Tengkorak Darah

Pendekar Gila

Episode 10

Tengkorak Darah

Karya : Firman Raharja


SATU

Kerajaan Bumi Wandra yang terletak di perbatasan wilayah timur Pulau Dewata berdiri dengan megah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja berusia hampir enam puluh delapan tahun yang bernama Brah Salagatri.

Raja Brah Salagatri mempunyai seorang permaisuri yang masih muda dan cantik bernama Dewi  Sekaton Ayu. Anaknya yang cantik dan menginjak dewasa bernama Dyah Ayu Sawang Sari Sebelum menjadi raja, Brah Salagatri merupakan pangeran yang tampan.

Dia pernah menjalin hubungan cinta dengan wanita bernama Rubiati. Hubungan gelap itu akhirnya membuat Rubiati hamil. Namun sejak itu, Brah Salagatri tidak pernah menjenguk kekasihnya lagi. 
Tiga puluh tahun sudah kejadian itu berselang tanpa terasa. 

Selama itu, Brah Salagatri tak pernah mendengar kabar berita tentang kekasihnya. Setelah dia menikah dengan anak Raja Banyu Wangi bernama Dewi Sekaton Ayu, dia lupa sama sekali dengan kekasihnya. Malam itu angin menderu kencang bagai akan datang badai besar. Hawa dingin terasa menggigit hingga ke tulang sumsum.

Rintik air hujan yang turun dari langit membuat suasana semakin terasa dingin bagi siapa pun yang malam itu belum tidur. Desa Karapan nampak sepi, hanya terlihat empat peronda sedang melakukan tugas. Keempatnya tengah duduk berbincang di gardu sambil menghisap rokok kawung. Tubuh mereka berselimut kain sarung.

Hanya wajah mereka saja yang terlihat, jika api rokok membesar kala dihisap. Hujan rintik-rintik terus meluncur dari langit, seakan tak bakal berhenti. Rasa dingin semakin menghebat, ditambah oleh angin kencang yang menderu bagai hendak datang badai.

"Huh..., tidak biasanya malam seperti ini," gumam Kapri mengeluh.
 
Matanya memandang nanar ke depan. Pada gelap yang menghampar. Lelaki itu bertubuh pendek, wajah bulat, dan hidung pesek serta tahi lalat di bawah matanya.

"Entahlah. Padahal saat ini musim kemarau," sahut Jalnoto.

Berbeda dengan Kapri, Jalnoto bertubuh tinggi dan padat. Wajahnya tampan, dengan hidung mancung. Kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Matanya tajam jika memandang.

"Ya, begitulah alam. Siapa pun tak tahu apa yang akan terjadi. Hanya Sang Hyang Widi saja yang mengerti," kata Pilan berusaha menenangkan hati kedua temannya.

Pilan bertubuh kurus dan wajahnya agak pucat, tapi menggambarkan ketenangan. Kumisnya panjang dengan cambang pendek, sedang matanya terlihat sayu.

"Tapi hujan ini aneh, Lan," tukas Bawul, lelaki berbadan agak gemuk dengan perut agak buncit.

Wajahnya persegi dengan kumis lebat dan jenggot tebal. Begitu juga dengan alisnya, tumbuh tebal di bawah keningnya yang lebar.

"Bulu kudukku sampai merinding. Jangan-jangan...;" Bawul tak meneruskan kata-katanya.

Matanya memandang tegang ke sekeliling gardu yang tampak sepi dan gelap, membuat bulu kuduknya meremang.

"Jangan-jangan kenapa, Wul?" tanya Jalno penasaran karena temannya tidak meneruskan ucapannya.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Bawul, menghindar.

"Setan maksudmu?" terka Kapri.

Bawul hanya mengangguk kecil. Matanya masih melirik-lirik tegang ke sekelilingnya yang gelap dan mencekam. Apalagi angin menderu semakin kencang. Bulu kuduknya kian meremang hebat. Kapri tertawa kecil. Tawanya terdengar sumbang karena dipengaruhi suasana yang mencekam. Dia pun merasakan bulu kuduknya meremang, namun dia berusaha menekan rasa takutnya sedalam mungkin.

"Wul...

Wul, kamu ini kayak anak kecil saja," gumam Kapri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sudah besar kok masih takut sama setan," godanya kemudian.

"Bukan begitu, Pri. Bulu kudukku memang berdiri. Dan..., heh..., bau kemenyan, Pri" desis Bawul tiba-tiba.

Tubuhnya bergidik seketika, manakala hi-dungnya mencium bau kemenyan yang menyengat. Seperti ada orang yang membakar dupa. Hidung ketiga temannya mengendus-ngendus, berusaha mencium bau kemenyan. Dan seketika ketiganya merasakan bulu kuduk meremang ketika hidung mereka juga mencium bau kemenyan yang menyengat. Ditambah lagi dengan wangi bunga kamboja, mengingatkan mereka pada tanah pekuburan.

"Benar, Wul. Bau kemenyan dan bunga kamboja," kata Jalno dengan mata membelalak.

"Hiii....Sepertinya ada setan," Pilan bergidik dengan muka pucat.

Mereka rasanya ingin lari meninggalkan gardu ronda, namun suasana di luar gardu sangat menyeramkan. Kegelapan yang menghampar, disertai rintik hujan dan deru angin seperti desah napas seribu mambang. Belum tentu mereka akan tenang kalau lari. Tubuh keempat peronda itu menggigil ketakutan, apalagi ditambah rasa dingin yang semakin menggigit.

Saat itu rintik gerimis bertambah deras. Sedang angin bertiup semakin kencang. Tubuh keempat peronda itu kini meringkuk dalam ketakutan. Hanya mata mereka saja yang bergerak-gerak, memandang tegang ke sekelilingnya yang sunyi dan sepi. Benar-benar mencekam perasaan dan mengusik bulu kuduk mereka. 

Wusss Krak Mata keempat peronda itu membelalak, ketika terdengar hembusan asap dan retaknya tanah. Seakan dari dalam tanah di sekeliling gardu ronda akan muncul sesuatu. Wusss Krak Asap tebal keluar dari dalam tanah berjarak lima tombak di depan gardu. Gumpalan asap itu tidak hanya satu, tapi ada sepuluh.

Tanah di mana asap itu mengepul, merekah pecah. Seakan ada makhluk dari dalam tanah yang hendak keluar. Mata keempat peronda itu memandang dengan pandangan tegang, tak berkedip ke arah sepuluh gumpalan asap yang membubung keluar dari retakan tanah.

Bulu kuduk mereka semakin meremang. Tubuh mereka menggigil ketakutan. Asap putih kehitam-hitaman yang tebal itu perlahan-lahan berubah warna. Semakin lama, asap itu menjadi berwarna merah darah. Lalu membentuk sosok-sosok yang mengerikan. Sosok manusia wajah tengkorak berjubah panjang dengan kerudung warna merah darah.

"Tengko..., tengkorak hidup," ucap Bawul terba-ta-bata.

Matanya semakin membelalak tegang, menyaksikan beberapa ujud yang muncul di hadapannya.

Ujud menyeramkan yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak.

"Se...., setan..." pekik Jalno.

"Wua...

Teng..., korak hidup..." jerit Kapri.

Tubuh keempat peronda itu kini saling merapat ketakutan.

Tak ada yang berani lari, karena sepuluh makhluk merah bermuka tengkorak berdiri di hadapan mereka.

Bahkan makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu kini kian mendekat.

Sepertinya makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu hendak melakukan sesuatu terhadap keempat peronda yang semakin bertambah ketakutan itu.

Kesepuluh manusia bermuka tengkorak itu perlahan mengelilingi gardu ronda, membuat keempat peronda bertambah ketakutan.

Terlebih saat mata mereka memandang wajah makhluk bermuka tengkorak yang berlumuran darah dan tampak menyeringai seram.

"To..., tolooong..." pekik keempat peronda itu ketakutan.

Mereka saling merangkul satu sama lain, dengan wajah pucat pasi tanpa darah.

Makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu berbicara dalam bahasa mereka.

Kemudian salah satu dari mereka menunjuk ke arah Jalno yang berwajah paling tampan di antara keempat peronda tersebut.

Sedang-kan makhluk lain di sampingnya menganggukangguk, seakan menyetujui apa yang dikatakan rekannya.

Kemudian makhluk bermuka tengkorak yang mengangguk-angguk tadi memerintah anak buahnya untuk menangkap Jalno.

"Tidak Jangan..." jerit Jalno, berusaha meno-lak ketika dua makhluk berwajah tengkorak maju ke arahnya dan siap menangkap.

Kedua makhluk merah bermuka tengkorak seperti tidak peduli dengan teriakan Jalno.

Keduanya segera mencengkeram tangan Jalno dan menyeret tubuhnya.

"Jangan..." teriak Jalno seraya berusaha berontak.

"Tolooong..." Ketiga temannya kebingungan.

Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menolong Jalno.

Sedangkan mereka sendiri dalam ketakutan luar biasa yang mengganyang nyali masing-masing.

Tubuh ketiganya menggigil.

Tak ada yang berani melangkah untuk menolong Jalno, karena makhluk merah bermuka tengkorak yang lain masih mengepung mereka.

Saking takutnya, ketiga lelaki itu terkencingkencing.

Wajah mereka sepucat kapas.

Dan bulu-bulu halus di tengkuk mereka seperti hendak lepas, tegang menyaksikan kengerian di depan mata mereka.

Wesss Tiba-tiba makhluk-makhluk bermuka tengkorak yang membawa Jalno berubah kembali menjadi asap.

Lalu terdengar suara pecahnya tanah di sekitar gardu.

Bersamaan dengan itu, tubuh makhluk-makhluk menyeramkan yang membawa Jalno menghilang.

"Hah?" ketiga pasang mata peronda yang ketakutan itu membelalak, karena rasa takut dan takjub yang campur aduk melihat kejadian yang aneh itu.

"Toloong.,.

Setan.." Akhirnya mereka lari tunggang-langgang, sambil berteriak-teriak tak karuan.

"Tolong ada setan...

Tolong..." Warga Desa Karapan yang mendengar teriakan para petugas ronda langsung keluar.

Mereka ingin tahu apa yang terjadi.

Bahkan Kepala Desa Karapan turut keluar.

"Ada apa, Bawul, Kapri, Pilan? Seperti orang dikejar setan saja kalian jejeritan di malam begini?" tanya Ki Walapaya, lelaki tinggi kurus berpakaian warna abu-abu tua dengan lengan panjang.

Wajahnya angker berhias kumis tebal melintang.


Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun ini adalah kepala Desa Karapan.

"Setan, Ki.

Setan-setan itu membawa Jalno," lapor Pilan.

Semua orang membelalak, mendengar berita yang baru disampaikan Pilan.

Namun Ki Walapaya seakan tidak percaya dengan cerita itu, malah dengan mendengus Ki Walapaya membentak.

"Kau jangan main-main, Pilan?" 

"Benar, Ki," seta Bawul.

"Lihat, kami sampai terkencing-kencing begini." Bawul menunjuk ke selangkangannya.

Celana panjangnya yang berwarna kuning terang basah kuyup dengan bau pesing yang tidak ketulungan.

Begitu juga dengan Pilan dan Kapri.

Semua warga yang melihat ketiga peronda itu ngompol, seketika tertawa riuh-rendah.

Membuat kesunyian malam seketika pecah menjadi gelak tawa.

Saat itu juga, tiba-tiba dari arah rumah Ki Lurah Karapan terdengar jeritan seorang wanita.

"Tolong Tolooong..."

***

Ki Walapaya dan warga desa yang mendengar jeritan menantu Ki Walapaya seketika berlarian ke arah rumah kepala desa itu.

Mereka menemukan beberapa makhluk bermuka tengkorak menyeramkan tengah membawa tubuh Samikantra, anak Ki Lurah yang baru menikah dua bulan lalu dengan Prawanti.

"Setan Setan tengkorak..." jerit warga ketakutan, menyaksikan makhluk-makhluk bermuka tengkorak berlumuran darah tengah berusaha membawa anak Ki Lurah.

Menyaksikan hal itu, Ki Walapaya yang tidak ingin anaknya dibawa oleh makhluk-makhluk menyeramkan segera menghadang kesepuluh manusia bermuka tengkorak.

"Berhenti Lepaskan anakku" bentak Ki Walayapa dengan keras, seperti tidak takut sedikit pun terhadap sosok-sosok makhluk yang kini memandang dengan wajah mengerikan ke arahnya.

Salah satu makhluk bermuka tengkorak menggerakkan tangannya, seperti memerintah anak buahnya untuk membereskan Ki Walapaya.

"Hng" Tiga makhluk itu maju menghadapi Ki Lurah yang masih tegak berdiri dengan mata memandang tajam.

Tampaknya Ki Lurah belum yakin kalau mereka itu sungguh-sungguh setan.

"Buka kedok kalian Jangan kira aku takut menghadapi kalian" dengus Ki Walapaya, memerintah tiga makhluk yang perlahan mendekat untuk membuka kedoknya.

Tapi ketiganya tidak terlihat akan membuka kedoknya, malah mereka menggeram marah.

"Hng" Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu seketika menyerang berbareng ke arah Ki Walapaya.

Tangan mereka yang hanya tulang belulang berkuku panjang dan runcing, mencakar Ki Walapaya.

Mendadak Ki Lurah tersentak setelah melihat kalau makhluk-makhluk itu memang bukan manusia.

"Tengkorak hidup..." pekiknya, seraya mengelakkan serangan ketiga lawannya.

Matanya masih membelalak tegang, ngeri menyaksikan kenyataan yang ada.

Warga Desa Karapan yang melihat tangan makhluk bermuka tengkorak yang hanya tulang belulang, seketika menjerit ketakutan.

Mereka langsung la-ri potang-panting.

Terlebih-lebih ketiga peronda yang sebelumnya telah melihat.

Mereka lari sipat kuping bagai dikejar setan-setan tengkorak itu.

"Tolong Setan tengkorak tolooong..." Jeritan warga seketika menggema memecah kesunyian malam.

Kini tak ada lagi warga yang berani membantu Ki Walapaya menghadapi makhluk tengkorak berdarah yang tengah bertarung dengan kepala desanya.

Ki Walapaya kini menghadapi ketiga tengkorak seorang diri.

Dia telah telanjur menghadapi ketiga makhluk yang tentunya siluman itu.

Dicabutnya keris yang tadi terselip di pinggangnya.

Dengan keris 'Simbang Mega' yang mengeluarkan sinar hijau, Ki Walapaya meladeni gempuran ketiga siluman tengkorak darah dengan jurus 'Kembaran Mega Berarak'.

"Heaaa..." Keris 'Simbar Mega' di tangan Ki Walapaya bergerak cepat menusuk dada salah satu siluman tengkorak darah dengan cepat.

Kilatan cahaya hijau itu terus menyeruak, berusaha menekan ketiga lawannya. Sementara itu, siluman tengkorak darah yang membawa anak Ki Walapaya kini telah raib entah ke mana, setelah berubah ujud menjadi kepulan asap lalu menyusup ke dalam tanah retak.

Hal itu memaksa ma-ta Ki Walapaya membelalak lebar, tegang menyaksikan kejadian aneh itu. Kejadian yang tidak masuk akal ba-gi dirinya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan semata, tanpa mengerti ilmu gaib. Tusukan keris di tangan Ki Walapaya yang keras, seperti dibiarkan oleh salah satu makhluk bermu-ka tengkorak darah.

Tak ayal lagi....Jlep Keris 'Simbar Mega' menghujam dada makhluk bermuka tengkorak darah. Keris itu terus menembus ke dalam, seperti disedot oleh sebuah kekuatan.

Hal itu membuat Ki Walapaya tersentak kaget "Akh Mengapa kerisku tertarik ke dalam?" pekik Ki Walapaya kaget Dia berusaha menarik keluar kerisnya dari tubuh siluman tengkorak, namun tubuhnya malah ikut tertarik oleh kekuatan aneh di tubuh siluman tengkorak darah.

Ki Walapaya bertambah tegang. Apalagi saat sekujur tubuhnya merasakan panas menyengat, bagai ada api yang menyambar. Ki Walapaya berusaha sekeras mungkin agar dapat menarik kerisnya yang menancap pada dada lawan. Namun keris itu bagai melekat keras sekali pada tubuh lawan dan sulit untuk ditarik. Sebaliknya tubuh Ki Walapaya perlahan-lahan disedot oleh tubuh lawan.

"Akh" jerit Ki Walapaya.

"Hng" 

Makhluk bermuka tengkorak menggeram keras. Pada saat itu, bagian tubuhnya yang terhujam keris Ki Walapaya tampak bersinar hijau. Sinar itu terus membesar, hingga akhirnya menyelimuti sekujur tubuh makhluk itu lalu mulai merambat ke tangan Ki Walapaya.

"Wuaaa..." 

Ki Walapaya menjerit setanggi langit ketika tubuhnya tersengat oleh sinar hijau yang keluar dari tubuh makhluk bermuka tengkorak. Seperti sen-gatan arus listrik kuat yang menyambar tubuhnya. Ki Walapaya berusaha melepaskan keris yang menancap di tubuh lawan, tapi tangannya bagai telah melekat erat pada keris itu. 

Sehingga sangat sulit baginya untuk dapat melepaskan keris tersebut. Semakin kuat dia berontak, semakin lengket tangannya pada gagang keris. Semakin kuat pula tarikan aneh dari dalam tubuh makhluk bermuka tengkorak.

"Hng" 

"Hik hik hik" 

"Wuk wek wek" 

Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu berkata dengan bahasa mereka yang sulit dimengerti oleh Ki Walapaya. Sementara Ki Walapaya terus berusaha melepaskan pegangan tangannya pada gagang keris. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, namun tenaga dalamnya tak mampu melepaskan tangan yang melekat pada gagang keris. Tenaga dalamnya malah tersedot habis.

"Ukh" 

Ki Walapaya mengeluh lirih. Wajahnya semakin pucat-pasi setelah tenaga dalamnya terkuras habis. Matanya membelalak tegang jiwanya diseret ke dalam saat-saat sekarat, 

"Wuaaa..." 

Dengan jeritan yang terakhir, Ki Walapaya akhirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan keadaan mengerikan. Tubuhnya pucat-pasi bagai tak berdarah. Matanya mendelik mengerikan.

"Wuk wek wek" 

"Wsss ngik" 

Kedua makhluk bermuka tengkorak darah lainnya mengangguk. Seakan memerintah temannya untuk melepaskan korban yang telah kehilangan nyawanya.

"Hng" 

Usai melepaskan tubuh Ki Walapaya, ketiga makhluk bermuka tengkorak darah itu menjatuhkan sesuatu dari tangannya yang tepat menimpa wajah Ki Walapaya. Sebuah gambar tengkorak dengan warna merah terbuat dari darah Wsss Krak Tubuh ketiganya berubah menjadi kepulan asap putih kehitam-hitaman yang perlahan menyusup ke dalam tanah.

***

DUA

"Mayat..Mayat.." teriak seorang petani muda berusia sekitar tujuh belas tahun dengan wajah ketakutan sambil berlari-lari meninggalkan tempat di mana dua mayat telanjang tergeletak dalam keadaan mengerikan.

Tubuh kedua mayat tak jelas ujudnya, karena dirubung oleh hewan-hewan berbisa. Warga Desa Sela Kapilu langsung gempar oleh jeritan pemuda tanggung itu. Segera semua warga berduyun-duyun datang untuk melihat apa yang terjadi.

Mereka serentak melangkah menuju ke perbatasan Desa Sela Kapilu dengan Desa Karapan. Orang-orang Desa Karapan yang mendengar kejadian itu ikut datang. Mereka ingin tahu siapa yang menjadi korban.

Warga Desa Karapan yang baru saja berduka atas kematian lurah mereka, menjadi marah setelah tahu kalau korban mengerikan yang tergeletak di persawahan kering di batas Desa Karapan dengan Desa Sela Kapilu adalah peronda dan anak Ki Lurah.

"Jelas ini perbuatan warga Desa Sela Kapilu...," kata seorang warga Desa Karapan menuduh.

"Ya Buktinya kedua korban ada di tempat ini," sambung rekannya.

"Mungkin ada yang menganut ilmu sesat di Desa Sela Kapilu" tambah yang lain semakin menusuk.

"Kita serang saja" timpal warga desa yang lain.

Mendengar ribut-ribut warga Desa Karapan, warga Desa Sela Kapilu yang merasa dituduh seketika menjadi gusar. Mereka yang tidak merasa melakukan hal itu, langsung membentak marah.

"Enak saja kalian menuduh" hardik Wakil Kepala Desa Sela Kapilu marah.

"Apa buktinya kalian menuduh warga kami yang melakukan semuanya?" 

"Mayat-mayat ini Tidak mungkin kalau bukan warga Desa Sela Kapilu yang melakukannya. Buktinya mayat-mayat ini ada di perbatasan" tak kalah sengit Wakil Kepala Desa Karapan membentak.

"Kurang ajar Fitnah Tak pernah warga Desa Sela Kapilu berbuat keji seperti itu Mungkin warga desamu yang melakukan semuanya Lalu kami yang kini di-jadikan kambing hitam" 

"Sembarangan kau berkata, Pronco" dengus Pabean, Wakil Kepala Desa Karapan.

Lelaki kurus berwajah garang itu semakin gusar.

Bagaimana tidak? Belum juga hilang rasa dukanya atas kematian kepala desa, kini dua warga desanya ditemukan dalam keadaan yang mengerikan.

"Bagaimanapun juga, wargamu patut dicurigai." 

"Setan alas" bentak Pronco tak mau kalah.

Lelaki pendek dan berbadan gemuk itu melotot garang.

"Sembarangan kau berkata Kami Warga Desa Sela Kapilu tak pernah berbuat sehina itu Tak seperti war-ga desamu yang suka buat gara-gara" 

"Bedebah Serang Desa Sela Kapilu" perintah Pabean.

"Yeaaa" Warga Desa Karapan dengan senjata seadanya serentak bergerak maju untuk melakukan serangan terhadap warga Desa Sela Kapilu.

Menyaksikan warga Desa Karapan hendak menyerang, Pronco pun tak tinggal diam.

Dia segera berseru lantang, menyuruh warga desanya untuk membendung serangan lawan.

"Hadang warga Desa Karapan Serang..." 

"Yeaaa" 

"Hancurkan..." 

Warga Desa Sela Kapilu dengan senjata yang sederhana pun merangsek menyerang. Pertempuran yang seharusnya tidak perlu terjadi akhirnya berkobar. Keduanya sama-sama tak sudi dituduh dan samasama tak mau mengalah.

"Aku lawanmu, Pronco" bentak Pabean sambil berkelebat menghadang Pronco yang mengamuk dengan senjata clurit di tangannya yang telah menjatuhkan beberapa korban.

Begitu pula dengan Pabean, dengan senjata keris dia telah membunuh beberapa warga Desa Sela Kapilu.

"Bagus Kita tentukan siapa di antara kita yang memang tinggi ilmunya" sambut Pronco sambil melompat, menjauhi warga Desa Karapan.

"Bersiaplah untuk mampus, Pronco" 

"Kau yang mesti bersiap ke neraka" 

"Yea" 

"Yea" 

Kedua pemimpin warga desa kini berkelebat menyerang dengan senjata tradisional. Clurit di tangan Pronco bergerak menyambar-nyambar dengan jurus-jurus 'Babat Raga' yang cepat dan mengarah pada tempat-tempat yang mematikan.

Swit "Uts" Pabean mengelakkan sabetan Clurit lawan dengan cara merundukkan tubuh ke bawah, lalu menggeser kaki ke samping.

Kemudian dengan cepat, ditusukkan kerisnya ke lambung lawan yang tengah condong ke arahnya dengan jurus 'Patukan Semut Merah'.

Wettt "Yea" 

"Uts Hop..." Pronco dengan cepat mengelit ke samping, hingga keris di tangan Pabean hanya meleset beberapa senti di samping tubuhnya.

Kemudian dengan cepat Pronco mengerahkan kaki kanannya ke muka lawan dengan tendangan 'Sampul Silang'.

Wettt "Yeaaa" Cepat-cepat Pabean menggeser kaki ke samping kanan.

Dengan tubuh setengah doyong dikelitkannya tendangan lawan.

Kemudian dengan cepat, diajukan jotosan tangan kirinya ke selangkangan lawannya.

"Yeaaa" Pronco tersentak kaget mendapatkan serangan yang datang tiba-tiba itu.

Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang, kemudian dengan cepat pula tubuhnya mundur dua tindak ke belakang sambil membabatkan cluritnya ke tangan lawan.

"Heaaa" Wettt Pabean tersentak.

Segera jotosannya ditarik untuk menghindari sabetan clurit lawan.

Kemudian secepat kilat kerisnya ditusukkan ke perut lawannya yang buncit Trang Dua senjata beradu, menimbulkan dentingan keras.

Kemudian tubuh keduanya melompat ke belakang.

Mata mereka saling pandang dengan tajam, berusaha mengukur kemampuan masing-masing.

Dengan sudut mata mereka memperhatikan setiap gerakgerik lawan.

"Heaaa..." 

"Yeaaa..." 

Beriring pekikan menggelegar, keduanya kembali bergerak merangsek. Clurit di tangan Pronco ber-suit-suit mencari sasaran. Sedangkan keris di tangan Pabean bergerak ganas mengarah ke perut lawan.

Trang "Heaaa" Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawan masing-masing.

Senjata mereka bergerak mencari sasaran yang mematikan di tubuh lawan. Namun masing-masing rupanya memiliki ketangkasan yang cukup hebat dalam mengelakkan serangan lawannya.

Sementara itu, telah banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak yang tengah bertarung. Tapi mereka seperti tidak akan menghentikan pertumpahan darah yang sia-sia itu. Keduanya masih mempertahankan pendapat mereka, meski harus mereka bayar dengan darah atau nyawa.

Benturan senjata dan jerit kematian dari kedua belah pihak kerap kali terdengar. Namun semuanya tidak membuat mereka jera, membuat mereka justru semakin telengas dan bernafsu untuk membunuh lawan. Saat pertarungan berlangsung kian seru, tibatiba terdengar bentakan keras dari seorang lelaki. Bentakan keras itu, cukup membuat semua orang yang bertarung seketika menghentikan pertarungan mereka.

"Berhenti..." 

Seorang lelaki tua dengan sorban di kepala serta berjubah putih sampai ke mata kaki, nampak melangkah menuju warga kedua desa yang mendadak menghentikan pertumpahan darah itu. Seketika mereka yang ada di tempat itu menjura memberi hormat. Termasuk Pronco dan Pabean.

"Selamat datang, Ki Gede," hatur keduanya dengan ramah.

"Hm...," 

Ki Gede Mantingan menggumam tak jelas. Matanya memandang tajam pada orang-orang yang menundukkan kepala di hadapannya, seakan lelaki tua itu tak suka pada tindakan bodoh mereka yang terlalu terburu nafsu.

Ki Gede Mantingan, lelaki berusia sekitar enam puluh delapan tahun berjenggot putih panjang perawakannya tinggi. Dilengkapi wajah yang penuh ketenangan. Dia menyapukan pandangannya ke segenap penjuru tempat itu.

"Apa kalian semua sudah dirasuki iblis?" seru Ki Gede Mantingan dengan suara lantang dan penuh wibawa.

Matanya masih memandang tajam ke seluruh warga desa yang menundukkan kepala kian dalam.

"Bukan begini cara menyelesaikan masalah Kalian telah lupa dengan ajaran yang telah kuberikan?" Semua tergugu dalam diam.

Tak seorang pun berani mengangkat kepala. Apalagi mengadu pandang dengan Ki Gede Mantingan. Orang tua itu merupakan guru besar di desa mereka, yang senantiasa mengajari mereka normanorma agama yang setarap dengan Brahmana. Sesepuh yang dihormati dan dihargai oleh semua warga kedua desa itu.

"Kalian mestinya bisa menjaga emosi Jangan grusa-grusu, karena sikap seperti itu hanya sikap dan tindakan-tanduk setan" kembali Ki Gede Mantingan berkata.

Suaranya masih tegas dan penuh kewiba-waan. 

"Kalau sudah begini, siapa yang rugi?" Semua terdiam, tak ada yang berani membuka suara sepatah kata pun.

Kepala mereka semakin menunduk dalam-dalam. Tanpa terasa air mata mereka berlinang. Tampaknya semua warga kedua desa itu menyesali tindakan mereka yang tidak berlandaskan akal sehat Ki Gede Mantingan menghela napas panjang.

Ditengadahkan wajahnya ke langit mencari jawaban tentang watak manusia yang terkadang sulit dipahami. Kemudian terdengar desah napasnya yang terasa berat.

"Bencana apa yang telah melanda desa kalian? Ini yang perlu kalian pikirkan Bukan main saling tuduh dan saling bunuh seperti binatang" sambungnya lagi.

"Kalian manusia yang diberi akal dan pikiran oleh Sang Hyang Widi." Kebisuan terus menyelimuti warga kedua desa yang habis bertarung itu.

Dari arah Desa Sela Kapilu, Ki Lurah Jarang Lanang berlari-lari ke arah mereka. Seketika Ki Lurah Jarang Lanang menjura, melihat Ki Gede Mantingan. 

"Ampun, Ki Gede.

Kami mohon ampun atas kejadian ini," mohonnya mengiba sambil terus menjura.

"Saya sedang menemui Kanjeng Wedono, jadi tidak ta-hu masalahnya sama sekali." 

"Tak ada yang salah, Ki Lurah," jawab Ki Gede Mantingan pada orang tua berpakaian adat Jawa dengan wajah bersih tanpa kumis dan cambang bawuk.

Tubuh lelaki tua itu gemuk. Beruntung agak tinggi, hingga tidak terlihat bulat. Blankon di kepalanya ter-balik. Mungkin Ki Lurah Jarang Lanang terburu-buru setelah mendengar dari warganya tentang kejadian tersebut.

"Saya khawatir, Ki Gede. Takut kalau salah paham ini akan berlarut-larut," kata Ki Lurah Jaran Lanang dengan wajah menunjukkan kekhawatiran.

"Tak akan, Ki. Asal kedua belah pihak saling mengerti dan menyadari. Ini bukan perbuatan manusia, tapi iblis Maka, kuharap kalian waspada. Kemarin malam, Desa Karapan yang mengalami musibah. Siapa tahu nanti malam justru Desa Sela Kapilu yang terkena musibah." 

Semua diam terpekur tak ada yang berkata. Suasana menjadi sepi sesaat di perbatasan kedua desa itu. Kemudian Ki Gede Mantingan kembali melanjutkan.

"Penjagaan harus diperketat. Kalian harus ingat itu. Adakan perondaan setiap malam, agar jangan sampai kecolongan." 

"Baik, Ki Gede..." serentak mereka menjawab.

"Sekarang bubarlah. Urus yang mati. Jalinlah tali kasih dan persaudaraan" 

Setelah memberi petuah, Ki Gede Mantingan pun berlalu meninggalkan tempat itu. Kini tinggal orang-orang kedua desa yang tengah sibuk mengurus mayat-mayat korban.

***

Sore telah datang, mentari tergelincir di sudut barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan yang membawa suasana mencekam. Tampak para petani pulang dari sawah dengan peralatan terpanggul di pundaknya.

Burung-burung beterbangan pulang ke sarang masing-masing dengan suara yang bersahut-sahutan. Bias merah jingga merasuki langit sebelah barat, menandakan mentari telah tersungkur. Desir angin sore terasa agak dingin, seperti datang bersama kegelisahan. 

Dua sosok bayangan tampak melangkah dalam keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gurau dengan riang, seperti menikmati suasana senja yang indah. Bagai tidak menghiraukan kejadian yang tengah menimpa sebuah desa yang mereka lalui.

"Kakang, nampaknya desa ini tengah berduka," kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut digelung dua di atas.

Kulit gadis itu kuning langsat. Hidungnya tidak terlalu mancung. Sedang matanya lentik dan indah bila mengerling. 

"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular, berambut gondrong yang agak berombak.

Kulit pemuda itu bersih, wajahnya tampan. Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan yang perempuan cantik nan elok. Pedang tersandang di pundak gadis cantik yang berpakaian ala Cina itu. Sedangkan di pinggang pemuda tampan itu terselip sebuah suling berkepala naga. Dilihat dari senjata serta pakaian mereka, kedua sejoli itu tidak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.

Sena meringis dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang nampak sepi dan senyap. Ada bendera kuning terpajang di pintu masuk desa itu. Bendera itu menandakan kalau desa itu tengah berkabung.

"Aha, mungkin kematian biasa, Mei Lie." 

"Tapi, Kakang...," potong Mei Lie.

"Aha, kau begitu nakal, Mei Lie. Ayolah, kita cepat pergi. Sebentar lagi malam. Kita harus segera mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.

Tapi gadis Cina itu me-nolak.

"Tunggu, Kakang. Firasatku mengatakan, telah terjadi sesuatu di sini." 

Sena tertawa tergelak-gelak mendengar penuturan Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Hal itu membuat Mei Lie lantas cemberut. Sena langsung menghentikan tingkahnya yang persis orang gila itu setelah melihat Mei Lie merengut. Dengan tetap cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena menghela napas panjang-panjang.

"Hi hi hi.. Nakalmu semakin jadi, Mei Lie. Ah ah ah, tentunya di desa ini memang telah terjadi sesuatu. Kematian, bukan?" goda Sena, membuat Mei Lie bertambah merengut.

Matanya mendelik pada Sena yang makin cengengesan.

"Uh, Kakang," keluh Mei Lie cemberut "Aku sungguh-sungguh, Kakang."

"Aha, aku lebih sungguh-sungguh, Mei Lie," tukas Sena, masih saja menggoda.

Semakin membuat Mei Lie mendelik kesal.

"Ah ah ah, gawat kalau begini. Sudahlah, Mei Lie. Sebentar lagi malam, kita harus segera mencari tempat penginapan." Sena kembali mengajak Mei Lie pergi meninggalkan tempat itu.

Akhirnya Mei Lie pun menurut. Kaki keduanya melangkah meninggalkan desa itu. Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bentakan seseorang.

"Berhenti" Sena dan Mei Lie berhenti, keduanya membalikkan tubuh melihat siapa yang telah menyuruh mereka berhenti: Tampak seorang lelaki berbadan kurus dengan kumis panjang yang melintang di atas bibirnya berdiri dengan pandangan penuh rasa curiga pada mereka.

Di belakang lelaki yang tidak lain Pabean, berdiri beberapa orang warga.

Wajah mereka pun menggambarkan rasa curiga.

Sena tertawa renyah.

Tingkah lakunya yang konyol kembali muncul.

Dia menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.

Kemudian tangannya menepuknepuk pantat Menyaksikan tingkah konyol pemuda berpakaian rompi kulit ular di hadapannya, Pabean seketika mengerutkan kening.

"Rasanya aku pernah mendengar tentang pemuda ini.

Ah, benarkah dia Pendekar Gila?" tanya Pabean dalam hati.

Alisnya bertaut saat memandang penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie.

"Dan kalau tidak salah, gadis Cina ini yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa.

Benarkah mereka berdua pendekar itu?" 

"Hi hi hi... Kalian ini aneh.Mengapa tiba-tiba menghentikan langkah kami? Hi hi hi..." 

Sena tetap konyol, menepuk-nepuk pantat sambil berjingkrak-jingkrak. Sedangkan Mei Lie malah bersiap-siap, waspada kalau para penghadangnya hendak bermaksud jahat "Siapa kalian?" tanya Pabean berusaha mencari tahu.

"Hi hi hi...Lucu. Kau lucu sekali, Kisanak." Sena semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

"Aha, kalian ingin tahu siapa kami? Baiklah, kami sepasang muda-mudi yang sedang melancong mengikuti kemauan kaki.

Nah, apa cukup jelas?" 

"Apakah kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa?" selidik Pabean berusaha memastikan dugaannya.

"Ya" sahut Mei Lie memotong.

"Ada apa kalian menghadang kami?" tanyanya kemudian.

"O, maafkanlah tindakan kami yang lancang.

Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami mengharap kalian sudi singgah ke rumah kami," pinta Pabean, santun.

"Hm, untuk apa?" tanya Mei Lie tegas.

"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie  Bagaimana kalau kita terima undangannya. Bukankah kita adalah tamu di sini?" tanya Pendekar Gila berusaha menenangkan Mei Lie yang ketus.

Tampaknya Mei Lie masih dihantui kejadian di Lembah Lamur, saat orang-orang yang dekat dengannya kedapatan mati.

Itu sebabnya dia tidak mudah percaya dengan orang lain (Mengenai kejadian Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").

"Baiklah Tapi jangan sekali-sekali bermaksud jahat.

Aku tak akan segan-segan membunuh kalian Bahkan seluruh penduduk desa sini" ancam Mei Lie.

"Baik, Nona Pendekar," sahut Pabean penuh hormat.

"Aha, ayolah," ajak Pendekar Gila.

Mereka pun melangkah mengikuti Pabean dan warganya.

Sementara kegelapan telah menyelimuti desa itu.

***

TIGA

Rumah Pabean nampak terang benderang.

Lampu tempel besar dan lampu gantung yang biasanya dipadamkan, malam itu dinyalakan semua.

Suasana dalam rumah menjadi terang benderang.

Khususnya di beranda.

Tiga orang tengah duduk di kursi rotan, sementara yang lainnya duduk bersila di bawah.

Tampaknya mereka tengah berkumpul, setelah kematian lurah mereka.

Sena, Mel Lie, dan Pabean duduk di atas bangku.

Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang melanda Desa Karapan dan telah menelan tiga korban.

"Kemarin malam desa ini didatangi oleh kawanan makhluk bermuka tengkorak.

Mereka menculik salah seorang petugas ronda dan anak Ki Lurah.

Sementara Ki Lurah sendiri mengalami kematian yang mengerikan sekali.

Tubuhnya hangus, bagai terbakar," tutur Pabean menceritakan semua kejadian yang terjadi kemarin malam.

"Hm," gumam Sena tidak jelas.

Sedangkan Mei Lie memperhatikan cerita yang dibeberkan Pabean dengan seksama.

"Aneh, makhluk berwajah tengkorak dari mana?" 

"Itulah yang tengah kami pikirkan.

Keris sakti milik Ki Lurah Walapaya yang bernama 'Simbar Mega' hilang entah ke mana.

Kata orang yang melihat, keris itu masuk ke dada makhluk bermuka tengkorak." 

"Heh?" seru Sena dengan mata membelalak kaget.

"Hhh," desah Mei Lie.

Wajahnya kelihatan geram mendengar cerita yang dituturkan Pabean.

"Kurasa semua ini didalangi seseorang." 

"Entahlah. Didalangi atau tidak, kami rasa hal ini harus dicegah...," kata Pabean dengan suara agak geram jika ingat kejadian yang menimpa desanya.

"Hm," lagi-lagi Pendekar Gila bergumam tak jelas.

Mulutnya cengengesan, tangannya menggarukgaruk kepala.

"Apa mereka keluar pada saat malam?" tanya Mei Lie.

"Ya" 

"Hm, ada yang tahu persis, bagaimana cara mereka muncul?" tanya Mei Lie.

"Saya, Nona Pendekar," sahut Pilan, salah seorang petugas ronda kemarin malam.

"Bisa Kisanak menjelaskan?" pinta Mei Lie.

Secara singkat dan jelas, Pilan pun menceritakan kejadian yang telah dialaminya bersama ketiga peronda lain, yang salah satunya menjadi korban kawanan makhluk bermuka tengkorak darah.

Muka tengkorak itu berlumuran darah, itu sebabnya dinamakan tengkorak darah: Sebelum mereka keluar terdengar derak tanah retak.

Kemudian muncul asap putih kehitam-hitaman yang perlahan menampakkan ujud merah me-nyala.

"Begitulah mereka keluar, Nona Pendekar," ucap Pilan, mengakhiri ceritanya.

"Hm," gumam Mei Lie sambil menghela napas panjang-panjang.

Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

"Aha, rupanya ada juga siluman yang ingin mencampuri urusan manusia.

Hi hi hi...

Lucu sekali" Sena tertawa meringkik.

Tingkahnya semakin konyol, membuat semua orang yang hadir di situ tersenyumsenyum.

"Siluman...?" tanya Pabean dengan mata membelalak.

"Ya Kurasa mereka siluman," jawab Sena masih bertingkah konyol dan lucu.

Semua terdiam.

Mereka merasakan ketegangan setelah mendengar penuturan Pendekar Gila.

Hati mereka bertanya-tanya, dari mana siluman-siluman itu datang? Lalu apa maksud siluman-siluman itu datang ke alam manusia? "Hm, kalau memang mereka siluman, bagaimana cara menghadapinya?" tanya Pabean nampak kebingungan.

Jelas akan sulit sekali manusia biasa seperti dirinya dan warga desa untuk menghadapi makhluk-makhluk seperti itu.

Hanya orang-orang yang memiliki ilmu gaib saja yang mampu menghadapinya.

Mulut Pendekar Gila nyengir.

Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.

Dia pun belum bisa berbuat apa-apa atau mengambil kesimpulan, karena dia belum pernah tahu makhluk seperti siluman itu.

Dia juga belum tahu bagaimana cara menghadapi siluman.

"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena tiba-tiba, menyentakkan semua orang di tempat itu termasuk Mei Lie, yang seketika mendelikinya.

Pendekar Gila hanya nyengir, lalu seraya menggaruk-garuk kepala dia melanjutkan, "Kurasa, ada baiknya kita membicarakan masalah ini." 

"Aku setuju," sambut Pabean.

"Bagaimana, Mei?" tanya Sena.

"Aku pun setuju." 

"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir larut, kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembicaraan.

Bagaimana kalau kita berpencar?" tanya Sena.

"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum mengerti.

"Mungkin kawanan siluman itu malam ini akan datang kembali.

Kurasa ada sesuatu yang menyebabkan kedatangan mereka di desa ini.

Bagaimana kalau kita menyelidikinya?" tanya Pendekar Gila.

"Hm, aku setuju.

Apa yang sekiranya menurutmu baik, aku setuju saja," jawab Pabean.

"Aku juga setuju," sambut Mei Lie.

"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Sena.

"Kami setuju," sahut warga yang hadir di tempat itu.

"Aha, bagus Kuminta lima orang untuk meronda.

Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi, bunyikan kentongan sebanyak lima kali.

Dengan begitu, aku dan Mei Lie akan segera datang," tutur Sena mengatur rencana.

"Ide yang bagus," puji Pabean.

"Sementara yang lainnya, tolong ikut Pabean untuk memeriksa kampung ini.

Aku dan Mei Lie akan mengawasi kampung sebelah barat.

Kita akan bertemu jika kita mendengar salah seorang membunyikan kentongan," papar Sena menjelaskan.

"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita mulai" kata Pabean.

Setelah mengatur rencana sebaik mungkin, mereka pun melakukan apa yang telah direncanakan.

Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat sedangkan Pabean dan warga menuju ke arah timur.

Lima orang peronda nampak masih berada di rumah Pabean, berjaga-jaga dengan kentongan siap di tangan.

***

Sementara itu, di Desa Sela Kapilu tampak beberapa orang tengah bergerombol.

Ada sepuluh orang yang malam itu bertugas meronda.

Kali ini mereka siap dengan senjata berupa golok.

Berjaga-jaga kalau-kalau terjadi hal yang serupa dengan kejadian di Desa Karapan.

"Apa benar cerita orang Karapan?" tanya seorang peronda bernama Kapri.

"Iya.

Mana ada setan gentayangan membunuh? Mungkin orang Desa Karapan sendiri yang melakukannya," sambung Dayan.

"Ya, mungkin juga benar," tukas Wiryo.

"Mana ada sih yang tega membunuh Ki Lurah? Lagi pula, kalau memang benar Ki Lurah mati terbakar, tentu warga melihatnya." 

"Iya ya. Kok bisa aneh begitu? Lagi pula, salah seorang petugas ronda hilang dan tadi pagi tahu-tahu ditemukan mati.

Aneh...," gumam Rusdi.

"Sudahlah, jangan membicarakan itu.

Tidak baik.

Ingat kata-kata Ki Gede Mantingan, kita tidak boleh membicarakan orang lain.

Yang penting kita harus bisa menjaga keamanan desa kita," tukas Romlan berusaha mengingatkan teman-temannya agar tak membicarakan orang lain.

Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda yang sedang berkumpul di gardu.

Terlebih malam itu angin berhembus membawa rasa dingin, membuat suasana di sekitar tempat itu bertambah mencekam.

Wesss Krak Tiba-tiba kesepuluh peronda yang tengah berjaga-jaga dikejutkan oleh suara tanah retak, yang diikuti oleh suara mendesis dan datangnya asap tebal yang keluar dari retakan tanah.

"Hei, suara apa itu?" seru Dayan.

"Seperti asap Lihat ada asap mengepul" sambut Rusdi.

Mata kesepuluh ronda itu membelalak, memandang tak berkedip pada asap tebal yang membubung keluar dari retakan tanah.

Belum juga rasa kaget kesepuluh peronda itu hilang, kepulan asap yang jumlahnya banyak itu membentuk sosok berwarna merah.

Kemudian terbentuklah ujud menyeramkan.

Sosok manusia berwajah tengkorak yang berlumuran darah.

"Se..., setaaan..." pekik mereka ketakutan.

Tapi tubuh mereka tidak beranjak dari gardu.

Hanya mata mereka yang melotot tegang, memandang sosok-sosok menyeramkan yang kini melangkah mendekati gardu.

"Jelas makhluk ini yang kemarin membuat bencana di Desa Karapan...," desis Wiryo, orang yang agak berani di antara kesepuluh peronda.

Malah tangannya kini menarik golok dari sarungnya.

"Kita harus serang mereka" Tak ada satu temannya pun yang berani.

Mereka cuma dapat menggigil ketakutan.

Hal itu membuat Wiryo kebingungan.

Kini dirinya dalam keraguan.

Ingin melawan seorang diri tapi dia akut karena takut lawan terlalu banyak.

Namun kalau tak melawan, bisa-bisa mereka akan menjadi korban.

Akhirnya tubuh Wiryo ikut merapat dalam kerumunan temannya.

"Tolong...

Ada setaaan..." jerit mereka keras, membuat warga lain yang tengah tidur seketika terbangun.

Mereka berbondong-bondong menuju ke gardu ronda.

Namun warga desa seketika lari meninggalkan tempat itu, manakala menyaksikan puluhan ujud menyeramkan.

"Wuaaa Setaaan..." Suasana malam yang sepi dan mencekam, mendadak dirambati jerit ketakutan para penduduk.

Mereka lari terbirit-birit saking takutnya, tanpa menghiraukan lagi nasib kesepuluh peronda yang masih terkurung di dalam gardu.

Ketegangan semakin menjadi-jadi, ketika makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu semakin dekat ke arah gardu tempat kesepuluh peronda berada.

"Wuaaa..." jerit mereka ketakutan, setelah lampu tempel di gardu menerangi wajah makhluk-makhluk itu, hingga mata mereka menangkap dengan jelas puluhan wajah menyeramkan itu.

"Kita tidak bisa begini terus.

Kita harus melawan," ajak Wiryo, berusaha memberi semangat pada kesembilan rekannya yang masih ketakutan.

"Tapi..., mereka bukan manusia," keluh teman-temannya.

"Apa pun mereka, kita tidak boleh tinggal diam" Wiryo terus berusaha memberi semangat pada teman-temannya untuk melawan makhluk-makhluk menyeramkan itu.

Srttt Mereka serentak mencabut golok.

Rupanya ajakan Wiryo mereka tanggapi.

Kemudian dengan nekat, kesepuluh peronda itu menyerang para pengepung yang menyeramkan.

"Heaaa" Crak Crak Crak Suara benturan golok dengan tubuh para makhluk tengkorak darah terdengar.

Namun golok di tangan mereka malah menjadi gompal.

Bahkan ada yang patah menjadi tiga.

Kejadian aneh itu membuat mata kesepuluh peronda semakin membelalak tegang.

"Wik Wok Wik" salah satu makhluk bermuka tengkorak berkata.

Tangannya yang hanya tulang belulang bergerak-gerak, seperti memerintah yang lain untuk membereskan kesepuluh peronda itu.

Puluhan tengkorak darah serentak maju, menjadikan para peronda semakin ketakutan.

Tubuh mereka kini menggigil hebat.

Keringat dingin bercucuran membanjiri dahi dan leher mereka.

Malah mereka terkencing-kecing, menyaksikan wajah-wajah menyeramkan itu bertambah dekat Tangan para makhluk bermuka tengkorak itu bergerak.

Mulanya menjulur maju, kemudian ditarik ke belakang.

Dari telapak tangan mereka yang hanya tulang belulang, terpancar sinar biru.

Saat itu pula tubuh kesepuluh peronda tertarik keras ke arah mereka.

"Wuaaa Tolooong..." Kesepuluh peronda itu berusaha mempertahankan diri dari sedotan tenaga aneh lawan, namun tenaga mereka rupanya belum seberapa.

Tubuh mereka terus tersedot, sampai menempel dengan tubuh makhluk bermuka tengkorak.

Kesepuluh peronda itu tergagap-gagap, menyaksikan wajah menyeramkan yang begitu dekat dengan wajah mereka.

"Wuaaa...

Tolooong..." Percuma mereka menjerit-jerit, karena warga yang lain malah kocar-kacir ketakutan.

Dalam keadaan tegang dan kritis, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan berwarna coklat tua ke arah puluhan makhluk bermuka tengkorak.

Bayangan itu langsung menghantamkan pukulan keras kepada salah satu makhluk itu.

Dukkk "Aduh" pekik bayangan coklat, yang tidak lain Ki Lurah Jaran Lanang.

Tangannya seketika memar.

Seakan tangannya baru saja memukul logam atau batu karang yang sangat kuat.

Mata lelaki tua berpakaian Jawa itu membelalak tegang.

Apalagi ketika pemimpin kawanan tengkorak darah membalikkan tubuh dan memandang ke arahnya.

Darah Ki Lurah Jaran Lanang mendesir hingga cepat, karena kengerian yang tiba-tiba menusuk.

Mulutnya menganga, matanya membuka lebar.

"Ngik Kik Cuik" Pemimpin makhluk bermuka tengkorak berkata, tampaknya dia sangat marah atas kehadiran Ki Lurah Jaran Lanang.

Malah tubuh merahnya kini melangkah maju, mendekat Ki Lurah Jaran Lanang yang semakin membelalak ngeri dan takut.

"Setan...

O, rupanya apa yang dikatakan warga Desa Karapan memang benar," desis Ki Lurah Jaran Lanang setengah mengeluh.

Matanya semakin membelalak tegang.

Kakinya berusaha lari, namun tiba-tiba tubuhnya bagai disedot oleh suatu kekuatan.

Kakinya mendadak tertahan, malah semakin tertarik mundur ke arah pemimpin makhluk bermuka tengkorak Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang mulai menggigil ketakutan, mengetahui tubuhnya kini terangkat ke atas.

Dan ketika matanya memandang ke belakang, tampak olehnya tangan tengkorak darah itu tengah bergerak ke atas.

"Nguik" Pemimpin makhluk bermuka tengkorak itu menggerakkan tangannya ke bawah, ketika tubuh Ki Lurah Jaran Lanang telah mencapai ketinggian tertentu.

Saat itu pula, tubuh Ki Lurah Jaran Lanang meluncur ke bawah.

Wesss "Wuaaa...

Tolooong..." Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang terus melesat turun dengan cepat, bagai dibanting dari atas.

Ketika tubuh lelaki tua itu hampir menghantam tanah kering, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat menangkap tubuhnya.

Bayangan itu langsung berhenti, kemudian menurunkan tubuh Ki Lurah Jaran Lanang.

Bersama bayangan yang ternyata Pendekar Gila, melesat pula tubuh Mei Lie.

"Rupanya siluman-siluman ini" dengus Mei Lie.

Matanya tajam, memandang gerombolan makhluk bermuka tengkorak darah yang kini menghadap ke arahnya, setelah membunuh kesepuluh peronda.

"Nguik Wok Wik Wok" 

"Hm, majulah Biar kuhabisi kalian" tantang Mei Lie dengan berani.

Srttt Dicabutnya Pedang Bidadari dari sarungnya. Seketika suasana di sekitar tempat itu menjadi terang benderang oleh sinar kuning kemerahan-merahan. Hal itu membuat ujud manusia-manusia bermuka tengkorak semakin terlihat jelas.

Keadaan mereka begitu menyeramkan. Muka mereka hanya berupa tengkorak berlumuran darah. Bagian mata mereka bolong, begitu juga bagian hidung.

"Ngik Ngok Nguik" Pemimpin gerombolan tengkorak darah itu tampak menutupi matanya dengan sebelah tangan.

Seakan merasa silau oleh sinar yang terbersit dari Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.

Sedangkan tangan yang lain kini digerakkan, memerintah pada kesepuluh anak buahnya untuk menyerang.

"Nguik" Suara ribut tercipta dari mulut-mulut makhluk tengkorak darah yang hendak menyerang Mei Lie.

"Bagus Majulah sekalian Heaaa..." Tanpa membuang-buang waktu, Mei Lie segera bergerak memapaki serangan lawan.

Pedang Bidadari di tangannya bergerak dengan cepat, memenggal ke kepala lawan dengan jurus 'Tebasan Bidadari'.

Wettt Trang "Heaaa" Mei Lie bergerak lincah.

Pedang Bidadarinya laksana lengan Bidadari Pencabut Nyawa.

Setiap kali berkelebat pasti mengambil kematian.

Pantas benar dengan julukan yang disandangnya, Bidadari Pencabut Nyawa.

Dua makhluk bermuka tengkorak terpenggal lehernya.

Keduanya seketika berubah menjadi asap, lalu menghilang.

Yang lainnya menyerang.

Namun Pendekar Gila yang tidak ingin Mei Lie mendapat cela-ka, segera menarik Suling Naga Sakti.

Dengan suling itu tubuhnya melesat ke udara.

Lalu dengan tingkah seperti seekor monyet, Pendekar Gila memukul kepala para makhluk bermuka tengkorak.

"Hi hi hi Rasakan ini, Siluman Buruk Ha ha ha" Tak tuk tak Tiga kepala makhluk ganjil itu pecah.

Ketiga sosok tengkorak yang terbungkus jubah merah berkerudung itu, seketika berubah menjadi asap.

Lalu menghilang bagai ditelan bumi.

"Ngik Ngok Nguk" Pemimpin kawanan tengkorak darah seketika memberi perintah dengan isyarat tangan, lalu sisa makhluk tengkorak darah itu menghilang dari hadapan Pendekar Gila.

"Hi hi hi Kalian mau main-main.

Baik Hi hi hi..." sambil tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak seperti monyet, Pendekar Gila meniup Suling Naga Saktinya.

Suara suling melengking tinggi.

Saat itu, suatu ledakan terjadi.

Lima tengkorak darah yang menghilang bersama pemimpinnya nampak kembali dalam keadaan sudah mati.

Kemudian tubuh mereka menjadi asap yang menipis dan menghilang tersapu angin.

Pendekar Gila tertawa sambil berjingkrakjingkrak.

Namun dari arah rumah seorang warga, tibatiba terdengar jeritan.

"Tolooong..." Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Jaran Lanang segera berkelebat menuju asal jeritan itu.

***

EMPAT

"Tolooong Setaaan..." Seorang wanita muda menjerit-jerit ketakutan dengan pakaian tak menentu.

Sebagian tubuhnya tidak tertutup kain.

Mungkin karena terlalu takut, wani-ta itu tidak ingat keadaannya.

Wanita muda yang cantik dan hampir telanjang itu ternyata Suri Prapti, anak Ki Lurah Jaran Lanang.

"Ada apa, Suri?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang, menyaksikan anaknya tampak ketakutan.

"Setan Ayah Setan tengkorak menculik Kakang Rejo," isak Suri Prapti menangis.

"Hah, Suro Rejo diculik?" seru Ki Jaran Lanang dengan mata membelalak, mendengar penuturan anaknya.

Suro Rejo dan Suri Prapti baru saja menikah 7 hari yang lalu.

Kini tiba-tiba muncul manusia-manusia bermuka tengkorak darah, mengacaukan hari indah mereka.

Belum juga rasa kaget mereka hilang, karena penculikan Suro Rejo, tiba-tiba para penduduk berteriak-teriak.

Mereka berhamburan ketakutan.

"Setan...

Setan menggarong" 

"Rampok setan..." 

"Setan merampok..." Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak melihat para penduduk berteriak-teriak ketakutan.

Tingkahnya yang konyol, membuat Mei Lie melotot.

Sena langsung diam, tidak lagi tertawa-tawa sambil berjingkrakjingkrak.

Meski begitu, Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

"Ada apa? Ada apa ini?" tanya Ki Jaran Lanang.

"Rumah kami dirampok" lapor penduduk dengan ketakutan yang terlukis di wajahnya.

"Anak kami yang masih jejaka dibawa" sambung yang lainnya.

"Suami saya juga dibawa.

Padahal kami baru menikah bareng sama Den Suri," isak seorang gadis muda berkulit kuning langsat dan cantik.

Ki Lurah Jaran Lanang semakin terlongong bengong.

Dia tidak tahu, untuk apa para lelaki muda diambil oleh siluman tengkorak darah.

Saat warga Desa Sela Kapilu dilanda kegemparan dengan matinya sepuluh orang peronda dan hilangnya beberapa lelaki muda, Pabean dan beberapa orang warganya datang.

"Ada apa, Sena?" tanya Pabean.

Ki Lurah Jaran Lanang menceritakan semua yang terjadi.

Hal itu membuat mata Pabean membelalak.

"Sama dengan kejadian kemarin," gumam Pabean.

"Akh heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan tampan dibawa pergi? Kemudian keesokan harinya mereka telah menjadi mayat dengan keadaan mengerikan.

Bukankah warga desa sini juga melihatnya?" 

"Benar..." sahut warga Sela Kapilu.

Semua terdiam, tak ada yang berkata. Mereka sama-sama tengah berpikir serta bertanya-tanya dalam hati.

Apa sebenarnya yang terjadi di desa mereka? Dan apa yang dikehendaki siluman tengkorak merah yang datang membawa kegemparan dan kematian? Hanya Pendekar Gila yang tetap tersenyumsenyum.

Malah sempat bersiul-siul.

Wajahnya menengadah ke langit, seperti tengah menikmati bintang yang gemerlapan di langit.

"Apakah orang-orang yang diculik pernah melakukan sesuatu?" tanya Mei Lie tiba-tiba.

"Maksud, Nona?" tanya Pabean.

"Apakah orang-orang yang diculik pernah melakukan sesuatu pelanggaran.

Berbuat jahat misalnya?" Mei Lie berusaha menerangkan.

Pabean dan Ki Lurah Jaran Lanang terdiam, berusaha mengingat-ingat setiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh pa-ra korban penculikan.

"Kami rasa tidak," sahut Ki Lurah Jaran Lanang, akhirnya.

"Anehnya, yang diculik lelaki tampan dan gagah," sambung Pabean.

"Hm, aneh.

Untuk apa mereka itu?" gumam Mei Lie sambil memasukkan pedang kembali ke dalam warangkanya.

Suasana di tempat itu seketika gelap kembali.

Warga desa baru tersentak kaget, setelah tahu kalau yang membuat suasana di tempat itu menjadi terang ternyata sebilah pedang.

Mata mereka membelalak, mulut mereka berdecak kagum.

Tak henti-hentinya mereka memandang wajah Mei Lie, lalu bergantian ke Pendekar Gila yang masih acuh sambil cengengesan.

"Ki dan Nisanak.

Kalau boleh kami tahu, siapakah kalian? Bagaimanapun juga, kalian telah menolongku," kata Ki Lurah Jaran Lanang.

Belum juga Sena dan Mei Lie menjawab, Pabean telah mendahului.

"Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa." Semuanya tersentak mendengar nama yang baru saja disebutkan Pabean.

Mereka memang sering mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini mereka melihat orangnya.

"O, terimalah salah hormat kami," hatur Ki Lurah Jaran Lanang sambil menjura hormat.

"Ah, sudahlah.

Tak perlu dipersoalkan.

Kini kita harus memikirkan bagaimana kita dapat menemukan tempat siluman itu.

Biasanya ada seseorang yang mengundang para siluman untuk membuat kerusuhan," tutur Sena, mengembalikan pembicaraan.

Semuanya membisu, tak seorang pun dapat memecahkan masalah yang diajukan Sena.

Mereka tidak tahu dari mana siluman tengkorak menyeramkan itu berasal.

"Bagaimana kalau kita mencarinya di sekeliling desa?" usul Mei Lie menyerahkan.

"Setuju saja Tapi, apa mungkin mereka berada di sekitar desa ini?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang, agak ragu.

"Mengenai itu, aku tak tahu.

Yang pasti, kita harus berusaha mencari," tukas Mei Lie.

"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie.

Nah, bagaimana?" sambung Pendekar Gila.

"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berusaha mencari," tambah Pabean.

"Aha, tidakkah kita harus memakai obor? Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.

Penduduk bergegas mencari obor.

Setelah semua keperluan yang diperlukan selesai, mereka pun dipecah menjadi empat kelompok.

Satu ke utara, satu ke selatan, sedang yang lain ke barat dan ke timur.

Suasana di dua desa itu seketika terang benderang, karena banyak obor yang menyala menerangi malam yang semula gelap-gulita.

Tidak hanya obor, kentongan pun turut serta.

Bunyi kentongan terdengar sahut-menyahut.

Suasana kedua desa menjadi ramai.

Namun sampai seluruh desa itu mereka kelilingi, tidak juga mereka temukan tanda-tanda yang mencurigakan.
Hal itu mengakibatkan semuanya terheranheran serta bingung, harus berbuat apa lagi agar dapat menemukan warga Desa Sela Kapilu yang diculik.

"Tak ada.

Hm, sulit sekali...," keluh Pabean.

"Hi hi hi...

Lucu sekali.

Kita seperti main petak umpet dengan para siluman," seloroh Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

Mei Lie menyapukan pandangannya ke sekeliling tempat di mana mereka berada kini.

Namun tidak juga ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan.

Lalu mereka memutuskan untuk meneruskan pencarian di tempat lain.

Namun belum juga Mei Lie, Sena serta yang lain pergi, tiba-tiba terdengar suara ancaman seorang wanita yang memenuhi udara.

"Ingat baik-baik Pendekar Gila dan kau Dewi Pencabut Nyawa Kalian telah ikut campur dalam urusan ini Kalian akan mendapatkan balasannya Tunggu saja nanti Kalian telah membunuh sepuluh anak buahku" Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, seperti tak takut sama sekali dengan ancaman yang baru saja didengarnya.

Bahkan dengan suara lantang Sena balas berkata....

"Ha ha ha...

Siluman jelek Jangan kira aku takut menghadapimu Ayo, keluarlah Biar ku jitak pantatmu Hua ha ha..." Tubuh Sena berguncangguncang karena tawanya yang terpingkal-pingkal.

Kemudian dengan konyol Sena menunggingkan pantatnya sambil berseru, "Nih, kentut busukku Pruttt..." Sena kembali tertawa terbahak-bahak seraya melompat-lompat tak ubahnya seekor monyet.

Hal itu membuat semua penduduk yang berada di tempat itu terbengong-bengong.

Heran bercampur kagum atas keberanian pemuda tersebut "Kurang ajar Tunggulah saatnya nanti, Pendekar Gila" Kembali terdengar ancaman seorang wanita.

"Hua ha ha Lucu sekali kau, Siluman Seharusnya aku yang mengancammu.

Karena kau telah berani melanggar ketentuan Sang Hyang Widi.

Kau lebih berani melanggar garis alam" dengus Sena setelah itu tertawa tergelak-gelak kembali.

Dengan berjingkrak-jingkrak pantatnya ditunggingkan lagi.

"Nih kentutku.

Pruttt.." Wesss Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana serbuan badai, menjadikan semua warga desa tersentak kaget.

Angin besar itu datang dari arah selatan.

"Aha, rupanya kau mau bercanda denganku, Siluman Jelek? Baik.

Ayo kita main-main petak umpet" Sena segera melangkah mundur.

Tangannya bergerak memerintah semua warga untuk tiarap.

"Kalian mundurlah.

Mei Lie, jaga mereka." 

"Baik, Kakang." Setelah warga mundur, Sena segera menyatukan telapak tangannya di depan dada.

Kemudian diangkatnya kedua telapak tangan ke atas, lalu digerakkan melebar ke samping.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Sena membalas serangan angin topan yang datang entah dari mana.

"'Inti Bayu'.

Heaaa..." dihembuskan tenaga dalamnya melalui kedua telapak tangan.

Saat itu, serangkum angin besar menderu kencang laksana prahara.

Angin 'Inti Bayu' bergerak menerjang angin lawan.

Wesss Jlegar Ledakan dahsyat seketika menggelegar, ketika dua angin besar bertemu.

Bahkan tanah tempat kedua angin itu beradu, seketika berhamburan hingga membentuk sumur lebar.

Suasana kembali lagi, tak ada lagi ancaman yang terdengar.

Dan tidak juga hembusan angin menggila.

"Hm," gumam Sena tak jelas.

Matanya kembali menyapu ke atas, "Kurasa, malam ini dia sedikit kapok.

Tapi penjagaan harus senantiasa ketat.

Biar bagaimana, siluman tak pernah puas." 

"Apa yang kau sarankan, akan kami laksanakan," jawab Pabean.

Malam itu juga, beberapa penduduk berjagajaga. Mereka tidak ingin kecolongan dengan kedatangan siluman tengkorak darah ke desa mereka. Malam semakin sepi, menyelimuti Desa Karapan dan Desa Sela Kapilu. Membawa rasa dingin yang menusuk tulang sungsum.

***

Sementara itu, di alam siluman yang tidak terjangkau penglihatan manusia, Siluman Tengkorak Darah tampak berlari-lari dengan bibir melelehkan darah.

Tangannya memegangi dada yang terasa direjam sejuta duri.

"Ukh..." Ratu Siluman Tengkorak Darah mengeluh, merasakan sakit di dadanya akibat benturan kekuatan tenaga dalamnya melawan Pendekar Gila.

Kakinya terus berlari, lalu masuk ke dalam istana yang dijaga dua pengawal bermuka tengkorak.

Keduanya segera menjura hormat ketika dia melewati gerbang istana.

"Sri Ratu, apa yang terjadi?" tanya pengawal yang berdiri di sebelah kiri.

"Ukh, aku luka dalam," sahut Ratu Siluman Tengkorak Darah sambil terus berlari masuk ke dalam istana.

"Cepat panggilkan ibu" perintahnya pada kedua pengawal tadi.

"Sendika Sri Ratu," sahut kedua pengawal itu berbareng.

Mereka bergegas mengayun langkah ke bangunan di samping istana.

Tidak lama kemudian, kedua pengawal itu telah kembali bersama seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun.

Namun kecantikan wanita itu masih utuh.

Kalau dilihat sepintas usianya masih sekitar dua puluh satu tahun.

Dia adalah ibu dari Ratu Siluman Tengkorak Darah.

Wajah wanita berkebaya biru dengan rambut disanggul itu tampak cemas, setelah mendengar penuturan kedua siluman tengkorak yang menjadi prajuritnya.

Kaki wanita berparas cantik yang sangat jauh dibandingkan usia yang sebenarnya itu, melangkah dengan terburu-buru ke istana.

Wanita itu langsung masuk ke dalam kamar Ratu Siluman Tengkorak Darah.

Wajahnya semakin menampakkan kekhawatiran ketika menyaksikan anaknya terbaring di ranjang.

"O, kenapa kau, Nak?" 

"Aduh, Bu," keluh Ratu Siluman Tengkorak Darah sambil meringis memegangi dadanya yang terasa sangat sakit.

"Kau habis bertarung, Nak?" tanyanya pada gadis cantik jelita yang berpakaian tipis dan minim.

Hanya buah dada dan kewanitaannya saja yang ditutupi se-carik kain putih.

Sedangkan bagian tubuh lainnya hanya diselimuti oleh jubah berwarna merah darah tembus pandang, sehingga lekuk tubuhnya yang elok terlihat jelas.

Lekuk tubuhnya sangat menggairahkan bagi setiap lelaki yang melihat.

Gadis cantik itu mengangguk.

Mulutnya masih meringis-ringis, menahan rasa sakit ."Siapa yang melakukannya, Nak?" tanya sang Ibu semakin cemas berbalut amarah.

Matanya berkilat penuh kegusaran.

Tampaknya dia tidak senang atas kekalahan anaknya.

"Pendekar Gila, Bu" 

"Pendekar Gila?" 

Kening wanita berkebaya biru dengan kain warna coklat tua itu mengerut. Sepertinya dia pernah mendengar nama yang baru saja disebutkan anaknya.

"Apakah yang kau maksud pemuda berpakaian rompi kulit ular?" Gadis cantik yang menjadi ratu Siluman Tengkorak Darah menganggukkan kepala membenarkan.

"Hm, kurang ajar Dia memang penghalang satu-satunya bagi kita" dengus wanita cantik yang sebenarnya berusia enam puluh tahun itu.

Tangannya memijat dan mengurut sendi-sendi di tubuh sang Anak, yang menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Darah meringis.

"Tahanlah sedikit, Nak." 

"Auhhh..." keluh Ratu Siluman Tengkorak Darah, merasakan rasa sakit yang tak terkira.

Asap mengepul dari dadanya yang luka.

Kemudian lambat laun rasa sakit itu menghilang.

"Nah, kini kau telah sembuh.

Hati-hatilah, jangan sampai kau bentrok dengannya lagi.

Bila perlu, rayulah dia.

Jika dia menjadi suamimu, maka kau akan menguasai dunia ini," tutur sang Ibu.

Ratu Siluman Tengkorak Darah tersenyum, kemudian tubuhnya bangkit.

"Apakah aku boleh menikmati tawanan itu, Bu?" Sang Ibu rupanya mengerti apa yang diinginkan oleh anaknya.

Dia menyadari, kalau sifat anaknya merupakan titisan sifatnya.

Bagaimanapun juga, dia tidak bisa melarang kemauan anak satu-satunya yang telah dewasa.

Tentunya birahi anaknya pun sama dengan birahinya.

Sang Ibu tersenyum mengangguk.

"Ambillah lima orang untukmu," katanya kemudian.

"Terima kasih, Bu." Setelah ibunya berlalu, Ratu Siluman Tengkorak Darah memanggil prajuritnya.

"Hamba Kanjeng Ratu" 

"Bawa salah satu dari mereka kemari" perintahnya.

"Tapi, Kanjeng Ratu.

Bukankah itu milik Kanjeng Ibunda?" tanya prajurit berusaha mengingatkan.

"Jangan membantah Ibunda telah mengizinkan" bentak Ratu Siluman Tengkorak Darah dengan mata melotot, menjadikan kedua prajurit tengkorak darah menurut.

Setelah menyembah, kedua prajurit itu berlalu meninggalkan kamar ratunya.

Sang Ratu segera membaringkan kembali tubuhnya di atas kasur seputih bunga melati dengan wangi cendana.

Dari luar, masuk dua prajuritnya dengan membawa seorang lelaki tampan dan gagah yang diculik oleh prajurit tengkorak darah.

Ratu Siluman Tengkorak Darah menggerakkan kepala, mengusir kedua prajuritnya untuk pergi.

Tanpa membantah, kedua prajurit bermuka tengkorak itu meninggalkan kamar ratunya.

"Ayo Cah Bagus, mendekatlah," rayu Ratu Siluman Tengkorak Darah dengan suara yang merangsang.

Lelaki muda yang tampan bertubuh setengah telanjang itu, kini melangkah mendekat.

Kemudian dengan buas, lelaki yang diculik dari Desa Sela Kapilu itu menggeluti tubuh Ratu Siluman Tengkorak Darah.

"Hi hi hi...

Bagus Teruskan...," rengek sang Ratu sambil mendesis-desis merasakan kenikmatan akibat gelutan dan lumatan lelaki muda itu.

Matanya memejam-mejam, napasnya tersengal-sengal.

Keduanya terus bergelut.

Satu persatu pakaian yang dikenakan mereka lepas.

Sri Ratu menutup tirai kelambu tempat tidurnya yang di sudut-sudutnya tergantung tengkorak kepala lelaki.

Lama keduanya saling bergelut, sampai akhirnya terdengar jeritan kematian dari lelaki muda itu.

"Aaakh..." 

"Hik hik hik..." Ratu Siluman Tengkorak Darah tertawa puas.

Dibukanya tirai kelambu tempat tidurnya.

Saat itu tampak sesuatu yang sangat mengerikan.

Tubuh lelaki gagah dan tampan itu, kini telah berubah menjadi sosok tulang belulang.

"Kini kau adalah abdi-ku Kau harus menuruti semua perkataan ku." Manusia tengkorak itu mengangguk, lalu berangsur meninggalkan kamar.

"Hik hik hik..." Ratu Siluman Tengkorak Darah tertawa melengking.

***

LIMA

Empat prajurit penjaga pintu gerbang malam itu tengah melakukan tugas jaga.

Seperti hari-hari biasanya, pintu gerbang Istana Kerajaan Bumi Wandra di-jaga ketat oleh empat orang prajurit.

Malam turun bersama udara dingin, sepertinya malam ini cuaca tidak sebaik malam-malam lalu.

Meski setiap malam udara memang dingin, namun malam ini udara terasa sangat lain.

Udara malam ini terasa sangat dingin, sampai tubuh keempat prajurit jaga menggigil.

Padahal mereka telah merokok kawung, berusaha menghilangkan rasa dingin yang menusuk tulang sum-sumnya.

"Hoaaahhh?" salah seorang dari keempat prajurit itu menguap lebar, merasa mengantuk.

Selain dingin suasana malam itu, juga membuat mata menjadi be-rat "Ngantuk sekali aku...," keluhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir rasa kantuk yang menyerang matanya.

"Kerjamu memang molor, To," seloroh temannya yang bernama Dasir.

"Huh, enak saja kau ngomong, Sir.

Tidak biasanya aku ngantuk begini," keluh Broto tangannya mengucak-ngucak matanya agar tidak mengantuk.

Namun matanya masih tetap saja seperti digelayuti sesuatu.

"Iya ya.

Aku juga merasakan hal serupa," sela Rukino membela Broto.

"Matamu juga ngantuk." 

"Wah, payah kalau begini. Tidak ada kopi lagi," sambung Jalari.

"Iya, tak ada kopi lagi," tambah Dasir akhirnya, turut mengeluh.

Baru saja keempat penjaga pintu gerbang itu selesai mengeluh, mata mereka yang semula agak ngantuk tiba-tiba membelalak lebar, manakala dalam jarak lima batang tombak di hadapan mereka terdengar tanah merekah.

Krak Belum habis rasa kaget keempat prajurit jaga itu, mereka kembali dikejutkan oleh munculnya bau kemenyan dan wangi bunga kamboja.

"Heh, bau apa ini?" tanya Dasir dengan hidung kembang-kempis berusaha memastikan bau yang baru diciumnya.

"Bau kemenyan," desis Broto.

"Heh, bau bunga kamboja," sambung Jalari dengan bulu kuduk meremang.

Matanya tak berkedip tegang, memandang ke arah suara tanah retak terdengar.

Saat itu, dari rekahan tanah di hadapan mereka, membubung asap putih kehitam-hitaman yang bergerak lamban seakan gerakannya hendak mengintai.

"Hai, asap apa itu?" seru Broto.

Ketiga temannya memandang asap putih kehitam-hitaman yang merayap naik di kegelapan.

Kemudian asap putih kehitam-hitaman itu, membentuk ujud berwarna merah.

Ujud itu semakin lama semakin nyata.

Mata keempat penjaga pintu gerbang membelalak dengan mulut menganga, tatkala menyaksikan sosok-sosok menyeramkan terbentuk dari asap putih kehitam-hitaman itu.

Tapi keempat prajurit yang mentalnya sudah terlatih itu segera menyiapkan senjata berupa tombak yang semula disenderkan di dinding pintu gerbang.

"Siapa kalian?" bentak Dasir sambil mengarahkan mata tombak ke arah kawanan siluman tengkorak darah yang kini melangkah maju mendekati mereka.

"Kurang ajar Ditanya bukannya menjawab Apakah kalian bisu, heh?" bentak Jalari gusar.

"Ngik Ngok Nguk" Hanya suara itu yang terdengar dari mulut para makhluk bermuka tengkorak.

Hal itu semakin memancing kemarahan keempat prajurit jaga.

"Rupanya kalian nekat Jangan salahkan kami kalau kalian kami bunuh" ancam Rukino sambil mengajukan mata tombak ke arah gerombolan makhluk ganjil tersebut.

Tapi para makhluk bermuka tengkorak itu bagai tidak peduli dengan ancaman mereka.

Makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu malah semakin maju mendekat, membuat mata keempat prajurit mendadak membeliak tegang menyaksikan beberapa wajah menyeramkan di hadapan mereka.

"Setaaan..." pekik mereka berbarengan.

Mata mereka semakin melotot tegang.

Tubuh mereka gemetar ketakutan.

Bulu kuduk mereka meremang hebat dengan tengkuk terasa dingin.

Belum juga keempat prajurit jaga itu sadar dari rasa takutnya, tiba-tiba kawanan makhluk bermuka tengkorak itu mengarahkan telapak tangannya pada mereka.

Dari telapak tangan makhluk-makhluk mengerikan itu, seketika keluar sinar biru yang melesat ke tubuh para prajurit jaga.

Jrottt "Wuaaa..." Mulut keempat prajurit jaga itu memekik keras.

Tubuh mereka seketika gosong.

Tubuh mereka menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak dengan nyawa melayang.

"Ngik Ngok Nguk" Pemimpin kawanan makhluk bermuka tengkorak melambaikan tangannya untuk memerintah anak buahnya agar menerobos masuk.

Brakkk Gerbang istana dilabrak.

Pintu yang terbuat dari kayu jati, hancur berantakan.

Suara jebolnya pintu gerbang, seketika menyentakkan prajurit jaga yang berada di pintu bagian dalam istana.

Bergegas mereka bangkit dari duduknya.

Dengan sigap mereka raih senjata.

Lalu enam orang prajurit memburu ke arah datangnya suara itu.

Mata mereka membalalak seketika, menyaksikan sosok-sosok menyeramkan yang kini menghampiri mereka.

Keempat prajurit itu berusaha menghalangi kesepuluh siluman tengkorak darah dengan mengarahkan mata tombak ke tubuh lawan.

Namun kesepuluh makhluk bermuka tengkorak itu bagai tak takut.

Kaki mereka terus melangkah, setapak demi setapak.

"Berhenti" bentak salah seorang prajurit Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli, mereka terus saja merambah maju.

Tentu saja keenam prajurit itu menjadi kalap.

Mereka menusukkan tombaknya ke dada lawan.

Tapi....

Trak "Hah?" Mulut mereka menganga, menyaksikan mata tombak mereka patah menjadi dua.

Seakan-akan mata tombak mereka beradu dengan batu karang yang kokoh.

"Berhenti" bentak salah seorang prajurit Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli, mereka terus merambah maju.

Keenam prajurit itu menjadi kalap.

Mereka segera menusukkan tombaknya....

Trak "Hah...?" Prajurit-prajurit itu terlongong bengong, menyaksikan mata tombak mereka berpatahan Ketakutan seketika menjalari tubuh keenam prajurit jaga itu, mendapatkan makhluk-makhluk bermuka tengkorak yang berlumur darah tak mempan tusukan tombak.

Mereka hendak lari untuk memanggil prajurit yang lain, tapi makhluk-makhluk menyeramkan itu telah mendahului mereka.

Makhluk-makhluk menyeramkan itu membuka jari-jari tangannya yang hanya tulang belulang, kemudian mengarahkan telapak tangannya yang juga hanya berupa tulang ke arah keenam prajurit jaga.

Dari telapak tangan mereka membersit sinar biru yang menghantam tubuh para prajurit jaga.

Crot Desss "Wuaaa..." jerit kematian melengking dari mulut korban.

Tubuh keenam prajurit itu sesaat meregang, lalu ambruk kehilangan nyawa.

Suasana istana kerajaan seketika menjadi gempar karena semua prajurit dan penghuni kerajaan lainnya terbangun mendengar jerit kematian keenam prajurit tadi.

"Tangkap mereka..." seru Patih Rangga Wuni memerintah para prajuritnya untuk menangkap makhluk-makhluk menyeramkan yang ganas.

Lelaki ini berbadan kekar dan bertelanjang dada.

Rambutnya digelung ke atas dengan ikat kepala terbuat dari emas, penampilannya tampak gagah.

Apalagi dengan kumisnya yang melintang.

Dia langsung terkejut melihat makhluk-makhluk yang baru kali ini dilihatnya selama hidup.

Prajurit-prajurit yang telah bersiaga penuh saat diperintah oleh sang Patih, seketika bergerak mengepung kesepuluh kawanan siluman tengkorak darah.

"Tangkap mereka Seraaang..." kembali Patih Rangga Wuni berseru.

"Heaaa" 

"Cincang mereka" Para prajurit bergerak serentak untuk menangkap makhluk-makhluk menyeramkan itu.

Senjata di tangan mereka, berkelebat merangsek kawanan siluman tengkorak darah yang balas menyerang mereka.

"Nguik" Setiap gerakan tangan dan kaki makhlukmakhluk tengkorak itu mendapatkan hasil.

Nyawa prajurit yang terdekat menjadi korban.

Brettt "Wuaaa" Pertarungan sengit antara para prajurit kerajaan melawan makhluk-makhluk tengkorak darah itu bergejolak seru.

Beberapa prajurit berusaha menyerang dengan membabatkan pedang.

Tapi apa yang terjadi...? Trakkk Trakkk Pedang di tangan para prajurit patah seperti sebatang kayu kering tak mampu memenggal kepala siluman tengkorak darah.

Bahkan makhluk bermuka tengkorak itu semakin ganas menyerang.

"Serang terus..." perintah Patih Rangga Wuni berusaha memberi semangat para prajuritnya.

Tapi serangan para Prajurit Kerajaan Bumi Wandra yang terkenal unggul dalam bertempur, kini bagai serbuan gerombolan lalat menghadapi sepuluh siluman tengkorak darah.

Senjata mereka yang terkenal mampu memburu nyawa, terpatah jika berbenturan dengan tangan atau tubuh lawan.

Menyaksikan hal itu, Pari Rangga Wuni segera mencabut keris pusakanya.

Kemudian dengan geram tubuhnya melompat menerjang musuh.

Ditusukkan keris 'Ki Gimring'nya ke tubuh lawan.

Namun kejadian aneh terjadi.

Keris pusaka 'Ki Gimring' di tangan Patih Rangga Wuni kini menghujam terus di dada salah satu siluman.

Patih Rangga Wuni terperanjat kaget.

Dia berusaha menarik keris pusakanya.

Namun semakin keras dia menarik, semakin kuat pula kerisnya tersedot.

"Celaka Ilmu apa yang digunakan oleh makhluk-makhluk ini?" gumam Patih Rangga Wuni dengan tegang.

Segera dilepaskannya keris pusaka itu.

Tubuhnya bersalto ke belakang, kemudian dengan cepat dia mengirimkan serangan dengan pukulan sakti 'Semburan Naga'.

"Heaaa" Wesss Jledarrr Satu siluman terkena ajian 'Semburan Naga' yang dilontarkan Patih Rangga Wuni.

Makhluk bermuka tengkorak itu ambruk.

Tubuhnya mengepulkan asap, lalu menghilang tanpa bekas.

Menyaksikan salah satu temannya binasa, pemimpin makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu mengeluarkan suara aneh.

Terdengar seperti siulan, namun melengking keras.

"Nguiiikkk..." Bersamaan dengan itu, bersemburan asap putih kehitam-hitaman dari dalam tanah.

Kemudian nampaklah ujud-ujud menyeramkan berupa siluman tengkorak darah.

Jumlah mereka semakin banyak, membuat para prajurit kerepotan.

Patih Rangga Wuni yang menyaksikan jumlah makhluk itu bertambah banyak segera menyerang dengan pukulan-pukulan sakti 'Semburan Naga'.

Dengan tubuh berkelebat kian kemari, tangan Patih Rangga Wuni memuntahkan pukulan demi pukulan saktinya.

"Heaaa Heaaa..." Jlegarrr

 ***

Meski banyak juga korban di pihak lawan setelah Patih Rangga Wuni melancarkan serangan dengan 'Semburan Naga', namun tenaga dalamnya terkuras juga.

Hal itu jelas mempengaruhi penyerangannya.

Tubuh Patih Rangga Wuni kini kelihatan agak lemah dalam menyerang.

Makin jarang dia melakukan serangan dengan ajian 'Semburan Naga'.

Kini dia lebih sering mengelakkan serangan-serangan lawan.

Pertarungan di halaman istana itu berjalan cukup alot.

Korban di kedua belah pihak telah berjatuhan.

Jumlah korban yang paling banyak diderita di pihak kerajaan.

Korban di pihak kerajaan empat kali lipat dari korban di pihak makhluk bermuka tengkorak.

Belum juga pertarungan benar-benar tuntas, dari dalam istana terdengar jeritan anak raja yang meminta tolong.

"Tolong...

Tolooong..." jerit Dyah Ayu Sawang Sari, putri raja tersebut.

Patih Rangga Wuni yang sedang berusaha menghalau lawan-lawannya, tentu saja terkejut.

Tubuhnya melompat meninggalkan arena pertempuran, lalu berkelebat masuk ke dalam istana.

Dilihatnya sesosok makhluk bermuka tengkorak darah tengah membopong tubuh seorang lelaki muda yang menjadi suami Dyah Ayu Sawang Sari.

"Berhenti..." bentak Patih Rangga Wuni.

Wesss Siluman yang tertangkap basah segera melancarkan serangan dengan pukulan maut yang mengeluarkan sinar biru ke arah Patih Rangga Wuni.

"Hop Yeaaa..." Patih Rangga Wuni bersalto di udara, mengelakkan serangan lawan.

Sinar biru itu terus melesat, kemudian menghantam tiang penyangga istana.

Jlegarrr Krak Bummm Tiang itu kontan hancur, terhantam pukulan maut yang dilontarkan makhluk berwajah tengkorak.

Hampir saja tiang itu mengenai tubuh Patih Rangga Wuni, kalau tubuhnya tidak segera mencelat mengelak.

Namun setelah Patih Rangga Wuni dapat menguasai diri, matanya tidak melihat lagi makhluk yang membawa tubuh suami Dyah Ayu Sawang Sari.

"Bedebah Ke mana perginya makhluk jahanam itu?" umpat Patih Rangga Wuni marah.

Tubuhnya segera mencelat keluar, namun di luar tidak ditemukannya gerombolan tengkorak darah lagi.

Yang ada hanya gelimpangan mayat prajurit kerajaan dan sisa-sisa prajurit yang mematung dalam keadaan tertotok "Kurang ajar" maid Patih Rangga Wuni gusar, menyaksikan para prajuritnya banyak yang gugur, termasuk beberapa senapati dan hulubalang.

Tinggal beberapa prajurit dan senapati yang masih hidup.

Mereka pun dalam keadaan tak berdaya.

"Paman Patih, apa yang terjadi?" tanya Raja Brah Salagatri dengan wajah cemas, menyaksikan banyak sekali prajuritnya yang mati.

Belum lagi dengan anaknya yang menangis menyebut-nyebut nama suaminya.

Ketika terjadi kejadian itu, sang Raja yang bijaksana dan sangat arif dalam memimpin tengah tertidur di ruang dalam istana.

Tepatnya berada di sebelah selatan alun-alun istana tempat pertempuran berlangsung.

Hingga tidak tahu kejadian yang meletus di sa-na.

Sang Raja yang saat itu sempat terjaga segera lari ke alun-alun, ketika sayup-sayup didengarnya jeritan-jeritan kematian.

"Ampun, Baginda.

Barusan saja terjadi pertarungan.

Serombongan manusia tengkorak menyerbu," tutur Patih Rangga Wuni setelah menyembah.

"Manusia tengkorak?" pekik Raja Brah Salagatri dengan mata membelalak.

"Benar, Baginda." 

"Lalu apa yang terjadi?" Patih Rangga Wuni menceritakan semua kejadian yang baru saja berlalu, tentang kerajaan yang diserang gerombolan tengkorak darah.

Tengkorak darah itu kebal terhadap segala jenis senjata.

Bahkan keris milik Patih Rangga Wuni yang bernama 'Ki Gimring' tak mampu mengalahkan mereka.

Malah keris itu ditelan tubuh salah satu tengkorak darah.

"Begitulah ceritanya, Baginda.

Mereka bukan manusia biasa, mungkin juga siluman.

Sebab hamba rasa, tak mungkin manusia seperti itu dapat hidup." Baginda Raja Brah Salagatri tercenung, benaknya berusaha mencerna cerita Rangga Wuni.

Rasanya cerita itu sangat aneh.

Namun melihat korban dan menilai kejujuran Patih Rangga Wuni, mau tidak mau baginda raja harus mempercayai juga kata-katanya.

"Rama....

O, Kangmas Lingga diculik setan," isak Dyah Ayu, membuat Baginda Raja Brah Salagatri semakin percaya pada cerita patihnya.

"Hm, bencana apa yang tengah melanda kerajaan?" gumam baginda raja lirih.

Mata baginda raja memandang mayat-mayat prajuritnya.

Tubuh mereka bergelimpangan dalam keadaan yang mengenaskan, dikerubuti oleh binatangbinatang berbisa.

Sangat menjijikkan sekali "Kau yakin mereka bukan manusia, Paman Patih?" tanyanya, seakan ingin lebih yakin lagi.

"Ampun, Baginda.

Hamba rasa mereka bukan manusia.

Seperti yang hamba katakan, mereka tengkorak hidup.

Tubuh mereka hanya tulang belulang...," tutur Patih Rangga Wuni.

"Benar, Rama.

Apa yang dikatakan oleh Paman Patih Rangga Wuni memang benar," sambung Dyah Ayu di sela isak tangisnya.

"Mereka menyeramkan.

Tubuh mereka hanya tulang belulang belaka.

Sangat menakutkan, Rama.

Dan mereka menculik Kangmas Lingga." Raja Brah Salagatri termangu diam.

Matanya memandang ngeri ke mayat-mayat prajuritnya yang dikerumuni binatang-binatang berbisa yang entah datang dari mana.

Ada juga mayat prajuritnya yang hangus terbakar, seakan baru dipanggang di atas jilatan api.

"Hm, seumurku, baru kali ini aku melihat siluman ikut campur dalam urusan manusia," gumam Ra-ja Brah Salagatri masgul.

"Mengapa kita yang diserang? Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan, Paman Patih" 

"Ampun, Baginda.

Kalau boleh hamba tahu, apa yang mencurigakan menurut perkiraan Baginda?" tanya Patih Rangga Wuni Lelaki tua berusia sekitar enam puluh serta berpakaian warna keemasan, bertubuh sedang dengan penampilan tenang itu terdiam.

Dihelanya napas panjang-panjang, berusaha membuang kesedihan yang menghujam dada.

"Besok kuperintahkan padamu untuk mengundang para pendekar dan para sesepuh istana untuk mengadakan rapat.

Sebar juga pengumuman untuk mencari tahu tentang manusia tengkorak darah itu." 

"Aku yakin ada maksud tersembunyi di balik kejadian ini." 

"Daulat, Baginda.

Segala titah Baginda, akan hamba junjung tinggi dan laksanakan," jawab Patih Rangga Wuni sambil menyembah.

"Bagaimana dengan Kangmas Lingga, Rama?" tanya Dyah Ayu dengan muka cemas.

"Tenanglah, Nduk.

Kuharap para pendekar dapat membantu kita membuka tabir misteri kejadian ini," gumam sang Raja sambil membimbing anaknya masuk, diikuti oleh Patih Rangga Wuni.

Suasana duka menyelimuti Kerajaan Bumi Wandra.

***

ENAM

Pagi lahir kembali, dikawal angin yang berhembus sejuk.

Langit terlihat ramah, tanpa awan kelabu yang menutupi.

Pasar Ngaplak yang merupakan pasar ter-besar di wilayah Kerajaan Bumi Wandra pagi itu tampak banyak pengunjungnya.

Rupanya ada sesuatu yang mendorong orang-orang berdatangan ke pasar itu.

Di sudut pasar, pada sebuah penyangga bangunan pasar terdapat sebuah pengumuman dari kerajaan.

Itu pula yang membuat para pedagang maupun yang hendak berbelanja berkerumun di sana.

Mereka ingin mengetahui apa isi pengumuman tersebut Bukan hanya pedagang dan orang-orang yang hendak berbelanja di pasar itu yang berkerumun membaca pengumuman dari kerajaan.

Penduduk di sekitar Pasar Ngaplak pun turut datang.

Mereka samasama ingin mengetahui isi pengumuman yang diedarkan oleh raja.

Barang siapa yang dapat memberikan keterangan tentang manusia tengkorak atau menangkap pemimpinnya, raja akan memberi hadiah seratus keping uang emas.

Patih Kerajaan Rangga Wuni "Wah, hadiahnya banyak sekali Tentunya baginda sangat murka terhadap manusia bermuka tengkorak," ujar seorang penjual di pasar itu setelah membaca pengumuman.

"Wah, kalau aku bisa menangkap mereka, tentu aku akan kaya raya.

Aku bisa menjadi saudagar," celoteh yang lainnya.

"Hanya pemuda tampan dan gagah serta berilmu tinggi saja yang bisa menangkap mereka," sela seorang wanita cantik berkerudung biru dari kebaya biru pula serta kain batik coklat tua, menyentakkan semua orang di tempat itu yang langsung memandangnya dengan tatapan penuh tanya.

"Kok Nyai tahu? Apa Nyai pernah melihat mereka?" tanya seorang lelaki yang biasa berjualan di pasar.

"Ya, bukannya tahu.

Tapi siapa sih yang bisa menangkap mereka? Orang-orang kerajaan saja tak dapat berbuat apa-apa," sahut wanita cantik tadi.

Kemudian dia berlalu begitu saja dari tempat itu, diikuti oleh pemandangan seluruh orang yang terkesima kecantikan wanita itu.

Setelah wanita cantik itu berlalu jauh, barulah mereka berdecak kagum atas kecantikannya.

"Ck ck ck Perempuan kok bahenol amat..." 

"Iya ya? Istri siapa ya? Cantik sekali." 

"Wah, baru kali ini kulihat wanita cantik dan sebahenol dia," sambung yang lain.

Orang-orang di pasar itu yang semula membicarakan masalah pengumuman sang Raja, kini malah beralih membicarakan wanita berkerudung biru yang cantik jelita.

Wanita yang memiliki kecantikan sempurna.

"Wah, kalau aku bisa menangkap manusia bermuka tengkorak, ingin rasanya aku mencari wanita cantik tadi.

Kujadikan dia istriku," gumam Dakir, penjual tempe yang giginya mancung ke depan.

"Mana dia mau sama kamu, Kir..." seloroh Parmin.

"Loh, namanya saja kaya.

Siapa sih yang tidak mau sama orang kaya?" kelit Dakir dengan membu-sungkan dada.

"Huh, lagakmu saja yang sok berani.

Baru ketemu kucing saja kamu lari..." Suasana pagi itu diisi oleh gumaman khayal tentang hadiah dari sang Raja dan wanita cantik berkerudung biru yang tadi berada di pasar itu.

***

Sementara itu, tidak begitu jauh dari pasar Ngaplak, tampak dua sejoli melangkah masuk ke dalam sebuah kedai yang telah banyak pengunjungnya.

Lelaki tampan dan wanita cantik jelita itu, tidak lain Sena, si Pendekar Gila dan Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.

Baru saja kedua pendekar muda itu duduk, suasana di luar kedai seketika menjadi riuh dengan kehadiran dua orang prajurit istana yang sedang memasang pengumuman di pohon ara yang besar.

Langsung saja semuanya bergerak mendekati pohon ara tempat kedua prajurit kerajaan memasang pengumuman.

"Pengumuman dari baginda yang mulia Raja Brah Salagatri" seru salah seorang prajurit yang tidak memasang pengumuman.

"Diumumkan bagi siapa saja yang bisa menangkap atau memberi petunjuk tentang keberadaan manusia tengkorak akan diberi hadiah seratus keping uang emas dari raja" Bisik-bisik pun terdengar di sana-sini.

Mereka pada umumnya ingin sekali mengikuti pengumuman itu, menangkap tengkorak darah yang sudah banyak menculik pemuda-pemuda tampan dan gagah.

"Memang kalau tidak segera dibasmi, bisa-bisa lelaki tampan di kerajaan ini akan habis," celoteh seorang warga.

"Benar Kita harus secepatnya membasmi tengkorak darah Kalau tidak, maka lelaki muda dan tampan akan habis" sambung yang lainnya.

"Basmi tengkorak darah..." 

"Hancurkaaan..." Kemarahan penduduk yang sudah mendengar kekejian sepak terjang tengkorak darah seketika meluap.

Mereka berteriak-teriak untuk membasmi gerombolan tengkorak darah yang telah meresahkan penduduk di Kerajaan Bumi Wandra.

"Tenang saudara-saudara.

Tenang..." seru prajurit yang membacakan pengumuman.

"Ada dua pengumuman lagi yang harus kalian dengarkan." 

"Katakanlah, kami ingin segera mendengar" se-ru warga.

"Apakah ada yang tertangkap?" tanya yang lain.

"Cincang saja Preteli tulang-tulangnya" 

"Kasihkan pada kucing dan anjing biar digerogoti..." Betapa menggebu amarah warga.

Mereka tampaknya tidak sabar lagi untuk mengetahui apa yang telah terjadi.

"Berita kedua mengenai berita duka" kata prajurit yang menjadikan semua warga terdiam.

"Dengar oleh kalian baik-baik.

Kemarin malam, istana kerajaan telah diserang oleh kawanan tengkorak darah.

Mereka banyak membunuh prajurit dengan cara yang sangat keji Cara iblis Bukan hanya itu, suami Putri Dyah Ayu diculik.

Sampai sekarang belum diketahui berada di mana...." Semua warga membelalakkan mata mendengar isi pengumuman duka cita itu.

Wajah mereka terlihat marah.

Mungkin kalau di situ ada salah satu tengkorak darah, mereka akan langsung menyerang dan mempreteli tulang belulangnya.

"Berita yang kedua.

Jika di antara kalian adalah seorang pendekar, Baginda berharap agar sudi datang ke istana..." Semua terdiam saling pandang, berusaha bertanya-tanya siapa di antara mereka yang merupakan pendekar.

Sedangkan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa nampak masih tenang menyantap makanannya.

Seakan mereka tidak menghiraukan pengumuman itu.

"Ki dan Nisanak, dilihat dari pakaian yang kalian kenakan, tentunya kalian dari rimba persilatan," tegur pemilik kedai setelah menghampiri keduanya.

Sena tersenyum bodoh.

Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.

Dipandanginya pemilik kedai yang tadi berkata, membuat lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu tersenyum.

"Aha, pantaskah kami menjadi pendekar, Ki? Hi hi hi..

Lucu sekali kalau kami ini pendekar," oceh Se-na sambil tertawa cekikikan.

Pemilik kedai mengerutkan kening melihat tingkah pemuda tampan berambut ikal gondrong dengan pakaian rompi kulit ular yang seperti orang gila.

Mei Lie menyikut kekasihnya agar diam.

Sena menurut diam, meski sempat menggerutu.

"Kakang, tampaknya gerombolan siluman itu telah menjarah kerajaan," bisik Mei Lie.

"Ya Aku heran, mengapa istana juga dijarah? Tengkorak darah benar-benar cari penyakit," gumam Sena setengah berbisik.

"Jadi kalian benar dari rimba persilatan...?" tanya pemilik kedai.

"Aha, benar katamu, Ki.

Tapi kami bukan pendekar," sangkal Sena semakin bertingkah konyol.

Lagi-lagi pemilik kedai yang bernama Ki Sanip mengerutkan kening.

Tampaknya lelaki itu bingung dengan ucapan pemuda tampan di depannya.

"Maksud Kisanak...?" tanya Ki Sanip belum jelas.

"Hi hi hi...

Kau kebingungan, Ki.

Ah ah ah, begini.

Kami memang dari dunia persilatan, tapi kami bukan pendekar.

Kami hanya seorang pengelana saja," jawab Sena, berpura-pura.

"Ah, rupanya Kisanak hanya merendahkan diri.

Tak mungkin orang persilatan berkelana kalau bukan seorang pendekar." 

"Ah, mengapa begitu, Ki?" tanya Sena.

"Apakah tidak boleh kalau orang yang bukan pendekar berkelana untuk mencari pengalaman?" 

"Ya, boleh saja.

Namun rimba persilatan ini ganas, Kisanak.

Jika macan buas, tapi manusia lebih buas.

Macan tidak akan memangsa jenisnya sendiri.

Tapi manusia, tega membunuh manusia lain," tutur Ki Sanip, bijak.

"Hi hi hi...

Ah ah ah, kau sungguh hebat, Ki.

Petuahmu lebih sakti dari ilmu kedigdayaan.

Tanpa petuah yang baik, orang sakti akan menjadi sesat.

Bukan begitu, Ki...?" tambah Sena turut berpetuah, membuat Ki Sanip semakin heran dengan pemuda bertingkah gi-la itu.

Tingkahnya memang seperti orang gila, tetapi pengalaman dan pikirannya seperti orang sehat.

Bahkan seperti seorang pendekar yang digdaya.

Siapa sebenarnya pemuda gondrong ini? Tindak-tanduknya seperti orang gila.

Namun cara bicara dan tata kramanya seperti orang berpendidikan tinggi dan berilmu, gumam Ki Sanip dalam hati.

Matanya masih menatap wajah Sena dengan seksama, seperti berusaha meyakinkan siapa sebenarnya pemuda tampan yang terkadang tertawa sendiri, lalu cengengesan, atau tersenyum-senyum bodoh.

Ketika Sena dan Mei Lie tengah ngobrol dengan Ki Sanip, dari luar masuk seorang lelaki tinggi besar berkepala botak.

Wajahnya amat garang.

Kumis tebal yang panjang melintang menghiasi atas bibirnya.

Alis mata lelaki tinggi besar itu lebar.

Di tangannya terdapat dua golok besar.

Hidungnya mancung.

Pakaian lelaki itu terbuat dari kulit serigala berwarna belang kuning kecoklatan.

Umurnya kurang lebih empat puluh tahun.

Lelaki tinggi besar yang memeluk sepasang golok besar seketika bertingkah sopan, ketika dilihatnya dua orang yang tengah makan di kedai itu.

"Oho, rupanya Pendekar Gila hadir di sini," ka-ta lelaki yang bergelar Serigala Merah Golok Kembar itu sambil menjura hormat "Terimalah salam dari Serigala Merah." Ki Sanip tersentak, setelah mendengar Serigala Merah menyebut nama pemuda tampan yang kini tertawa tergelak-gelak "Jadi, dia Pendekar Gila?" gumam Ki Sanip dalam hati dengan mata membelalak.

"Pantas..., pantas...." Pendekar Gila bangkit dari bangkunya, diikuti oleh Mei Lie.

Mereka membalas juraan Serigala Merah yang cukup terperangah, melihat gadis yang duduk bersama Sena.

"Oho, rupanya Bidadari Pencabut Nyawa pun hadir di sini.

Maaf, mata tuaku kurang dapat melihat dengan baik." 

"Ah, tidak mengapa, Kisanak.

Silakan duduk.

Mari kita makan bersama," ajak Mei Lie dengan penuh wibawa.

Ki Sanip semakin terkejut, setelah tahu bahwa gadis Cina itu juga seorang pendekar yang namanya akhir-akhir ini menjadi buah bibir.

Julukannya cukup membuat para tokoh rimba hitam harus berpikir puluhan kali untuk menghadapinya.

Apalagi dengan Pedang Pusaka Bidadari yang ampuh, sulit bagi para pendekar pedang untuk bisa menandinginya.

Serigala Merah pun duduk bersama kedua pendekar muda yang cukup disegani baik oleh kawan maupun lawan.

Ki Sanip segera mengambil makanan untuk Serigala Merah.

Ketiga pendekar itu pun menyantap makanan sambil membicarakan masalah yang telah terjadi di rimba persilatan wilayah timur.

Malah mereka kini membicarakan masalah tengkorak darah yang telah berani menjarah istana.

"Bagaimana menurutmu dengan masalah ini, Tuan Pendekar?" tanya Serigala Merah ingin tahu tanggapan Sena.

Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala sesaat "Aha, bagaimana aku menjelaskannya? Hi hi hi...

Kau ini lucu sekali, Sobat.

Mana aku tahu masalah ini?" sahut Sena sambil cengengesan.

"Ya ya, aku tahu.

Tapi aku baru saja membaca pengumuman itu.

Di situ dijelaskan, bagi siapa saja yang dapat menangkap tengkorak darah akan mendapatkan hadiah seratus keping uang emas.

Apa kau tidak berminat mengikuti sayembara itu." Sena masih cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.

Setelah melirik Mei Lie yang hanya tersenyum, Sena menjawab.

"Ah, kurasa tidak, Sobat.

Apakah kau berkenan mengikutinya?" balik Sena bertanya.

"Ya Aku ingin mengikutinya," jawab Serigala Merah.

"Dapatkah kau memberi penjelasan apa yang seharusnya kulakukan?" pinta Serigala Merah.

Sena kembali tertawa cekikikan.

"Aha, kurasa aku hanya bisa berkata kau harus berhati-hati, Sobat.

Yang akan kau hadapi bukan manusia seperti kita." 

"Jadi...?" alis Serigala Merah terangkat "Para tengkorak darah adalah gerombolan siluman," jawab Mei Lie, mendahului kekasihnya.

"Siluman?" 

"Ya, begitulah.

Mereka bukanlah manusia, tapi siluman," ulang Mei Lie menegaskan.

"Hm." Serigala Merah bergumam tak jelas.

Matanya kini menerawang keluar.

"Kalau memang tengkorak darah adalah siluman.

Tentu sangat sulit bagi manusia untuk mengalahkannya," nilai Serigala Merah.

"Kisanak, ada baiknya kau mencoba.

Tapi seperti yang kukatakan tadi, hati-hatilah.

Percayakan semua jiwa dan ragamu pada Sang Hyang Widi.

Hanya dia yang menentukan hidup dan mati makhluk di dunia ini," tutur Sena berusaha menasihati.

"Jadi menurutmu aku bisa mengikuti sayembara itu?" 

"Aha, semua orang bisa, Sobat.

Kau, aku, Bidadari Pencabut Nyawa, dan lain-lainnya, bisa mengikuti.

Semua kini tergantung dari nasib dan kehendak Sang Hyang Widi.

Jika nasib kita baik atas kehendak Sang Hyang Widi, tentu kita akan menang...," tutur Pendekar Gila.

Kemudian dia menambahkan....

"Bagaimanapun juga, suatu saat aku harus mengikuti, Sobat.

Secara langsung maupun tak langsung, aku pasti akan turut berusaha memberantas segala macam bentuk kejahatan dan keangkaramurkaan di muka bumi ini." 

"Ya ya, aku mengerti," sahut Srigala Merah.

"Kalau begitu aku bisa mengikuti sayembara itu?" 

"Ya ya, kami berdoa, semoga engkau dalam lindungan Sang Hyang Widi," kata Mei Lie.

"Terima kasih.

Dengan dorongan semangat dari kalian, tekadku semakin bulat," hatur Serigala Merah.

"Kita makan dulu, Sobat," ajak Sena.

Ketiganya kembali menyantap makanan mereka.

Setelah selesai, Serigala Merah membayar semua makanan yang telah mereka pesan.

Kemudian mereka keluar meninggalkan kedai itu.

"Hendak ke arah mana tujuan kalian?" tanya Serigala Merah.

"Ah, entahlah, Sobat.

Kami hanya mengikuti langkah kaki kami.

Ke mana angin bertiup, ke sana kami menuju," jawab Sena.

"Kalau begitu kita berpisah dulu.

Semoga kita dapat bertemu di lain waktu.

Permisi...," Serigala Merah menjura hormat, dan dibalas oleh Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa (Mengenai julukan Mei Lie sebagai Bidadari Pencabut Nyawa, silakan anda ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im" dan "Pedang Penyebar Maut").

Kedua pendekar muda itu sesaat mematung di tempat yang berjarak sekitar dua puluh lima batang tombak dari kedai.

Mata mereka memandang ke sekeliling yang nampak asri dengan barisan tumbuhan hijau.

"Hendak ke mana kita, Kakang?" tanya Mei Lie.

"Aha, kenapa kau bertanya? Bukankah kita sedang bertualang? Ke mana angin berhembus, ke sana pula kita melangkah," jawab Sena berseloroh, membuat Mei Lie gemas.

"Kau nakal, Kakang.

Selalu saja menggodaku" sungut Mei Lie manja.

"Karena aku suka menggodamu.

Apa tak boleh...?" 

"Hm...," Mei Lie bergumam, sedang matanya menatap penuh arti ke wajah tampan Sena yang saat itu tersenyum.

"Kakang...." 

"Hm, ada apa?" tanya Sena sambil menengok ke gadis pujaannya.

"Lama kita berpisah.

Saat itu, ingin rasanya aku bertemu denganmu.

Tapi setelah bertemu, kau nakal.

Kau suka menggodaku," kata Mei Lie dengan suara manja.

Sena tertawa ngakak.

"Kalau tidak menggoda, lalu harus bagaimana?" tanya Sena berpura-pura tidak tahu.

Mei Lie terdiam, tersipu-sipu malu.

Sena melangkah mendekati kekasih hatinya.

Dipegangnya pundak Mei Lie dengan lembut.

Kemudian dibelainya rambut Mei Lie.

"Kita berangkat, Mei Lie?" ajak Sena.

"Kakang belum mengatakan padaku," desak Mei Lie cemberut.

"Tentang apa?" 

"Ketika kita berpisah," jawab Mei Lie.

"Aha, kurasa kau telah mengerti, Mei Lie.

Seperti hatimu, aku pun merasakan hal yang serupa...," jawab Sena dengan suara meyakinkan, membuat Mei Lie tersenyum.

Dengan iringan angin yang bertiup lembut, keduanya pun melangkah untuk meneruskan perjalanan mereka.

***

TUJUH

Suasana Istana Kerajaan Siluman Tengkorak Darah nampak sibuk.

Mereka hendak mengadakan pesta.

Seluruh siluman tengkorak darah, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Umbul-umbul berbaris sepanjang jalan alam siluman.

Benar-benar hendak melaksanakan satu acara besar.

Di ruangan lebar yang biasanya digunakan untuk pertemuan, duduk di singgasana seorang wanita muda yang cantik berpakaian minim.

Wanita cantik yang ternyata Ratu Siluman Tengkorak Darah, duduk dengan penuh keanggunan.

Matanya yang lentik, memandang tajam pada para punggawa kerajaan
yang berupa tengkorak darah juga.

Para punggawa, hulubalang dan patih kerajaan duduk di ruangan lebar itu Sulit untuk membedakan mana yang prajurit, mana yang hulubalang dan mana yang patih serta tumenggung.

Semuanya bermuka tengkorak menyeramkan.

Hanya ada pembeda bagi mereka, yaitu darah yang melumuri muka tengkorak Patih kerajaan memiliki banyak lumuran darah di muka.

Bahkan menutupi semua mukanya.

Panglima perang dan para hulubalang serta tumenggung pun memiliki ciri lain.

Darah yang menutupi muka mereka lebih sedikit daripada patih.

Begitulah seterusnya.

Semakin rendah pangkatnya, semakin pucat wajah tengkorak itu.

Ada juga ciri lain dari para tengkorak darah, yaitu pada lengan bajunya.

Kalau patih lengan bajunya terdapat bunga kamboja sebanyak empat kuntum.

Panglima perang tiga, hulubalang dua kuntum, sedangkan tumenggung satu dan prajurit tak ada.

"Paman Patih, hari ini ibunda hendak melakukan upacara usia yang ke enam puluh lima tahun.

Untuk itu, aku titahkan pada Paman Patih agar menjaga istana dengan ketat.

Jangan sampai ada bangsa lain yang masuk dan membuat kekacauan.

Kalau ada, kuperintahkan membunuhnya" 

"Sendika Kanjeng Ratu," jawab Patih Tengkorak Darah.

"Kini kalian boleh bubar, jangan sekali-sekali menggangguku," kata Ratu Siluman Tengkorak Darah.

"Sendika, Sri Ratu." Setelah melakukan sembah, para prajurit dan pembesar istana pun mundur dari hadapan ratu mereka yang kini bangkit dari sing-gasananya, melangkah masuk ke dalam kamar yang telah tersedia seorang lelaki muda yang gagah, berparas tampan, serta bersih.

Lelaki muda itu ternyata Lingga, suami Dyah Ayu yang diculik.

Lingga yang sudah terpengaruh oleh ilmu sihir Ratu Siluman Tengkorak Darah kini bagai lupa segalanya.

Tubuhnya terbaring telanjang di atas tempat tidur.

Dari luar, masuk Ratu Siluman Tengkorak Darah.

Bibir sang Ratu mengurai senyum.

Saat itu pula, Lingga segera bangkit.

Bibir lelaki tampan itu men-gembangkan senyum.

Tampaknya dia benar-benar senang melihat kedatangan Ratu Siluman Tengkorak Darah.

"Anak bagus, rupanya kau telah lama menung-gu," desis Ratu Siluman Tengkorak Darah sambil men-gulurkan tangannya, yang disambut oleh Lingga dengan pelukan mesra.

Tidak hanya sampai di situ, Lingga kemudian menciumi seluruh wajah Ratu Siluman Tengkorak Darah, lalu merambah turun ke leher Ratu Siluman Tengkorak Darah yang jenjang dan menantang.

Lingga yang sudah terbius pengaruh sihir Ratu Siluman Tengkorak Darah, benar-benar lupa segalanya.

Bahkan istri tercintanya kini tak ada lagi di ke-dalaman hatinya, yang ada hanya nafsu liar yang mendidih.

Lama kemudian membisu.

Hanya desahdesah napas jalang saja yang terdengar.

Sampai akhirnya....

"Aaakh..." Tiba-tiba Lingga mengejang.

Matanya melotot menahan sekarat.

Sedangkan Ratu Siluman Tengkorak Darah tertawa cekikikan.

Seakan senang menyaksikan bagaimana Lingga bergelinjang menghadapi maut "Aaakh" 

"Hik hik hik..." Kau puas, Cah Bagus Kini ayahku akan melihat bagaimana pembalasan ibu Hua ha ha..." 

"Akh, ampun..." jerit Lingga terus menggeliat-geliat kesakitan.

Bagian bawah tubuhnya bagai ada yang menggigit.

Bahkan kini seperti putus.

Darah menyembur dari kemaluan Lingga yang putus.

Sedangkan dari kemaluan Ratu Siluman Tengkorak Darah, tampak seekor binatang berbentuk ular tengah melumat kemaluan Lingga.

Lingga menggelepar-gelepar sekarat, kemudian terkulai dengan nyawa melayang.

"Hua ha ha...

Ayah, lihat pembalasan ibu Lihat Kau telah menyia-nyiakan aku dan ibu Kini kau lihatlah semua" tawa Ratu Siluman Tengkorak Darah menggelegar, disertai gemuruhnya angin yang memba-dai.

Entah siapa yang disebut sebagai ayahnya.

"Prajurit" Dua orang prajurit bergegas masuk, kemudian menyembah.

"Hamba Kanjeng Ratu...." 

"Bawa tubuh lelaki ini, buang ke alam manusia di dekat istana" perintah Ratu Siluman Tengkorak Darah.

"Sendika, Sri Ratu." Kedua orang prajurit yang bermuka tengkorak itu segera mengangkat mayat Lingga keluar meninggalkan kamar ratu mereka yang masih tertawa.

***

"Mayat..

Mayaaat.." Seorang prajurit yang sedang bertugas mengelilingi tembok istana menjerit-jerit, ketika menyaksikan sesosok tubuh tanpa pakaian dikerumuni oleh binatang-binatang berbisa menjijikkan.

Rupanya mayat Lingga yang mengalami kematian mengerikan dibuang di tempat itu.

"Mayat Mayat Den Lingga..." Sepontan semua penghuni istana termasuk sang Raja keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Mata mereka serentak membelalak, menyaksikan mayat Lingga tiba-tiba telah tergolek di buritan istana dalam keadaan mengerikan.

"Kangmas Lingga..." Dyah Ayu yang melihat suaminya telah mati dalam keadaan mengenaskan seketika menjerit histeris.

Tubuhnya gontai, lalu pingsan tak kuat menerima guncangan batin.

Patih Rangga Wuni dan Baginda Raja Brah Salagatri menghela napas dalam-dalam.

Kematian yang sama dialami oleh para prajurit kerajaan tiga hari lalu.

Tapi mayat Lingga kini lebih mengerikan, karena kemaluannya hilang.

Seperti digi-git oleh binatang berbisa, yang menjadikan tubuhnya membiru.

"Ini keterlaluan" dengus baginda raja geram.

"Kita harus segera meringkus pelaku semua ini.

Aku tak peduli itu bangsa siluman atau manusia" Patih Rangga Wuni terdiam.

Sulit baginya untuk mengutarakan kata-kata.

Bagaimanapun juga, dia harus berpikir beratus kali untuk bisa menjawab semua misteri ini.

Kalau benar pelakunya siluman, apa dasarnya sehingga bangsa siluman begitu dendam terhadap Kerajaan Bumi Wandra? "Patih, kau harus memanggil para pendekar untuk datang ke istana secepatnya.

Aku tak ingin korban semakin banyak berjatuhan.

Kita harus segera menghentikan semuanya" dengus baginda raja marah.

"Sendika, Yang Mulia.

Hamba akan segera menjalankan tugas." 

"Lakukanlah sekarang juga."

"Sendika, Yang Mulia." Patih Rangga Wuni segera menyembah, kemudian tubuhnya pun berlalu meninggalkan buritan istana di mana raja dan kerabat istana masih berdiri di tempat itu.

Sore telah menjelang.

Sebentar lagi kegelapan malam akan segera merambah.

Matahari terpulas lelah.

Suasana duka menyelimuti kerabat istana.

Mereka tak pernah tahu apa yang telah terjadi belakangan ini.

Semua masih gelap, menjadi tabir misteri yang sulit untuk dikuak.

Orang-orang istana tampak sibuk mengurus mayat Lingga.

Wajah mereka dirundung duka yang dalam atas kematian menantu baginda raja.

Mereka tidak tahu, mengapa mesti keluarga raja yang menjadi korban.

Padahal baginda raja sangat arif dan bijaksana memimpin kerajaan.

Tak pernah sekalipun baginda berlaku tidak adil dan kasar, yang akan membuat orang dendam.

Mereka tak tahu.

Semua orang tak tahu, kalau ada sesuatu yang terjadi di balik semua itu.

Dendam seorang wanita dan anaknya yang merasa disia-siakan.

Dendam yang membuat keduanya bersumpah untuk mengabdi di alam kegelapan.

Dendam itu kini terwujud, setelah diterimanya kedua ibu dan anak menjadi bangsa siluman, bangsa kegelapan.

Dengan cara mengorbankan jiwa dan raga mereka.

Kalau saja semuanya tahu, tentu semua tak akan bingung dan resah menghadapi kejadiankejadian yang aneh dan penuh misteri.

Hujan rintik turun mengiringi duka keluarga istana atas kematian Lingga.

Dengan derai air mata yang berbaur dengan derai hujan, mayat Lingga dikebumi-kan sebagaimana adat kerajaan.

Dyah Ayu masih terseguk-seguk, bahkan beberapa kali jatuh pingsan, tak kuat menahan kesedihan yang dialaminya.

Mereka baru menikah sebulan yang lalu.

Dalam keadaan yang seharusnya gembira, tibatiba tengkorak darah merenggut Lingga dari pelukannya.

Lalu setelah tiga hari menghilang, tiba-tiba Lingga diketemukan telah menjadi mayat yang sangat mengerikan.

"Ibu, mengapa semua ini terjadi? Hu hu hu..." 

"Entahlah, Cah Ayu.

Ibu juga tak mengerti," ka-ta ibunda Dyah Ayu sambil memeluk tubuh anaknya.

Tangannya dengan lembut membelai-belai rambut sang Anak.

Wanita cantik jelita yang sangat sayang pada anaknya itu bertubuh ramping dengan rambut disanggul.

Wajahnya tampak lembut, tenang, dan penuh kasih.

Matanya lentik serta berbibir mungil, meski usianya sudah menginjak tua.

Sabar sekali tingkah lakunya.

"Sudahlah, Dyah.

Mungkin semua ini suratan Sang Hyang Widi" tambah ayahnya, Raja Kerajaan Bumi Wandra dengan masgul.

"Tapi, Rama, Mengapa harus kita yang menerimanya? Mengapa?" Raja Brah Salagtari menghela napas dalamdalam.

Dengan air mata berlinang, Raja Brah Salagatri berusaha menjawab pertanyaan anaknya.

"Sang Hyang Widi tak pandang siapa manusia itu, Dyah.

Kalau dia menghendaki, pasti akan terjadi.

Mungkin hari ini Lingga, besok siapa tahu Ayah." 

"Tapi ini bukan kehendak Sang Hyang Widi, Rama," bantah Dyah Ayu.

"Sudahlah, Cah Ayu.

Terimalah semuanya dengan hati yang tabah.

Serahkan semuanya pada Sang Hyang Widi.

Semoga Dia menerima arwahnya," hibur sang Ibu Suasana duka masih menyelimuti mereka.

Pekuburan kerabat istana kembali sepi dan senyap.

Hanya terdengar desah angin yang bergesek dengan daun-daun pohon kering.

Berderit lirih penuh duka.

Satu persatu mereka meninggalkan pekuburan itu, masih dengan membawa tangis.

Pekuburan pun benar-benar sepi.

Malam merambat datang, dengan kegelapannya yang terasa semakin mencekam.

Krakkk Tiba-tiba kuburan tempat Lingga dimakamkan berbunyi.

Ada sesuatu yang terjadi.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara berseru sayup-sayup.

"Atas nama tengkorak darah Bangunlah..." Krakkk Werrr Angin menderu dengan kencang, seiring dengan suara pecahnya tanah di kuburan Lingga.

Dari kegelapan yang mencekam, tampak se sosok tubuh berdiri.

Tangannya terangkat ke atas.

Matanya tajam memandang kuburan Lingga yang merekah.

"Bangkitlah Atas nama tengkorak darah.

Bangkit Bangkit dari kuburmu Bunuh Raja Brah Salagatri Bunuh..." Krakkk Duarrr Ledakan dahsyat menggelegar, memecahkan kesunyian malam yang dingin, disertai rintik hujan gerimis.

Sepasang tangan kaku dengan kuku-kuku panjang, merayap naik perlahan-tahan.

Lalu tampak-lah kepala Lingga yang mengerikan.

Kepala menyeramkan itu muncul ke permukaan tanah.

Matanya berwarna merah menyala.

Kemudian sosok menyeramkan itu berdiri di atas liang kuburnya.

Matanya memandang sosok wanita yang berdiri di tengah kegelapan.

"Aku bangkit..." 

"Kemarilah" seru wanita dalam kegelapan memerintah.

Sosok mayat hidup itu melangkah mendekatinya.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya mayat hidup itu dengan suara berat dan serak.

Bau busuk menebar di udara malam.

"Hua ha ha...

Bagus Bagus...

Kau adalah abdiku yang setia Kau akan menjadi penghancur keluarga kerajaan Bawa anak lelaki Brah Salagatri Bawa ke tempatku" perintah wanita yang berdiri di kegelapan.

"Hanya itu?" tanya mayat hidup.

"Untuk kali ini.

Hanya itu" 

"Baik, aku akan melakukannya." 

"Bagus Pergilah segera..." Wanita itu menghilang.

Kini tinggallah mayat hidup yang melangkah membelah malam.

Desah napasnya yang berat, membuat suasana di sekelilingnya semakin mencekam.

Dentuman langkahnya pun semakin membahana, menggetarkan kesunyian.

Mayat hidup itu melangkah menuju istana.

Enam orang penjaga pintu gerbang tersentak, manakala melihat sesosok menyeramkan menuju istana.

Mata mereka membelalak tegang.

Sepontan mereka menjerit ketakutan, membuat orang-orang istana tersentak dan berhamburan lari keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Mayat hidup..." seru mereka ketakutan "Lingga O, apa yang terjadi denganmu?" tanya Raja Brah Salagatri dengan mata melotot tegang, menyaksikan mayat menantunya yang baru dikubur sore tadi, kini bangkit.

Mata Lingga bersinar merah menyeramkan.

"Gerrr Minggir..." bentak mayat hidup itu sambil menggerakkan tangan.

Wettt Para penjaga pintu gerbang dicengkeramnya, kemudian dengan enteng dilemparkan keenam prajurit itu sampai melayang di udara.

Lalu jatuh ke tanah dengan nyawa melayang.

Menyaksikan kebengisan mayat Lingga, Raja Brah Salagatri segera memerintah para prajuritnya untuk membunuh mayat itu.

"Bunuh iblis itu..." Serentak berpuluh prajurit bergerak maju untuk menyerang.

Dengan pedang dan tombak, mereka menyerang mayat Lingga.

Swing, swing, swing Jlep, jlep, jlep Puluhan anak panah dan tombak menghujani tubuh mayat Lingga yang hidup kembali.

Beberapa bagian tubuhnya tertembus telak.

Bahkan ada yang sempat menembus hingga bagian belakang tubuh.

Tapi mayat hidup itu bagai tidak merasakan apa-apa.

Malah dicabutnya senjata-senjata yang menghujam di tubuhnya.

Kemudian dengan penuh amarah, dilemparkannya kembali senjata itu ke para prajurit.

"Gerrr Ini senjata kalian kukembalikan Heaaa..." Puluhan senjata itu melesat laksana dilontarkan tenaga raksasa.

Tanpa ampun....

Jlep, jlep, jlep "Wuaaa..." Puluhan prajurit menjerit setinggi langit.

Tubuh mereka tertembus senjata-senjata yang tadi mereka lepaskan.

Raja Brah Salagatri semakin bertambah cemas menyaksikan keganasan mayat hidup menantunya.

Dia segera lari masuk ke dalam sambil berseru memerintah prajuritnya untuk membunuh mayat hidup itu.

"Gerrr Minggir kalian..." Wuttt Tangan mayat hidup bergerak cepat, menyambar tubuh para prajurit yang berusaha menghalanginya.

Seketika mereka terlempar ke udara bersama jerit kematian yang menyayat.

"Wuaaa..." Bug, bug, bug Menyaksikan kematian teman-temannya, nyali para prajurit lainnya mendadak ciut.

Mereka segera menyingkir, ketika mayat hidup itu melangkah mendekati mereka.

Mayat hidup itu terus melangkah masuk.

Namun tiba-tiba dia dihalangi oleh seorang lelaki tua berjubah ungu.

Di tangan lelaki tua berjubah ungu yang bernama Ki Gendut Kluntung, tergenggam tombak pendek bermata dua yang dinamakan 'Ki Basupati', "Minggatlah kau ke alammu Heaaa..." Ki Gendut Kluntung yang, keadaan tubuhnya kurus tidak seperti namanya itu, merangsek dengan senjata pusakanya.

"Heaaa..." 

"Gerrr Minggir kau" bentak mayat hidup sambil bergerak menyerang Ki Gendut Kluntung.

Dia adalah Pendekar Istana Bumi Wandra yang berusia sekitar lima puluh tujuh tahun.

Berambut panjang dengan bagian atas kepala botak, berhidung pesek dan bermata lebar.

Tubuhnya harus berjumpalitan mengelakkan serangan lawan yang menimbulkan angin panas membakar.

"Edan ilmu iblis..." maki Ki Gendut Kluntung dengan mata membelalak, menyaksikan keganasan pukulan tangan lawan.

Saat itu, ketika Ki Gendut Kluntung mengelak, mayat hidup berlari menuju kamar putra Raja Brah Salagatri yang bernama Citro Buono.

Diambilnya pemuda tanggung yang menjerit-jerit ketakutan itu.

"Rama, tolooong..." 

"Anakku Anakkuuu...

Jangan bawah anakkuuu" seru Raja Brah Salagatri, berusaha mencegah mayat hidup.

Tapi tubuh mayat hidup telah menghilang lewat jendela kamar anaknya.

"Iblis Jangan lari..." bentak Ki Gendut Kluntung mengejar.

***

DELAPAN

Sia-sia saja Ki Gendut Kluntung mengejar, sebab mayat hidup itu telah menghilang dalam kegelapan entah ke mana.

Seperti menyusup ke dasar bumi.

Dengan penuh kekecewaan, Ki Gendut Kluntung kembali ke kerajaan.

Namun baru beberapa langkah kakinya bergerak, tiba-tiba tanah di sekelilingnya merekah.

Bersamaan dengan itu, dari rekahan tanah muncul asap putih kehitam-hitaman mengurung tubuh Ki Gendut Kluntung.

"Heh, apa itu?" desis Ki Gendut Kluntung dengan mata membelalak, menyaksikan sesuatu yang aneh.

"Uh, bau kemenyan dan bunga kamboja.

Wesss Krakkk Suara asap mengepul disertai derak tanah retak kembali terdengar.

Samar-samar, kini tampak puluhan makhluk-makhluk menyeramkan mengelilingi Ki Gendut Kluntung.

"Hah...? Mereka dari dalam tanah Oh, mereka benar-benar siluman tengkorak darah," desis Ki Gendut Kluntung dengan mata membelalak tegang.

Cepatcepat disiapkan senjata pusakanya, tombak pendek Ki Basupati.

"Gerrr Nguikkk..." Serentak makhluk-makhluk menyeramkan bermuka tengkorak itu menyerbu Ki Gendut Kluntung.

Serangan mereka begitu cepat.

Gerakan mereka bukanlah gerakan ilmu silat, kacau balau.

Namun membahayakan.

"Gerrr Nguikkk" 

"Ayo, hadapi aku..." tantang Ki Gendut Kluntung sambil menggerakkan Ki Basupati dengan jurus 'Jalma Bawuna', menjadikan tombak pendek itu mampu mengeluarkan angin yang menderu kencang, menyambar-nyambar ke arah sosok-sosok menyeramkan.

"Nguikkk" 

"Heaa..." Meski dikeroyok prajurit tengkorak darah, tapi Ki Gendut Kluntung rupanya mampu mengatasi serangan-serangan mereka.

Bahkan beberapa kali senjatanya mampu menghantam kepala dan dada lawan yang seketika jatuh ambruk dan menghilang.

"Heaaa" Tubuh Ki Gendut Kluntung terus bergerak menyerang.

Tangannya yang memegang tombak Ki Basupati menyambar lawan-lawannya yang berusaha merangsek.

Keampuhan Ki Basupati benar-benar terbukti.

Senjata itu mampu membuat lawan dari bangsa siluman darah harus mengalami kebinasaan.

"Nguik Werrr..." Pemimpin Prajurit Tengkorak Darah yang melihat anak buahnya semakin banyak menjadi korban kini merangsek maju.

Tangannya yang hanya tulang belulang itu bergerak menyerang dengan sambaran-sambaran yang mengeluarkan hawa panas.

"Uts Rupanya kau ketuanya Baik, kita bertarung mengadu nyawa Heaaa..." Tubuh Ki Gendut Kluntung terus mencelat kian kemari, mengelakkan serangan lawan yang datang bertubi-tubi, bagai tidak memberi kesempatan bagi dirinya untuk balas menyerang.

"Heaaa" Dengan bersalto ke udara, Ki Gendut Kluntung segera balas melabrak dengan jurus 'Buana Yuda'.

Diputarnya tombak pendek yang bernama Ki Basupati dengan kencang, kemudian dengan cepat mata tombak ditusukkan ke dada lawan.

Rupanya lawan yang dihadapinya benar-benar bukan tengkorak darah sembarangan.

Lawan mampu mengimbangi serangan yang dilancarkan Ki Gendut Kluntung.

"Heaaa" 

"Nguikkk Werrr" Pertarungan dua makhluk berbeda alam itu berlangsung dengan seru.

Masing-masing berusaha menjatuhkan satu sama lain Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawannya.

Namun ternyata sulit bagi keduanya untuk dapat mengakhiri pertarungan itu Serangan Ki Gendut Kluntung kini terlihat kendor.

Rupanya tenaganya terkuras saat melakukan serangan.

Wajahnya agak tegang, menyaksikan lawan masih kuat.

Malah gempuran serangannya semakin menjadi-jadi.

"Iblis Dia tidak merasa lelah sedikit pun" maid Ki Gendut Kluntung.

"Celakalah aku" Belum juga Ki Gendut Kluntung selesai mencaci maki.

Pemimpin Tengkorak Darah kembali menggempur dengan pukulan-pukulan mautnya.

Dari tangannya membersit sinar biru ke tubuh Ki Gendut Kluntung.

Wesss "Uts Celaka..." pekik Ki Gendut Kluntung sambil merendahkan tubuhnya untuk mengelak.

Sinar biru yang keluar dari tangan pemimpin tengkorak darah melesat beberapa senti di atas kepalanya.

Belum juga Ki Gendut Kluntung dapat menguasai diri, lawannya telah melancarkan serangan pukulan-pukulan mautnya kembali.

"Gerrr Nguik..." Wusss" 

"Celaka Dia benar-benar bukan manusia" pekik Ki Gendut Kluntung setengah mengeluh.

Segera direndahkan tubuhnya ke bawah, kemudian dengan cepat berguling ke samping.

Wesss Sinar biru itu luput beberapa senti di samping kanannya.

Tapi lagi-lagi sebelum Ki Gendut Kluntung menguasai diri, serangan lawan mencecar lagi.

Wesss "Modar aku" keluh Ki Gendut Kluntung, mera-sa mati langkah.

Matanya membelalak tegang.

Harapannya untuk hidup semakin menipis.

Sinar biru itu semakin dekat ke arahnya.

Tinggal menunggu beberapa saat lagi, dia akan mati terhantam pukulan maut itu.

Namun....

Jlegarrr Ledakan hebat menggelegar, ketika serangkum sinar merah menderu cepat lalu menghadang sinar biru.

Bersamaan dengan suara ledakan itu, terdengar gelak tawa meriah.

"Hua ha ha...

Rupanya kalian tidak kapok, Siluman Busuk" Pemimpin tengkorak darah yang tergontaigontai kini memalingkan wajah.

Dilihatnya seorang pemuda tampan bertingkah seperti orang gila telah hadir di tempat itu bersama dengan seorang wanita cantik.

"Gerrr Nguik Kakkk"

***

"Hua ha ha Kalian memang siluman-siluman busuk Mengapa kalian ikut campur urusan manusia" bentak Sena sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera.

"Gerrr Nguik Gerrrkkk" seru Pemimpin Tengkorak Darah sambil melambaikan tangan pada anak buahnya, yang bergerak serentak mengurung Pendekar Gila.

"Aha, rupanya malam ini kita bisa bermain-main, Mei Lie," celoteh Pendekar Gila sambil berjingkrak dan menggaruk-garuk kepala.

"Hm, majulah siluman busuk.'" dengus Mei Lie sambil mencabut Pedang Bidadarinya.

Srang Sinar merah kekuning-kuningan seketika menyinari tempat itu.

Hal itu membuat Ki Gendut Kluntung dapat melihat dengan jelas orang yang telah menolongnya dan bagaimana rupa makhluk-makhluk menyeramkan yang mengeroyoknya habis-habisan.

"Pendekar Gila...

O, selamat datang di kerajaan.

Terima kasih atas pertolonganmu," sambut Ki Gendut Kluntung.

"Aha, sudahlah, Ki Tak perlu dipermasalahkan.

Kini kita harus main-main dengan tikus tengkorak itu Ha ha ha...

Awas serangan" Dengan tingkah polah konyol, tubuh Pendekar Gila segera melompat ke udara, mengelakkan serangan lawan yang menderu ke arah mereka.

Begitu juga dengan Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung.

Kemudian ketiganya balas menyerang dengan cepat "Aha, rupanya di alam kalian tidak pernah makan tahu.

Nih tahu untuk kalian Heaaa..." Sambil menunggingkan pantat Pendekar Gila bergerak menggasak lawan-lawannya.

Dicabutnya Suling Naga Sakti.

Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Sena menyerang kepala lawan.

"Hi hi hi Enak juga meniti di kepala siluman, Mei Lie" seru Pendekar Gila sambil berlari di atas kepala-kepala siluman tengkorak darah.

Sementara itu tangannya menghantamkan Suling Naga Sakti ke kepala tengkorak darah yang dipijaknya.

Tukkk Pletakkk Satu tengkorak darah binasa.

Batok kepala tengkoraknya pecah terkena pukulan Suling Naga Sakti.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak.

Seperti kegirangan bisa berlari di atas kepala siluman-siluman tengkorak "Ha ha ha...

Mei Lie, cepat naik Enak sekali bisa menginjak kepala siluman" seru Pendekar Gila sambil tetap menggerakkan tangannya, memukulkan Suling Naga Sakti ke kepala lawan.

Pletakkk Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung pun tak tinggal diam.

Dengan senjata pusaka, keduanya bergerak menyerang.

Ki Gendut Kluntung dengan tombak pendek Ki Basupati mengamuk dengan jurus 'Buana Yuda'.

Senjata di tangannya bergerak buas laksana balingbaling, menusuk dan memukul tubuh lawanlawannya.

"Heaaa" Wettt Prak Setiap kali tombak Ki Basupati bergerak, dua siluman tengkorak darah mengalami kesirnaan.

Tubuh mereka hilang menjadi asap putih kehitam-hitaman.

Mei Lie tak mau kalah.

Dengan Pedang Bidadari di tangannya, dia pun bergerak lincah menyerang para lawan.

Kali ini Mei Lie tidak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan jurus 'Pedang Tebasan Batin' andalannya yang terkenal ampuh dan belum ada tandingannya saat itu "Heaaa" Wettt Pedang Bidadari di tangannya menyambarnyambar atau membabat ke tubuh lawan.

Setiap kali pedang di tangan Mei Lie berdesing, kejadian aneh terjadi.

Hanya tersentuh oleh ujung pedang saja, siluman-siluman tengkorak darah telah sirna.

Tak ada yang sanggup menghadapi Pedang Bidadari yang menyatu dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.

"Yeaaa..." Mei Lie menyerang semakin garang.

Ingatannya kembali terbayang pada Dewi Pemuja Setan yang telah memperdayainya (Mengenai Dewi Pemuja Setan, bisa Anda baca pada serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").

Pengalaman pahit yang tersimpan di benaknya telah begitu mempengaruhi perasaan wanita cantik itu Kebenciannya pada kemungkaran menggelegar seperti lahar panas.

Meskipun dendam tak akan pernah baik untuk dirinya, tapi dia sendiri tak mampu lagi menghindari dari kebencian itu.

Mei Lie semakin merangsek garang dengan tebasan-tebasan pedangnya.

Semakin cepat Mei Lie bergerak, semakin banyak tengkorak darah yang raib.

Pertarungan semakin berjalan seru, namun kini yang lebih mengurung justru ketiga pendekar itu.

Mereka mampu menekan musuhnya.

Korban di pihak siluman tengkorak darah semakin banyak berjatuhan.

"Heaaa..." Mei Lie terus melabrak dengan babatanbabatan pedangnya yang sangat ampuh dan sakti.

Korban di pihak tengkorak darah semakin bertambah banyak.

"Ha ha ha Bagus Mei Lie Kita memang sedang berperang melawan tikus Hua ha ha..." Pendekar Gila tertawa-tawa sambil mengepung di angkasa.

Lalu kakinya menjejak di kepala-kepala siluman tengkorak darah.

Disusul dengan hantaman Suling Naga Sakti-nya yang membuat lawan seketika ambruk lantas raib.

"Nguik..." Pemimpin siluman tengkorak darah tampak marah.

Dia langsung menyerang Pendekar Gila.

Tangannya yang hanya tulang belulang menyambar wajah Pendekar Gila.

Namun dengan jurus 'Gila Mabuk Mementung Kendi', dia dapat mengelakkan serangan lawan.

Dengan cepat dibalasnya dengan pukulan Suling Naga Saktinya.

Wettt "Hua ha ha...

Ayo Mei Lie, habisi tikus-tikus itu" serunya sambil terus merangsek dengan Suling Naga Saktinya ke arah Pemimpin Tengkorak Darah.

Suling Naga Sakti meliuk-liuk bagai seekor naga murka yang berusaha mematuk kepala lawan.

Wettt "Nguik" Pemimpin Tengkorak Darah semakin terdesak oleh serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.

Malah kini Pemimpin Tengkorak Darah lebih banyak mengelak, dibandingkan balas menyerang.

Ruang geraknya bagai dibatasi oleh Pendekar Gila dengan sa-puan Suing Naga Saktinya.

Di sisi lain, Ki Gendut Kluntung dan Mei Lie pun tak kalah hebat dalam menyerang.

Senjata di tangan mereka membuat anak buah tengkorak darah semakin jadi bulan-bulanan, "Heaaa" Dengan tetap menggunakan jurus 'Pedang Tebasan Batin' yang merupakan jurus pamungkas dari jurus 'Pedang Bidadari', Mei lie terus mencecar lawan.

Keberadaan Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar terang merah kekuning-kuningan cukup berguna bagi mereka.

Dengan demikian keadaan di tempat itu menjadi terang benderang.

Crak Suara beradu Pedang Bidadari dengan tulang belulang lawan terdengar.

Bersamaan dengan itu, tulang belulangnya rontok kemudian raib menjadi asap.

"Nguik..." Pemimpin Tengkorak Darah berseru keras melengking, seperti mengisyaratkan sesuatu pada anak buahnya.

"Aha, mau ke mana kalian, Tikus Busuk" bentak Pendekar Gila ketika melihat gerombolan tengkorak darah yang hendak menghilang meninggalkan tempat itu Segera ditiupnya Suling Naga Sakti dengan suara melengking, kemudian mengarahkan kepala naga di sulingnya ke Pemimpin Tengkorak Darah.

Serttt Dua larik sinar merah membara yang keluar dari mata kepala naga meluncur ke arah lawan.

Kedua sinar itu begitu deras, hingga tak dapat dielakkan lagi oleh Pemimpin Tengkorak Darah.

Byarrr Tubuh Pemimpin Tengkorak Darah yang terhantam dua sinar merah itu seketika meleleh dan lebur menjadi cairan hitam.

"Hua ha ha...

Lucu sekali Hua ha ha..." Pendekar Gila tertawa-tawa sambil berjingkrak-jingkrak melihat lawannya meleleh.

Menyaksikan pemimpinnya binasa, sisa-sisa tengkorak darah berusaha menghilang dari tempat itu, namun dengan cepat Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung menghalangi mereka.

"Mau lari ke mana siluman" bentak Mei Lie.

"Heaaa" Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung segera menyerang sisa-sisa tengkorak darah dengan cepat Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat, menyambar para prajurit tengkorak darah.

Werrt Crak, crak Dahsyat sekali Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.

Dalam sekali kelebatan, dua tengkorak darah harus binasa dan raib.

Namun Mei Lie tak puas sampai di situ dan membiarkan yang lainnya hidup.

Tubuhnya kembali bergerak, membantu Ki Gendut Kluntung menghabisi empat tengkorak darah yang masih hidup.

"Yea" 

"Yea" Crak, crak Pesss Dalam satu gebrakan, keempat tengkorak darah yang tersisa dibuat habis.

"Hua ha ha...

Akhirnya tikus-tikus sawah itu habis Hua ha ha Kita telah main kucing-kucingan..." Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil berjingrak, menyaksikan tengkorak darah yang berjumlah puluhan itu kini telah hilang.

Wesss Angin kencang menderu.

Awan bergulunggulung di angkasa.

Lidah petir menyala terang.

Saat itu, terdengar suara menggema yang datangnya seperti dari langit "Pendekar Gila Kau benar-benar lancang, turut campur urusanku Awas, tunggulah pembalasanku" 

"Hua ha ha...

Lucu sekali kau, Siluman Betina Nih kentutku untukmu Pruttt.." Pendekar Gila tertawa terpingkal-pingkal.

"Kurang ajar" terdengar bentakan lagi "Aha, kau justru kelebihan ajar Kau telah lancang mencampuri urusan manusia Hua ha ha..." Se-na terus bertingkah konyol.

Berjingkrak-jingkrak laksana monyet "Keluarlah kau Seperti apa sih muka-mu...? Tentunya seperti cecurut" 

"Kali ini kau belum kuhajar, Pendekar Gila Tunggu pembalasanku nanti" 

"Aha, katakanlah di mana jalan menuju ke tempatmu Aku jadi ingin melihat tampangmu yang seperti tikus sawah.

Hua ha ha..." 

"Bedebah Kulumatkan tubuhmu, Pendekar Gila Heaaa..." Hawa panas sekali menyelimuti tempat itu, menjadikan ketiganya bagai dipanggang oleh api yang membara.

"Aha, kau ingin mengajak main-main denganku.

Baik, kita main-main" seru Pendekar Gila, "Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung, menyingkirlah agak jauh." Setelah Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung menyingkir, Pendekar Gila segera mengerahkan ajian 'Inti Brahma'.

Tangannya disatukan di depan dada, kemudian digosokkan dengan keras.

Setelah itu, telapak tangannya dibuka dan dihantamkan ke arah datangnya hawa panas itu.

"Inti Brahma'.

Heaaa..." Inti api melesat dari tangan Pendekar Gila yang kini sarat dengan api ke arah hawa panas.

Kemudian dalam jarak sepuluh batang tombak, inti api menghantam sesuatu dan menimbulkan ledakan menggelegar.

Jlegarrr 'Tobat Ibu..." terdengar seruan kepanasan.

Namun ujud dari sosok itu tidak juga nampak.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrak, kemudian kembali menghampiri Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung.

'Tuan Pendekar, kami mengharap Tuan sudi singgah ke istana.

Baginda sangat memerlukan sekali pertolongan Tuan," pinta Ki Gendut Kluntung.

Sena memandang Mei Lie yang mengangguk.

"Baiklah." Ketiganya pun melangkah meninggalkan tempat yang dekat dengan pekuburan, menuju kerajaan yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.

***

SEMBILAN

Pagi tampak mendung.

Langit dihampar bergulung-gulung awan pekat.

Menutupi mentari hingga sinarnya tidak berdaya.

Suasana Kerajaan Bumi Wandra semakin kelam.

Hilangnya putra mahkota, membuat Raja Brah Salagatri berduka.

Pagi ini, Raja Brah Salagatri duduk di singgasana dengan wajah murung.

Roman mukanya menunjukkan kesedihan.

Di hadapannya, duduk bersila Pendekar Gila, Mel Lie, Ki Gendut Kluntung, Ki Gede Mantingan, dan beberapa pendekar lainnya.

Patih Rangga Wuni juga hadir.

"Saudara-saudara sekalian.

Korban telah banyak berjatuhan.

Tapi sampai sekarang kita belum tahu siapa sebenarnya dalang dari semua kejadian ini," tutur Raja Brah Salagatri dengan suara berbeban.

Semua yang hadir di tempat itu diam, termasuk Pendekar Gila yang biasanya bertingkah aneh.

"Saudaraku sekalian.

Dengan tangan terbuka, kumohon pendapat kalian.

Katakanlah, apa yang harus kuperbuat? Untuk kedamaian dan kesejahteraan rakyatku yang kucintai, aku siap berkorban.

Bahkan bila perlu, nyawaku sebagai taruhannya." Semua tergugu mendengar penuturan baginda raja yang teramat menyentuh perasaan masingmasing.

"Ayo, katakanlah....

Apa yang seharusnya kulakukan?" ulang Baginda Raja Brah Salagatri mengharap.

Ki Gede Mantingan menyembah.

"Katakanlah, Ki Gede." 

"Ampun, Baginda Yang Mulia.

Jika apa yang akan hamba sampaikan salah, sudi kiranya Baginda memaafkannya." 'Tak apa.

Katakanlah." Sesaat Ki Gede Mantingan menghela napas.

Kemudian setelah menyembah lagi, Ki Gede Mantingan pun menuturkan
apa yang telah dia lakukan selama ini.

"Semalam hamba mendapatkan wangsit, Baginda." 

"Wangsit apa, Ki Gede? Katakanlah," pinta Baginda Raja Brah Salagatri: Ki Gede Mantingan menelan ludah.

Sepertinya dia agak berat untuk menceritakan hal yang dilihatnya dalam wangsitnya.

Namun setelah berpikir bahwa semua itu untuk kepentingan rakyat, akhirnya Ki Gede Mantingan bertutur juga.

'Ketika hamba tengah bersemadi, tiba-tiba hamba didatangi oleh leluhur hamba.

Hamba bertanya, apa yang sebenarnya terjadi di Kerajaan Bumi Wandra ini...? Leluhur hamba pun memberikan gambaran." Ki Gede Mantingan pun menceritakan apa yang digambarkan oleh leluhurnya.

"Tiga puluh tahun yang silam, hiduplah seorang kembang desa yang sangat cantik jelita bernama Rubiati.

Kecantikan Rubiati membuat semua lelaki ingin sekali meminangnya.

Namun semuanya ditolak, karena tidak ada yang cocok di hati gadis itu." Tersentak semua orang yang ada di situ termasuk Sena, Mei Lie, Raja Brah Salagatri sendiri.

Terlebih Sena dan Mei Lie yang tidak menyangka kalau Raja Brah Salagatri ada sangkut pautnya dengan masalah tengkorak darah.

Keduanya saling pandang, kemudian menatap Raja Brah Salagatri yang hanya tertunduk dalam-dalam.

"Rubiati akhirnya jatuh cinta dan menaruh harapan pada seorang pemuda tampan putra mahkota yang bernama Brah Salagatri.

Keduanya saling mencintai dan berjanji sehidup semati.

Hubungan keduanya terus berjalan dengan penuh kasih dan sayang.

Sampai suatu ketika, Rubiati hamil.

Sejak kehamilannya itu sang Kekasih yang sudah berjanji akan menikahinya tak pernah muncul-muncul" 

"Perut Rubiati semakin membesar.

Karena malu, dia pun nekat bunuh diri di Telaga Panca Warna.

Namun rupanya bangsa siluman yang menghuni telaga itu menerima sumpahnya.

Karena sebelum bunuh diri Rubiati sempat bersumpah, dia ingin tetap hidup untuk membalas sakit hatinya.

Dia tidak sudi mati dan menghentikan teror jika belum bisa bersama Brah Salagatri.

Sumpah Rubiati diterima oleh Raja Siluman Tengkorak Darah.

Ketika dia ditelan Telaga Panca Warna, tubuhnya diterima oleh Raja Siluman Tengkorak Darah.

Kemudian dibawa ke kerajaan siluman itu." 

"Rubiati yang sudah berikrar akan menuntut balas akhirnya menerima lamaran Raja Siluman Tengkorak Darah.

Dengan bantuan ilmu Siluman Tengkorak Darah, bayi Rubiati yang sudah sekarat bisa dihi-dupkan kembali.

Hari demi hari, Rubiati dididik oleh Raja Siluman Tengkorak Darah.

Berbagai ilmu diturunkan olehnya.

Baik ilmu ketatanegaraan maupun ilmu kesaktian.

Semuanya diturunkan oleh Raja Siluman Tengkorak Darah pada Rubiati." 

"Nampaknya ilmu Raja Siluman Tengkorak Darah merupakan nyawa bagi dirinya.

Setelah ilmunya diturunkan pada Rubiati, Raja Siluman Tengkorak Darah pun mangkat, berubah menjadi serakan tulang belulang.

Sejak saat itu, Rubiati mengambil alih kepemimpinan.

Anaknya diangkat sebagai ratu pajangan, ratu yang hanya memerintah atas persetujuan ibundanya.

Sedangkan kekuasaan mutlak sebenarnya ada di tangan Rubiati.

Rubiati hanya menurunkan ilmuilmu tertentu pada anaknya.

Kalau semua diturunkan, dirinya akan mengalami hal seperti Raja Siluman Tengkorak Darah dan terbuang dari alamnya." 

"Jadi semuanya berada di tangan Rubiati.

Dialah yang berkuasa atas kerajaan siluman itu." 

"Begitulah apa yang hamba dapatkan dari wangsit itu, Baginda," kata Ki Gede Mantingan mengakhiri ceritanya.

Baginda Raja Brah Salagatri sesaat terdiam.

Ingatannya seketika melayang pada kejadian tiga puluh tahun yang silam.

Saat dirinya masih muda dan sedang bersemarak cinta kasih di hatinya.

Ingatan akan Rubiati kembali menyeruak.

Tanpa terasa, air mata Baginda Raja Brah Salagatri meleleh.

Lalu dengan terisak baginda bersabda, "Apa yang kau ceritakan memang benar, Ki Gede.

Memang aku yang salah.

O, sungguh nista diriku ini." Semua terdiam, tak ada yang berani membuka kata.

Begitu pula dengan Sena dan Ki Gede Mantingan Semua turut terhanyut oleh perasaan sedih yang dialami Baginda Raja Brah Salagatri.

"Ki Gede, aku memang pernah mengucapkan sumpah sehidup semati dengannya.

Oh, kini aku baru sadar, kalau semua adalah karena kesalahanku." Semua masih terdiam, tak ada yang berani membuka kata.

"Kini saatnya aku harus menepati janji.

Ki Gede Mantingan, apakah kau tahu jalan menuju ke alam siluman?" tanya Raja Brah Salagatri.

"Ampun, Baginda.

Hendak apa Baginda menanyakan jalan ke alam siluman?" tanya Ki Gede Mantingan, belum mengerti.

"Aku hendak ke sana.

Menepati janji, sekaligus meminta agar dia menghentikan semuanya," jawab Baginda Raja Brah Salagatri.

"Apa tidak sebaiknya Baginda mengutus seseorang?" 

"Tidak, Ki Gede.

Aku hanya minta dikawal olehmu, Pendekar Gila dan Nona Mie Lie.

Kalau memang aku tak dapat kembali ke dunia, kalianlah yang akan mengabarkannya pada rakyat" Semua menghela napas panjang mendengar penuturan dan tekad bulat Baginda Raja Brah Salagatri.

Mereka sama-sama trenyuh mengetahui raja mereka begitu arif dan bijaksana.

Untuk kepentingan rakyat, dia rela mengorbankan jiwa dan raga.

"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan padaku, maka hamba tak dapat menentang.

Nanti sore, ketika matahari hendak tenggelam, kita akan ke sana," ucap Ki Gede.

"Baiklah kalau begitu," jawab sang Raja pasti.

***

Sore yang ditunggu datang. Empat orang tampak berjalan menelusuri Hutan Gandra Siluman, di mana Telaga Panca Warna berada. Keempat orang tersebut adalah Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede Mantingan, Sena, Mei Lie.

Mereka terus melangkah menelusuri hutan yang terkenal angker. Namun mereka bagai tak peduli dengan suara-suara yang berisik dan mendirikan bulu kuduk mereka. Suasana ke dalam semakin gelap.

Mei Lie segera mencabut Pedang Bidadarinya. Seketika suasana di dalam hutan itu berubah menjadi terang benderang. Hal itu membuat langkah mereka agak lancar. Tidak lama kemudian, keempatnya telah sampai di telaga yang mereka tuju.

Seperti namanya, air telaga itu memiliki lima warna yang tak berubah. Kuning, merah, hijau, dan putih. Sangat indah sekali pemandangan di telaga itu. Ki Gede Mantingan berdiri dengan kepala agak mendongak. 

Kedua tangannya saling menyatu. Mulutnya membaca mantra-mantra. Tiba-tiba air telaga bergemuruh riuh, bagai mendidih. Bersamaan dengan itu, dari dalam telaga muncul seekor ikan besar bermata emas.

"Apa yang kalian inginkan sehingga memanggilku?" tanya ikan itu, sebagaimana layaknya manusia bercakap-cakap.

Hal itu tentu saja menyentakkan Se-na dan Mei Lie. Sena hampir tertawa ngakak, menyaksikan keanehan ikan besar itu. Beruntung dia dapat menahannya, setelah ingat kalau mereka tengah melakukan upacara gaib. Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede Mantingan, Pendekar Gila, dan Mei Lie telah berada di tepi Telaga Panca Warna.

Satu telaga yang sangat indah. Ki Gede Mantingan segera membaca mantra-mantra. Tiba-tiba air telaga di depan mereka bergemuruh riuh. Dan bersamaan dengan itu, dari dalam telaga muncul seekor ikan raksasa bermata emas.

"Ki Tawes, sengaja aku mengundangmu, karena aku memerlukan pertolonganmu," mulai Ki Gede Mantingan.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya ikan raksasa itu.

"Kami ingin ke Kerajaan Siluman Tengkorak Darah." 

"Untuk apa?" 

"Kami ingin bertemu dengan Ratu Tengkorak Darah." Ikan raksasa itu sesaat terdiam, kemudian tubuhnya bergerak-gerak tanda mengerti.

"Baiklah. Masuklah kalian ke dalam mulutku," perintahnya, menyentakkan Sena, Mei Lie, dan Raja Brah Salagatri.

"Masuklah. Ki Tawes adalah sahabat leluhurku," ujar Ki Gede Mantingan.

Antara ikan tawes raksasa dengan Ki Gede Mantingan seperti telah terjalin ikatan batin. Hal itu bermula dari guru Ki Gede Mantingan bernama Ki Gede Prasutra. Yang sakti mandra guna, gurunya menolong Ki Tawes dari kematian akibat kekeringan air yang disebabkan oleh peperangan antara Siluman Tawes dengan Siluman Yuyu Ireng.

Ki Gede Prasutra yang melihat Ki Tawes sebagai raja segala ikan dalam keadaan sekarat, segera menolongnya. Dimintanya hujan pada Sang Hyang Widi. Rupanya doa Ki Gede Prasutra terkabul, hingga selamatlah Ki Tawes dari kematian.

Merasa ditolong dan diselamatkan oleh Ki Gede Prasutra, Ki Tawes pun berjanji akan tetap menjalin hubungan baik dengan pewaris dan keturunan Ki Gede Prasutra. Malah Ki Tawes berjanji akan mengerahkan seluruh tentaranya jika diminta bantuan oleh pewaris ilmu Ki Gede Prasutra atau keturunannya.

Pendekar Gila, Mei Lie, Raja Brah Salagatri serta Ki Gede Mantingan akhirnya masuk ke dalam mulut ikan raksasa itu. Ikan itu menutup mulutnya, kemudian menyelam ke dalam Telaga Panca Warna. Entah berapa lama mereka berada di dalam mulut ikan raksasa yang dapat dimasuki oleh empat orang. Mereka keluar ketika mulut ikan raksasa itu membuka.

"Kalian sudah sampai, keluarlah." 

Keempatnya turun. Kini mereka melihat sebuah istana megah berdiri di atas bukit Pintu gerbang istana itu bergambar tengkorak berwarna merah darah.

"Itulah Istana Tengkorak Darah," kata ikan raksasa itu.

"Terima kasih, Ki Tawes." 

"Kapan kalian kembali?" tanya Ki Tawes.

"Biar aku menunggu." 

"Entahlah, Ki.

Kalau tidak mengalami kesulitan, mungkin lusa. Tapi kalau mengalami kesulitan, aku tak tahu kapan dan apa kami akan tetap hidup," tutur Ki Gede Mantingan setengah mendesah.

"Kalau begitu, jika kalian ingin kembali panggil saja aku dengan menjentikkan tangan kalian tiga kali." 

"Terima kasih." 

"Selamat berjuang." Ikan raksasa itu kembali menyelam dan menghilang dari pandangan mereka.

Mereka lalu melangkah menyelusuri jalan yang terbuat dari emas dan intan menuju Istana Tengkorak Darah. Sesampainya di pintu gerbang, mereka dihadang oleh dua prajurit tengkorak darah.

"Mau apa kalian kemari?" tanya salah satu tengkorak, menyentakkan Sena maupun Mei Lie.

Karena ketika bertempur, tengkorak darah tidak bisa bercakap-cakap seperti manusia. Kenapa kini bisa berbicara? Ki Gede Mantingan yang melihat kekagetan Sena dan Mei Lie dengan berbisik menjelaskan, 

"Kita berada di alam siluman. Itu sebabnya kita tahu bahasa mereka." 

"Aha, tolol sekali aku," gumam Sena, muncul kembali kekonyolannya.

"Kami hendak bertemu dengan Ibunda Ratu," jawab Ki Gede Mantingan.

Makhluk tengkorak darah memperhatikan mereka satu persatu. Setelah merasa yakin salah satu siluman itu berlalu meninggalkan tempat itu.

"Tunggulah sebentar" kata tengkorak darah yang masih berada di situ.

Tidak lama kemudian, dari dalam istana muncul seorang wanita cantik berkebaya biru dengan kerudung biru. Wanita cantik itu membelalakkan mata dengan garang, ketika memandang Baginda Raja Brah Salagatri.

"Kau? Untuk apa kau datang ke sini? Belum puaskah kau menyakiti aku ketika aku masih menjadi manusia?" bentaknya, membuat Baginda Raja Brah Salagatri tersentak.

Dia sama sekali tidak ingat dan tidak kenal siapa wanita muda dan cantik yang membentaknya, kalau saja wanita yang ternyata Rubiati itu tidak menghardiknya begitu rupa.

"Rubiati, kaukah itu?" 

"Ya Masih belum cukup puaskah kau menyiksaku? Kini kau datang kembali dengan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa.

Apa kau ingin menghancurkan istanaku? Membunuh semua prajurit-prajuritku?" Lidah Baginda Raja Brah Salagatri kelu dituduh dengan cercaan begitu rupa.

Dia kembali tak menyangka, kalau Rubiati telah mengenal pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular yang bersamanya.

Juga gadis Cina yang menyandang Pedang Bidadari di punggungnya.

"Nyi Dewi Rubiati," kata Ki Gede Mantingan menengahi suasana yang panas itu.

"Kedatangan kami kemari, semata-mata hanya mengantar Baginda untuk meminta maaf padamu.

Kami tidak bermaksud menyerang." 

"Lalu mengapa membawa Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Rubiati masih tak mau melemah.

"Aha, maafkan kami, Nyi Dewi. Bukan maksud kami berlaku kurang ajar datang ke tempatmu. Sebagai seorang raja, patutlah bagi Baginda Raja untuk mendapat pengawalan, bukan? Nah, itu sebabnya aku dan Bidadari Pencabut Nyawa ke tempatmu." 

"Huh..." dengus Rubiati.

Matanya memandang tajam pada Baginda Raja Brah Salagatri.

"Alam kita sudah berbeda jauh, Kakang. Kau begitu kejam dan tega menelantarkan aku serta anakmu Kini kau kembali datang, membuat hatiku semakin teriris sakit" 

"Diajeng, aku telah bersumpah sehidup semati denganmu. Kini aku datang untuk menepati sumpahku. Aku ingin bersamamu, asalkan kau mau menghentikan semuanya. Kau mau menghentikan tindakanmu yang banyak menjatuhkan korban," mohon Baginda Raja Brah Salagatri.

"Benarkah kau ingin bersamaku, Kakang?" 

"Ya" 

"O, aku gembira sekali, Kakang. Mari, masuklah dulu," ajak Rubiati.

Keempat manusia itu pun menurut masuk ke pelataran istana. Kemudian mereka pun masuk ke dalam istana yang sangat megah dan bagus. Di sana sini terpasang hiasan dan emas, intan, dan mutiara yang gemerlapan.

"Silakan duduk. Sebentar...," kata Rubiati sambil berlalu meninggalkan tamu-tamu.

Dari dalam, muncul seorang gadis berpakaian sangat minim yang cantik jelita. Saking minimnya pakaian yang dikenakan gadis itu, sampai hanya kemaluan dan buah dadanya saja yang tertutup. Sedangkan yang lainnya dibiarkan terbuka.

"Anakku..." seru Raja Brah Salagatri melihat gadis cantik itu.

"Ha ha ha... Kau mengaku ayahku? Hua ha ha...

Aku tak punya Ayah sepertimu Ayah yang tidak bertanggung jawab Selama hidupku, aku hanya dibe-sarkan oleh ibu dan eyang," dengus Resmi Sekar Wanti 

"Tapi, kau anakku. Kau darah dagingku, Anakku," kata Raja Brah Salagatri.

"Ha ha ha... Aku tak butuh Ayah. Aku hanya butuh pemuda rambut gondrong itu. Cah Bagus, ikutlah aku," rayu Resmi Wanti atau Ratu Siluman Tengkorak Darah.

Matanya mengerling manja pada Sena yang seketika terpengaruh. Perlahan-lahan Sena bangun dari duduknya, melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti yang tersenyum manja sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya dengan lemah gemulai.

Dan rupanya lenggak-lenggok tubuhnya itu membuat Sena terperangah. Dari lenggokan tubuhnya, keluar aroma wanita yang merangsang hidung.

"Kakang, sadarlah" seru Mei Lie berusaha me-nyadarkan Sena dari pengaruh sihir yang keluar dari tubuh Resmi Sekar Wanti.

Namun tampaknya Sena benar-benar tak menggubris seruan Mei Lie. Kakinya terus melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti.

"Ayo, Cah Bagus. Bukankah kau menginginkan kehangatan?" kata Resmi Sekar Wanti.

"Sena, sadarlah" seru Ki Gede Mantingan me-nyadarkan Sena.

"Kakang Sena, sadarlah Bedebah Kau benarbenar iblis" Mei Lie tak dapat lagi menahan amarahnya.

Dicabutnya Pedang Bidadari dari warangkanya. Srettt Bukan hanya Mei Lie, Ki Gede Mantingan pun bangkit dari duduknya. Dia segera mengeluarkan senjata berupa tasbih.

"Celaka, Baginda. Kita telah masuk perangkap. Tak ada yang bisa berbuat untuk menolong Sena. Lihat, semua prajurit tengkorak darah telah mengepung kita," ucapnya setelah menyadari keadaan sekeliling mereka.

Mata Raja Brah Salagatri membelalak, menyaksikan pasukan prajurit tengkorak darah telah mengepung mereka.

"Bangsat Penipu..." maki Raja Brah Salagatri marah.

"Hua ha ha..." Memakilah sepuas kalian, sebelum kalian mampus di Istana Tengkorak Darah" terdengar suara Rubiati.

"Celaka Kita telah terjebak" seru Mei Lie.

Dadanya turun naik, menandakan amarahnya meluapluap "Kubunuh kalian Heaaa..." Dengan Pedang Bidadari yang disertai jurus 'Pedang Tebasan Batin', Mei Lie yang sudah kalap segera melesat menyerang prajurit tengkorak darah.

Pedangnya bergerak cepat, membabat barisan lawan. Menyaksikan Mei Lie telah menyerang dan prajurit tengkorak darah merangsek. Ki Gede Mantingan dan Raja Brah Salagatri tak tinggal diam. Keduanya segera membantu Mei Lie, menyerang ke arah prajurit-prajurit tengkorak darah.

"Kakang Sena, sadarlah..." teriak Mei Lie sambil terus bergerak merangsek para lawan yang berusaha menghalangi langkahnya mengejar Sena ke dalam kamar, di bawah pengaruh Resmi Sekar Wanti.

Amarah dan rasa cemburu beraduk menjadi satu di dada Bidadari Pencabut Nyawa. Itu sebabnya dia mengamuk bagai banteng terluka. Kelebatan pedangnya membuat prajurit-prajurit tengkorak darah banyak yang mati. Pertempuran tiga pendekar melawan ratusan prajurit tengkorak darah itu berlangsung seru.

Ketiganya terus berusaha membabat habis barisan lawan yang berusaha menyerang. Mei Lie dengan Pedang Bidadarinya semakin mengamuk membabi-buta. Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat, membabat lawan-lawannya yang bermaksud menghalangi langkahnya mengejar Pendekar Gila.

Satu persatu prajurit yang bermaksud menghalanginya dapat dibantai. Dan setapak demi setapak, tubuhnya dapat terus maju menuju kamar Resmi Sekar Wanti. Mei Lie segera melesat masuk ke dalam kamar itu, mendobrak pintu kamar tempat Pendekar Gila dan Resmi Sekar Wanti berada.

Brakkk "Iblis Kubunuh kau Heaaa..." Mei Lie yang sudah mata gelap langsung melabrak Resmi Sekar Wanti yang tengah memeluk Pendekar Gila.

"Kakang, wanita itu hendak membunuhku Bunuh dia..." perintah Resmi Sekar Wanti pada Sena.

Sena membalikkan tubuh dan langsung menghadang Mei Lie yang tersentak kaget, menyaksikan kekasihnya kini bagai kerbau dungu yang mau diperintah.

"Kakang Sena, aku Mei Lie Sadarlah, Kakang" 

"Bunuh dia, Kakang Dialah yang hendak membunuhku" sangkal Resmi Sekar Wanti tak kalah kerasnya.

Sena benar-benar bagai kehilangan akal. Langsung diserangnya Mei Lie. Hal itu jelas mempengaruhi Mei Lie. Gerakannya jadi canggung. Pedang Bidadari di tangannya hanya dipegang, tidak digunakannya.

"Kakang, aku Mei Lie Ingatlah..." seru Mei Lie sambil terus berusaha mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.

Kini tubuh Mei Lie melesat ke belakang, keluar dari kamar itu. 

"Kakang, sudah Bukankah kita hendak menikmati keindahan ini?" ajak Resmi Sekar Wanti.

"Tu-tuplah pintunya, Kakang." 

Sena menurut menutup pintu. Kemudian dengan tenang dia melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti.

"Ayolah cah bagus," rayu Resmi Sekar Wanti manja.

Sena benar-benar telah lupa segalanya. Kakinya melangkah ke arah Resmi Sekar Wanti yang tengah berbaring dengan tubuh polos. Namun ketika langkahnya hampir tiba di tempat tidur, tiba-tiba dari mata naga di pangkal Suling Naga Sakti, melesat sinar putih ke mata Sena.

Crettt Sena tersentak, dia bagai baru tersadar dari mimpinya. Matanya membelalak garang. Napasnya mendengus penuh amarah, karena merasa telah dipermainkan.

"Kakang, sadarlah" seru Mei Lie dari luar.

"Kenapa, Cah Bagus Ayolah" ajak Resmi Sekar Wanti dengan suara manja, tanpa menyadari kalau pengaruh sihirnya telah sirna dari diri Sena.

"Kurang ajar Rupanya kau benar-benar iblis Heaaa..." 

Sena yang marah karena merasa dipermainkan dengan garang menyerang. Hal itu menyentakkan Resmi Sekar Wanti. Ratu Siluman Tengkorak Darah segera berkelit ke samping.

"Rupanya kau pun ingin mampus, Pendekar Gila Heaaa..." lengkingnya murka.

Resmi Sekar Wanti balas menyerang. Dia tidak lagi menghiraukan keadaannya yang tidak tertutup sehelai benang pun. Diserangnya Pendekar Gila dengan jurus-jurus maut. Sena segera mengelak, kemudian dengan cepat dia mencabut Suling Naga Saktinya. Diserangnya Resmi Sekar Wanti dengan Suling Naga Sakti. Hal itu menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Darah tersentak kaget, menyaksikan senjata keramat itu telah berada di tangan Sena.

"Ibu, tolooong..." 

Ratu Siluman Tengkorak Darah lari keluar, berusaha meminta tolong ibunya. Namun di luar Mei Lie telah menghadangnya. Resmi Sekar Wanti semakin kalang kabut, ketika melihat Pedang Bidadari berkeredep di tangan Mei Lie.

"Kubunuh kau iblis Heaaa..." 

Mei Lie yang dirasuki cemburu atas perbuatan Resmi Sekar Wanti, kini tidak sungkan-sungkan lagi menyerang dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'nya. edang Bidadari menderu keras ke tubuh Resmi Sekar Wanti.

Wettt "Uts Celaka" pekik Resmi Sekar Wanti sambil mengelak, kemudian melompat meninggalkan tempat itu.

"Mau lari ke mana, Iblis" bentak Mei Lie berusaha mengejar.

Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika dari tempatnya menghilangnya Resmi Sekar Wantai muncul sesosok mayat hidup berbau busuk. Mayat hidup itu langsung menyerang Mei Lie.

"Grrr Kubunuh kau" 

"Uts Heaaa..." Setelah mengelitkan serangan mayat hidup, Mei Lie segera menebaskan Pedang Bidadarinya ke tubuh mayat hidup dengan jurus inti 'Pedang Tebasan Batin'.

"Yeaaa" Wettt Crasss Lebur seketika tubuh mayat hidup itu terkena babatan pedang Bidadari di tangan Mei Lie.

Dari dalam kamar, Pendekar Gila yang juga sudah marah keluar. Melihat tubuh Mei Lie mengejar, Pendekar Gila mengikutinya. Kedua pendekar muda itu kini mengejar ibu dan anak yang berusaha meninggalkan istana.

"Mei Lie, Sena, tunggu..." seru Ki Gede Mantingan sambil turut mengejar.

Bersamaan dengan tubuh Ki Gede Mantingan melompat, bangunan Istana Tengkorak Darah seketika meledak. Tubuh para prajurit tengkorak darah dan Baginda Raja Brah Salagatri turut tertimbun. Sementara itu, dua wanita siluman terus berlari ke arah Telaga Panca Warna. Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Gede Mantingan mengejar di belakang.

"Mau lari ke mana kalian, Iblis Terimalah kematian kalian Heaaa..." 

Sena segera meniup Suling Naga Saktinya, kemudian mengerahkan kepala naga di pangkal suling ke arah kedua siluman yang tengah berlari. Suara suling melengking. Bersamaan dengan itu, dari mata naga melesat dua larik sinar merah membara ke arah tubuh kedua siluman itu.

Croot Jrattt "Tobaaat.." 

Rubiati memekik keras, tubuhnya meleleh bagai lilin terbakar. Mendapatkan ibunya mati, Resmi Sekar Wanti menjadi kalap. Dengan menggeram, kini ujudnya berubah menjadi sosok menyeramkan. Sosok tengkorak darah.

"Grrr Kubunuh kalian Grrr..." Melihat lawan menyerang, Mei Lie segera berkelebat memapak dengan Pedang Bidadarinya dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie membabatkan pedangnya ke tengkorak darah jelmaan Resmi Sekar Wanti.

"Heaaa" Wettt Crasss "Tobaaat.." tulang belulang tengkorak itu run-tuh terkena sabetan Pedang Bidadari.

Sesaat terlihat serakan tulang itu utuh. Namun setelah angin bertiup, tulang belulang itu bertaburan menjadi serpihan halus. Jlegarrr Ledakan maha dahsyat menggelegar, melontarkan tubuh ketiganya. Ketiga pendekar itu tak ingat apa-apa lagi. Setelah membuka mata, ketiganya tahu-tahu berada di tepi Telaga Panca Warna. Hari telah menjelang pagi. Di dalam telaga, Ki Tawes masih menemani.

"Untunglah kalian selamat. Kalian kini telah kembali ke alam manusia. Alam nyata," kata Ki Tawes.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki," hatur Ki Gede Mantingan.

"Ah, lupakanlah. Antara leluhurmu dan leluhurku telah terjadi ikatan persaudaraan. Sayang, baginda tak dapat diselamatkan."

"Semoga semuanya berakhir," gumam Mei Lie.

"Terima kasih kuucapkan padamu, Ki. Semoga kita dapat dipertemukan lagi," kata Sena.

Kemudian ketiganya meninggalkan Telaga Panca Warna.

"Semoga kalian senantiasa dalam lindungan Sang Hyang Widi" seru Ki Tawes di kejauhan, melepas kepergian mereka.

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera, menikmati suatu kemenangan atas keangkaramurkaan. Sedangkan mata Mei Lie melotot, sedetik kemudian mereka tertawa ceria, sebagaimana nyanyian riang burung-burung menyambut datangnya pagi dalam tata warna semesta.

SELESAI

Post a Comment

0 Comments