau benar-benar aneh, Nek. Mengapa kau masih saja tak puas? Bukankah telah kukatakan bahwa kaulah yang menang?" kata Sena sambil tertawa dan menggaruk-garuk kepala, membuat Nyi Kendil berungut kesal.
"Kurang ajar Apakah dengan begitu aku akan membiarkan mu pergi Aku jauh-jauh mencarimu untuk menjajaki ilmumu yang termashur. Tak akan kubiarkan orang yang kucari pergi begitu saja. Bersiaplah Yeaaat.."
Kedua tangan Nyi Kendil bergerak merentang lalu mencakar ke depan. Sepasang tangannya bagaikan sebuah sayap. Merentang lurus, kemudian diangkat ke atas. Lalu diarahkan ke depan, membentuk pukulan dan sabetan. Sementara kedua kakinya bergerak laksana kaki-kaki seekor binatang yang tengah meng-hisap madu pada bunga. Itulah jurus 'Kupu-kupu Menghisap Bunga'.
Menyaksikan jurus yang dikeluarkan wanita tua itu, kening Pendekar Gila berkerut. Seingatnya, dia pernah melihat jurus itu digunakan untuk menyerangnya.
Ketika Sena masih berusaha mengingat-ingat siapa orang yang pernah menyerangnya dengan jurus itu, serangan Nyi Kendil semakin dekat ke arahnya. Siap menghantam dada dan kemaluan.
Wuttt "Uts..."
Sena tersentak kaget. Dengan cepat tubuhnya melompat mundur, kemudian meliuk-liuk laksana menari dengan gemulai. Dielakkannya setiap serangan yang dilancarkan wanita tua itu.
Nyi Kendil yang merasa serangan pertamanya gagal, kembali melancarkan serangan susulan. Malah daya serangnya kini semakin hebat. Tangan kanannya menghantam ke dada lawan. Sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke selangkangan.
Pendekar Gila yang diserang begitu rupa, cepatcepat menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Gerakannya kelihatan lemah dan lamban. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk laksana menari, dengan sesekali tangannya menepuk ke dada lawan.
Sambil terus mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh Nyi Kendil, Pendekar Gila berusaha mengingat-ingat siapa orang yang pernah menggunakan jurus keji dan ganas itu. Jurus yang selalu mengarah ke titik kematian, ke arah kemaluan lawan.
"Heaaa..."
"Uts He he he... Mengapa kau sudah tua masih cabul, Nek?" seloroh Sena sambil bergerak meliuk-liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan.
"Tutup mulutmu, Gila Heaaat.."
Nyi Kendil semakin beringas. Tangan kanannya laksana seribu, mencecar gencar ke dada lawan. Sedangkan tangan kirinya yang mencengkeram ke arah selangkangan pun tak kalah keras. Membuat Pendekar Gila harus mengerahkan tenaga dalam untuk mementahkannya.
"Wah wah wah, mengapa kau sadis, Nek? Aduh... Celaka kalau wanita setua mu masih cabul. Bisa-bisa tak ada gadis yang laku...."
Kembali Sena berseloroh. Tubuhnya masih meliuk-liuk, berusaha mengelakkan serangan-serangan Nyi Kendil yang mengarah pada tempat-tempat mematikan. Nyi Kendil yang diledek begitu rupa, semakin bertambah geram. Dengan dengusan penuh amarah, wanita tua itu semakin mempergencar serangannya.
Tangannya yang memukul dan mencengkeram bagai tak pernah berhenti. Kakinya pun tak mau diam, menendang dan menyapu kaki lawan.
"Yeaaat.." Serangan Nyi Kendil semakin beringas dan ganas, Membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Tapi sebagai orang yang sudah sering menghadapi hal-hal seperti itu, Pendekar Gila tak kebingungan. Bahkan masih dengan gaya seekor monyet, diimbangi terus serangan-serangan yang dilancarkan Nyi Kendil.
"Jangan hanya mengelak saja, Gila Tunjukkan ilmumu yang kesohor itu..." bentak Nyi Kendil berusaha memancing amarah pendekar muda itu. "Kalau kau tidak juga mau menunjukkan ilmumu, jangan sa-lahkan kalau aku membunuhmu Yeaaat.." Pendekar Gila yang tahu kalau wanita tua itu tengah mencoba memancing amarahnya, tertawa riuh.
Seakan-akan tidak terpengaruh oleh tantangan itu. Tubuhnya meliuk-liuk, mengelakkan setiap serangan yang dilancarkan wanita tua itu. Merasa usahanya untuk memancing kemarahan Pendekar Gila tak berhasil, Nyi Kendil bertambah marah. Kekuatan tenaga dalamnya ditambah, dan serangannya semakin buas dan ganas. Kedua tangannya bergerak kian liar.
"Awas, Nek..."
"Uts..." Nyi Kendil tersentak kaget ketika tiba-tiba Pendekar Gila melepaskan serangan tanpa diduga sebelumnya. Tangannya bergerak memukul ke wajah Nyi Kendil. Membuat wanita tua itu kaget bukan kepalang.
"Ha ha ha..."
Sena tertawa seraya menarik serangannya. Nyi Kendil melompat dua tindak ke belakang. Matanya memandang tajam ke arah Pendekar Gila. Nafasnya memburu, karena dilanda amarah yang bergolak di dadanya.
***
Pendekar Gila kian tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya membuat wanita tua itu semakin sengit
"Pendekar Gila, jangan kau senang dulu Aku belum kalah olehmu Yeaaat.."
Nyi Kendil kembali melesat Kedua tangannya merentang, kemudian bersama-sama menghantam ke depan. Disambung dengan lentingan tubuhnya ke atas, dengan kaki-kaki yang menghentak Melihat serangan yang dilancarkan lawannya, Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Benaknya terus berusaha mengingat-ingat kembali siapa sebenarnya orang yang pernah menyerangnya dengan jurus-jurus yang kini diperagakan oleh nenek itu.
"Wet hampir saja..." pekik Sena sambil memi-ringkan tubuhnya ke samping.
Kemudian tubuhnya diliukkan, mengelakkan serangan cepat yang dilancarkan Nyi Kendil. Lalu dengan cepat Pendekar Gila balas menyerang.
"Jaga dadamu, Nek Yeaaa..." Tangan kanan Pendekar Gila dengan telapak tangan terbuka, menghantam ke dada Nyi Kendil. Wanita tua itu tersentak kaget, hampir tak percaya menyaksikan jurus lawannya. Gerakan tangan lawan kelihatan lemah dan pelan, namun kenyataannya sungguh di luar dugaannya. Kalau saja tadi tidak melompat mundur, tentu dadanya akan jebol.
"Edan Benar-benar ilmu edan" maki Nyi Kendil bersungut-sungut. Sedangkan Pendekar Gila kembali tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nek kurasa sudah cukup permainan kita. Aku kira, tak ada perlunya kita ngotot," kata Sena dengan tingkah lakunya yang persis orang tolol.
"Kuharap kau mau mengerti. Tak baik mencari musuh. Lagi pula, antara kita tak ada silang sengketa...."
"Tutup mulutmu" bentak Nyi Kendil, membuat mata Sena melotot kaget "Enak benar kau berkata di antara kita tak ada silang sengketa..." Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan kening masih berkerut Nafasnya mendesah pelan, dan kepalanya menggeleng-geleng.
"Nek, kau dan aku belum pernah bertemu. Bagaimana mungkin antara kita ada silang sengketa?"
"Diam Kau kira karena kita baru bertemu maka antara kita tak ada silang sengketa?" dengus Nyi Kendil masih dengan suara membentak. Matanya masih melotot marah.
"Pendekar cabul Sungguh sangat disayangkan kalau seorang pendekar yang namanya diagung-agungkan ternyata cabul Suka memperkosa gadis dan istri orang" Pendekar Gila tersentak mendengar tuduhan yang dilontarkan nenek itu. Namun amarahnya berusaha ditahan. Dia yakin kalau semua itu hanya fitnah.
Atau mungkin masalah pemuda bertopeng yang mengaku-aku dirinya.
"Nek, kau menuduhku cabul. Apakah kau punya bukti?" tanyanya masih berusaha tenang.
"Ya" dengus Nyi Kendil.
"Hm, katakanlah bukti apa?" Nyi Kendil tidak langsung menjawab. Matanya bertambah tajam memandang pemuda di hadapannya.
"Muridku buktinya" Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian tertawa tergelak-gelak setelah ingat dengan semuanya.
Dia pun ingat kalau jurus yang diperagakan oleh nenek itu sama dengan jurus Wulandari atau Bidadari Cadar Merah. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum.
"Ah ah ah.... Kalau aku tidak salah, bukankah muridmu yang bernama Wulandari atau Bidadari Cadar Merah?" tanya Sena.
Mata Nyi Kendil semakin berkilat penuh amarah. Wanita tua itu menyangka kalau Sena-lah yang telah memperkosa muridnya. Wajar saja kalau dia tahu nama muridnya.
"Ya Bukankah kau yang memperkosanya?" Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Suaranya lepas di udara, lalu terbawa oleh angin. Kemudian dengan tingkah anehnya, Sena kembali berkata....
"Rupanya itu yang menjadi silang sengketa antara kau dan aku, Nek? Hm, kau boleh tanya pada muridmu. Apakah benar aku yang telah memperkosanya...?" tegas Sena. "Nah, aku mohon pamit." Usai berkata begitu, Sena segera menjura hormat dan hendak melangkah pergi. Namun Nyi Kendil kembali berseru menghentikan langkahnya.
"Tunggu..." Pendekar Gila tak menghiraukan. Kakinya terus melangkah. Namun baru beberapa langkah, nampak olehnya seorang wanita bercadar merah lari ke arahnya. Seketika itu pula Nyi Kendil berseru, menyebut nama wanita bercadar merah itu.
"Wulandari..."
"Tuan Pendekar, tunggu..." panggil Wulandari.
Tubuhnya terus melaju ke arah Pendekar Gila yang menghentikan langkahnya. "Biar ku jelaskan pada guru." Wulandari segera mengajak Sena ke tempat gurunya berdiri. Kemudian wanita yang berjuluk Bidadari Cadar Merah itu menjura hormat, membuat Nyi Kendil mengangguk-anggukkan kepala.
"Wulan..., bukankah pemuda itu yang telah merenggut kehormatanmu?" tanya Nyi Kendil kemudian.
"Bukan, Guru. Malah dialah yang telah menolongku. Kalau saja dia tak ada, mungkin pemuda bertopeng itu telah kembali memperkosaku," tutur Wulandari dengan mata mengerling sungkan pada Sena yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah Kau telah dengar sendiri, Nek. Masihkah kau akan menuduhku cabul? Bukankah jurusmu yang sebenarnya cabul?" sindir Sena, membuat mata Nyi Kendil langsung melotot.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil tertawa tergelak-gelak. Sementara Wulandari yang menyaksikan gurunya melotot, hanya tersenyum. Kemudian dia berusaha menenangkan suasana yang tidak enak itu.
"Tuan Pendekar, ternyata duel penentuan antara orang tua itu dengan tuan telah tersebar. Semua orang persilatan telah mendapatkan undangannya."
"Hah...?" Sena bengong.
***
TIGA
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanannya. Kepalanya digeleng-gelengkan sambil tersenyum-senyum.
"Duel...? Apakah aku tak salah dengar, Nyi?"
"Tidak, Tuan. Lelaki tua yang telah menyelamatkan si keparat yang menodai ku dulu telah menyebar pengumuman, ini buktinya...." Wulandari mengambil lipatan daun lontar di ikat pinggangnya. Kemudian, diserahkannya pada Sena yang segera membacanya.
Bagi semua pendekar rimba persilatan Kami mengundang Anda pada dua bulan purnama yang akan datang di Puncak Lawu, untuk menyaksikan penentuan siapa yang pantas menjadi orang nomor satu di rimba persilatan.
Duel penentu ini, sekaligus duel ulang yang pernah kami lakukan lima puluh tahun yang silam. Semoga Pendekar Gila masih memiliki jiwa besar Catrik Ireng.
"Edan Apa maksudnya?" gerutu Sena sambil melipat daun lontar kembali. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Wajahnya kini menengadah ke langit, di mana matahari kini agak condong ke arah barat.
"Catrik Ireng mengatakan bahwa duel itu adalah ulangan dari kejadian lima puluh tahun yang silam. Apa maksudnya?" tanya Wulandari tak mengerti "Catrik Ireng...?" seru Nyi Kendil kaget dengan mata membelalak. Membuat Wulandari dan Sena memandang wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya.
"Ada apa, Guru? Apakah Guru mengenalnya?" tanya Wulandari.
"Ya Dia lelaki bajingan Dialah yang telah membuatku harus kehilangan harapan Kehilangan masa depan" dengus Nyi Kendil, semakin membuat Wulandari dan Sena terheran-heran.
Mereka terus memperhatikan bagaimana wajah nenek itu berubah merah. Tampak Nyi Kendil marah, setelah mendengar nama Catrik Ireng tadi. Mulailah ingatannya melayang pada kejadian puluhan tahun yang silam.
"Guru, kalau boleh ku tahu, apakah yang terjadi antara Guru dengan Catrik Ireng?" tanya Wulandari setelah menyaksikan gurunya diam saja.
"Hm, aku pun menaruh dendam padanya," dengus Nyi Kendil.
"Dendam apa, Guru?" desak Wulandari ingin tahu. "Nanti kuceritakan. Sekarang kita pergi dari si-ni," ajak Nyi Kendil pada muridnya.
"Bagaimana dengan Tuan Pendekar?"
"Ah, aku pun harus pergi. Terima kasih atas pemberitahuan yang telah kau berikan padaku, Nyi.
Aku mohon pamit" Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat pergi meninggalkan guru dan murid yang hanya bisa memandang terpana. Dari mulut mereka terdengar decak kagum.
"Ck ck ck.... Sungguh luar biasa," puji Wulandari. Kekaguman yang tergambar pada rona wajahnya begitu dalam.
"Ya Tadi aku pun telah menjajalnya. Ternyata ilmunya memang hebat. Semuda itu telah memiliki ilmu yang tinggi," sambut Nyi Kendil.
"Jadi...."
"Ya Mulanya aku menyangka dialah yang telah memperkosa mu. Kami pun bertarung. Sungguh luar biasa. Kalau dia mau, sudah dari tadi aku menjadi mayat"
Wulandari semakin kagum mendengar keterangan yang disampaikan gurunya tentang pemuda tampan itu. Perlahan hari Bidadari Cadar Merah itu dijala-ri perasaan yang aneh. Wulandari tak yakin kalau itu hanya perasaan suka. Dia lebih suka mengatakan kalau perasaan itu adalah cinta yang mulai membentuk di kedalaman hatinya. Tapi, mungkinkah dia mau menerima cintaku? Dia masih perjaka asli. Sedangkan aku.... Oh, aku sudah tak suci lagi. Keluh hatinya.
Nyi Kendil menyaksikan muridnya nampak murung dengan mata memandang ke arah kepergian Pendekar Gila. Sambil tersenyum, kakinya melangkah mendekati muridnya.
"Kau mencintainya, Wulan?" tanya Nyi Kendil hati-hati.
Wulandari tersipu malu. Pipinya yang tertutup cadar tentunya merah merona. Matanya mengerjapngerjap laksana mata seekor kelinci. Membuat gurunya semakin tersenyum lebar.
"Mungkinkah itu, Guru?" tanya Wulandari, ma-lu-malu "Mengapa tidak? Dia lelaki dan kau wanita."
"Maksudku, aku sudah tak suci lagi, Gum. Sedangkan dia masih perjaka...," desah Wulandari lirih, kemudian kepalanya menunduk.
Nyi Kendil memegangi pundak muridnya perlahan. Bibirnya masih menyunggingkan senyum penuh kasih sayang.
"Wulan, cinta tidak selalu menyatu. Kalau kau memang mencintainya, tunjukkanlah padanya ketulusan cinta mu. Sedapatnya kau mengabdi tanpa harus berpikir untuk memiliki. Bila perlu, kau harus rela berkorban," kata Nyi Kendil pelan, memberi petuah pada muridnya yang semakin tertunduk sendu.
"Aku akan berusaha, Guru."
"Sekarang kita pulang. Bukankah kau ingin tahu tentang aku dan lelaki busuk yang menantang pemuda itu? Lagi pula, aku pun ingin mendengar bagaimana hasil petualanganmu"
"Baik, Guru."
"Ayo kita pulang." Kemudian keduanya segera melesat meninggalkan tempat itu, berlari menuju selatan. Tak lama kemudian, tubuh mereka menghilang di dalam kerimbunan hutan.
***
Nyi Kendil bersama Wulandari duduk di atas tikar pandan. Di hadapan mereka tersedia singkong rebus dan gula merah di piring yang terbuat dari tanah liat Dua buah cangkir yang juga terbuat dari tanah liat ada di dekat kaki mereka.
Keduanya mengambil singkong rebus dan gula merah. Kemudian menyantapnya dengan penuh kenikmatan. Setelah itu mereka meneguk air putih dari cangkir tanah liat "Bagaimana pengalamanmu, Wulan? Dan bagaimana pula sampai kau mengenal pendekar muda itu?" tanya Nyi Kendil memulai percakapan dengan senyum terulas di bibir. Mata muridnya mengerjapngerjap risih saat nama pendekar muda itu disebut.
Tentu saja yang dimaksud Nyi Kendil adalah Sena Manggala alias Pendekar Gila dari Goa Setan.
Wulandari terlihat semakin cantik, setelah cadar merah yang menutupi wajahnya dibuka. Kulit wajahnya yang kuning langsat, bertambah mempesona dengan seulas senyum tersipu-sipu.
"Kenapa, Wulan? Kau ingat dia lagi...?" seloroh Nyi Kendil, membuat Wulandari semakin tersipu-sipu.
Pipinya kian merona merah.
"Ah, Guru...."
"Sudahlah, aku pun tahu. Aku juga pernah muda. Nah, katakanlah...."
Wulandari menghela napas sesaat. Rona merah masih menghias kedua pipinya. Dengan menundukkan kepala perlahan, Wulandari menceritakan semua pengalamannya selama berkelana. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Pendekar Gila, yang perlahan menoreh hatinya dengan bilur-bilur cinta, sejak pertama kali mereka bertemu di hutan setelah ia mengalahkan Tiga Barka Kembar (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah").
"Begitulah ceritanya, Guru," kata Wulandari, mengakhiri ceritanya.
Nyi Kendil mengangguk-anggukkan kepala. Dihelanya napas panjang-panjang. Ditatapnya wajah Wulandari dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang tengah diperhatikan pada wajah muridnya.
"Anakku...," tiba-tiba dari mulut Nyi Kendil terdengar suara desahan cukup keras, yang entah ditujukan pada siapa. Hal itu membuat Wulandari mengerutkan kening. Namun dia tidak berani bertanya.
Hanya matanya menatap lekat ke wajah Nyi Kendil, tak mengerti akan desah gurunya tadi.
Wajah Nyi Kendil nampak muram. Matanya menatap penuh kasih ke arah Wulandari, yang juga menatap dengan penuh ketidakmengertian akan semuanya.
"Wulan, sungguh malang benar nasib kita. Sepertinya semua telah disuratkan oleh Hyang Widhi.
Kau dan aku sama-sama mendapatkan celaka. Samasama ditimpa bencana yang sebenarnya tidak kita inginkan." Hati Wulandari terenyuh seketika mendengar penuturan gurunya. Mulutnya terbungkam. Perlahanlahan kepalanya kembali menunduk dalam-dalam. Tidak terasa, air matanya mengalir perlahan membasahi kedua pipinya.
Nyi Kendil kembali menghela napas. Matanya nampak berkaca-kaca. Ditatapnya Wulandari yang masih menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tahu apa yang sebenarnya tengah berkecamuk dalam jiwa muridnya. Dia juga seorang wanita dan pernah muda seperti Wulandari. Juga mendapat nasib yang hampir sama dengan apa yang dialami Wulandari.
"Aku tahu perasaanmu, Wulan. Ya... mungkin kita memang telah digariskan oleh Hyang Widhi untuk bertemu. Berbagi suka dan duka yang telah kita alami.
Nah, kini kau dengarlah cerita ku. Agar kau tahu siapa aku sebenarnya...." Wulandari menganggukkan kepala dengan masih menunduk. Tangannya menyapu air mata yang membasahi pipinya yang halus.
Didahului helaan napas panjang, Nyi Kendil mulai menceritakan dirinya dan Ki Catrik Ireng.
Suatu hari nampak seorang gadis kecil berusia sekitar lima belas tahun tengah bermain-main dengan teman-temannya. Bersuka ria di sebuah lapangan di pinggir desa. Gadis cantik yang baru menginjak dewa-sa itu bernama Roro Kendari. Di antara temantemannya, gadis itu yang terlihat paling cantik. Begitu pula dengan pakaian yang dikenakannya. Paling bagus di antara gadis yang lain.
Gadis itu tiada lain anak Ki Lurah Manujaya.
Meski anak seorang lurah, namun kepribadiannya baik. Senang bergaul dan tidak sombong. Itu sebabnya dia banyak disenangi oleh teman-temannya.
Tengah gadis-gadis tanggung itu bermain-main, muncul Catrik Ireng yang kebetulan lewat di desa itu.
Melihat kecantikan Roro Kendari, Catrik Ireng menjadi tertarik. Dengan bibir tersenyum, didekatinya gadis itu. Kemudian dengan nakal, tangannya membelai da-gu Roro Kendari.
"Cah ayu, siapa namamu...?" tanya Catrik Ireng masih tersenyum.
Mata Roro Kendari melotot marah pada Catrik Ireng. Ia menganggap perbuatan Catrik Ireng kurang ajar. "Lelaki kurang ajar" makinya marah.
Keempat teman gadisnya menyurut ke belakang tubuh Roro Kendari. Mara mereka pun memandang penuh rasa tidak suka terhadap lelaki muda yang telah lancang berani membelai dagu Roro Kendari.
"Hei, mengapa kau marah, Cah Ayu?" tanya Catrik Ireng dengan kening berkerut "Apakah salah jika nama mu ku tanya?"
"Huh, mengapa kau berani membelai dagu ku? Bukankah itu kurang ajar?" ketus dan keras suara Roro Kendari. Matanya masih melotot sepertinya tidak merasa takut sedikit pun terhadap lelaki muda berjubah hitam di hadapannya.
"O, itu karena kau cantik, Cah Ayu."
"Lancang mulutmu" bentak Roro Kendari.
"Apakah kau tidak pernah diajar adat?" Catrik Ireng tersentak kaget melihat keberanian gadis itu. Wajahnya langsung memerah, merasa malu dibentak begitu rupa di depan orang banyak.
"Gadis edan Kuhajar mulutmu" dengus Catrik Ireng. "Hajar kalau memang berani" tantang Roro Kendari seraya menyodorkan wajahnya ke arah Catrik Ireng. Cup "Auw..." Roro Kendari memekik kaget. Sedangkan teman-temannya berlarian meninggalkan tempat itu, merasa takut pada lelaki muda berjubah hitam.
"Bagaimana, Cah Ayu...?" tanya Catrik Ireng masih tersenyum.
Roro Kendari bertambah marah. Tidak diduganya sama sekali kalau lelaki muda itu malah menciumnya, bukan menampar. Matanya melotot garang.
Pipinya merona merah karena malu.
"Kurang ajar Kau benar-benar lelaki bajingan" Dibentak begitu rupa, tidak membuat lelaki muda berjubah hitam itu marah. Catrik Ireng malah memeluk tubuh Roro Kendari diiringi gelak tawanya.
Kemudian dengan gemas, diciuminya pipi Roro Kendari.
"Kurang ajar Lepaskan.." bentak Roro Kendari sambil memukul dada Catrik Ireng, dengan harapan pemuda berjubah hitam itu akan menghentikan ciumannya. Tapi Catrik Ireng tak juga melepaskan pelukannya. Semakin Roro Kendari berontak, semakin kencang pelukannya. Dan semakin buas pemuda itu mencium pipinya.
"Tak akan kulepaskan, sebelum kau bersedia menjadi istriku"
"Cuh Tak sudi Kau lelaki bajingan..." Roro Kendari menyemburkan ludah ke wajah Catrik Ireng, membuat pemuda itu semakin beringas menciumi wajahnya, Malah kini merambat ke leher jenjang Roro Kendari.
"Bajingan Lepaskan..." pekik Roro Kendari sambil terus meronta, berusaha melepaskan pelukan pemuda itu. Namun Catrik Ireng benar-benar tak peduli. Pelukan dan ciumannya semakin menjadi-jadi.
Saat pemuda berjubah hitam itu menciumi leher Roro Kendari, tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam punggungnya.
Bugk Catrik Ireng tersentak. Pelukannya terlepas. Hal itu tidak disia-siakan oleh Roro Kendari yang segera berlari ke arah ayah dan ibunya.
"Ayah, pemuda itu jahat Bajingan..." Catrik Ireng tersenyum sinis, setelah tahu siapa yang telah memukulnya.
"Hm, rupanya kau? Seharusnya kau berterima kasih, karena putri mu telah mendapat kehormatan untuk ku cium. Apakah kau tak tahu siapa aku, heh?" ujar Catrik Ireng, sombong.
"Huh, siapa pun kau, aku tak peduli Kau bukan orang baik-baik Kau harus ditangkap..." jawab Ki Lurah Manujaya.
Mendengar kata-kata itu, Catrik Ireng seketika tertawa tergelak-gelak "Lancang sekali mulutmu, Orang Tua Apakah kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, heh? Pantang bagi Catrik Ireng membiarkan keinginannya berlalu Serahkan anakmu padaku, untuk kujadikan istri"
"Sombong Biar namamu menjulang sampai ke langit, aku tak takut. Demi kebenaran dan kebaikan, aku rela mati" sengit Ki Lurah Manujaya.
"Kurang ajar Rupanya kau menantangku Yeaaat.."
"Heaaat.." Keduanya pun bertarung. Rupanya, pemuda berjubah hitam itu jauh lebih tinggi ilmunya dibanding Ki Lurah Manujaya. Dalam beberapa gebrakan saja, Ki Lurah Manujaya dapat dibunuh.
Menyaksikan suaminya tewas, istri Ki Lurah Manujaya seketika menjerit lalu menubruk tubuh suaminya. "Kang Mas..." ratap istri Ki Lurah Manujaya.
"Bajingan Kubunuh kau..." Dengan tangan menggenggam keris milik suaminya, istri Ki Lurah Manujaya menerjang Catrik Ireng. Ditusukkannya keris ke arah lawan. Namun dengan cepat pemuda berjubah hitam itu mengelakkannya, lalu tanpa diduga tangannya menekan tangan wanita itu.
Bles "Akh..." jerit istri Ki Lurah Manujaya. Keris di tangannya tepat menusuk perutnya sendiri.
"Ibu..." jerit Roro Kendari Mata Roro Kendari memandang pemuda berjubah hitam itu penuh kebencian. Kemudian Roro Kendari lari meninggalkan tempat itu. Gadis itu tahu, pasti pemuda berjubah hitam itu hendak bermaksud jahat padanya. Sungguh tak sudi jika dia menjadi istri pembunuh ayah dan ibunya.
Catrik Ireng yang sudah terpikat oleh kecantikan Roro Kendari, tak mau membiarkan gadis itu pergi. Dia segera mengejar untuk mencari gadis itu. Setiap penduduk ditanya, di mana Roro Kendari bersembunyi. Banyak penduduk yang dibunuh jika tidak mau memberi tahu tempat Roro Kendari bersembunyi.
Akhirnya pemuda berjubah hitam itu menemukan tempat persembunyian Roro Kendari. Di sebuah rumah yang belum dihuni, milik kedua orang tuanya.
"Hm, akhirnya kau kutemukan juga, Cah Ayu.
Ke mana pun kau lari, aku akan mengejarmu." Roro Kendari ketakutan. Dia berusaha melawan. Tapi sia-sia saja karena dia tidak memiliki ilmu silat. Jangankan dia, ayahnya yang memiliki ilmu silat saja dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebrakan. Nafsu pemuda berjubah hitam itu rupanya tak terbendung lagi. Tangannya segera merenggut pakaian yang dikenakan Roro Kendari.
Breeet...
"Auh, tidak..." Roro Kendari berusaha meronta. Tetapi tenaganya tak cukup untuk menghempas tubuh Catrik Ireng. Bahkan untuk sekadar lepas dari sergapannya.
Pemuda itu lalu mempreteli pakaiannya dengan mata berkilat-kilat penuh nafsu. Terlebih setelah tubuh gadis itu tanpa sehelai benang pun.
Tanpa ada perlawanan, dengan leluasa pemuda itu melampiaskan nafsunya. Kemudian dibawanya Roro Kendari pergi dari desa itu. Sampai akhirnya Roro Kendari melahirkan seorang bocah lelaki yang diberi nama Prabasangka.
"Begitulah ceritanya, Wulan. Ah, aku tidak menyangka kalau Prabasangka akan menuruni sifat ayahnya. Dan kau menjadi korbannya," keluh Nyi Kendil atau Roro Kendari.
Wulandari terdiam menundukkan kepala.
"Apakah jika Praba lepas dari ayahnya kau mau memaafkannya, Wulan? Maukah kau menjadi istrinya jika dia telah sadar nanti?" Wulandari tak menjawab. Sulit baginya untuk menjawab pertanyaan gurunya. Benih cinta itu tumbuh untuk Pendekar Gila, bukan untuk Prabasangka yang telah memperkosa dan menghancurkan masa depannya. Karena tak kuat menahan kesedihannya, Wulandari lari meninggalkan tempat itu.
"Wulan, tunggu..." seru Nyi Kendil sambil berlari mengejar muridnya.
***
EMPAT
Malam datang membawa kegelapan yang diselimuti halimun. Binatang malam berdendang riang, seakan tengah berpesta dalam satu upacara ganjil. Menjadikan suasana malam semakin mencekam. Apalagi kala suara burung hantu dan lolongan anjing hutan menimpali. Di sebuah perguruan yang terletak di kaki Bukit Jagalan Batu, suasana malam itu nampak lengang.
Hanya empat orang wanita yang masih hilir mudik meronda. Perguruan Bintang Emas dengan ketuanya seorang wanita bernama Dewi Pandagu merupakan perguruan yang cukup besar. Perguruan itu juga merupakan perguruan pertama yang semua anggotanya terdiri dari kaum wanita. Meski begitu, nama Perguruan Bintang Emas cukup disegani di rimba persilatan Malam semakin bertambah mencekam, ketika dari hutan yang mengelilingi perguruan itu terdengar suara-suara aneh. Suara-suara yang mampu mendiri-kan bulu kuduk
"Huuu..."
"Kakkk kakkk.."
"Nguiiik.."
Keempat wanita yang tengah melakukan tugas jaga, seketika saling pandang mendengar suara-suara aneh itu. Bulu kuduk mereka meremang tiba-tiba.
"Pari, kau dengar suara itu?" tanya Bintang Sa-si "Ya Suara itu menyeramkan sekali. Sampaisampai bulu kudukku meremang," sahut Bintang Pari Tanpa mereka sadari, saat itu puluhan pasang mata memandang keempat wanita yang tengah berjaga-jaga itu. Dari kilatannya, terlihat bagaimana buasnya pemilik mata itu.
"Nguiiik..." Suara itu sangat keras, sepertinya sebuah isyarat untuk menyerang. Keempat gadis yang tengah berjaga tersentak. Mata mereka membelalak, ketika menyaksikan puluhan lelaki berjubah hitam dengan tatapan mata buas berkelebat ke arah mereka.
"Celaka, kita diserang..." seru Bintang Kanti.
"Cepat bunyikan kentongan" perintah Bintang Sasi pada temannya, Bintang Murai.
Bintang Murai segera lari ke arah kentongan.
Kemudian dipukulnya kentongan sebanyak tiga kali, pertanda keadaan dalam bahaya.
Sementara, puluhan lelaki berjubah hitam itu dengan buas menyerbu ke arah perguruan. Melihat hal itu, tubuh keempat gadis itu menegang, siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Keempatnya segera berusaha menghalau para penyerang yang ganas.
Pertarungan seru pun terjadi. Keempat murid Perguruan Bintang Emas dengan gigih berusaha menghalau. Namun karena jumlah mereka tak seimbang, dalam sekejap saja mereka dapat dilumpuhkan.
Tubuh mereka kaku, tertotok oleh lawan.
"Nguik nguiiik.." Para penyerang berjubah hitam itu terus menyerbu ke dalam perguruan. Mulut mereka tidak mengeluarkan suara. Mereka terus merangsek masuk dengan membongkar pintu gerbang.
"Kita diserang musuh..." seru salah seorang murid Perguruan Bintang Emas yang terbangun lebih dahulu setelah mendengar suara kentongan. Yang lainnya turut terbangun, termasuk ketua mereka Dewi Pandagu.
"Hadang mereka..." perintah Dewi Pandagu, seorang wanita cantik jelita berpakaian seperti orang India. Hidungnya mancung. Rambutnya yang disasak, menggambarkan sifat keibuan.
"Heaaat.." Murid-murid Perguruan Bintang Emas yang semuanya wanita itu dengan berani segera menghadang para penyerang yang berusaha merangsek. Pertarungan di tengah malam pun seketika berkobar.
"Laskar Setan..." pekik Dewi Pandagu, setelah melihat simbol yang ada di dada sebelah kiri pada setiap jubah lelaki yang menyerbu ke perguruannya.
Dewi Pandagu berkelebat cepat, membantu murid-muridnya menghadang lawan Setiap jejakan kaki dan pukulan tangannya, selalu mengenai sasaran.
Namun sungguh aneh. Mereka yang terkena pukulannya bagaikan tak mengalami apa-apa. Tubuh mereka hanya tersurut dua tindak ke belakang. Kemudian kembali menyerang. Bahkan serangannya semakin ganas. Dewi Pandagu tersentak menyaksikan kejadian itu. Dia kembali menyerang. Kali ini pukulan yang dilontarkan bukan pukulan biasa, melainkan pukulan sakti. "Hiaaat.." Dewi Pandagu kembali melejit ke atas. Kemudian dengan gerakan yang cepat, dikirimkannya pukulan sakti 'Lintang Sakal' ke arah lawan. Dari tangan wanita secantik Dewi Sinta itu, keluar sinar merah membara berbentuk bintang-bintang yang menderu ke arah lawan-lawannya.
Bintang-bintang yang keluar tiada henti itu langsung menghantam tubuh lawan-lawannya. Tapi jumlah Laskar Setan tidak juga berkurang. Hal itu membuat Dewi Pandagu berpikir keras untuk terus mengumbar pukulan saktinya. Terlebih saat matanya melihat lelaki muda berbaju kuning yang sepak terjangnya jauh berbahaya di banding Laskar Setan.
Dewi Pandagu kebingungan. Kalau pemuda berbaju kuning itu tidak dihentikan, tentunya korban akan bertambah banyak "Hiaaat.." Setelah melontarkan pukulan saktinya, Dewi Pandagu segera berkelebat ke arah pemuda berbaju kuning yang jurus-jurusnya cabul. Tangannya yang bergerak senantiasa mengarah ke arah buah dada murid-muridnya.
"Uhhh..." Salah seorang murid terkena cengkeraman tangan pemuda berbaju kuning itu. Setelah menggelepar dengan mata membelalak, wanita itu langsung tewas.
"Celaka... Pemuda itu benar-benar berbahaya Aku harus segera menghentikannya Yeaaat.." Dewi Pandagu segera melesat untuk menyerang pemuda berbaju kuning yang tiada lain Prabasangka.
Melihat serangan datang, Prabasangka dengan cepat berkelit Kemudian tangannya bergerak menyerang dengan nakal. Arah serangannya ke buah dada Dewi Pandagu.
Dewi Pandagu menggerakkan tangan kanan untuk menepis, sedangkan tangan kirinya balas menyerang. Kedua kakinya menendang ke arah dada dan wajah lawan bergantian.
"Uts... Rupanya kau ketuanya, Manis" Prabasangka mengelak ke samping. Kemudian dengan terkekeh dia membalas menyerang lawan. Tangan kanannya berusaha menangkap tangan kiri Dewi Pandagu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi menyerang, ditarik kembali dan dengan cepat menyerang lagi ke buah dada Dewi Pandagu.
"Setan cabul..." maki Dewi Pandagu marah bercampur kaget, mendapatkan serangan yang datangnya cepat itu. Dengan memutar cepat tubuhnya, Dewi Pandagu berusaha mengelakkan serangan lawan.
Kakinya menendang ke dagu lawan, disusul oleh sabetan selendangnya.
Ctar Lecutan selendang Dewi Pandagu begitu keras, laksana terbuat dari logam. Ledakannya menggelegar, hingga menimbulkan percikan bunga api.
"Uhhh..." Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas untuk mengelakkan serangan selendang lawan. Kemudian dengan cepat dibalasnya dengan tendangan menyamping.
"Setan cabul..." maki Dewi Pandagu marah.
Tubuhnya segera diputar disertai tendangan ke arah dagu lawan, disusul sabetan selendangnya....
Ctar "Uhhh..." Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas, mengelak dari serangan selendang lawan.
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendangnya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tangan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar "Heat.." Prabasangka yang tidak ingin kakinya buntung oleh lecutan selendang Dewi Pandagu, segera menarik kakinya. Sedangkan tangan kanannya kembali bergerak untuk menangkap tangan lawan.
Sementara, tangan kirinya hendak mencengkeram ke arah buah dada Dewi Pandagu.
"Uts..." Dewi Pandagu menarik tangan kirinya, lalu diputarnya ke depan untuk memapak tangan lawan yang hendak menjangkau buah dadanya. Tubuhnya dimiringkan ke kanan. Kemudian tangan kanannya yang memegang selendang, disentakkan dari bawah ke wajah lawan.
Ctar Prabasangka membuang kepalanya ke samping kanan dengan tubuh agak miring. Kemudian tubuhnya diputar hingga menunduk ke depan. Lalu tangan kanannya dengan nakal bergerak ke arah selangkangan Dewi Pandagu.
Ketua Perguruan Bintang Emas tersentak kaget mendapat serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya berusaha mundur agar tangan pemuda cabul itu tak mengenai selangkangannya. Namun begitu, ujung jari pemuda itu sempat menyentuh juga.
"Auh... Iblis cabul Kubunuh kau..." Setelah melompat mundur, Dewi Pandagu yang semakin marah kembali menyerang dengan selendang dan pukulan. Kali ini kakinya agak merapat. Hal itu membuat gerakan-gerakannya agak kaku, dan serangannya pun tidak segarang dan seganas tadi.
Prabasangka yang melihat keadaan Dewi Pandagu, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera dilancarkannya jurus-jurus cabulnya. Kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah. Tangan kanan ke arah buah dada Dewi Pandagu, sedangkan tangan kiri ke arah selangkangan wanita cantik itu.
Menyaksikan jurus lawan kini mengarah ke tempat-tempat terlarang, Dewi Pandagu semakin mempercepat sabetan selendangnya. Setiap kali tangan Prabasangka hendak menyerang, dengan cepat Dewi Pandagu mengebutkan selendang untuk memapakinya. Ctar
***
Dewi Pandagu terus menyerang lawan, dengan harapan lawan tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang dengan jurus-jurus cabulnya. Rupanya perhitungannya keliru. Lawan bukanlah pemuda sembarangan, meski usia mereka tidak terpaut jauh. Lawan yang tengah dihadapi adalah anak tunggal Catrik Ireng. Salah seorang tokoh rimba persilatan yang di masanya dulu merupakan salah satu dari dua pendekar muda tanpa tanding.
Dewi Pandagu yang tidak tahu siapa pemuda berbaju kuning yang usianya sekitar tiga tahun di atasnya itu terus mencecar lawan dengan lecutan selendangnya.
"Heaaat.." Ctar Prabasangka terus berkelit dan sesekali membalas serangan. Tangannya senantiasa mengarah ke arah buah dada lawan. Suatu saat tubuhnya bergerak ke samping, mengelakkan sabetan selendang lawan.
Kemudian dengan cepat, tangan kanannya menangkap selendang itu.
Tap Selendang lawan tertangkap. Membuat mata Dewi Pandagu melotot kaget bercampur marah. Tangan kanannya disentakkan dengan kuat, dengan harapan selendangnya terlepas. Namun pegangan tangan Prabasangka rupanya sangat kuat "He he he..." Prabasangka terkekeh. Senyumnya mengembang di bibir. "Akhirnya kau kudapat juga, Manis...." Pucat seketika wajah cantik yang mengenakan pakaian wanita India berwarna putih itu. Matanya melotot penuh amarah. Kemudian dengan nekat tangannya menghantam ke dada lawan.
"Hiaaat.." Prabasangka tersentak kaget. Tidak diduganya kalau wanita cantik itu akan menyerang. Beruntung dia segera membawa tubuhnya ke samping hingga pukulan sakti yang dilontarkan Dewi Pandagu meleset di sampingnya.
"Rupanya kau benar-benar ganas, Manis Yeaaat.." Setelah luput dari hantaman pukulan sakti yang dilontarkan Dewi Pandagu, Prabasangka menghentak kedua kakinya. Tubuh meluncur ke atas dengan tangan masih memegangi selendang lawan. Kemudian dengan cepat tubuhnya menukik. Tangannya bergerak ke arah buah dada lawan Melihat lawan menyerang Dewi Pandagu segera memukulkan telapak tangannya ke arah lawan. Kakinya menendang pula.
"Yeaaat.." Prabasangka yang sudah menduga kalau Dewi Pandagu akan memapaki serangannya dengan balas menyerang, seketika menarik kembali serangannya.
Tubuhnya melenting, dan tiba di belakang Dewi Pandagu. Dengan cepat tangannya menotok punggung wanita cantik itu.
Tuk "Hugkh..." Dewi Pandagu terkesiap. Dia berusaha membalikkan tubuh untuk memapaki serangan lawan. Namun seluruh otot tubuhnya mengejang setelah jalan darahnya ditotok lawan. Tubuhnya seketika kaku.
Prabasangka tertawa tergelak-gelak karena merasa telah menang. Dihampirinya tubuh Dewi Pandagu yang kini berdiri mematung tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Akhirnya kau akan menikmatinya, Manis...."
"Cuh Lepaskan aku... Pengecut lepaskan aku" bentak Dewi Pandagu penuh amarah. Tak segan-segan diludahinya kembali wajah Prabasangka.
Prabasangka menyeka ludah Dewi Pandagu di wajahnya dengan jari, kemudian dijilatinya ludah itu.
"Orangnya cantik ludahnya pun terasa manis." Dewi Pandagu kembali melecutkan selendangnya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tangan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar Pengecut lepaskan totokanmu Kita bertarung sampai salah satu di antara kita mati" dengus Dewi Pandagu kian marah. Prabasangka tak menggubris tantangan itu.
Dengan cepat tangannya bergerak untuk membopong tubuh Dewi Pandagu. Kemudian kakinya melangkah, hendak membawa tubuh Dewi Pandagu ke dalam bangunan utama Perguruan Bintang Emas.
"Lepaskan, Pengecut Lepaskan..." Dewi Pandagu berteriak-teriak, memaksa agar Prabasangka melepaskan totokannya. Namun pemuda berbaju kuning itu tak menggubrisnya. Kakinya terus melangkah, membawa tubuh Dewi Pandagu menapaki halaman bangunan.
Ketika kakinya berada di depan pintu bangunan itu, tiba-tiba terdengar jeritan susul-menyusul da-ri anak buahnya. Prabasangka tersentak kaget. Tubuhnya langsung berbalik ingin melihat apa yang terjadi. Matanya membelalak ketika melihat seorang pemuda berbaju rompi kulit ular tengah menghajar anak buahnya.
"Pendekar Gila...." desis Prabasangka kaget.
Diturunkannya tubuh Dewi Pandagu. Kemudian tanpa banyak kata, tubuhnya melesat meninggalkan Perguruan Bintang Emas. Sosok pemuda berpakaian kulit ular yang memang Pendekar Gila itu, nampak terus berkelebat. Tangan kanannya menghantam ke arah puluhan lelaki berjubah hitam. Tangan kirinya yang menggenggam Suling Naga Sakti, tak mau diam. Senjata pusaka itu terus dipukulkan ke kepala lawan.
"Yeaaa..."
Plak Bugkh Sena Manggala bagaikan orang gila yang mengamuk. Kakinya menendang ke semua penjuru dengan cepat. Tangannya memukul dan menyabetkan Suling Naga Sakti ke kepala lawan. Dan suling pusaka itulah rupanya yang mampu menjatuhkan Laskar Setan
"He he he... Rupanya Laskar Setan ini hanya bisa dikalahkan oleh sulingku Yeaaa..."
Setelah tahu kalau Laskar Setan hanya dapat dikalahkan oleh Suling Naga Sakti, Pendekar Gila mempercepat serangannya. Gerakannya yang seperti orang gila mengamuk seketika membuat tubuhnya laksana menghilang. Tahu-tahu terdengar suara beradunya Suling Naga Sakti dengan batok kepala dan tubuh lawan.
Plak Bugkh Satu persatu Laskar Setan yang tadi nyaris memenangkan pertempuran jatuh tak bangun lagi. Jumlah mereka semakin lama semakin menipis. Namun Pendekar Gila tak puas sampai di situ, tubuhnya terus bergerak cepat seraya memukulkan sulingnya.
Semakin cepat gerakan Pendekar Gila, semakin banyak Laskar Setan yang tewas. Sementara itu semua murid Perguruan Bintang Emas hanya dapat menon-ton amukan Pendekar Gila.
"Yeaaat.." Wuttt Plak Jumlah Laskar Setan yang semula puluhan, kini tinggal lima orang. Pendekar Gila kembali mence-lat ke atas, kemudian menukik ke bawah sambil menggerakkan tangan kirinya yang menggenggam Suling Naga Sakti ke kepala empat orang Laskar Setan.
Sedangkan tangan kanannya, menotok salah seorang dari mereka. Pletak Pletak...Suara beradunya Suling Naga Sakti dengan empat kepala Laskar Setan terdengar susul-menyusul. Diikuti oleh jatuhnya keempat lelaki itu
***
LIMA
Sena menggaruk-garuk kepala setelah menyelesaikan lawan-lawannya. Kemudian dengan tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya melangkah ke arah satu orang Laskar Setan yang sengaja dibiarkan hidup.
"Katakan, siapa pemimpinmu?" Anggota Laskar Setan itu tak menjawab. Hanya matanya saja yang membara penuh amarah pada Sena yang semakin tergelak-gelak menyaksikan kemarahannya. Tiba-tiba Sena mengerutkan kening, tawanya terhenti seketika. Matanya memandang tajam pada tawanannya.
"Weh weh weh.... Rupanya ada yang tidak beres dengan manusia ini. Keji... Sungguh keji orang yang telah melakukan semuanya. Hm, tapi baiklah. Aku akan berusaha menolongmu, Sobat," gumamnya sambil mengangguk-angguk. Kakinya melangkah, memutari tubuh tawanannya. Tampak dia tengah mengamati sesuatu pada tubuh orang itu.
"Tuan, tolonglah bukakan totokanku..." seru Dewi Pandagu, menyentakkan Sena.
Seketika Sena mengurungkan usahanya untuk mencari rahasia yang menyebabkan lelaki itu tak bisa berbicara, bahkan bagai tak memiliki perasaan.
Sena menengok ke arah pemilik suara yang merdu itu. Mulutnya tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala, menyaksikan gadis cantik jelita berpakaian putih seperti orang India berdiri mematung tanpa daya.
"Ah Kenapa kau...?" tanya Sena.
"Tolong, bukakan totokan ini," pinta Dewi Pandagu Kemudian sambil tersenyum-senyum, Sena melangkah mendekati Dewi Pandagu. Kemudian dengan gerakan yang sulit diikuti mata, dibukanya totokan di tubuh Dewi Pandagu.
Tuk Setelah membuka totokan Dewi Pandagu, Sena termenung. Sepertinya dia tengah memikirkan orang yang telah menotok gadis cantik Ketua Perguruan Bintang Emas itu.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Untung Tuan segera datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, entah bagaimana nasibku dan murid-muridku...," keluh Dewi Pandagu.
Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya masih cengengesan.
"Aneh sekali, bagaimana murid tunggal Dewi Lintang Wangi dapat diperdaya?" gumamnya. "Hm, tentunya pemimpin Laskar Setan itu bukan orang sembarangan." Dewi Pandagu tertunduk. Dia merasa malu mendengar ucapan Pendekar Gila yang menyebut nama gurunya. Dewi Lintang Wangi bukan tokoh wanita sembarangan. Ilmunya cukup tinggi. Tapi Dewi Pandagu yang menjadi pewaris ilmunya, ternyata tak berdaya menghadapi pemuda berbaju kuning yang jurus-jurusnya cabul.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.
"Dewi, siapakah pemimpin Laskar Setan itu?" tanya Sena.
"Seorang pemuda berbaju kuning," jawab Dewi Pandagu.
"Apakah ikat kepalanya kuning juga?"
"Benar Apakah Tuan kenal...?" Rata Dewi Pandagu balik bertanya.
Pendekar Gila menghela napas sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian matanya memandang lelaki anggota Laskar Setan yang masih tertotok.
"Benar-benar keji," gumam Sena.
"Kenapa...?"
"Kau tahu Laskar Setan itu?" tanya Sena sambil menunjuk ke arah tawanannya.
"Ya," sahut Dewi Pandagu. "Mengapa tidak dibunuh sekalian?" Sena menggelengkan kepala.
"Hm, sesuatu telah terjadi padanya. Jalan darah yang menuju otaknya telah ditotok dengan totokan yang bukan sembarangan. Untuk melepaskannya, di-perlukan tenaga dalam yang kuat. Aku akan berusaha membuka totokan itu." Mata Dewi Pandagu seketika terbelalak mendengar penuturan Sena.
"Untuk apa...? Bukankah dia berbahaya?" tanya Dewi Pandagu.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan kepala menggeleng-geleng maksudnya segera dijelaskan.
"Kurasa, dia berbahaya karena keadaan pikiran dan perasaannya tak berfungsi. Tetapi, jika keadaan pikiran dan perasaannya berfungsi, dia akan menyadari siapa dirinya."
"Jadi menurutmu, orang itu dalam keadaan tak sadar?"
"Ya," sahut Sena. "Kau mau membantuku, De-wi?" Dewi Pandagu tersenyum. Matanya yang lentik dan indah mengerling.
"Kenapa tidak? Untuk Tuan, aku selalu siap." Sena tertawa tergelak-gelak. Kembali tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, jangan panggil aku tuan. Aku bukan tuanmu. Lagi pula, hubungan antara gurumu dengan guruku cukup baik. Tak sepantasnya seorang sahabat memanggil tuan pada sahabatnya...," tutur Sena, merendah. Dewi Pandagu tersipu. Matanya masih mengerling penuh arti. Senyumnya terlihat, seirama dengan kerlingan matanya yang indah.
"O, mengapa malam-malam begini kita harus di luar? Bukankah sebaiknya kita di dalam?" ajak Dewi Pandagu.
"Terima kasih, aku harus ke Gunung Lawu," kata Sena, berusaha menolak.
"Mengapa malam-malam begini? Bukankah lebih baik besok pagi?" Dewi Pandagu semakin manja. Matanya kian mengerling penuh arti. Senyumnya yang merekah, sepertinya mengundang.
"Ayolah...," desak Dewi Pandagu.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan.
Dewi Pandagu semakin tak sabar. Tangannya kini memegangi tangan Sena. Matanya mengerling manja. Senyumnya menggoda. Sungguh tak ada cacat celanya kecantikan gadis itu. Setiap lelaki, pasti akan terpesona melihat kecantikannya yang sempurna.
"Baiklah, Dewi. Tapi aku harus menolong dia.
Adakah sebuah kamar untuknya?" tanya Sena seraya menunjuk ke arah tawanannya.
"Mengapa kau pedulikan dia?"
"Aku, kau ataupun dia, sama-sama manusia. Sama dicipta oleh Hyang Widhi, Dewi. Kalau Hyang Widhi mau mengasihi dan mengampuni kita, mengapa kita tidak bisa mengasihi sesamanya?" tanya Sena setengah berfilsafat.
"Baiklah...," kata Dewi Pandagu setelah terdiam beberapa saat "Terima kasih. Kau telah turut membantuku."
"Ah, kaulah yang telah menolongku," balik Dewi Pandagu dengan nada riang nan manja. Senyumnya yang menggoda, masih mengembang di bibirnya yang menawan.
"Jadi kau ada kamar untuk kami?" tanya Sena.
Dewi Pandagu mengerutkan kening. Matanya memandang penuh harap pada Sena, membuat pemuda itu menggaruk-garuk kepala dipandang begitu rupa.
Apalagi yang memandang seorang wanita cantik jelita.
"Mengapa untuk kalian? Untuk anggota Laskar Setan itu saja. Untukmu, aku akan memberikan kamar lain." Tangan Sena semakin keras menggaruk-garuk kepala. Wajahnya kini menengadah, memandang langit yang gelap menghitam diselimuti malam. Mulutnya cengengesan, membuat Dewi Pandagu tersenyum sambil memandangi tingkah laku pemuda tampan itu.
"Ayolah.... Bawa anggota Laskar Setan itu," ajaknya.
"Baik" Kaki Sena melangkah ke arah tawanannya.
Dengan ringan dipanggulnya tubuh lelaki itu. Sena la-lu mengikuti Dewi Pandagu yang masuk ke dalam bangunan perguruan.
Banyak sekali kamar di dalam bangunan utama itu. Tentunya kamar-kamar itu berpenghuni. Sudah pasti murid Perguruan Bintang Emas-lah yang menempati.
Mereka terus melangkah ke belakang. Sampai di kamar paling ujung, Dewi Pandagu berhenti.
"Kamar ini untuk anggota Laskar Setan yang kau bawa.."
"Hm, lumayan." Tangan Sena mendorong pintu kamar itu. Diikuti oleh Dewi Pandagu, tubuh Sena masuk Di dalam kamar itu ada sebuah dipan yang cukup untuk satu orang. Ditaruhnya tubuh tawanannya itu di atas dipan. "Biarkan dia di sini dulu," bisik Dewi Pandagu.
Tangannya menempel di pundak Sena. Menopang kepalanya yang juga rebah di pundak Sena. Dan ketika pemuda tampan itu menengok, mereka beradu pandang. Dewi Pandagu tersenyum penuh arti. Matanya dipejamkan perlahan. Bibirnya merekah, menunggu sesuatu. Hal itu membuat Sena blingsatan kebingungan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Dewi...," desisnya berusaha menyadarkan gadis cantik itu.
Dewi Pandagu tersenyum, lalu membuka mata kembali. Kemudian dengan manja tangannya membelai rambut pemuda di depannya. Matanya memandang redup, mengharap sesuatu.
"Dewi, sadarlah..." kata Sena, berusaha mengingatkan.
"Aku sadar," desis Dewi Pandagu. "Aku sadar kalau dari dulu aku memang jatuh hari padamu." Sena meringis sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia kelihatan kebingungan menghadapi gadis cantik yang kini semakin manja padanya.
"Dewi, di manakah kamar untukku?" tanya Se-na berusaha menghindar.
"Ayo kutunjukkan," ajak Dewi Pandagu. Kemudian digandengnya tangan Sena. Mereka keluar dari kamar itu, meninggalkan seorang lelaki berjubah hitam yang tergolek tanpa daya.
***
Dewi Pandagu mengajak Sena ke sebuah kamar yang letaknya agak jauh dengan kamar tadi. Dibukanya pintu kamar itu. Di dalam kamar itu tampak sebuah ranjang berhias kelambu putih dengan bungabunga di sudut-sudutnya. Tak beda dengan ranjang pengantin.
Sena tertegun. Keningnya berkerut sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, mengapa kamar sebagus ini untukku? Kamar siapa ini, Dewi?" Dewi Pandagu tersenyum tanpa berkata, diajaknya Sena masuk. Ditutupnya pintu kamar, membuat pemuda itu semakin mengerutkan keningnya.
"Dewi..." Belum habis ucapan Sena, Dewi Pandagu telah memeluk tubuhnya. Kemudian tangan gadis itu membelai-belai dadanya. Membuat Sena semakin kebingungan. Seumur-umur, baru kali ini dadanya dibelaibelai oleh gadis cantik. Kepala Sena menengok ke sana kemari, kebingungan tak tahu harus berbuat apa.
"Sena, aku mencintaimu...," desis Dewi Pandagu sambil mendongakkan kepala. Matanya perlahanlahan terpejam dengan bibir merekah.
Sena benar-benar kebingungan. Selama ini, belum pernah dia melakukan hal-hal seperti itu. Berdua di dalam kamar dengan seorang wanita cantik Dewi Pandagu terus membelai dada Sena dengan lembut Matanya memandang penuh harap ke wajah pemuda tampan itu. Kemudian diajaknya Sena melangkah ke tempat tidur.
"Sena, apakah kau tidak suka padaku?" tanya Dewi Pandagu manja.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Dia tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya yang tadi menengadah ke atas, kini memandang dengan kening berkerut ke wajah Dewi Pandagu. Di wajah gadis itu, tampak seulas senyum merekah indah, dengan mata sayu menatap penuh arti.
"Suka..?" tanya Sena bergumam.
"Ya. Apakah kau tak suka padaku, Sayang?"
"Aku suka, Dewi.... Tapi, haruskah kita melakukannya?" Dewi Pandagu tersenyum.
"Untukmu, kuserahkan segalanya, Sayang....
Aku rela," bisik Dewi Pandagu dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Kemudian kepalanya dire-bahkan di dada pemuda itu. Sedangkan tangannya masih membelai dada bidang Pendekar Gila.
Bayang-bayang seorang gadis Cina, seketika menyeruak dalam pikiran Sena. Entah mengapa, jika dia mengingat Mei Lie yang kini tak tahu di mana, hatinya seketika terenyuh. Kerinduan untuk bertemu, kembali muncul mengisi hatinya.
Mulut Sena mendesah lemah. Dia memang suka pada Dewi Pandagu. Namun mungkin hanya sebatas suka saja. Sedangkan pada Mei Lie, entah mengapa dia menemukan rasa suka lebih daripada Dewi Pandagu. Dia merasakan bahwa perasaannya pada Mei Lie, merupakan perasaan cinta kasih yang tumbuh dengan sendirinya.
Perasaan itu dulu memang belum seberapa. Tetapi setelah lama berpisah, perasaan cinta kasih itu semakin terasa. Terlebih setelah banyak gadis-gadis dan wanita yang pernah dikenalnya. Bahkan kini dia bagai diuji oleh cinta kasih itu.
Mei Lie, di manakah kau kini berada? Hatinya bertanya-tanya. Kini aku baru menyadari, sesungguhnya aku pun merindukan mu. Entah kapan kita bisa bertemu, Mei Lie...? Kuharap kau tidak akan melupakan ku. Sebagaimana aku, yang tak pernah melupakanmu. Bayangan Mei Lie, makin menyeruak kedalaman hatinya. Membuat Sena tanpa sadar membelai rambut Dewi Pandagu. Dianggapnya Dewi Pandagu adalah Mei Hie, orang yang dirindukannya. Orang yang tanpa disadari, telah menawan hatinya.
Dewi Pandagu tersenyum senang. Memang itulah yang diharapkannya. Dibiarkannya tangan Sena membelai-belai rambutnya dengan mesra. Bahkan kini Dewi Pandagu membimbing Pendekar Gila menuju ke tempat tidur.
"Sena...," desisnya lirih.
Keduanya rebah di tempat tidur. Dewi Pandagu menutup kelambu. Kemudian keduanya tampak saling berpelukan, berciuman dengan penuh kemesraan.
***
"Sena... Sena, bangunlah..." Sena tersentak kaget dari tidurnya ketika telinganya mendengar suara gurunya, Singo Edan. Matanya memandang ke atas, seakan melihat sosok gurunya.
"Guru, apa yang telah terjadi?" tanyanya setengah mengeluh.
"Kau telah kalah oleh bujukan iblis, Anakku." Kepala Sena tertunduk. Dari matanya meleleh air mata. Dia menangis, merasakan kekalahan yang sangat menyiksa. Betapa dia telah kalah melawan iblis yang menggoda.
"Guru, aku telah berdosa. Hukumlah aku"
"Tidak, Anakku.... Semua memang telah tergariskan. Bukan hanya kau, aku atau siapa pun. Dewa pun takkan mampu melawan suratan. Cepatlah bangun. Masih banyak yang harus kau lakukan. Ingat baik-baik kesalahanmu itu.... Jadikanlah kesalahanmu itu sebagai cambuk. Maka, kau akan senantiasa berusaha tidak melupakannya dan akan berusaha berbuat baik. Pergilah...."
"Baik Guru." Dengan hati-hati dan pelan, Sena segera mengenakan pakaiannya. Kemudian perlahan-lahan tubuhnya turun untuk pergi, dengan harapan Dewi Pandagu tidak terbangun.
Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu. Hatinya menangis. Bagaimanapun juga, dia yang telah merenggut kegadisan Dewi Pandagu. Haruskah dia lepas tangan begitu saja? Ah, lelaki macam apakah aku? Keluh Sena dalam hati.
Pendekar Gila tak tega meninggalkan Dewi Pandagu begitu saja. Dengan lembut dibelainya rambut gadis cantik itu, lalu mengecup keningnya.
"Maafkan aku, Dewi.... Aku harus pergi dulu. Aku berjanji, kelak aku akan datang untuk bertanggung jawab," bisik Sena lirih.
Kemudian, Sena menulis beberapa baris tulisan pada pintu kamar itu. Lalu, tubuhnya berkelebat ke arah kamar di mana seorang dari Laskar Setan berada. Diambilnya lelaki itu, lalu dengan memanggul tubuhnya, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu.
***
ENAM
Setelah Laskar Setan gagal menghancurkan Perguruan Bintang Emas, perbuatan mereka semakin menjadi-jadi. Nampaknya ada maksud tersembunyi dari Ki Catrik Ireng dengan mengerahkan Laskar Setannya itu. Mereka sengaja diumpankan untuk memancing Pendekar Gila. Dengan begitu, Pendekar Gila akan bertambah marah.
Seperti malam itu, puluhan Laskar Setan kembali bergerak. Kali ini mereka tidak dipimpin oleh Prabasangka. Mereka menyerbu ke Perguruan Teratai Perak yang dipimpin oleh Dewi Teratai Perak. Tujuan dari penyerbuan itu, tiada lain untuk menundukkan perguruan itu.
"Hiyaaat..."
"Yeaaah..." Perguruan Teratai Perak yang semula sepi, seketika menjadi ajang pertarungan yang seru. Dengan dipimpin oleh ketuanya, murid-murid Perguruan Teratai Perak berusaha membendung serbuan Laskar Setan.
"Serang terus..." perintah Dewi Teratai Perak Pertarungan berlangsung seru. Satu persatu korban bergelimpangan dari pihak Perguruan Teratai Perak.
Para penyerbu memang terlalu ganas untuk dapat dilumpuhkan. Serangan mereka sebuas serbuan segerombolan makhluk liar tak berperasaan. Membunuh dengan pancaran mata haus darah. Perlawanan murid-murid Perguruan Teratai Perak ibarat kapas di atas arus sungai deras. Tak berarti apa-apa.
"Celaka Mereka bukan manusia..." seru Dewi Teratai Perak kaget. Meski begitu, tubuhnya terus berkelebat sambil melemparkan senjata andalannya ke arah Laskar Setan.
Zwing, zwing, zwing...
Puluhan bunga teratai menyambar cepat ke arah Laskar Setan yang semakin ganas.
Jlep Jlep Jlep "Hgrrr..." Pemimpin Laskar Setan menggeram murka.
Dengan penuh amarah, tubuhnya melesat ke arah Dewi Teratai Perak. Serangannya sangat ganas, keras, dan mematikan. Sepertinya, Ki Catrik Ireng sengaja menciptakan pemimpin Laskar Setan dengan ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari lawan yang bakal dihadapi. "Uts..." Dewi Teratai Perak tersentak. Tubuhnya segera berkelit. Kemudian dengan cepat tangannya melemparkan bunga-bunga teratai.
Mata Dewi Teratai Perak membelalak, menyaksikan bunga-bunganya tak mempan pada tubuh pemimpin Laskar Setan. Bahkan dengan sekali remas, bunga-bunga yang terbuat dari baja itu hancur berantakan. "Hah? Dia tak mempan dengan teratai ku?"
"Hgrrr" Pemimpin Laskar Setan kembali menyerang.
Tangannya bergerak menyambar Dewi Teratai Perak. Membuat wanita berpakaian putih perak itu terkejut Cepat-cepat Dewi Teratai Perak melompat ke samping, berusaha mengelakkan serangan lawan yang keras. Wuttt "Uts Dia benar-benar bukan manusia" pekik Dewi Teratai Perak kaget Tubuhnya bersalto di udara, untuk terus mengelakkan serangan-serangan lawan.
Di pihak lain, murid-murid Perguruan Teratai Perak semakin terdesak. Mereka semakin banyak dibantai Laskar Setan yang buas.
Setiap murid Perguruan Teratai Perak mengalami kegundahan yang berbaur dengan ketakutan, keputusasaan dan kemarahan. Bagaimana mungkin mereka bisa menghindari perasaan-perasaan itu, kalau musuh yang dihadapi bagaikan sepasukan iblis dari neraka? Padahal kekacauan perasaan itu sangat merugikan mereka dalam pertempuran "Serang terus..." Tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki, menyulut semangat seluruh murid Perguruan Teratai Perak untuk terus menyerang. Bersamaan dengan itu, dari luar pagar berkelebat pemuda berpakaian rompi kulit ular. Di tangannya tergenggam suling berkepala naga yang terbuat dari emas. Suling itu, tiada lain Suling Naga Sakti. Dan tentunya, pemuda berbaju rompi kulit ular itu tiada lain Sena Manggala, atau Pendekar Gila dari Goa Setan.
Tubuh Pendekar Gila melesat laksana terbang, menuju Dewi Teratai Perak yang kerepotan menghadapi pemimpin Laskar Setan.
"Bantulah anak buahmu, Nyi Biar aku yang menghadapi setan ini," seru Sena.
Dewi Teratai Perak menurut meskipun belum tahu siapa sebenarnya pemuda itu Segera tubuhnya melesat meninggalkan pemimpin Laskar Setan, membiarkan Pendekar Gila yang menghadapinya. Sedangkan dia kini membantu anak buahnya.
"Jangan mundur Seraaang..." seru Dewi Teratai Perak memberi semangat pada anak buahnya untuk terus menyerang Laskar Setan Melihat pemimpinnya membantu, murid-murid Perguruan Teratai Perak yang semula telah ciut nyalinya, kembali bersemangat. Mereka dengan berani kembali menyerang.
"Hiaaat.." Jlep Pendekar Gila yang menghadapi pemimpin Laskar Setan, telah memulai pertarungan. Keduanya saling menggebrak dengan jurus-jurus yang sangat keras.
"Ayo, keluarkan semua kekuatan setanmu" tantang Sena. Dia tahu kalau lawan hanya dapat dilumpuhkan oleh Suling Naga Sakti. Tubuhnya melompat ke atas, kemudian dengan cepat menghantamkan Suling Naga Sakti ke kepala lawan.
Wuttt "Hgrrr..." Lawan rupanya mengerti kalau Pendekar Gila menyerang dari atas. Segera tubuhnya dirundukkan, kemudian meliuk ke samping. Kemudian dengan penuh amarah, pemimpin Laskar Setan itu balas menyerang. "Hgr..." Tangan pemimpin Laskar Setan bergerak cepat mencakar dan mencengkeram ke arah lawan. Gerakannya begitu cepat. Jari-jari tangannya laksana baja yang mampu menembus karang.
Wuttt "Uts Hebat juga kau, Setan Tapi otakmu yang telah diatur oleh seseorang, membuat gerakanmu kaku. Nah, ini untukmu..." Dengan tertawa tergelak-gelak dan tangan menggaruk-garuk kepala, Sena menghantamkan Suling Naga Sakti ke tubuh lawan.
Bugk "Ngk.. Uhk.." Pemimpin Laskar Setan itu mengeluh pendek.
Kepalanya menoleh kian kemari, kebingungan dengan keadaan sekelilingnya.
"Di mana aku?" tanyanya, diusik kebingungan yang datang tiba-tiba. Tampaknya dia telah tersadar dari pengaruh totokan Ki Catrik Ireng yang membuat-nya seperti boneka suruhan.
***
Pendekar Gila yang semula hendak memukul dengan Suling Naga Sakti kembali, seketika mengurungkan serangannya. Keningnya berkerut. Dan matanya memandang heran pada lelaki berjubah hitam itu.
"Tuan, kenapa denganku?" tanya lelaki itu dengan sinar wajah heran "Hei, dia sadar. Aha, rupanya aku telah menemukan cara yang baik untuk menolong mereka" gumam Pendekar Gila.
Kemudian, dihampirinya pemimpin Laskar Setan yang telah sadar dari pengaruh totokan.
"Kisanak apakah kau tidak ingat apa-apa?" tanya Sena.
"Tidak" sahut lelaki berjubah hitam itu.
"Hm...," Sena menggumam. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat semuanya?" Tanpa diminta, lelaki berjubah hitam itu menceritakan apa yang telah dialaminya. Diceritakannya ketika dia lewat di Gunung Lawu, tiba-tiba seseorang menyergapnya. Kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
"Hanya itu yang kuingat..," kata lelaki berjubah hitam itu, menutup ceritanya.
"Jadi teman-temanmu pun tidak sadar kalau mereka kini tengah bertarung?" tanya Sena.
"Mungkin. Karena aku sendiri seperti yang tertidur."
"Celaka" seru Sena. "Ayo kita bantu menyadarkan mereka." Sena dan lelaki berjubah hitam yang ternyata bernama Trana Jaya itu segera berkelebat ke kancah pertarungan antara Dewi Teratai Perak dan seluruh muridnya yang menghadapi Laskar Setan.
"Hentikan.." sergah Trana Jaya yang berusaha menghentikan rekan-rekannya. Namun tindakannya itu sia-sia belaka. Malah dia dan Pendekar Gila kini diserang pula.
Wuttt "Edan" maki Sena. "Mereka benar-benar tidak kenal dengan pemimpinnya"
"Ya Mereka seperti sedang bermimpi, Tuan," sahut Trana Jaya sambil mengelakkan seranganserangan bekas anak buahnya yang masih dalam pengaruh totokan Ki Catrik Ireng.
"Terpaksa..." dengus Sena sambil melompat ke atas, lalu dengan cepat menghantamkan Suling Naga Sakti ke tubuh lawan-lawannya.
Bukkk Bukkk..
Satu persatu anggota Laskar Setan itu berjatuhan, terhantam Suling Naga Sakti. Sementara Dewi Teratai Perak dan murid-muridnya terus berusaha membendung serangan lawan. Dibantu oleh Trana Jaya.
"Heaaat.." Dengan bantuan Pendekar Gila dan Trana Jaya, Laskar Setan dapat dilumpuhkan satu persatu.
Sampai akhirnya habis tak tersisa.
"Wah... Rasanya semua bagai mimpi," gumam Sena setelah menyelesaikan tugasnya. "Manusia-manusia aneh..."
"Benar, Tuan," sahut Trana Jaya. "Aku pun merasa seperti bermimpi. Tak pernah kubayangkan, kalau akhirnya aku akan tersadar kembali. Ah, aku harus kembali ke perguruanku"
"Di manakah perguruanmu, Kisanak?" tanya Dewi Teratai Perak yang telah mendengar penuturan bekas pemimpin Laskar Setan itu.
"Aku dari Perguruan Tirta Sakti," jawab Trana Jaya. "O, tidak kusangka aku bisa bertemu dengan murid Ki Tirta Buana," desis Dewi Teratai Perak. "Bagaimana kabar gurumu sekarang?"
"Entahlah. Sudah lama aku tidak menemuinya. Mungkin hampir setahun," sahut Trana Jaya.
"Eh, di mana pemuda itu?" tiba-tiba Dewi Teratai Perak berseru kaget, ketika matanya tidak mendapatkan Pendekar Gila di tempatnya semula.
"Ha ha ha... Aku di sini Kuharap kalian bisa saling membantu..." seru Sena dari kejauhan. "Aku yakin, kalian adalah pasangan yang serasi" Trana Jaya dan Dewi Teratai Perak saling pandang. Kemudian tersipu malu.
"Siapakah pemuda sakti itu?" tanya Dewi Teratai Perak entah ditujukan pada siapa.
"Entahlah," jawab Trana Jaya. "Mungkin dia yang menjadi musuh besar Ketua Laskar Setan."
"Siapa Ketua Laskar Setan?"
"Ki Catrik Ireng," jawab Trana Jaya.
"Kalau begitu, mungkin pemuda itu adalah Pendekar Gila Oh, sungguh aku tak menyangka. Dan, bukankah tangannya tadi memegang suling berkepala naga?"
"Ya, benar."
"Tidak salah lagi. Dia memang Pendekar Gila...," desis Dewi Teratai Perak.
Mata Trana Jaya membelalak kaget. Tidak disangkanya kalau Pendekar Gila yang namanya pernah terdengar puluhan tahun silam ternyata masih muda.
Hening sesaat. Kemudian dengan malu-malu, Dewi Teratai Perak mengajak Trana Jaya masuk ke dalam perguruannya,
***
TUJUH
Waktu yang dinanti-nantikan oleh para pendekar rimba persilatan tiba. Dua bulan purnama telah berlalu. Kini, tibalah saat yang dijanjikan Ki Catrik Ireng untuk melakukan duel dengan pendekar muda yang namanya tengah menjadi buah bibir.
Sesungguhnya niat Ki Catrik Ireng bukan semata-mata melakukan duel ulang dengan Pendekar Gila yang pernah mengalahkannya lima puluh tahun silam. Tujuan sebenarnya adalah menunjukkan pada para pendekar, bahwa dialah yang pantas menduduki jabatan orang nomor satu di rimba persilatan Dari setiap penjuru tanah Jawa Dwipa, berdatangan para pendekar rimba persilatan.
Pada umumnya mereka ingin menyaksikan duel dua pendekar itu, setelah mereka mendapat undangan dari Ki Catrik Ireng. Dari arah barat, sekelompok orang melangkah dengan gagah. Seorang lelaki tua dengan pakaian resi berwarna putih berjalan paling depan. Di tangannya tergenggam tasbih. Dialah Resi Sarameskari. Anggota Kuil Wisma Dewa berjalan di belakangnya. Mereka berkepala botak dan berpakaian resi.
Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tongkat panjang terbuat dari kayu cendana. Itulah senjata mereka. Berbeda dengan Resi Sarameskari yang berambut panjang digelung ke atas serta jenggot yang panjang dan putih, wajah anggotanya nampak bersih. Tak ada jenggot atau kumis.
"Guru, mungkinkah Ki Catrik Ireng tidak bermaksud memperdayai para pendekar?" tanya salah seorang resi muda yang berjalan di belakang Resi Sarameskari,
"Entahlah...," sahut Resi Sarameskari.
"Tokoh yang satu ini memang terkenal aneh. Lima puluh tahun menghilang dari rimba persilatan, tapi kini muncul kembali. Mungkin dia muncul setelah mendengar kemunculan Pendekar Gila."
"Ada hubungan apa antara Ki Catrik Ireng dengan Pendekar Gila itu. Guru?" kali ini yang bertanya resi muda lain yang juga berjalan di belakang Resi Sarameskari.
"Baiklah, sambil berjalan akan kuceritakan pada kalian hubungan antara dua orang sakti itu."
Resi Sarameskari kemudian menceritakan pada murid-muridnya tentang kedua tokoh sakti rimba persilatan itu. Dikatakannya bahwa dua tokoh persilatan itu dulu pernah bertarung. Juga dikatakan bahwa Ki Catrik Ireng senantiasa tidak puas jika belum mengalahkan semua pendekar rimba persilatan. Hampir semua pendekar telah dihadapinya. Hanya Pendekar Gila dari Goa Setan saja yang belum dikalahkan.
Keduanya saling mencari. Ki Catrik Ireng mencari Pendekar Gila dengan tujuan menantang duel. Sedangkan Pendekar Gila mencari Ki Catrik Ireng untuk menyadarkan tindakan orang itu.
"Lalu bagaimana selanjutnya, Guru?" tanya Re-si Bragaskita, salah seorang resi muda yang berjalan di belakang Resi Sarameskari.
"Mereka pun bertemu."
"Bertarung, Guru?" tanya resi lainnya yang bernama Resi Bramaweda.
"Ya. Mereka bertarung sehari semalam. Sampai akhirnya mereka mengeluarkan senjata masingmasing. Pendekar Gila bersenjata Suling Naga Sakti.
Suling sakti berkepala naga yang terbuat dari emas murni. Sedangkan Catrik Ireng bersenjatakan bumerang kembar."
"Lalu, siapa yang menang, Guru?" tanya Resi Bramaweda semakin ingin tahu.
Resi Sarameskari tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Nafasnya ditarik panjangpanjang sebelum menjawab pertanyaan muridnya itu.
"Tak ada yang menang dan kalah. Hanya senjata Catrik Ireng saja yang terpotong."
"Apakah itu bukan pertanda kalah?" tanya Resi Bragaskita.
"Buktinya sekarang dia menantangnya lagi.
Mungkin kekalahan bagi Ki Catrik Ireng hanyalah kematiannya," gumam Resi Sarameskari.
Mereka pun terus melangkah menuju Gunung Lawu yang terlihat menjulang dengan warna biru. Sebagian puncaknya tampak diselimuti kabut tebal. Sementara itu, dari arah utara serombongan orang melangkah juga menuju arah selatan di mana Gunung Lawu berada.
Seorang nenek bertubuh bungkuk berjalan paling depan. Dia adalah Nyi Kendil. Dan di sampingnya tampak seorang wanita bercadar merah yang tak lain adalah Wulandari atau yang lebih dikenal berjuluk Bidadari Cadar Merah.
Wajah guru dan murid itu kelihatan tegang. Mereka tahu siapa yang akan bertarung untuk menentukan keunggulan sebagai pendekar nomor wahid di rimba persilatan.
Wajah Wulandari kelihatan agak gelisah. Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu. Mungkin benaknya tengah menimbang-nimbang niat Nyi Kendil untuk menjodohkan dia dengan Prabasangka. Padahal hari Wulandari telah terpaut pada Pendekar Gila.
Namun sebagai seorang murid, dia harus patuh pada gurunya. Di belakang mereka, menyusul kelompok dari perguruan aliran putih yang dipimpin seorang lelaki berjubah putih. Tampak di dada sebelah kirinya terdapat gambar teratai. Tangan kirinya menggenggam senjata berupa tombak bermata dua sepanjang lengan.
Dialah Ki Tunggul Manik. Ketua Perguruan Teratai Putih. Sementara itu seorang gadis berbaju hijau berjalan di sampingnya. Gadis itu adalah Suciati (Untuk mengetahui tentang mereka, silakan baca serial Pendekar Gi-la dalam episode "Kumbang Hitam dari Neraka").
Dari arah timur, muncul Dewi Pandagu dan seluruh muridnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. Mereka pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat menyaksikan pertarungan penentu. Semua pendekar dari bermacam perguruan, saat itu benar-benar hadir. Mereka ingin menyaksikan jalannya duel antara dua tokoh sakti itu.
Yang tidak terlihat di situ hanyalah Nyi Bangil dengan Mei Lie. Entah ke mana mereka. Sejak kejadian di markas Segoro Wedi, mereka menghilang bagai ditelan bumi (Mengenai mereka, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode perdana "Suling Naga Sakti").
Mentari bersinar redup di sebelah barat. Nampaknya sebentar lagi akan beranjak ke peraduan.
Para pendekar kini telah sampai di tempat yang dituju. Mereka berdiri mengelilingi sebuah panggung besar yang telah dibuat oleh pasukan Ki Catrik Ireng, Laskar Setan Laskar Setan yang terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki perasaan, telah berjaga-jaga dengan ke-tat. Mereka sengaja dipersiapkan Ki Catrik Ireng untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
***
Mentari semakin tenggelam di kaki langit sebelah barat. Menjadikan suasana di Puncak Lawu terasa agak dingin. Angin bertiup kencang, seakan-akan hendak menyapu orang-orang yang kini berdiri memutari panggung besar. Panggung itu masih sepi. Tak ada seorang pun yang naik ke atas. Semuanya menunggu kehadiran orang yang mengundang mereka. Sekaligus menunggu kedatangan Pendekar Gila.
Dari balik cadas yang menjulang, berkelebat sosok bayangan hitam dengan cepat. Kemudian sosok itu berdiri di atas panggung dengan mata memandang ke sekeliling. Dia tak lain Ki Catrik Ireng, yang mengundang para pendekar untuk datang ke tempat itu. Orang-orang persilatan yang mengelilingi panggung saling berbisik-bisik, menanggapi kedatangan lelaki tua berjubah hitam itu.
"Saudara-saudara pendekar. Sengaja saya mengundang kalian ke sini. Tentunya kalian telah tahu apa yang akan terjadi di tempat ini, bukan..?" ucap Ki Catrik Ireng, mencoba bersikap ramah.
"Ya..." sahut para pendekar.
"Perlu saya beritahukan pada kalian. Sesungguhnya ini bukan hanya duel ulang antara saya melawan Pendekar Gila saja, melainkan ada yang lebih penting. Yaitu mencari siapa yang paling pantas menjadi Ketua Rimba Persilatan..." Semua tersentak dengan mata membelalak mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Kemudian mereka saling pandang, bagai tak mengerti maksud lelaki tua itu sebenarnya.
"Nah, untuk menunggu Pendekar Gila, bagaimana kalau kita adakan pembukaan" kata Ki Catrik Ireng. Kembali semua mata terbelalak mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Mereka benar-benar dibuat kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Ki Catrik Ireng. Karena mereka datang ke Puncak Lawu bukan untuk bertarung satu sama lain, melainkan untuk melihat pertarungan antara Ki Catrik Ireng melawan Pendekar Gila.
"Ha ha ha..." Saat mereka tengah dalam keadaan kebingungan, tiba-tiba terdengar gelak tawa yang menggelegar.
Membuat semua mata seketika memandang ke arah datangnya suara itu. Dari arah timur, berkelebat seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular.
"Pendekar Gila..." seru para pendekar serem-pak, setelah tahu siapa yang datang Pemuda bertingkah laku gila itu masih tertawa tergelak-gelak. Tubuhnya tegak menghadapi Ki Catrik Ireng yang mengerutkan keningnya setelah melihat ru-pa pemuda itu.
"Kaukah Pendekar Gila itu?" tanya Ki Catrik Ireng setengah membentak "Benar" sahut Sena tegas.
"Aku tidak percaya Tentunya kau bukan Pendekar Gila. Kau hanya pemuda gila yang sombong" dengus Ki Catrik Ireng Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggarukgaruk kepala.
"Terserah mu saja, Ki. Kau mau percaya atau tidak itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu, apa maksudmu mengundangku ke sini...?" tanya Sena masih dengan tingkah lakunya yang aneh.
"Hm...." gumam Ki Catrik Ireng perlahan Mata lelaki tua itu memandang tajam ke arah Sena yang tetap bertingkah laku konyol.
"Baik Katakan, ada hubungan apa antara kau dan Singo Edan?"
"Aku muridnya," sahut Sena tenang.
"Bagus Meski kau bukan Pendekar Gila yang lima puluh tahun lalu mengalahkanku, namun kurasa kau dapat mewakili gurumu Sengaja aku mengundangmu kemari, untuk menentukan siapa di antara aku dan Pendekar Gila yang ilmunya lebih tinggi. Mulanya yang kuharapkan adalah gurumu. Tapi tak mengapa, kau pun boleh menggantikannya," kata Ki Catrik Ireng.
"Kalau itu tujuanmu, lebih baik aku mengalah. Tak ada gunanya bertarung kalau hanya memperebutkan pepesan kosong...."
"Pengecut" maki Ki Catrik Ireng
"Begitukah sikap seorang pendekar yang sering disebut sebagai pendekar tanpa tanding? Lihat.. Kalian telah melihat sendiri, bagaimana pendekar yang kalian agung-agungkan ternyata hanya kecoa busuk" Kata-kata pedas dan tajam dari mulut Ki Catrik Ireng yang merendahkan dirinya, tidak membuat Sena marah.
"Ah, kalau aku ini kecoa, tentunya kau kutu busuk Ki" balik Sena dengan niat mengejek Mata Ki Catrik Ireng membelalak penuh amarah.
"Kurang ajar Siapa pun kau, aku harus me-nyingkirkan mu"
"Aha, terserah saja, Ki" tantang Sena.
"Bagus Kalau lima puluh tahun silam aku kalah oleh gurumu, maka hari ini kau sebagai wakilnya akan menerima pembalasanku Bersiaplah...".
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera melangkah mundur tiga tindak. Tangannya diangkat ting-gi-tinggi, dengan jari mengepal. Kemudian sepasang tangan itu digerakkan ke muka. Tangan kanan ditekuk dengan tinju ke atas, sedangkan tangan kin dibuka dengan jari-jari lurus.
"Hhh..." Ki Catrik Ireng memutar tangan kiri ke dalam lalu menyentakkan ke depan lagi. Tangan kanannya ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari terbuka. Disusul hentakan telapak tangan lurus ke depan. Jurus itu merupakan jurus pembuka yang diberi nama 'Sampar Cobra'.
Menyaksikan lawan telah membuka jurus, Pendekar Gila malah tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. "Bersiaplah, Pendekar Gila" dengus Ki Catrik Ireng yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol Pendekar Gila. Membuat hatinya panas meletup-letup.
"Sejak tadi aku sudah siap, Ki," jawab Sena tenang. Semua pendekar yang menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila, seketika tegang. Hati mereka bertanya-tanya, mengapa Pendekar Gila seakan mengacuhkan lawan? Padahal lawan yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Orang yang pernah bertarung dengan gurunya.
Kecemasan seketika menyelimuti hati semua pendekar. Tapi sesungguhnya, tingkah Sena yang seperti kera itu tak lain sebuah jurus pembuka bernama 'Monyet Gila Siap Menerkam'.
'Oh, mengapa dia sepertinya belum siap...?" tanya Dewi Pandagu mengeluh. Hatinya cemas menyaksikan lelaki pujaannya. Dia begitu takut, kalau-kalau pemuda itu akan mendapat celaka karena belum siap menghadapi Ki Catrik Ireng yang berilmu tinggi.
"Kurasa memang tingkahnya begitu, Dewi," ucap rekannya dari Perguruan Teratai Perak, berusaha menenangkan. "Tenanglah...."
"Kuharap juga begitu," desis Dewi Pandagu.
"Lihat Dia telah membuka jurus" seru Dewi Teratai Perak membuat mata semua pendekar terpusat penuh ke arah panggung.
***
Benar juga, Pendekar Gila kini menyurut dua langkah ke belakang. Dengan tertawa-tawa, dimulainya jurus pembuka yang merupakan jurus awal. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Tangannya bergerak lemah gemulai dan lincah.
"Bersiaplah.... Aku akan mulai Yeaaat.."
Ki Catrik Ireng memekik keras untuk membuka serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan menyambar cepat. Tangan kanannya membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya diputar, lalu dihentakkan ke dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan cepat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangannya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan saling berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut lalu direntang ke kanan. Diikuti oleh gerakan membuka kedua tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan menari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat.."
Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gila Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, lalu dengan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan kanannya yang semula di atas, kini menyibak ke depan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas dan diteruskan memukul ke arah lawan.
"Yeaaa..."
"Heaaat.."
Dua orang berilmu tinggi itu kini telah samasama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh. Tangan mereka bergantian melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki mereka saling menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha... Akhirnya kau akan mampus, Pendekar Gila. Yeaaa..."
Dengan ucapan sombong, Ki Catrik Ireng segera berkelebat menyerang. Tangan kanannya memukul ke dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya membentuk pertahanan.
"Uts..." Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samping, menarik kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke depan. Diikuti oleh pukulan tangannya.
"Edan.." maki Ki Catrik Ireng kaget.
Segera di-tariknya pukulan tangan kanannya, lalu diganti dengan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang. Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu memaksa Ki Catrik Ireng menarik serangan dengan cepat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu memang pernah dihadapinya lima puluh tahun yang silam, tetapi kini lebih hebat
"Rupanya selama lima puluh tahun menghilang, gurumu berusaha menyempurnakan jurus-jurus miliknya..." seloroh Ki Catrik Ireng seraya melangkah ke belakang mengelakkan cengkeraman yang dilakukan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat Ki Catrik Ireng menyodorkan pukulan tangan kanannya ke tulang rusuk lawan.
"Weit..." Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan lawan meleset di depannya. Kemudian dengan cepat Pendekar Gila melontarkan serangan tangan kirinya ke samping.
Semua mata orang persilatan memandang penuh kagum. Mata mereka tak berkedip, seakan akan tidak ingin melewatkan sekedip saja pertarungan itu.
Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.
"Ck ck ck.."
"Ini baru duel seru"
***
DELAPAN
Pendekar Gila masih terus menyerang. Gerakannya yang seperti monyet, terlihat lucu dan lamban. Namun kenyataannya, serangan yang dilancarkannya sangat cepat. Tangannya yang menepak dan mencakar, susul-menyusul tiada henti.
"Edan Benar-benar jurus gila" maki Ki Catrik Ireng tersentak kaget mendapatkan serangan yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit tentunya cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila akan menghajar tubuhnya.
"Heaaat.."
"Uts..." Ki Catrik Ireng lebih terkejut lagi ketika merasakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin pukulan yang menderu keras. Seakan topan besar menerpa tubuhnya.
Ki Catrik Ireng cepat-cepat memutar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula, orang tua berjubah hitam yang telah banyak makam asam garam di rimba persilatan itu melontarkan pukulan telapak tangan ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa..." Ki Catrik Ireng rupanya kini tahu gelagat. Dia yang semula memandang rendah Pendekar Gila, kini tidak bisa lagi meremehkannya. Serangannya yang menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susulmenyusul. Tangannya mematuk-matuk, atau menampar ke dada dan muka lawan.
Pendekar Gila dengan cepat berkelit. Tubuhnya meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke wajahnya. Lalu tubuhnya dimiringkan ke belakang ketika tangan lawan menampar dengan kibasan tangannya ke dada. Kakinya bergerak lincah, menjejak berganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha menghalau dan menyambar ke kaki lawan yang turut menyerang.
"Ck ck ck.. Hebat.." puji Resi Sarameskari diselingi decakan kagum, menyaksikan gerakan yang dilakukan Pendekar Gila. Walau usianya masih muda, namun tampaknya dia mampu menghadapi tokoh tua yang namanya pernah menjadi buah bibir para pendekar. Bahkan pernah menundukkan banyak pendekar tangguh pada zamannya.
"Diakah Singo Edan itu, Guru...?" tanya Resi Bragas Wita, ingin lebih jelas tentang Pendekar Gila.
"Kurasa bukan. Mungkin dia muridnya," jawab Resi Sarameskari.
"Muridnya, Guru? Dari mana pemuda itu bisa tahu tempat persembunyian Singo Edan...?" tanya Resi Bramaweda.
"Entahlah, mungkin Singo Edan yang wataknya aneh itu telah mengambilnya. Kalau pemuda itu yang mencari, kurasa tidak mungkin...," jelas Resi Sarameskari.
"Mengapa begitu, Guru?" sambung Resi Bramaweda.
"Jangankan anak kemarin sore. Aku saja atau pendekar lain yang sebaya denganku, tak ada yang tahu. Ah, sudahlah jangan bertanya dulu. Kita saksikan saja dulu pertarungan itu," tukas Resi Sarameskari.
Kedua murid utamanya itu menurut Mereka diam dan kembali memperhatikan pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ki Catrik Ireng. Keduanya kini sudah tidak di panggung lagi. Panggung itu sendiri telah hancur lebur akibat serangan-serangan yang dilancarkan keduanya. Kini mereka berada di alam bebas, membuat gerakan mereka semakin leluasa.
Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke depan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya menyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.
"Yeaaat.."
"Uts... Heaaat.."
Ki Catrik Ireng segera melejit ke samping. Kemudian dengan gerakan membentuk setengah putaran, tangannya mematuk ke wajah lawan. Lalu, setelah melihat Pendekar Gila menggeser kaki ke samping, Ki Catrik Ireng menyusulkan tamparan tangan kiri ke da-da Pendekar Gila.
Wuttt Tangan kiri Ki Catrik Ireng menderu cepat mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang dengan cepat langsung tersentak kaget. Matanya membelalak. Langkahnya mati. Mendapati hal itu, dengan cepat Pendekar Gila menyapukan tangan kanan untuk memapak tamparan lawan Gerakan tangannya seperti membelah dengan cepat.
"Heaaat.."
Ki Catrik Ireng menarik tamparan tangan kirinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan kaki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar Gila. Mendapat serangan cepat Pendekar Gila segera bersalto ke belakang. Dengan tubuh di udara, kakinya menjejak cepat ke batu cadas. Kemudian dengan tubuh membalik Pendekar Gila menyatukan pukulan tangannya lalu menyerang ke arah lawan.
"Yeaaat.."
Dengan tubuh meluncur cepat Pendekar Gila kini balik menyerang. Tangannya mencecar Ki Catrik Ireng, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan yang dilancarkannya.
"Heaaa..."
Tangan mereka kini bergantian memukul dan menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus merangsek lawan dengan tubuh mengapung di udara. Sedangkan tubuh Ki Catrik Ireng terus mundur dengan menangkis serangan lawan sambil balas menyerang.
Semua mata membelalak Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut para pendekar yang menyaksikan pertarungan aneh itu. Dengan tubuh melayang laksana terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil mencecarkan pukulan dan terkadang menangkis serangan lawan.
"Ck ck ck.."
Semua mendecak kagum dengan kepala menggeleng-geleng. Jarang sekali mereka melihat kemampuan seorang pemuda seperti Pendekar Gila. Meski mereka dari golongan tua sekalipun, rasanya sangat sulit bertarung dengan tubuh melayang seperti itu. Bi-sa-bisa tenaga dalam mereka hilang di tengah jalan.
Pendekar muda itu benar-benar mampu menunjukkan kelasnya. Tubuhnya terus melayang, seakan benar-benar mampu terbang seperti burung. Kakinya terkadang berputar untuk menendang, lalu berputar kembali dengan pukulan-pukulannya.
"Heaaat.." Kalau saja yang menjadi lawan bukan Ki Catrik Ireng yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, sudah tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh yang dilancarkan Pendekar Gila.
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila adalah tokoh kelas wahid yang pernah menundukkan pendekar-pendekar tangguh rimba persilatan. Bahkan pernah pula bertarung melawan Singo Edan, guru Pendekar Gila. Tentunya Ki Catrik Ireng telah tahu jurus-jurus yang menjadi andalan Pendekar Gila.
"Rupanya semakin maju saja ilmu Pendekar Gila" seru Ki Catrik Ireng sambil terus menangkis serangan-serangan Pendekar Gila, dengan sesekali membalas menyerang.
"Yeaaat.." Pendekar Gila melempar tubuhnya ke belakang, kakinya menjejak ke atas batu cadas. Kemudian berdi-ri dengan posisi siap melakukan serangan. Tangannya bergerak bagaikan kera yang hendak melempar. Tangan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, sedangkan tangan kirinya berada di perut dengan jarijari tangan kejang mencengkeram.
"Jurus 'Kera Gila Melempar Batu'," gumam Ki Catrik Ireng yang telah tahu jurus itu. "Dulu gurumu boleh bangga dengan jurus itu. Namun sekarang jurus itu tak ada gunanya bagiku, Pendekar Gila Yeaaat.." Tubuh Ki Catrik Ireng segera berkelebat untuk menyerang. Tangan kanannya membentuk kepala ular.
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping dengan jari-jari membuat cengkeraman. Kemudian tangan kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan cengkeraman. Itulah jurus 'Naga Mencakar Langit'. Salah satu jurus andalan Ki Catrik Ireng.
"Yiaaat.."
"Heaaa..." Tubuh keduanya kembali melesat maju, siap melakukan serangan berikutnya.
***
Cakar dan tamparan Pendekar Gila kini seperti tangan seekor kera yang tengah melempar batu. Namun gerakannya sangat cepat menghasilkan deru angin keras ketika kedua tangannya bergerak. Sedangkan Ki Catrik Ireng tak mau tinggal diam. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, mematuk dan menampar ke wajah dan dada lawan. Sedangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.
"Yiaaat.."
"Uts Heaaa..."
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tangan bergantian melakukan serangan dan tangkisan. Kaki mereka tak tinggal diam, bergerak cepat kian kemari. Kemudian melakukan serangan dengan tendangan dan sapuan.
Trak
"Yeaaat.."
"Hop..."
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu, terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tubuh keduanya melompat ke belakang dua tindak, lalu dengan mata tajam disertai pekikan, keduanya kembali menyerang.
"Yeaaat.."
"Hiaaat.."
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat seperti sedang melempar. Menghasilkan deruan angin kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin topan yang susul-menyusul.
Ki Catrik Ireng tak hanya diam mendapatkan serangan aneh itu. Mulutnya mendesis, tangan kanannya bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, la-lu membuka untuk menangkis serangan. Disusul cakaran tangan kirinya ke dada lawan.
"Sss... Heaaa..."
Tubuh keduanya berkelebat cepat Kini mereka semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja, tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak hanya gulungan berwarna hitam.
Semua mata yang menyaksikan pertarungan itu lagi-lagi membelalak. Kini rasanya sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti gerakan tubuh kedua tokoh sakti itu.
"Gila... Mereka benar-benar telah mengeluarkan gerakan ilmu silat yang luar biasa" gumam Dewi Pandagu.
"O, mungkinkah Sena dapat memenangkan pertarungan penentuan ini?" Dewi Teratai Perak tersenyum. Dia tahu apa yang tengah dirasakan oleh temannya. Kemudian dengan mata masih memandang ke arah pertarungan, Dewi Teratai Perak berusaha menenangkan temannya.
"Tenanglah, Dewi. Berdoalah pada Hyang Widhi. Semoga Pendekar Gila menang. Bukan kau saja yang khawatir. Semua pendekar aliran lurus juga begi-tu."
Dewi Pandagu terdiam, meresapi kata-kata yang diucapkan temannya. Memang benar apa yang dikatakan Dewi Teratai Perak. Kekalahan Pendekar Gi-la, berarti kekalahan aliran lurus. Dan tentunya tokoh aliran sesat akan bertindak sewenang-wenang, tanpa mempedulikan aturan rimba persilatan.
Di sebelah utara, Wulandari yang berjuluk Bidadari Cadar Merah pun nampak cemas. Wajahnya nampak gelisah. Hal itu terlintas di matanya, yang memandang penuh ketegangan.
"Hhh... Semoga Hyang Widhi selalu melindunginya," gumam Wulandari perlahan.
Nyi Kendil tersenyum, memahami perasaan muridnya. Mata wanita tua itu menatap tajam ke arah pertarungan dua tokoh sakti itu. Kalau sampai Pendekar Gila dapat dikalahkan, dia akan menyerang lelaki tua yang dibencinya itu. Meski dia tahu, bagaimana-pun juga lelaki itu adalah suaminya sendiri.
"Tenanglah, Wulan. Kalau sampai Pendekar Gila kalah, aku tak akan tinggal diam. Aku akan melabraknya," bisik Nyi Kendil, berusaha menenangkan ha-ti muridnya. "Kurasa, pendekar muda itu bukan pendekar kemarin sore yang mudah dikalahkan. Kita berdoa saja pada Yang Kuasa." Pertarungan antara dua orang sakti yang berkepandaian tinggi itu masih berlangsung seru. Bahkan kini mereka telah kembali mengganti jurus. Jurus-jurus yang kini mereka keluarkan semakin meningkat ke jurus-jurus tingkat tinggi.
"Yeaaat..." Pendekar Gila telah mengeluarkan jurus 'Dewa Mabuk Melebur Karang'. Tangannya membentuk setengah lingkaran. Kemudian menepuk-nepuk dada.
Menggaruk-garuk kepala sesaat, lalu kembali melakukan gerakan menghantam dan membongkar. Benarbenar seperti dewa mabuk yang hendak melebur batu karang. Cengkeramannya sangat keras dan kuat dan pukulannya tak kalah dahsyat Wusss...
Glarrr Setiap kali tangan kanan atau kirinya menghentak, maka keluarlah serangkum angin yang dahsyat. Menghancurkan batu cadas yang terkena.
"Hop Yeaaa..." Ki Catrik Ireng tak mau diam begitu saja. Setelah mampu mengelakkan serangan lawan, dengan cepat telapak tangan kanannya ditempelkan ke belakang kepala. Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping. Itulah jurus 'Waringin Sungsang' atau jurus 'Lipatan Ular Sanca Membunuh Mangsa'.
Tubuh Ki Catrik Ireng meliuk-liuk, dengan tangan laksana membelit. Kemudian tangan kanannya yang berada di belakang kepala, kini menghantam ke arah lawan.
"Heaaat.." Serangkum angin disertai deruan keras, menyerbu ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila membuang tubuhnya ke samping. Lalu tubuhnya segera berguling ke bawah, dengan tangan lurus, menyibak dan menghantam dari bawah.
"Yeaaat.." Wuttt, wuttt..
Sambil berguling di tanah, Pendekar Gila melancarkan serangan. Tangannya bergantian menyibak dan menghantam. Persis seekor kera gila yang sedang berusaha menyerang lawan.
"Uts Yeaaa..." Ki Catrik Ireng mengangkat kedua kakinya bergantian, berusaha mengelakkan cakaran dan hantaman tangan lawan. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian turun dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Tangan Ki Catrik Ireng kini bersinar laksana membara. Membuat suasana di sekeliling kancah pertarungan bagai terbakar. Panas sekali, meski hari saat itu telah malam. Tak terasa oleh mereka, kalau malam telah tiba sejak tadi. Bahkan bulan purnama tepat berada di ubun-ubun.
"Oh, jurus apa lagi yang dikeluarkannya?" desis Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan cepat gerakannya diubah. Dengan berdiri tegak, tangannya disilangkan ke depan dada. Kemudian kedua telapak tangannya disatukan di atas kepa-la.
"Yeaaat..." Kini Pendekar Gila telah mengeluarkan pukulan saktinya, berusaha menandingi jurus 'Waringin Sungsang' yang telah dikeluarkan Ki Catrik Ireng.
'Pukulan Inti Bayu' telah dikeluarkan, untuk menang-gulangi hawa panas yang keluar dari ajian 'Waringin Sungsang'.
Wrrr Seketika angin menderu keras, membawa hawa dingin yang menyelimuti sekeliling tempat itu. Para pendekar yang tadi kepanasan, kini tersenyum senang.
Keringat yang membanjiri tubuh mereka akibat hawa panas, tersapu oleh deru angin yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila.
"Rupanya kau masih mengandalkan jurus kuno, Pendekar Gila Ilmumu tak ada gunanya menghadapi 'Waringin Sungsang'ku Bersiaplah untuk mampus... Yeaaah..." Dengan pukulan 'Waringin Sungsang', tubuh Ki Catrik Ireng berkelebat, siap merangsek Pendekar Gila.
"Yeaaat..." Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak mau tinggal diam. Tangannya yang tadi menyilang di depan dada, kini dihentakkan ke depan untuk memapaki serangan lawan.
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang dan menyapu ke arah lawan.
"Yeaaat.."
"Hiaaa..." Keduanya melesat cepat dengan tangan siap beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di udara, untuk menghantamkan pukulan ke arah lawan.
Darrr Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuhnya keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh..." Pendekar Gila mengeluh, setelah men-ginjakkan kakinya di bibir jurang.
Sementara Ki Catrik Ireng yang juga telah menapakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik kembali melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang'nya. "Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila" Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya kalau lawan akan menyerang kembali. Sebisanya dikeluarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya ter-pancar sinar membara, membuat sekelilingnya panas.
Glarrr "Aaakh..."
Pendekar Gila memekik keras, tubuhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Ki Catrik Ireng terdorong dengan keadaan luka dalam. Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.
"Sena..." pekik Dewi Pandagu, menyaksikan kekasihnya terlempar jauh ke dalam jurang. Matanya membelalak penuh amarah.
"Pendekar Gila..." seru Ki Tunggul Manik.
Semua pendekar yang bersimpati pada Pendekar Gila memekik keras. Mata mereka melotot penuh amarah ke arah Ki Catrik Ireng. Kemudian bagai diberi aba-aba mereka menyerbu Ki Catrik Ireng yang terlu-ka.
"Serbu... Jangan biarkan mereka melukai ayah..." Tapi, pada saat para pendekar bergerak menyerbu, tiba-tiba terdengar suara perintah seorang pemuda dari balik cadas.
Manusia-manusia berjubah hitam yang berdiri di sekeliling tempat itu seketika berkelebat cepat, menghadang dan menyerang para pendekar yang hendak melakukan penyerbuan ke arah Ki Catrik Ireng.
"Laskar Setan..." seru Dewi Pandagu kaget.
"Serang..." seru Resi Sarameskari, memerintah pada murid-muridnya. Sekaligus memerintahkan pada rekan-rekan segolongan untuk menyerang. Namun baru saja mereka hendak bergerak, tiba-tiba Ki Catrik Ireng membentak...
"Hentikan Kalian telah terkurung Kalian tak akan mampu lolos dari tempat ini Kini Pendekar Gila telah binasa, maka sepantasnyalah aku menjadi pemimpin rimba persilatan"
"Persetan dengan ucapanmu, Ki" maki Ki Tunggul Manik.
"Ya Tak pantas orang licik sepertimu menjadi pemimpin para pendekar," timpal Resi Sarameskari.
"Lagi pula, belum tentu Pendekar Gila telah binasa Kau tidak bisa seenaknya mengangkat dirimu sebagai ketua rimba persilatan" Nyi Kendil tiba-tiba membentak begitu tubuhnya berkelebat mendekat, membuat Ki Catrik tersentak kaget.
"Kau...?"
"Ya, aku. Rupanya kita dipertemukan kembali, Catrik Ireng Kau harus menyerahkan anakku", dengus Nyi Kendil.
Prabasangka yang mendengar wanita tua itu mengatakan bahwa dia ibunya, memandang penuh kebingungan.
"Ayah, benarkah dia ibuku?" tanya pemuda berbaju kuning itu.
Ki Catrik Ireng terdiam sesaat Kemudian perlahan kepalanya mengangguk.
"Ya, dia memang ibumu. Dialah yang telah menelantarkan mu semasa kau masih bayi."
"Bohong Lelaki tak tahu diri Wulan, serang dia" perintah Nyi Kendil.
Pertarungan seru antara para pendekar melawan Laskar Setan pun terjadi dengan seru. Mereka seperti tak peduli dengan Ki Catrik Ireng. Kekalahan Pendekar Gila akibat kelicikan lelaki tua berjubah hitam itu, telah mengobarkan api kemarahan mereka.
Dua kelompok besar saling bentrok. Menjadikan pertarungan sangat seru. Namun karena jumlah pendekar golongan lurus tidak sebanding dengan jumlah tokoh aliran sesat, dalam sekejap saja mereka dapat didesak "Hentikan..." seru Ki Catrik Ireng. "Dengarlah oleh kalian semua Baiklah, aku memberi kesempatan pada kalian untuk berpikir sekaligus membuktikan kalau Pendekar Gila telah mampus. Kalau selama satu minggu tak ada kabar tentang Pendekar Gila, kalian harus datang menyaksikan penobatan ku sebagai pemimpin rimba persilatan" Semua pendekar terdiam. Hanya mata mereka yang memandang penuh kebencian pada Ki Catrik Ireng yang tertawa tergelak-gelak. Lelaki tua itu kini tidak merasakan lagi rasa sakit akibat luka dalamnya, karena beberapa jalan darahnya telah ditotok "Bagaimana, apakah kalian setuju?" tanya Ki Catrik Ireng. "Kalian akan kubebaskan. Tapi jika membangkang, Laskar Setan tak akan tinggal diam. Di ma-na pun kalian berada, mereka akan mencari dan membunuh kalian" Semua pendekar golongan putih hanya mampu menghela napas. Mulut mereka terkunci, diam tak ada yang menjawab. Hanya mata mereka saja yang menggambarkan ketidaksenangan terhadap cara Ki Catrik Ireng. "Jangan percaya omongannya Kita serang sa-ja" Tiba-tiba Nyi Kendil berseru. Kemudian tanpa menunggu rekan-rekannya menyerang, Nyi Kendil melakukan serangan dibantu oleh Bidadari Cadar Merah.
"Percuma saja kau menyerangku, Nyi Seharusnya kau menyadarinya dan mau kembali bersamaku" sergah Ki Catrik Ireng.
"Cuih Tak sudi aku bersamamu Lebih baik aku binasa" bentak Nyi Kendil.
"Baik kalau begitu Laskar Setan, ringkus kedua wanita itu..." seru Ki Catrik Ireng yang dengan segera dipatuhi oleh Laskar Setan.
"Ayah, mengapa kau menangkap ibu?" tanya Prabasangka.
"Diamlah Biarkan mereka menangkap wanitawanita tak tahu diuntung itu" Pertarungan Nyi Kendil dan muridnya melawan Laskar Setan benaran tak seimbang. Keduanya dapat segera ditangkap.
"Bawa mereka ke tahanan" perintah Ki Catrik Ireng. "Tapi, Ayah..." cegah Prabasangka hendak menentang.
"Diam" hardik Ki Catrik Ireng berang.
Prabasang langsung menuruti kata-kata ayahnya. Apalagi setelah dilihatnya sepasang mata lelaki tua itu mencorong tajam.
"Sekarang kalian boleh bubar Kutunggu kalian tujuh hari lagi" kata Ki Catrik Ireng pada para pendekar.
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera bersuit nyaring. Tubuhnya berkelebat diikuti oleh Laskar Setan. Semua pendekar terpaku menyaksikan bagaimana Ki Catrik Ireng, Prabasangka dan Laskar Setan menghilang. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kejengkelan. Wajah mereka menggambarkan kecemasan akan nasib Pendekar Gila.
***
SEMBILAN
Tubuh Sena yang terkena pukulan 'Waringin Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, melayang deras di rongga Jurang Lawu yang dalam. Kemudian tubuhnya berguling-guling di lereng yang berhutan lebat Nampaknya hutan itu belum pernah dijamah manusia. Angker, dan tampaknya dihuni binatang-binatang buas yang siap memangsa setiap manusia yang berani memasuki kawasan hutan itu.
"Akh..."
Sena memekik, tubuhnya menggelinding ke bawah. Kini tubuhnya semakin bertambah jauh dari Puncak Lawu. Tubuh Sena yang sedang menggelinding itu membuat kaget semua penghuni hutan. Burungburung beterbangan. Beberapa ekor rusa berlari sera-butan. Binatang-binatang lainnya juga berlarian kalang-kabut Setelah membentur pohon yang cukup besar, tubuh Sena baru berhenti. Akibatnya sungguh luar biasa. Pohon besar itu bagaikan dihantam oleh kekuatan yang dahsyat, tumbang menimbulkan suara berde-bum.
Brak Kraaak... Bummm Tubuh Sena tergeletak pingsan. Dari bibirnya meleleh darah yang tidak sedikit. Sepertinya dia mengalami luka dalam akibat pukulan 'Waringin Sungsang' yang dilancarkan Ki Catrik Ireng Entah berapa lama Sena terkulai pingsan. Ketika itu, tampak seekor ular sanca besar mendesis turun dari atas sebatang pohon. Sepertinya ular sanca itu mencium bau manusia, yang mengundang hasratnya untuk menyantap.
"Szzz..."
Ular sanca sebesar paha manusia dengan panjang sepuluh kaki itu terus mendesis sambil merayap ke arah Sena. Matanya yang merah, memandang penuh nafsu ke tubuh Sena yang masih tergeletak pingsan.
"Szzz...."
Ular sanca besar itu semakin mendekat. Lidahnya yang berwarna merah dan bercabang, menjulurjulur. Matanya semakin bersinar, bagai senang mendapatkan mangsa. Ketika tiba di dekat tubuh Sena, mulutnya langsung menganga, siap menelan Sena bulat-buat.
"Szzz..."
Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba seekor monyet besar berkelebat dari atas pohon. Kemudian dengan teriakan menggelegar, tangan monyet itu menangkap kepala ular serta melemparkannya jauh-jauh.
"Nguk.."
Kemudian kera besar itu mendekati tubuh Sena. Sepertinya kera itu bermaksud menolong Sena, ta-pi telinganya yang tajam mendengar desisan keras dari belakangnya.
"Nguk.."
Kera itu menoleh, dan memandang tajam ke arah ular sanca yang murka. Ular itu merayap menuju kera dan tubuh Sena yang mulai tersadar.
"Ngukkk" Sambil berteriak keras, kera itu melompat maju. Dengan gayanya yang lucu, binatang itu terus mendekati ular sanca yang mendesis keras dengan kepala terangkat, dan ekor digerak-gerakkan.
"Zsss"
"Nguk, nguk..."
Suasana di sekitar tempat itu seketika menjadi riuh. Sena yang baru siuman menjadi terkejut. Matanya membelalak kaget, menyaksikan dua ekor binatang itu tengah berhadap-hadapan. Keduanya seakan siap melakukan serangan.
"O, rupanya kera besar itu telah menolongku dari serangan ular sanca," duga Sena dengan mata menyipit, memandang kedua binatang yang masih saling pandang dengan mata penuh kewaspadaan. Keduanya siap melakukan serangan.
"Nguk, nguk, nguk..."
Tangan kera itu menggaruk-garuk kepala dan perutnya. Tingkahnya sangat lucu, melompat-lompat bagai kegirangan. Sedangkan ular sanca kembali mendesis dengan kesan liar dan buas. Kepalanya terangkat tinggi-tinggi, mulutnya membuka, menunjukkan li-dahnya yang merah bercabang. Ekornya digerakgerakkan, mengingatkan Sena pada jurus 'Waringin Sungsang' yang telah membuat tubuhnya terlempar.
"Ha, bukankah gerakan ular sanca itu seperti jurus 'Waringin Sungsang'? Aha, benar... Gerakannya persis dengan jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng," gumam Sena dengan mata membesar, memandangi kedua binatang yang siap bertarung. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Kedua binatang itu kini bergerak, saling menerkam satu sama lain. Serangan ular sanca itu sama persis dengan serangan-serangan yang dilancarkan Ki Catrik Ireng. Mulutnya mendesis-desis dan mematuk dengan ekor turut menyerang.
"Ngukkk..."
"Zsss..." Kera itu bergerak aneh. Kakikakinya melangkah dengan teratur. Gerakannya begitu halus dan pelan. Tangannya mengibas, kakinya melangkah satusatu. Seakan ada hitungan-hitungan tersendiri.
"Hai, apa yang dilakukannya?" bisik Sena, terheran-heran melihat tingkah laku kera itu.
Pendekar Gila terus mengamati gerak-gerik kera dalam melakukan serangan. Tanpa sadar, kakinya turut melangkah. Mulanya kaki kanan ditarik melebar, kemudian melangkah menyilang di depan kaki kiri. Kemudian kaki kiri ditekuk ke atas, lalu menapak.
Sementara salah satu tangan kera itu berada di dada dengan jari merapat Sedangkan tangan kanannya bergerak mengipas di depan tubuh. Kemudian telapak tangan kanannya diputar dengan jari-jari lurus ke atas. Tanpa disadari, Pendekar Gila terus mengikuti gerak-gerik kera itu. Kaki dan kanannya turut bergerak. Kakinya yang kanan direntang melebar, kemudian melangkah menyilang. Disusul oleh kaki kirinya yang menekuk ke atas, lalu dilangkahkan bersamaan dengan hentakan keras telapak tangan.
"Ah, rupanya kera itu menggunakan sebuah jurus yang sakti. Meski gerakannya tampak lemah, namun mengandung tenaga dalam yang cukup dahsyat," gumam Sena sambil terus mengikuti cara-cara kera itu dalam melakukan serangan. Dan tampaknya ular yang menggunakan jurus mirip 'Waringin Sungsang' memang mengalami kesulitan untuk melancarkan serangan-serangannya.
Setiap kali kepala ular sanca itu hendak menerkam, dengan gerakan aneh dan kaki-kaki melangkah teratur, kera bertubuh besar itu mendahului menyerang. Tangan kirinya yang semula di dada, kini menampar cepat ke kepala ular itu.
"Szzz" Ular sanca itu tampak kaget melihat tamparan lawannya. Kepala yang sudah diangkat dan siap menyerang, ditarik kembali ke belakang. Kemudian digantikan dengan serangan kibasan ekornya.
"Ngiiikkk..." Kera itu mengeluarkan teriakan ganjil. Kemudian kakinya melompat ke atas dengan kaki kiri ditekuk ke atas, lalu tangan kirinya dikibaskan dua kali dan dihantamkan ke kepala ular itu.
Sena terpana dengan mata membelalak menyaksikan pertarungan dua binatang yang mampu menggunakan jurus-jurus sakti itu. Terlebih pada kera itu. Meski gerakannya sangat halus, namun mampu membuat ular sanca tak dapat berbuat apa-apa.
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salah lihatkah aku?" tanyanya sambil mengusap-usap mata, berusaha meyakinkan penglihatannya. Tetap saja kedua binatang yang bertarung dengan jurus-jurus sakti itu masih terlihat "Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan ke-ra itu," puji Pendekar Gila. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak-gerak mengikuti gerakan-gerakan kera.
"Szzz..." Kepala ular sanca bergerak cepat hendak menerkam kera itu. Tapi, dengan gerakan aneh, kera bertubuh besar itu melompat dan balas melakukan tamparan.
Kera itu dengan gerakan halus dan lemas kini mendesak ular sanca yang tampak menggunakan jurus 'Waringin Sungsang'. Hal itu membuat mata Sena semakin melotot Sambil menggaruk-garuk kepala, diawasinya jalannya pertarungan seru itu.
Kera itu masih menyerang dengan halus. Tangan dan kakinya terus bergerak seperti semula. Kaki kanannya direntang, kemudian dikibaskan. Disusul dengan tangan kirinya diangkat, lalu melakukan tamparan. Meski tamparan yang dilakukan tampak pelan, tapi akibatnya hebat. Serangkum angin pukulan menderu, menyentakkan ular sanca itu.
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan kera itu," puji Sena. Kemudian tanpa sadar kembali di-ikutinya gerakan-gerakan kera itu. Sementara matanya tetap memandangi kedua binatang yang tengah bertarung. "Szzz..." Ular sanca itu kelihatan marah sekali, karena serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan.
Matanya merah laksana mengandung api. Kemudian dengan desisan keras, ular sanca itu membelit tubuh lawannya.
"Nguk" Kera itu bergerak cepat untuk mengelitkan belitan ular sanca. Kemudian tubuhnya kembali melakukan gerakan aneh. Tangan kirinya menampar ke kepala ular. Sedangkan tangan kanannya menghantam dengan telapak tangan ke tubuh ular itu.
Plak Des "Szzz" Ular sanca itu mendesis, kepalanya bergerak liar merasakan sakit akibat tamparan tangan lawannya. Meski terlihat pelan, namun tamparan itu membuat rasa sakit luar biasa.
"Hah?" mata Sena melotot lagi.
***
Sena benar-benar dibuat kaget, menyaksikan bagaimana kera itu mampu menampar kepala ular sanca. Dan yang membuat matanya semakin membelalak, ular sanca itu menggelepar bagai dihajar dengan batu sebesar kepala manusia.
Padahal tamparan kera itu terlihat tidak terlalu keras. "Jagat Dewa Batara, sungguh hebat hasil tamparan kera itu. Jurus apakah yang dilakukannya?" gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Szzz..."
Ular sanca itu tampaknya marah sekali. Kepalanya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian mematuk dengan cepat tiada henti. Rupanya ular itu tak mau kejadian yang tadi menimpanya, harus dialami lagi. Kepalanya terus menyerang, mematuk dan menerkam. Ekornya juga tak mau tinggal diam, bergerak menyabet dan membelit.
"Nguk"
Dengan tenang kera itu terus menggerakkan kaki dan tangannya. Gerakannya sangat lemas dalam melakukan kibasan tangan dan menyentakkannya. Begitu juga tangan kirinya ketika menampar. Dua binatang itu terus bertarung dengan serunya. Tak ada yang bermaksud mengalah. Keduanya sama-sama bernafsu untuk mengalahkan.
"Nguiik..."
Tiba-tiba kera itu melengking keras. Lengkingan yang mampu memekakkan telinga itu membuat Sena tersentak kaget Cepat-cepat telinganya ditutup dengan pengerahan tenaga dalam.
Kejadian aneh kembali terjadi. Ketika kera itu melengking, ular sanca seketika mendesis keras. Sepertinya merasakan sakit yang tiada taranya. Sedangkan mata dan mulut ular sanca itu mengeluarkan darah.
"Oh, sungguh dahsyat lengkingan kera itu," bisik Sena menyaksikan kejadian tersebut Belum lagi hilang rasa kagetnya, seketika Sena dikejutkan oleh gerakan yang dilakukan kera. Dilihatnya tangan kanan kera itu mengibas dua kali. Lalu menghentakkan telapak tangan ke tubuh ular sanca yang tengah meraung-raung kesakitan.
Tidak hanya sampai di situ, tangan kiri kera itu kini menampar kepala ular sanca. Dan mata Sena dapat melihat jelas bagaimana cara kera itu melakukan tamparan. Mata kera itu terpejam rapat Binatang itu tidak menampar dengan kekuatan kasarnya, melainkan dengan kekuatan sukma.
"Hah? Tamparan apa itu? Oh, mungkin Jurus yang dilakukan kera itu bernama 'Tamparan Sukma'," gumam Sena.
"Nguiiik.."
Plak Trak
"Ssszzz..."
Ular sanca itu mengeluarkan desisan keras. Tubuhnya menggelepar-gelepar dengan kepala pecah. Sekali lagi Sena membelalak kaget. Tak disangkanya kalau tamparan tangan kiri kera yang terlihat sangat pelan dan lemas, ternyata mampu menghancurkan kepala ular sanca yang besar.
"Bukan main..." pekik Sena terkagum-kagum menyaksikan kejadian tadi.
Dengan tersenyum-senyum, Sena menggarukgaruk kepalanya. Matanya masih memandang kera yang kini bertingkah seperti tingkahnya. Sementara ular sanca yang tadi tampak mengeluarkan jurus 'Waringin Sungsang', telah tergeletak dengan kepala hancur berantakan.
"Nguk, nguk, nguk.." Kera itu melompat-lompat kegirangan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk pantat. Kemudian kera itu membalikkan tubuh, lalu memandang Sena.
"Nguk" Kera itu mengangguk-anggukkan kepalanya secara berirama.
"Ah ah ah... Terima kasih sahabat. Kau telah menolongku dari ancaman ular itu. Ah, aku tertarik sekali dengan jurus yang kau lakukan," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kera itu masih melompat-lompat kegirangan dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan pantat. Mulutnya nyengir dan mengeluarkan suara. Kemudian kepalanya mengangguk-angguk seakan menyuruh Sena melakukan jurus itu.
"Oh, rupanya kau membolehkan aku mempelajari gerakan-gerakanmu. Terima kasih, Sobat Kau baik hati..," ucap Sena.
"Nguk nguk.." Kera itu mengangguk-anggukkan kepala. Seakan mengerti ucapan Pendekar Gila. Mulutnya masih nyengir. Kemudian tangan kanannya digerakkan, seolah-olah menyuruh Sena untuk segera melakukannya.
"O, kau menyuruhku untuk mengikuti semua gerakan-gerakanmu? Baik..." Sena segera melakukan gerakan-gerakan yang sempat dilihatnya dan diingatnya ketika kera itu bertarung dengan ular sanca. Tangan kanannya dikibaskibaskan, kemudian disentakkan dengan keras.
"Nguk, nguk, nguk..." Kera itu menggeleng-gelengkan kepala keraskeras. Mulutnya nyengir, seakan-akan menyalahkan gerakan yang dilakukan Sena. Kemudian dengan melompat-lompat, binatang itu melakukan gerakan yang tadi digunakan untuk melawan musuhnya.
Pendekar Gila mengikutinya. Semua gerakan yang dilakukan kera itu begitu lemas. Baik cara melangkah dan mengangkat kaki, mengibas-ngibaskan tangan kanan, maupun menampar dengan tangan kiri.
Pendekar Gila menamparkan tangan kirinya dengan gerakan perlahan. Separo dari tenaga dalamnya disalurkan ke tangan itu. Hasilnya sungguh luar biasa Glarrr Kraaak... Bummm Pohon besar di hadapannya seketika meledak terkena angin tamparan Pendekar Gila. Padahal tamparan itu sangat pelan.
"Ah, benarkah apa yang kulihat..?" tanya Sena terlongong dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan kera itu berjingkrak-jingkrak sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian dengan suara yang keras, kera itu kembali melakukan gerakan aneh.
Pendekar Gila mengambil Suling Naga Saktinya. Kemudian ditiupnya dengan melengking. Seketi-ka itu pula...
Darrr Mata Pendekar Gila kembali terbelalak lebar saat menyaksikan apa yang terjadi. Rupanya jurus 'Tamparan Sukma' lebih sempurna bila diiringi tiupan Suling Naga Sakti.
"Terima kasih, kau telah mengajari ku, Sobat," tutur Sena.
"Nguk, nguk..." Kera itu mengangguk-angguk. Tingkahnya yang lucu kembali dilakukan. Setelah sesaat matanya memandang Pendekar Gila, kera itu melompat ke atas pohon. Dalam sekejap saja tubuhnya telah menghilang. Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia telah memahami apa yang seharusnya dilakukan. Ternyata jurus 'Waringin Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, hanya dapat dikalahkan dengan jurus 'Tamparan Sukma'.
"Hyang Jagat Dewa Batara, terima kasih atas pertolongan-Mu. Kau telah mengutus seekor kera untuk memberi petunjuk padaku," bisik Sena khidmat.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan tersenyum-senyum kembali bergumam. "Ya ya, aku harus mempelajari jurus 'Tamparan Sukma' itu lagi agar benar-benar ku kuasai dengan baik." Sena kemudian bersila untuk mengheningkan cipta dengan mengatur pernapasan. Sekaligus memulihkan tenaga dalamnya yang banyak hilang selama bertarung dengan Ki Catrik Ireng. Dari kepala Pendekar Gila, mengepul kabut berwarna ungu. Wajahnya merah membara, bahkan sampai ke tubuh pula.
Setelah merasa tenaga dalamnya telah pulih kembali, Sena membuka matanya. Perlahan dia bangkit dari silanya. Tubuhnya terasa sangat enteng sekali.
"Aku harus mempelajari jurus-jurus itu dengan seksama, agar semuanya dapat kulakukan dengan baik," ucapnya pada diri sendiri.
Pendekar Gila segera membuka tangannya. Kemudian tangan kiri ditaruhnya di depan dada. Sedang tangan kanannya membentuk siku berada di samping tubuhnya. Kaki kanan direntang ke samping, lalu dilangkahkan ke depan menyilang.
Tangan kanannya dikibaskan, kemudian dihentakkan. Setelah itu diangkatnya kaki kiri menekuk. Di-rentangkannya ke samping, diikuti dengan tamparan tangan kiri. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan. Sedangkan tangan kanannya mencabut Suling Naga Sakti, yang kemudian ditiupnya.
Glarrr Darrr Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Bumi bagai diguncang oleh prahara. Sungguh dahsyat sekali. Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila belum sesempurna gerakan kera tadi. Pendekar Gila tersenyum sambil menggarukgaruk kepala.
"Aku harus terus belajar" tekadnya bersemangat
***
SEPULUH
Sudah tujuh hari Pendekar Gila menghilang dari dunia persilatan. Waktu yang diberikan Ki Catrik Ireng kepada para pendekar habis. Berarti para pendekar harus kembali menemui Ki Catrik Ireng, untuk menentukan apakah Ki Catrik Ireng akan dinobatkan sebagai Ketua Rimba Persilatan. Rupanya tak seorang pun dari para pendekar yang berani membangkang. Semua hadir kembali di Puncak Lawu.
"Bagaimana, apakah ada yang tidak setuju atas penobatan diriku menjadi Ketua Rimba Persilatan?" tanya Ki Catrik Ireng. Matanya memandang tajam ke seluruh pendekar yang hadir di tempat itu.
Tak seorang pun yang menjawab. Mereka seakan-akan menolak secara tidak langsung kalau orang tua berjubah hitam itu menjadi pemimpin mereka.
"Kutanya pada kalian sekali lagi. Siapa yang tidak setuju jika aku menjadi pemimpin rimba persilatan? Jawab..." bentak Ki Catrik Ireng penuh amarah.
"Aku..." Dalam keadaan tegang, tiba-tiba terdengar jawaban keras dari seseorang. Seluruh pendekar yang tengah berkumpul di situ, terperanjat dan menoleh ke sesosok tubuh yang berkelebat.
Para pendekar tersenyum lega melihat siapa yang tengah datang. Hanya Ki Catrik Ireng yang tersentak kaget, setelah mengetahui siapa yang datang dan telah lancang menentangnya. Tanpa sadar, Ki Catrik Ireng berseru menyebut julukan pemuda yang baru tiba itu.
"Pendekar Gila..."
"Dia tidak mati..." teriak Resi Sarameskari.
"Ya Dia telah kembali..." pekik Dewi Pandagu saat menyaksikan kedatangan orang yang telah menyentuh hatinya. Kecemasan yang semula menyelimuti jiwanya, seketika hilang. Berganti dengan keceriaan yang berpadu dengan keharuan.
"Kau... Kau belum mampus, Pendekar Gila?" tanya Ki Catrik Ireng dengan mata membelalak lebar.
"Belum, Ki. Rupanya Hyang Widhi belum mengizinkan aku mati," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Mungkin belum waktunya, Ki. Dan mungkin Hyang Widhi menggariskan agar aku hidup untuk menumpas orang-orang sepertimu." Mata Ki Catrik Ireng melotot mendengar katakata yang dilontarkan Pendekar Gila. Nafasnya memburu turun-naik.
"Kurang ajar Kau tidak akan mampu mengalahkanku, Pendekar Gila" bentak Ki Catrik Ireng gu-sar.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Dan mulutnya tersenyum-senyum sambil kakinya berjingkrak-jingkrak.
"Aha, aku tidak berkata begitu, Ki. Aku hanya ingin mengingatkan kalau perbuatan mu salah."
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila Rupanya kau memang harus kusingkirkan"
"Aha, mudah sekali kau berkata, Ki Mungkinkah itu?" tanya Sena penuh sindiran, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau sepertinya semakin takabur saja...."
"Kurang ajar Yeaaa..." Kemarahan Ki Catrik Ireng sudah tidak dapat terbendung lagi. Usai berkata begitu, lelaki tua berjubah hitam ini melesat dengan serangan ganas ke arah Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan menyerang, dengan segera berkelebat. Kakinya direntang ke samping, kemudian segera berkelebat memapaki serangan lawan. Tangan kirinya berada di depan dada, sedangkan tangan kanannya tertekuk dengan jari-jari menya-tu ke depan.
"Heaaat..." Ki Catrik Ireng rupanya tidak ingin mengulurulur waktu lagi. Langsung dikeluarkannya jurus andalan yang telah mampu mengalahkan Pendekar Gila tujuh hari lalu. Dia berharap Pendekar Gila akan mengalami hal yang sama.
Tangan kanan Ki Catrik Ireng membentuk kepala ular. Jari-jarinya menyatu hingga meruncing ke depan. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke samping. Kakinya membuka dan agak ditekuk. Kemudian tangan kanannya bergerak mematuk. Dilanjutkan oleh tebasan tangan kiri yang membentuk ekor.
"Yeaaat.."
"Hm, rupanya jurus 'Waringin Sungsang' yang kau gunakan, Ki? Aha, jurus yang hebat..," ledek Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya menyeringai dan terus bertingkah laku seperti seekor monyet Ki Catrik Ireng tersentak kaget. Serangannya yang hendak dilancarkan, seketika terhenti. Matanya melotot ke arah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Dari mana kau tahu nama jurusku, Pendekar Gila?" bentak Ki Catrik Ireng.
Pendekar Gila tertawa bergelak-gelak. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala.
"Kau kaget, Ki? Ah, sungguh kebetulan saja aku tidak salah menebak nama jurus yang kau gunakan. Ah, mukamu pucat sekali, Ki. Kenapa...?" Ki Catrik Ireng menggeram marah diledek begitu rupa. Nafasnya memburu, dan matanya melotot tajam penuh amarah.
"Tutup mulutmu Meski kau telah tahu nama jurusku, belum tentu kau dapat mengalahkanku.
Yeaaat.." Ki Catrik Ireng dengan cepat bergerak kembali.
Sepasang tangannya membentang lebar. Kemudian tangan kanannya ditekuk dengan jari-jari tangan membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya membentang ke samping. Jari-jarinya membentuk ekor ular.
"Szzz..."
Ki Catrik Ireng mendesis bagai seekor ular. Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila segera menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian ditepakkan menyilang di depan kaki kiri. Gerakannya sangat pelan dan lemas, seperti bukan gerakan ilmu silat "Yeaaa..." Pendekar Gila meletakkan tangan kiri di dada.
Sedangkan tangan kanannya bergerak ke samping, membentuk sebuah kipas. Kini tangan kanannya mengibas. Gerakannya lemas sekali, tapi hasilnya sungguh luar biasa Dari kibasan tangan itu, keluar serangkum angin yang menyentak kuat Ki Catrik Ireng terperangah. Namun hatinya yang sudah diliputi amarah tak mau peduli. Dia terus merangsek. Tangannya mematuk. Tubuhnya meliuk-liuk laksana seekor ular buas yang siap menerkam mangsa. Sesekali tangan kirinya menghentak, bagai ekor ular yang siap menghancurkan tubuh lawan.
"Remuk kepalamu, Pendekar Gila Heaaa..." Wuttt Serangan mematuk menghantam dan menendang yang gencar dari Ki Catrik Ireng, tidak membuat hati Pendekar Gila ciut. Malah Pendekar Gila bergerak dengan lemas sekali, seperti tidak berniat membela di-ri.
Semua orang yang menyaksikan gerakan Pendekar Gila membelalakkan mata cemas. Bahkan Dewi Pandagu sempat memekik tegang.
"Oh, mengapa dia?"
"Hei, sejak kapan Pendekar Gila begitu lemas?" gumam Resi Sarameskari.
Semua pendekar dilanda kekhawatiran, menyaksikan gerakan lemas yang dilakukan Pendekar Gila. Mata mereka memandang tegang. Takut kalaukalau pendekar itu akan mengalami kekalahan untuk kedua kalinya.
"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila Yeaaat.." Semua semakin tercekam, menyaksikan Ki Catrik Ireng telah melesat dengan jurus mautnya. Tangannya bahkan telah membara, bagai diselimuti api.
"Celaka Pendekar Gila bisa benar-benar mati kali ini"
"Tenanglah, Kawan. Kita lihat saja," bisik Resi Sarameskari.
Melihat lawan telah menyerang, Pendekar Gila hanya tersenyum. Segera kaki kirinya diangkat, kemudian dijejakkan ke depan. Bersamaan dengan menapaknya kaki kiri, tangan kirinya menampar ke arah lawan.
"Yeaaat.."
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu. Dikiranya tamparan yang dilakukan oleh Pendekar Gila tak berarti apa-apa, apalagi dilakukan dengan mata terpejam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, Ki Catrik Ireng mematukkan tangan kanannya yang membara ke arah lawan.
"Mampuslah kau, Pendekar Gila Hiaaa..." Tangan Ki Catrik Ireng mematuk keras. Sedangkan tangan kiri Pendekar Gila menampar pelan dengan mata terpejam.
Glarr "Ukh..." Ki Catrik Ireng mengeluh tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang beberapa tombak dengan mata membelalak kaget Serangannya ternyata dapat dihancurkan Bahkan tamparan tangan kiri Sena yang terlihat pelan dan dilakukan dengan mata terpejam pula, mampu membuat tubuhnya mental beberapa tombak ke belakang dan jatuh menimpa batu cadas yang seketika hancur.
"Ha ha ha... Mengapa kau terjatuh, Ki? Makanya, kalau mundur hati-hati..." celoteh Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
Mata Ki Catrik Ireng melotot marah mendengar ejekan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus. Gigigiginya saling beradu, menahan amarah yang meluapluap.
"Bedebah Ilmu siluman Rupanya kau telah bersekutu dengan siluman" maki Ki Catrik Ireng, asal jadi. Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal mendengar tuduhan yang dilontarkan Ki Catrik Ireng. Kemudian dengan tingkah laku persis seperti kera yang dilihat di hutan dan telah memberi pelajaran jurus 'Tamparan Sukma', Pendekar Gila berkata....
"Ki Catrik Ireng, sungguh gampang sekali kau memutarbalikkan kata Tentulah kau yang telah bersekutu dengan iblis Kau siksa orang dengan seenaknya. Kau matikan perasaan dan hatinya, membuat mereka bagaikan budak-budak hina mu Lalu, kau jadikan mereka laskar. Laskar Setan"
"Bohong... Mereka tetap sadar" Pendekar Gila kembali tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dia bersiul, entah apa maksud siulannya. Tapi tak lama kemudian, dari sebuah bongkahan batu cadas, keluar Bidadari Cadar Merah, Nyi Kendil, dan Prabasangka serta seorang anggota Laskar Setan. Mereka memang telah dibebaskan Pendekar Gila atas bantuan Prabasangka.
"Benar Orang inilah buktinya..." seru Nyi Kendil.
Semua memandang ke arah Nyi Kendil yang menggandeng seorang lelaki.
"Katakan, bagaimana sampai kau bisa diperdayai oleh lelaki busuk itu," perintah Nyi Kendil pada bekas Laskar Setan.
"Jangan kalian tertipu oleh mereka" seru Ki Catrik Ireng.
"Katakanlah..." perintah Nyi Kendil mendesak Orang itu pun dengan takut-takut menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya. Dia dan kawankawannya disandera dan jalan darah, perasaan, dan hatinya ditutup. Membuat mereka tidak memiliki perasaan dan rasa sakit. Itu sebabnya Laskar Setan tak akan merasa sakit dan tak peduli dengan sikap kejam dan setiap tugas yang mereka lakukan.
"Bangsat Kurobek mulutmu Yeaaa..." Dengan penuh amarah, Ki Catrik Ireng berkelebat, siap mela-brak Nyi Kendil dan lelaki bekas Laskar Setan. Namun belum juga tujuannya sampai, Pendekar Gila telah berkelebat menghadangnya.
"Mau ke mana, Ki? Biarkan mereka membuka kedokmu yang busuk dan keji" seru Sena.
"Kurang ajar Rupanya kau dulu yang harus kusingkirkan"
"Kalau kau mampu, silakan...," tantang Sena.
"Kubunuh kau Heaaa..." Ki Catrik Ireng kembali menggempur dengan jurus 'Waringin Sungsang' ke arah Pendekar Gila. Tangan kanannya mematuk-matuk ke arah kepala dan dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya membantu dengan menghantam bagai kibasan ekor ular.
Mulutnya mendesis-desis. Sedangkan kedua kakinya melangkah membentuk setengah lingkaran. Tubuh Ki Catrik Ireng bagaikan seekor ular, meliuk-liuk dengan garang. Kedua tangannya terus menyerang dengan jurus 'Waringin Sungsang'nya yang dahsyat.
"Ku tahu ajian 'Waringin Sungsang' mu memang hebat Ki. Tapi, sehebat-hebatnya ilmu seseorang tentu ada yang lebih tinggi. Ilmumu adalah sadapan dari gerak ular sanca yang hidup di Hutan Waringin...," tutur Pendekar Gila, semakin menyentakkan Ki Catrik Ireng.
"Kurang ajar Jangan banyak bacot Katakan sebelum kau kukirim ke akhirat siapa yang telah memberitahukan kepadamu?" bentak Ki Catrik Ireng sambil terus bergerak menyerang.
"Tak ada yang memberi tahu, Ki. Hanya atas jasamu memukul ku sampai ke Hutan Waringin, menjadikan aku tahu. Dan kini kau harus bersiap. Jurusmu itu ternyata masih ada yang mampu menandinginya.
Kau telah melihatnya tadi, bukan?" tanya Pendekar Gi-la sambil tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bedebah... Katakan, ilmu apa yang akan kau kerahkan untuk menandingi ku, heh? Jangan kira ilmumu akan mampu mengalahkanku Ilmu gilamu tak ada artinya bagiku" ejek Ki Catrik Ireng sambil menci-bir.
"Baiklah, Ki. Kesombonganmu memang membuat mata hatimu buta Maka hanya kematianlah yang akan mengakhiri kesombonganmu Ilmu 'Tamparan Sukma' warisan kera Hutan Waringin-lah yang mampu menandingi jurusmu Nah, bersiaplah Yeaaa..."
Pendekar Gila segera merentangkan kaki kanannya ke samping. Tubuhnya miring, mengelakkan serangan patukan dan hantaman Ki Catrik Ireng. Setelah itu, kaki kanan ditarik lalu melangkah menyilang ke depan. Diikuti oleh tangan kanannya yang mengibas pelan. Lalu dilanjutkan dengan hantaman telapak tangan pelan ke arah lawan.
Ki Catrik Ireng tersentak. Kakinya melangkah mundur dua tindak. Kemudian, didahului pekikan menggelegar, Ki Catrik Ireng kembali menyerang.
"Yeaaah..." Jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng masih tetap sama. Hanya gerakannya yang semakin dipercepat, berusaha secepatnya menjatuhkan lawan. Bahkan bila perlu membunuhnya.
Pendekar Gila mengangkat kaki kirinya. Tangan kirinya diletakkan di depan dada. Kemudian sambil kaki kirinya melangkah ke depan, Pendekar Gila kembali melakukan tamparan ke arah lawannya.
Ki Catrik Ireng yang sudah merasakan bagaimana tamparan yang pelan namun ternyata mengandung kedahsyatan itu, berusaha mengelakkannya. Ki Catrik Ireng hanya bergeser sedikit ke samping, menganggap Pendekar Gila yang matanya terpejam tak melihat. Namun....
Wuttt Glarrr "Ukh... Setan..." maki Ki Catrik Ireng dengan tubuh terpental ke belakang. Dadanya terasa sesak akibat serangan yang aneh itu. Matanya membelalak, tak percaya pada apa yang dialaminya. Rasanya tidak masuk akal, kalau tamparan pelan tangan kiri Pendekar Gila yang dilakukan dengan mata terpejam akan mampu menghajarnya. Malah membuat tubuhnya terlempar demikian jauh.
Ki Catrik Ireng semakin kalap menerima kenyataan itu. Dirinya sudah mata gelap, tak mau peduli lagi dengan apa yang terjadi.
"Kubunuh kau Yeaaa..." Ki Catrik Ireng mencabut senjatanya yang berupa bumerang kembar. Kemudian senjata andalannya itu dilemparkan ke arah Pendekar Gila.
Melihat lawan telah mengeluarkan senjata andalan, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti. Kemudian senjata pusaka itu dilemparkannya ke arah bumerang kembar yang menderu ke arahnya.
"Yeaaa..." Wuttt Dua senjata sakti itu melesat cepat, kemudian bertemu di udara.
Trang Pijaran bunga api pun terjadi ketika kedua senjata itu bertemu, kemudian sama-sama kembali ke belakang. Pendekar Gila menangkap Suling Naga Saktinya yang masih utuh. Sedangkan mata Ki Catrik Ireng membelalak menyaksikan senjatanya telah patah menjadi empat bagian dan berguguran ke tanah.
"Kurang ajar Aku akan mengadu jiwa denganmu Yeaaat.." Ki Catrik Ireng semakin bernafsu untuk membunuh Pendekar Gila. Tubuhnya melesat ke udara, lalu menukik dengan pengerahan ajian 'Waringin Sungsang'nya.
Pendekar Gila dengan Suling Naga Saktinya juga meloncat ke atas. Ditiupnya Suling Naga Sakti sambil bergerak dengan jurus 'Tamparan Sukma'.
"Yeaaa..."
"Heh" Tangan kiri Pendekar Gila melakukan tamparan ke kepala lawan. Dibarengi lengkingan Suling Naga Sakti. Tanpa ampun lagi....
Krak Glarrr Tanpa sempat menjerit lagi, kepala Ki Catrik Ireng hancur berantakan. Tubuhnya ambruk ke tanah dan mati. Sedangkan tubuh Pendekar Gila mendarat enteng ke tanah. Lalu didekatinya sesosok mayat Ki Catrik Ireng.
"Kau memang hebat, Ki. Sayang ilmumu yang tinggi, telah menjadikan kau sombong dan takabur," gumam Sena.
"Sena..." seru Dewi Pandagu sambil berlari menghampiri pujaan hatinya. Kemudian keduanya saling berpegangan tangan dan saling pandang.
"Aku harus pergi, Dewi. Tapi aku berjanji, kelak aku pasti menemuimu untuk bertanggung jawab atas semua yang telah kulakukan padamu."
"Aku ikut, Sena," pinta Dewi Pandagu. Pendekar Gila menggeleng sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Tidak mungkin, Dewi. Kau harus memimpin perguruan yang diamanatkan gurumu. Nah, Kawankawan. Aku mohon pamit.." Usai berkata begitu, tubuh Pendekar Gila berkelebat meninggalkan mereka, menjadikan Dewi Pandagu terpaku.
"Sena... Kutunggu..." panggil Dewi Pandagu, ketika menyadari dirinya akan kembali kehilangan orang yang dicintai.
Pendekar Gila menengok kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian tangannya dilambaikan, yang dibalas oleh para pendekar dengan pandangan penuh kekaguman.
Suasana syahdu terjadi di tempat itu, ketika para pendekar mengetahui kalau Prabasangka telah sadar dari semua yang pernah dilakukannya. Pemuda yang selalu mengenakan baju berwarna kuning itu pun telah membantu Pendekar Gila untuk membebaskan Nyi Kendil dan Wulandari dari dalam tahanan. Bahkan Laskar Setan pun tiba-tiba sadar dengan sendirinya. Mereka bagaikan orang-orang yang baru terbangun dari mimpi.
"Wulan, bagaimana kalau kita menikah?" tanya Prabasangka.
"Ya, Wulan. Biarlah para pendekar ini sebagai saksinya. Dan kuharap, Resi Sarameskari sudi menikahkan anakku dengan muridku ini," pinta Nyi Kendil.
Sementara pagi bergeliat lembut dengan kawalan mentari yang mengintip dari Puncak Lawu. Sinar kemerahan berpendar dari sudut timur, memoles wajah bumi menjadi demikian ramah. Pagi yang cerah itu diwarnai oleh kesyahduan.
Wulandari akhirnya menurut, setelah menimbangnimbang bahwa dirinya ibarat pungguk merindukan bulan jika mengharap Pendekar Gila. Terlebih dilihatnya tadi betapa mesranya Pendekar Gila dengan Dewi Pandagu.
"Baiklah, kuterima lamaranmu," desis Wulandari malu-malu.
SELESAI
Post a Comment
0 Comments