Empat Berewok Dari Goa Sanggreng

WIRO SABLENG 
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 
KARYA : BASTIAN TITO 
EPISODE 001 
EMPAT BEREWOK DARI GOA SANGGRENG 
Empat Berewok Dari Goa Sanggreng

SATU 
 “Ini!” kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar. ”Berikan sama dia! Aku harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?” Orang yang bernama Kalingundil mengangguk. Diambil surat yang disodorkan. ”Kalau dia banyak bacot…..,” kata laki-laki berkumis melintang itu pula, ”bikin beres saja. Berangkat sekarang, jika perlu bawa Saksoko!” Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu. ”Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!” Dibulatkannya tinju kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya. ”Brakk!!” Papan meja pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lanci ubin dan ubin sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang diri. ”Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak malah! Keparat!” Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati tenggorokannya, isi kendi itu sudah habis. ”Keparat!” maki Suranyali lagi. Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam menghilang kembali. Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih badannya. ”Ludjeng!” teriak Suranyali. Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas. ”Ya, Denmas Sura….”. ”Kau juga keparat!” damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya. ”Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau sudah gila hingga lupa terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!.” Wilujeng terdiam dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia memanggil dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan agar dia memanggil dengan nama Mahesa Birawa. ”Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila? Jawab!” ”Tidak, Denmas Su….., eh Mahesa Birawa…..” ”Kalau tidak gila kau musti sinting! Ambilkan aku air, lekas!” Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa segelas air putih. Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia duduk tenang­tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang saat setahun yang lewat. Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci, dia berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis itu. Memang akhirnya Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka terhadap Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir. Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya. Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Sura menemui Suci dan berkata, ”Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun lagi aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku akan mengawini kau…..” ”Tapi Kangmas Sura…..” Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihanya Suranyali melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya. Suci mundur. ”Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang…..” Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk menerangkan bahwa dia tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak lamaran tadi! Dan dalam kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang pemuda yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali karena memang dia tidak mencintai Suranyali dan juga tak pernah menyatakan cintanya. Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu. Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri, sebenarnya mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur karena adalah memalukan sekali bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar Suranyali bukan manusia berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat ancaman kepada Ranaweleng. Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika didengar suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman. Dia melangkah ke jendela dan memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram sanding jendela. ”Suci musti dapat….. musti dapat!” katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu. ”Kalau tidak…..,” Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah berantakan!! 
***
DUA
Empat Berewok Dari Goa Sanggreng

Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki-laki tua yang tengah mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya, Kalingundil bertanya dengan membentak kasar, ”Ini rumahnya Ranaweleng?!” Orang tua berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya topi bambu yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah bicara kepadanya. Orang tua ini tak segera berikan jawaban melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di atas pungung kuda di sisi kanan Kalingundil. ”Orang tua bego!” maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh langsing ini memang bersifat tidak sabaran. ”Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!” ”Ya!” jawab Kalingundil. ”Ada keperluan apa Saudara?” Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tidak enak didengar. ”Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun minggirlah!” Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke depan maka terpelantinglah si orang tua kena terajakan kaki binatang yang ditunggangi Saksoko itu! Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan umur kelihatannya menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya secara acuh tak acuh topi bambunya yang tergeletak di tanah. Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat. Kedua kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah! Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi apa-apa dia memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman! Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya. ”Saksoko, ada apa dengan kau?!” tanya Kalingundil terkejut dan heran. ”Aku sendiri tidak tahu,” sahut Saksoko seraya bangun dengan menepuk-nepuk pantat celananya. Dia memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa kecuali orang tua yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki itu membetnur topi bambu yang tergeletak tak berapa jauh dari tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang tua kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke kuda tunggangannya. Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya. Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata, ”Kurasa orang tua kerempeng itu…..” Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun dia lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko. ”Mana mungkin,” kata Saksoko pula tidak percaya. ”Coba kita lihat.” Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang tergeletak di tanah. Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang tua yang masih jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua. Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakangi itu gerakkan tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan adalah mengejutkan kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat bagaimana topi bambu itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah! Kalingundil dan Saksoko saling pandang. ”Apa kataku, kau lihat?” desis Kalingundil. Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko. ”Orang tua edan!” makinya. ”Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!” Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah si orang tua. Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat dan dapat melukakan kulit membutakan mata! Si orang tua tiba-tiba berdiri dengan terbungkuk-bungkuk. Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya seperti seseorang yang sedang membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke arahnya! ”Kurang ajar betul!” damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke samping. ”Apa-apaan ini?!” tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, ”ada apa kau serang aku?!” Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko hanya beerapa jengkal saja di depan hidungnya. Saksoko kertak rahang. ”Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya?!” Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang sepotongpun. ”Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!,” katanya dan didorongkannya telapak tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak cepat­cepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan mendapat celaka. Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan kepada orang tua itu. Pada saat inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras: ”Ada apa di sini?! Tahan!!” Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda berparas gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatinya. Meski hatinya masih diselimuti amarah terhadap si orang tua tapi melihat isyarat kawannya itu segera dia datang juga. Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah. ”Kau Ranaweleng?” tanya Kalingundil membentak. Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng dibentak orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari tampang-tampang serta sikap kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu datang bukan membawa maksud baik. Namun demikian, dengan suara ramah dia menjawab: ”Betul, Saudara, aku memang Ranaweleng,” lalu tanyanya kemudian, ”Saudara­saudara datang dari mana dan ada keperluan apakah?” Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya. ”Ini! Silahkan dibaca!” katanya. Gulungan surat itu dilemparkannya ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung kayu di mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan! Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang menancap dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundil dan Saksoko memperhatikannya dengan bertolak pinggang. Ranaweleng keparat! Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan istrimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi, jangan harap kau bisa melihat matahari tenggelam esok hari! Ini adalah perintah! Mahesa Birawa Bergetar tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah. Dia tak pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu, bahkan juga tak pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya. Matanya memandang melotot pada kedua tamunya. ”Mahesa Birawa ini siapa?” tanya Ranaweleng. Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. ”Laki-laki yang kau rampas kekasihnya dan yang kini menjadi istrimu!” Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko sudah mendahului. ”Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!” Kalingundil menyambungi, ”Dan sebaiknya….. apa yang tertulis di surat itu kau ikuti saja.” ”Kalau tidak?,” tanya Ranaweleng menindih rasa geramnya. Kalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat kehitaman. Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatah­patahkannya kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala Kalingundil, tepat mengenai mulut yang sedang tertawa mengekeh itu! ”Bangsat rendah!” hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. ”Kau berani berlaku kurang ajar terhadapku, huh?!” ”Tak usah jual lagak di sini, setan!” balas menghardik Ranaweleng. ”Kalian budak­budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang sama itu manusia Mahesa Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak waras!” ”Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!” semprot Saksoko. Dari tadi dia memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah mempermainkan dan setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayunkan langkah maka satu tendangan yang didahului oleh angin hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng. Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan. Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan. Ranaweleng merunduk dan lompat ke samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah suara seseorang. ”Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk kesasar ini?! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun terhadapnya!” Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu. Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak jauh yang menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di dada Jarot Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang tua detik itu juga! Tapi Jarot Karsa ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanannya yang kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang tua maka kedahsyatannya bukan olah-olah! Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuhnya itu segera rebah lagi setelah terlebih dahulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan segar! Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi. Laki-laki ini menerjang ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek membuat langkan rumah dan tanah menjadi bergetar! Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh Kalingundil. Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh orang tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebu. Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan bertemu di udara menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh Jarot Karsa kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat bangun lagi. Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya menciut kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa! Tak diduganya sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam Jarot Karsa! Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya karena amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang tua bukan tandingannya. Kedua tangannya dipentang ke muak. Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa dan juga Ranaweleng memperhatikan gerak gerik manusia itu dengan tajam. Kelihatan kini bagaimana sepasang lengan Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna kehitaman. ”Ha…..ha….,” terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, ”Kau hendak pamerkan ilmu lengan tangan baja?!” Kalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah mengetahui ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan dia pentang mulut. ”Bagus, penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan ilmu pukulan lengan tangan baja ini?!” ”Kau tak perlu banyak bacot, Kalingundil, majulah!” tantang Jarot Karsa. Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan rumah. Sekali ayunkan tangan kanannya maka: brak!! Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai paha manusia patah. Atap rumah menurun miring! Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia jerih menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja! ”Ayo monyet kesasar, majulah!” katanya dengan terbungkuk-bungkuk. Kedua telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka, sedikit miring. Kaki kiri dan kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji ’lengan tangan baja.’ Angin yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa, kalau kena pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan kanan menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa. Dapat dibayangkan bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur berantakan! Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak, lidahnya menjulur keluar seperti orang yang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya, tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang terdahulu. Ranaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. ”Bapak Jarot Karasa, kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?” Jarot Karsa menggeleng. ”Siapa dia tak penting Raden. Yang penting ialah mulai saat ini kita musti waspada karena cepat atau lambat manusia itu pasti datang ke sini untuk membuat perhitungan dengan kita!” Ranaweleng mengangguk. ”Aku tak ingin melihat kdua orang ini lebih lama di depan rumahku. Bereskan mereka, pak Jarot.” Si orang tua tertawa mengekeh. ”Tak usah khawatir…… tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu, Raden.” Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar halaman. 
***
TIGA 
Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur ayam membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang memasuki pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya yang tadi membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia turun ke tanah. ”Ada apa dengan kalian?!” tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir merupakan teriakan. Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil dan Saksoko turun perlahan­lahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua anak buahnya itu mendapat luka dalam yang parah. Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada. Pemandangannya masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua kakinya di tanah segera tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan! Mahesa Birawa melompat dan cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil dan dimasukkannya ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada Kalingundil. ”Telan cepat!,” katanya. ”Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan darahmu!” Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang tadi kena terpukul. Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur. ”Sekarang!” kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak meja, ”terangkan apa yang terjadi Kalingundil!” Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu mulailah dia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai mendengar keterangan itu maka mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya yang tebal melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam keadaan melotot seperti mau tanggal dari rongganya! ”Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian bertiga ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas…..!” Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu mengepul, pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali. Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam ke muka dia berkata, ”Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya yang di depan sendiri itu adalah manusia yang bernama Mahesa Birawa…..” Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama selama menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan macam begini! Bahkan dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda itu. Ketika Mahesa Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di belakang suaminya. Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan kisikan. ”Laki-laki tua yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali…..” ”Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!” membentak Mahesa Birawa. Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan saat itu dendam serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu, terutama Jarot Karsa, tak dapat dilukiskan. Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang suaminya. Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian atau belum kesampaian membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat itu meski sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya semakin tambah cantik dan muda jelita. Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng dengan garangnya. ”Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!” suara Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam yang tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya. Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak di hadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali. Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di mulut orang tua ini. ”Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?! Kalau kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah kasih tahu padamu agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!” Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki! ”Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus pasrahkan nyawa kepadaku!” Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu! Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya. Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah Ranaweleng. ”Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia pengacau ini!” ”Ah Raden….,” kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di udara. ”Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah. Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!” Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul. Deru angin yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas mengirimkan pukulan tangan kosong. Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling bentrokan di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan pekak. Tubuh Mahesa Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan Jarot Karsa jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin! Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main. Suci yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit tertahan karena menyangka si orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot Karsa. Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan, menyapu­nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya. Hampir dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Jarot Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya. Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa. ”Buk!!” Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada kirinya. Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu, Jarot Karsa tertawa mengekeh. ”Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat benjut macam mangga busuk!” Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar. ”Bangsat tua bangka!” kertak Mahesa Birawa, ”lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini….!” Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski dia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya meliahat tangan kanan lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya! Akan Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan kisikan pada Jarot Karsa dengan mempergunakan ilmu ”menyusupkan suara.” ”Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hjendak dilepaskan itu adalah pukulan – Kelabang Hijau — Hebatnya bukan main dan sangat beracun….!” Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. ”Pukulan Kelabang Hijau….,” keluhnya dalam hati. Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak Gajah yang diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah? Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya menunjukkan mimik mengejek. ”Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu ditakutkan….!” kata seorang tua bungkuk itu. Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak. ”Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, anjing tua?!” ”Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa. Terimalah ini….!” dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat. Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke muka! Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat ke muka. Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri! Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup mukanya dangan kedua tangan. Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau. Dia mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya melingkar tanpa nyawa! ”Manusia biadab!” bentak Ranaweleng. ”Orangku tiada permusuhan dengan kau. Mengapa kau bunuh dia?!” Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh. ”Sebentar lagi kau juga akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di depan mata!” dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi. ”Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!” teriak Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu. 
***
EMPAT 
”Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di tanganku!” bentak Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk menangkis pukulan lawan. Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke belakang sedang Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja. Lengan Ranaweleng yang beradu dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih. Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan sakit. Dia maklum bahwa tenaga dalamnnya lebih rendah dari lawan. Karena itu dengan memepergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sampai ke puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa. Sementara itu di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang berkelahi itu. ”Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini! Hentikanlah!” Suci tidak pernah tahu kalau Suranyali telah berganti nama menjadi Mahesa Birawa. Dan dia berteriak lagi, ”Kalian berdua tidak mempunyai permusuhan mengapa musti berkelahi?!” ”Suci masuklah ke dalam!” sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu dia harus jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya. Di pihak Mahesa Birawa sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih cepat menamatkan riwayat Ranaweleng! Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan kelihatanlah dengan nyata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat. Pukulan-pukulan tangan kosong lawan mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak keras serta mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh, Ranaweleng berusaha keluar dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh Mahesa Birawa laksana bayang­bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada jurus ke sepuluh satu hantaman sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan Ranaweleng. Ranaweleng merintih tertahan. Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia tahu, sekurang­kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya di bagian dalam terluka hebat! Untuk beberapa lama dia berdiri limbung dengan pemandangan mata berkunang-kunang. ”Ha…. ha….,” tertawa Mahesa Birawa. ”Sebentar lagi Ranaweleng, sebentar lagi ajalmu akan sampai. Lebih bagus cepat-cepat kau minta tobat pada Tuhanmu sebelum mampus!” Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan tangan kosong yang dahsyat. Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya tenggelam satu senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke segenap bagian tubuh untuk menghadapi serangan lawan. Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari mulut Ranaweleng. Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin Panas menderu ke arah Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga tombak ke udara. Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya, membakar hangus pohon-pohon di belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah laksana seekor elang. Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng membutuhkan pemusatan tenaga dan pikiran yang besar. Beberapa detik sesudah dia melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus oleh pemusatan pikiran itu sehingga pada saat lawannya menukik dari atas dia terlambat meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus menerima hantaman lawan. Kali ini badannya hampir terjungkal ke tanah. Masih untung dia sempat menggulingkan diri kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang mengarah bawah perutnya menamatkan riwayatnya! Begitu bangun, karena tahu bahwa dia tak akan sanggup menghadapi lawan dengan tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari balik pinggangnya! Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa berdiri dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka, tangan kanan diangkat tingi­tinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau! Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti keras. ”Sura!! Jangan….! Hentikan perkelahian ini!” Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. ”Jika kau punya sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!” katanya mengejek. Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat dingin mebasahi badannya. Seperti halnya dengan Jarot Karsa dia tak akan sanggup menghadapi kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang yang berjiwa ksatria, tiada ada dalam kamus hidup Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup sebagai pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului menyerang. Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap sia-sia saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan kanan Mahesa Birawa telah memukul ke depan! Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti yang saat itu masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau! Suci pun menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa cepat meloncat ke muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci menyentuh tubuh suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di tubuh Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini akan meregang nyawa pula! ”Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia terkutuk! Biadab!!” pekik Suci. ”Sedikit saja kau menyentuh tubuh laki-laki itu kau akan keracunan Suci….!” ”Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!” ”Kau masih terlalu muda untuk mati….!” Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera membopong Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih meronta-ronta dan menjerit-jerit serta memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar di pangkal leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini. Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang anak buahnya. ”Bakar rumah keparat itu!” Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu. Dalam sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung Jatiwalu itu dalam kobaran api. Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya segera ditinggalkannya tempat itu. Jeritan bayi yang baru berumur beberapa bulan terdengar melengking-lengking di antara kobaran lidah-lidah api yang membakar rumah. ”Bayi itu! Bayi itu….!” teriak salah seorang di antara orang banyak yang berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung. ”Oroknya Raden Rana….! Aduh, kasihan!” ”Kalau tidak lekas ditolong pasti mati!” Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka berani menghambur menyelamakan bayi itu. Dan suara tangisan bayi semakin lama semakin kecil serta parau sementara nyala api mulai membakar tempat tidur di mana bayi itu terbaring! Pada saat suara tangisan bayi yang menyayat hati itu hampir tidak lagi kedengaran, pada saat orang banyak sudah tak tahu lagi apa yang mesti mereka perbuat untuk menyelamatkan itu orok, maka pada saat itu pula, entah dari mana datangnya kelihatan sesosok bayangan berkelebat dan lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh itu keluar lagi dan melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur. Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu orangpun yang dapat melihat siapa adanya manusia tersebut ataukah betul bisa memastikan bahwa sosok tubuh itu adalah sesungguhnya manusia, bukan setan atau dedemit! Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh itu laki-laki atau perempuan juga tak satu orangpun yang bisa! Begitu cepat dia datang, begitu cepat dia lenyap! Hanya warna pakaian yang hitam saja yang bisa dilihat mata orang banyak saat itu. Dan hanya beberapa detik saja sesudah sosok tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk dan lidah api mengelombang tinggi ke udara! Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti dan semua orang yang ada di situ tahu, bahwa sosok tubuh itu telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke arah timur! Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas tempat tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka meluncurlah seruan tertahan dari mulut laki-laki ini! Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat yang berbunyi: 

APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG! 

Tiada tertera nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu. Tulisan itu dibuat dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, kalau bukan manusia yang mempunyai tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan sanggup membuat tulisan semacam itu pada dinding kayu jati yang keras, karena tulisan itu dibuat dengan mempergunakan ujung jari! 
***
LIMA 
Adalah hampir tak dapat dipercaya bila di puncak Gunung Gede yang semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu terdengar suara lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti dengan suara yang membentak yang kadang-kadang dibarengi oleh suara gelak membahak lain! Jelas bahwa ada dua manusia di puncak Gunung Gede saat itu! Dan keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan yang ada. Bertempur sambil tertawa-tawa! Siapakah mereka ini?! Yang berbadan tinggi langsing dan mengenakan pakaian serta kain hitam adalah seorang nenek-nenek berkulit sangat hitam berkeringat-kerinyut. Kulit yang hitam berkerinyut ini tak lebih hanya merupakan kulit tipis pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan kecekungan ini merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan demikian menyeramkan. Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang seba hitam itu maka rambut di kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih. Dan rambut yang putih itu tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir membotak licin berkilat. Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang ini, nenek-nenek itu memakai lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu tidaklah tersisip disela-sela rambut yang putih karena memang tidak mungkin untuk menyisip di rambut yang jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap langsung ke kulit kepala nenek-nenek itu! Siapakah nenek-nenek ini? Dialah yang bernama Eyang Sinto Gendeng, seorang perempuan sakti yang telah mengundurkan diri sejak dua puluh tahun yang lalu dari dunia persilatan. Selama malang melintang dalam dunia persilatan itu, sepuluh tahun terakhir Sinto Gendeng telah merajai dunia persilatan di daerah Barat Jawa bahkan sampai-sampai ke Jawa Tengah. Selama itu pula dia telah menyapu dan membasmi habis segala manusia jahat. Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto Gendeng untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran kalau namanya menjadi harum. Nama asli dari perempuan ini adalah Sinto Weni. Namun karena sikap dan tingkah lakunya yang lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali seperti orang yang kurang ingatan maka lambat laun dunia persilatan menganugerahkan nama baru padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto Gila! Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan yang saat itu bertempur menghadapi Sinto Gendeng? Dia seorang pemuda belia remaja yang baru memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah dan kulitnya bersih kuning, hampir seperti kulit perempuan. Rambutnya gondrong sebahu dan agak acak-acakan sehingga tampangnya yang keren itu seperti paras kanak-kanak. Sebenarnya kedua orang itu sama sekali bukan tengah bertempur karena pemuda tujuh belas tahun tersebut adalah murid Eyang Sinto Gendeng sendiri! Bagaimana sikap tingkah laku gurunya, demikian pula sikap sang murid. Tertawa-tawa dan menjerit-jerit serta cengar­cengir! Meski keduanya tengah melatih ilmu kepandaian, namun setiap jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan adalah benar-benar serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati dapat mencelakai diri! Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pohon berguguran, semak belukar tersapu kian kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua orang itu yang laksana bayang-bayang! Di tangan kanan Sinto Gendeng ada sebatnag ranting kering sedang muridnya memegang sebilah keris bereluk tujuh. ”Ayo Wiro! Serang aku dengan jurus – orang gila mengebut lalat – ! Serang cepat, kalau tidak aku kentuti kau punya muka!” Wiro Saksana sang murid tertawa membahak dan menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Tiba-tiba suara tawa membahak itu menjadi keras dan menggetarkan tanah, menggugurkan daun-daun pepohonan! ”Ciaaat….!!” Bentakan setinggi jagat keluar dari mulut Wiro Saksana. Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan kanannya menyapu kian kemari dalam kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang disebut jurus: orang gila mengebut lalat. Dan memang gerakan menyapu-nyapu dengan keris itu meskipun luar biasa cepatnya namun kelihatan seperti tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro Saksana hoyong sana hoyong sini. Namun serangan itu telah mengurung si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng! Tapi si perempuan tua masih juga mengikik-ngikik. Masih juga petatang petiting sambil memainkan ranting kering yang di tangannya. Jika saja yang dihadapi oleh Wiro Saksana saat itu bukannya gurunya sendiri, bukan seorang sakti macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain pastilah tubuhnya akan terkutung-kutung atau sekurang-kurangnya terbabat, tercincang oleh mata keris yang menyapu-nyapu laksana badai itu! Sinto Gendeng mengikik. ”Geblek kau Wiro! Masih kurang cepat, masih kurang cepat!” kata Sinto Gendeng. Sang murid memaki dalam hati. ”Eeeee…. kau memaki ya?!” hardik Sinto Gendeng. ”Lihat ranting!” teriak perempuan tua itu. Tubuh Sinto Gendeng berkelebat. Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak. ”Awas ketek kananmu, Wiro!” (ketek=ketiak). Meskipun sudah diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan yang luar biasa namun tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya ke ketiak kanan Wiro Saksana. ”Breeett!!” Baju putih Wiro Saksana robek besar di bagian ketiak sebelah kanan! ”Buset….! Untung cuma ketekku!” seru pemuda itu. Dengan kertakkan geraham dia menerjang ke muka. ”Eyang,” katanya, ”terima jurus – kunyuk melempar buah – ini!” (kunyuk = monyet). ”Ah hanya jurus geblek begitu siapa yang takut?!” menyahuti sang guru. Wiro Saksana meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada saat tangannya perpentang lurus maka jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana batu besar melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng! Nenek-nenek itu tertawa cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan disemburkan secara acuh tak acuh tapi karena diisi dengan tenaga dalam, ludah itu berbahaya sekali bagi pembuluh-pembuluh kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke samping. Sambil berkelit dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah perbawa dorongan pukulan tangan kosongnya tadi yaitu – kunyuk melempar buah – yang agak menyendat sedikit akibat dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng. Melihat serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya, kembali Sinto Gendeng tertawa. Memang manusia satu ini aneh sekali sifatnya. Bahkan setiap jurus­jurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama aneh dan lucu. Tak salah kalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan menukar namanya menjadi Sinto Gendeng! Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan satu lengkingan nyaring yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir balik dan melesat seperti terbang ke sebuah cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan angin keras ”kunyuk melempar buah.” Angin keras ini menghajar batang pohon di seberang sana dan batang pohon itu patah lalu tumbang ke tanah! Terdengar lagi suara tawa mengikik. Gemas sekali Wiro Saksana memandang ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enak­enakan di cabang pohon jambu klutuk sambil menggerogoti buah jambu itu! ”Gendeng betul….!” gerutu Wiro kesal karena serangannya hanya mengenai pohon. ”Memang namaku Sinto Gendeng!” kata sang guru pula. Kemudian tanyanya, ”Kau mau jambu, Wiro?!” Dan sebelum Wiro Saksana sempat menyahuti maka gurunya telah menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke arahnya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk menyerang hampir ke seluruh jalan darah di tubuh Wiro Saksana! ”Ah, cuma bijinya siapa yang sudi!,” jawab Wiro Saksana. Dia menghembus ke udara dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir biji jambu klutuk itu berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik menyerang Sinto Gendeng. Tapi dengan goyangkan sedikit saja kaki kanannya, maka nenek-nenek sakti itu membuat ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan! ”Kalau tak sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!” kata Sinto Gendeng. Dan ranting kering yang di tangan kirinya dilemparkannya ke bawah, mendesing laksana anak panah mengarah batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng benar-benar seorang perempuan tua yang aneh. Dalam melatih muridnya setiap serangan yang dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau sekurang-kurangnya bisa menimbulkan celaka hebat bila sang murid tidak berhati-hati. Setiap jurus ilmu silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya. Melihat serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanan yang memegang keris maka ranting kering itu belah dua tepat di pertengahannya dan jatuh ke tanah. ”Sebaiknya turun saja dari pohon eyang” kata Wiro Saksana. ”Kalau tidak….” ”Kalau tidak kenapa?” memotong Eyang Sinto Gendeng. ”Sambut keris ini, Eyang….! Sambut dengan jidatmu biar konyol!” Habis berkata begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk tujuh yang di tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan karena cepatnya. Namun empat detik kemudian terdengarlah suara cekikikan Eyang Sinto Gendeng. Dan ketika Wiro mendongak ke atas dilihatnya keris yang dilemparkannya tadi berada dalam jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya. Wiro Saksana menggerendeng. Tiba-tiba. ”Ini balasan kehormatan untuk keris bututmu, Wiro!” Sinto Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok kepalanya yang berambut putih dan jarang itu. Dibarengi dengan angin lemparan yang bukan olah-olah dahsyatnya maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah Wiro Saksana. Yang satu menyerang kepala, yang lain menyerang perut! Wiro Saksana yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki senjata tersebut dengan mengandalkan lambaian tangan yang mengandung tenaga dalam. Didahului dengan bentakan nyaring maka pemuda ini menjejek bumi dan melintangkan badannya ke udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus amblas ke dalam tanah! Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. ”Bagus…., bagus kau tidak menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu tenaga dalam yang bagaimana hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk kundai itu Wiro! Eeee…. aku haus! Hik…. ambilkan air buatku Wiro! Cepat!” ”Kalau haus jilat saja air keringat!” kata murid yang lucu dan seperti kurang ingatan pula macam gurunya. Dan dasar Eyang Sinto Gendeng manusia aneh, dia sama sekali tidak marah mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya itu, melainkan tertawa mengakak. Tiba-tiba tawanya lenyap. ”Air, Wiro! Lekas!” bentak perempuan itu. Sang murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil. Di bagian belakang pondok ini ada sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro mengambilnya segayung. Ketika dia melangkah kembali ke tempat tadi untuk memberikan air itu kepada gurunya maka didengarnya suara Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Suaranya sama sekali tidak merdu. Namun kata-kata yang terjalin dalam nyanyian itu membuat Wiro Saksana menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati. Pitulas taun wus katilar, Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo, Langit isih tetep biru, Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen, Pitulas taun agawe kang tua tambah tua. Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah, Pitulas taun wektu perjanjian, Pitulas taun wiwitane perpisahan, Pitulas taun wekdaling pamales…. Artinya: (Tujuh belas tahun telah berlalu. Puncak Gunung Gede masih tetap seperti dulu, Langit masih tetap biru, Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan rindu. Tujuh belas tahun membuat si tua tambah tua, Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi pemuda gagah, Tujuh belas tahun masa perjanjian, Tujuh belas tahun ujung perpisahan, Tujuh belas tahun saat pembalasan). 
***
ENAM 
Selama diam di puncak Gunung Gede itu bersama gurunya, walau bagaimanapun miring otak sang guru, namun baru hari itulah Wiro Saksana melihat dan mendengar Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Kata-kata dalam nyanyian itu entah mengapa membuat Wiro jadi berdebar. Apakah maksud kata-kata nyanyian itu? Perasaan yang bagaimanakah yang tengah dicetuskan oleh gurunya karena Wiro melihat nenek-nenek itu menyanyi dengan penuh perasaan, dengan mata memandang jauh ke muka. Tujuh belas tahun membuat aku si tua bangka tambah tua. Kata-kata ini jelas ditujukan ke diri gurunya sendiri. Tapi pada siapakah ditujukan kalimat yang berbunyi: Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi pemuda gagah, itu? Apakah ditujukan kepadanya? Berdebar hati Wiro Saksana. Kemudian kalimat­kalimat: Tujuh belas tahun ujung perpisahan…. serta…. Tujuh belas tahun saat pembalasan…. Apakah arti semua itu? Ketika Wiro Saksana memandang ke atas pada saat itu pula Eyang Sinto Gendeng melihat ke bawah. Dan mata yang tajam dari Wiro Saksana, meskipun cuma sekilas, namun masih dapat melihat pantulan air muka serta cahaya mata gurunya yang lain dari biasanya! Air muka itu. Sinar mata itu menyembunyikan satu perasaan sedih! Perasaan apakah yang menyemaki hati sang guru sebenarnya? Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng membentak keras sampai Wiro Saksana terkejut dan serasa terbang nyawanya. ”Tunggu apa lagi, geblek?! Orang sudah haus dianya tegak mematung! Kukencingi kepalamu baru tahu! Lemparkan gayung itu cepat!” Dan Wiro Saksana segera lemparkan gayung batok kelapa yang berisi air ke atas. Gayung itu melesat ke atas tanpa setetes airpun yang tumpah! ”Bagus Wiro…. bagus sekali!” memuji Sinto Gendeng. Dan dengan tangan kirinya disambutnya gagang gayung. Sesaat kemudian tenggorokannya yang kurus dan kerinyutan itu kelihatan turun naik meneguk air dari dalam gayung. Air itu diteguknya sampai habis. ”Terima gayung ini kembali, Wiro!” Gayunng melesat ke bawah. Wiro Saksana ulurkan tangan untuk menyambut tapi pada detik itu pula di atas pohon gurunya kelihatan menggerakkan tangan kanannya. Angin deras mendorong kepala gayung, membuat gayung yang hendak disambuti Wiro Saksana itu mencelat ke samping dan menyerang dadanya! ”Gila betul!” bentak si pemuda. Cepat-cepat dia palangkan lengannya di muka dada. Gayung dan lengan beradu. Gayung pecah berantakan ke tanah, gagangnya patah dua! Pada saat itulah Sinto Gendeng melayang turun ke bawah. Kedua kakinya menjejak tanah tanpa suara dan tanpa meninggalkan bekas sedikitpun padahal cabang pohon jambu klutuk dari mana dia meloncat tadi hampir empat tombak tingginya. Dapat dibayangkan bagaimana luar biasanya ilmu meringankan badan perempuan sakti ini! Kedua orang itu, guru dan murid berdiri berhadap-hadapan. Wiro Saksana dapat merasakan betapa lainnya pandangan kedua mata Sinto Gendeng kepadanya, pandangan yang tidak dimengertinya. Nenek-nenek ini bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. Kedua kakinya kemudian merenggang sedang kedua tangan mengembang ke muka. Mulutnya berkemik. Detik demi detik sepasang kakinya amblas ke dalam tanah sampai tiga senti sedang seluruh tubuhnya bergetar hebat. Mukanya yang hitam dan berkerinyut itu basah oleh keringat. Tiba-tiba kejut Wiro Saksana bukan olah-olah ketika dilihatnya bagaimana kedua tangan gurunya berwarna putih sekali sedang sepuluh kuku jari tangan perempuan itu memerak serta memancarkan sinar yang menyilakuan! ”Eyang!” seru Wiro Saksana. ”Apakah kau mau bikin aku mati konyol dengan pukulan sinar matahari itu?!” Sinto Gendeng tidak menjawab. Mulutnya semakin mengemik. Rahang-rahangnya semakin mengatup dan pandangan mata serta tampangnya sangat mengerikan! Merinding bulu kuduk Wiro Saksana. Baru kali ini dilihatnya gurunya sedahsyat itu. Tanpa menunggu lebih lama, tanpa menunggu sampai kedua tangan yang mengepal dihantamkan ke muka, maka pemuda ini cepat-cepat pentang kaki dan dekapkan lengan di muka dada. Matanya meram, mulutnya komat kamit. Sepasang kakinya amblas dua senti ke tanah. Tubuhnya tak bergerak barang serambutpun, laksana gunung karang yang keras membatu! ”Ciaaaaaaatttt” Bentakan Sinto Gendeng melengking melanglang langit! Kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum sinar putih yang menyilaukan serta panasnya dapat menghanguskan dan melelehkan benda apa saja menggempur ke arah sasaran di muka sana yaitu tubuh Wiro Saksana! Pada detik yang sama Wiro Saksana membentak pula. ”Heeyyyaaaaa!” Tangan yang tadi bersidekap dengan serentak memukul ke depan. Dan kedua tangan itu terus saja terpentang lurus ke muka. Inilah apa yang dinamakan ilmu pukulan ”benteng topan melanda samudra”! Ilmu pukulan ini bukan saja dapat dipakai untuk menyerang tapi sesuai dengan namanya juga dapat menjadi perisai tangguh atau benteng kekar yang melindungi Wiro dari serangan gurunya! Bila angin-angin topan pukulan itu sama bertemu di udara maka terdengarlah suara berdentum yang menyenging liang telinga, debu dan pasir beterbangan, daun-daun pohon berguguran bahkan ranting-ranting kering patah-patah dan berjatuhan! Puncak Gunung Gede bergetar. Langit seperti mau terbelah oleh dentuman itu! Ketika debu dan pasir surut ke tanah, ketika keadaan di sekitar situ menjadi terang kembali maka Wiro Saksana melihat bagaimana kedua kaki gurunya amblas ke dalam tanah sedalam sepuluh senti. Muka perempuan itu penuh keringat dan matanya menyipit. Namun bila ditelitinya pula keadaan dirinya maka didapatinya kedua kakinya tenggelam ke dalam tanah sampai sebatas betis. Sedangkan tubuhnya yang memercikkan keringat dingin itu terasa masih bergetar gontai akibat adu tanding tenaga dalam yang luar biasa tadi! ”Bagus Wiro, bagus sekali!” terdengar Eyang Sinto Gendeng. Meski memuji namun dari mukanya bukan menunjukkan kegembiraan, sebaliknya muka yang berkerut-kerut itu masih memancarkan kengerian. ”Sekarang sambuti pukulan angin es ini, Wiro!” Dan habis berkata begitu, Sinto Gendeng angkat tinggi-tinggi kedua tangannya dengan telapak membuka lebar menghadap ke arah muridnya. Matanya kembali terpejam. Wiro menunggu dengan badan tiada bergerak. Udara mendadak menjadi sangat sejuk. Kemudian ketika Sinto Gendeng memutar­mutar kedua tangannya maka kesejukan itu mendadak sontak berubah menjadi udara yang sangat dingin menyembilui tulang-tulang sungsum. Geraham-geraham Wiro Saksana bergemeletakan menahan rasa dingin yang amat sangat itu. Permukaan kulitnya membeku seperti ditutupi salju. Tanah yang dipijaknya laksana pedataran es. Satu menit saja hal itu berlangsung lebih lama pastilah tubuh pemuda ini menjadi beku membatu. Inilah kehebatan ilmu kesaktian yang bernama ”angin es” itu! Dengan badan bergetar menahan dingin, Wiro Saksana membentak dahsyat. Bersamaan dengan itu kedua tangannya diputar-putar ke udara angin laksana badai menggebubu ke pelbagai arah. Puncak gunung itu menderu-deru. Daun-daun pohon yanag tadi kaku tegang oleh dinginnya udara kini kelihatan mulai bergerak, makin kencang – makin kencang. Udara dingin yang tadi menyayat sungsum kini tergetar buyar dilanda ilmu ”angin puyuh” yang dilepaskan oleh Wiro Saksana. Semakin keras putaran tangan pemuda itu, semakin membadai gebubu angin, semakin buyar udara dingin. Daun-daun pohon yang tadi hanya bergerak-gerak kini jatuh berhamburan bersama rantingnya. Kemudian satu demi satu pohon-pohon kecil bertumbangan. Pohon­pohon besar yang masih bisa bertahan menjadi gundul daun dan rantingnya! Tubuh Eyang Sinto Gendeng kelihatan tergoyang hebat. Pakaian hitamnya berkibar-kibar. ”Gila betul! Gila betul!” teriak perempuan sakti itu. Mulutnya mengeluarkan lengkingan dahsyat kemudian dia melompat sejauh sembilan tombak dan dari situ mencabut sebuah tusuk kundai lalu menyambitkannya ke arah Wiro. Sang murid cepat-cepat hentikan putaran tangannya dan melompat ke samping. Tusuk kundai membawa angin maut itu melesat menghantam sebatang pohon. Pohon itu tumbang dengan batang pecah berkeping-keping! Udara dingin lenyap. Angin yang memuyuh juga lenyap dan suasana kembali sepeti sedia kala. Ketika Wiro memandang ke muka dilihatnya gurunya berdiri memegang sebentuk kapak yang aneh sekali. Belum lagi dia sempat meneliti lebih lama benda itu, Eyang Sinto Gendeng ajukan pertanyaan, ”Kau lihat senjata di tanganku ini, Wiro? Kau lihat….?!” Sang murid mengangguk dan matanya tetap lekat ke kapak aneh di tangan gurunya. ”Kali ini kau tak akan sanggup lagi berkelit dari seranganku, Wiro!” ”Eyang Sinto…. apakah kau sudah gila hendak membunuh murid sendiri….?!” Perempuan itu tertawa mengikik. ”Aku memang sudah gila Wiro! Kalau tidak percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok kau yang tidak tahu artinya Gendeng!” Wiro memandang dengan waspada. Matanya kembali meneliti kapak aneh di tangan gurunya. Kapak itu bermata dua dan besarnya hampir sebesar batu bata. Gagangnya putih bersih, mungkin terbuat dari gading menurut taksiran Wiro. Pada batang kapak yang besar hampir sebesar lengan itu kelihatan enam buah lobang-lobang kecil. Ujung terbawah dari gagang kapak ini merupakan kepala seekor naga yang mulutnya membuka. ”Wiro!”, kata Eyang Sinto. ”Aku akan pergunakan kapak ini tiga jurus berturut-turut untuk menyerangmu! Bila kau sanggup melayaninya, kau akan selamat. Kalau tidak maka bersiaplah untuk mati konyol!” Wiro Saksana kertakkan geraham. Dia hendak menjauhi kata-kata gurunya itu. Namun sebelum mulutnya terbuka, Eyang Sinto Gendeng sudah berseru: ”Ini jurus pertama Wiro!” 
***
TUJUH 
Si tua Sinto Gendeng menerjang ke muka. Kapak besar di tangan kanannya membabat kian kemari dalam jurus ”orang gila mengebut lalat.” Ketika tadi Wiro Saksana memainkan jurus itu dengan mempergunakan sebilah keris, kehebatannya sudah luar biasa apalagi kini penciptanya sendiri yang melakukannya maka dahsyatnya bukan olah-olah! Kapak besar itu berkelebat kian kemari hampir tidak kelihatan karena cepatnya. Angin deras bersiuran mengibar-ngibarkan pakaian Wiro. Angin deras ini bukan sembarang angin karena bila menyambar kulit maka kulit itu perih bukan main, seperti lecet! Dan dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak senantiasa keluar suara mendengung macam tawon! Dalam sekejap saja Wiro Saksana segera terbungkus sambaran-sambaran kapak bermata dua itu. Mata dan kulit tubuhnya perih terkena angin tajam yang menderu-deru. Telinganya pengang oleh suara yang mengaung yang keluar dari mulut kepala naga-nagaan pada gagang kapak. ”Ciaaaaatt!” Wiro membentak dahsyat. Tubuhnya berkelebat dan lenyap detik itu juga. Tangan dan kakinya sambar menyambar kian kemari, membuat gerakan menghindar dan menyerang bagian-bagian yang lowong dari gurunya. Tapi mana dia sangup mengahadapi senjata aneh yang dahsyat itu. Apalagi senjata tersebut berada dalam tangan Sinto Gendeng dan mempergunakan jurus ”orang gila mengebut lalat” yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya. Dalam sekejap saja pemuda itu terdesak hebat. Lengah atau ayal sedikit saja pastilah pinggang atau perut atau dada atau tenggorokannya akan kena disambar mata kapak. Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi yang dimilikinyalah maka Wiro Saksana dapat menghindari sambaran-sambaran dan bacokan­bacokan kapak bermata dua itu. Berkali-kali Wiro melepaskan pukulan-pukulan tenaga dalam yang dahsyat. Namun angin pukulannya terbendung bahkan dihantam buyar oleh angin tajam yang menderu yang keluar dari senjata di tangan gurunya. ”Senjata edan!” maki Wiro Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke bawah. Serentak dengan itu tangan kanannya dengan jari-jari ditekuk kedalam meluncur ke arah sambungan siku Eyang Sinto Gendeng. Tapi pada detik itu pula kaki kanan sang guru menyapu dari atas ke bawah, mencari sasaran di kepala Wiro Saksana. Mau tak mau ini pemuda terpaksa jatuhkan dan gulingkan diri di tanah. Dengan demikian maka berakhirlah jurus pertama yang penuh kehebatan itu. Sinto Gendeng berdiri dengan dada turun naik. ”Kini jurus kedua, Wiro!” katanya. Kedua kakinya dipentang lebar-lebar. Tubuhnya membungkuk ke muka sedikit sedang kapak di tangan kanan dipegangnya lurus-lurus ke muka ke arah Wiro Saksana. Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto Gendeng mengeluarkan benda hitam yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Wiro tak dapat memastikan benda apa yang ada dalam tangan kiri gurunya itu. Mungkin sebentuk besi, mungkin juga sebuah batu. Tiba-tiba tangan kiri Sinto Gendeng memukulkan benda di tangan kirinya ke kepala kapak. Bunga api memijar. Dan sedetik kemudian lidah api yang dahsyat menyambar ke arah Wiro Saksana! Terkejutnya pemuda itu bukan alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke udara. Lidah api lewat di bawahnya, kedua kakinya terasa perih panas dan bila dia melirik ke belakang maka dilihatnya bagaimana semak belukar serta pepohonan terbakar berkobar oleh sambaran lidah api tadi!. Masih belum turun ke tanah lagi, maka Sinto Gendeng telah menyerang pemuda itu untuk kedua kalinya. Lidah api menyambar lagi. Wiro bergulingan di tanah, menghindarkan dengan sebat. Tanah yang tersambar lidah api kapak sakti itu menjadi hitam hangus. Wiro leletkan lidahnya. Masih belum sempat dia mengatur nafas, tangan kiri dan tangan kanan Sinto Gendeng bergerak lagi berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah lusin banyaknya menyambar tubuhnya dari enam jurusan! Wiro memekik dahsyat. Meraung dan membentak. Kedua tangannya diangkat tinggi­tinggi ke atas. Tubuhnya melompat kian kemari, mulutnya komat-kamit. Aji angin es yang ditebarkannya hanya bisa menahan gelombang lidah api yang menyambar tapi sama sekali tidak dapat melenyapkan hawa panas lidah-lidah api itu! Wiro Saksana kelagapan tapi masih belum hilang akal! Bentakan setinggi langit melengking ke udara. Tubuh Wiro Saksana lenyap keluar dari sambaran-sambaran lidah-lidah api untuk sesaat kemudian berguling di tanah dengan sangat cepatnya, menuju ke tempat Eyang Sinto Gendeng berdiri. Sambil bergulingan ini, Wiro lepaskan dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu ”kunyuk melempar buah” yang satu lagi ”sinar matahari”! Mau tak mau Sinto Gendeng hindarkan diri juga ke samping. Maka putuslah jurus kedua itu! Wiro Saksana itu berdiri dengan tubuh berkeringat dingin. Dibelakangnya kobaran api masih juga membakari semak belukar dan daun-daun pepohonan. Gurunya dilihatnya berdiri tegak tak bergerak. Benda yang di tangan kirinya tadi ternyata adalah sebuah batu api dan kini sudah disimpannya kembali di balik pakaian hitamnya. ”Jurus terakhir Wiro….!” kata Eyang Sinto Gendeng. Pemuda itu tahu, kalau dua jurus pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus ketiga atau yang terakhir ini tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya dia benar-benar lebih waspada dan teliti kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot tajam-tajam ke depan. Sinto Gendeng memegang kapak itu dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang terbuka di dekatkannya ke mulutnya sedang jari-jari tangannya menutup enam lobang di batang kapak. Ketika Wiro Saksana tidak mengerti apa yang bakal diperbuat gurunya maka terdengarlah suara tiupan seruling! Ternyata kapak itulah yang mengeluarkan suara seruling tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng! Gema seruling itu mula-mula perlahan, halus dan lembut, memukau Wiro Saksana. Kemudian tiupan seruling mengeras dan pembuluh-pembuluh darah di tubuh Wiro seperti ditusuk-tusuk. Darahnya mengalir tidak karuan, menyendat-nyendat. Matanya mengabur, kepalanya berat dan pusing! Maklum bahwa tiupan seruling itu bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro menghempos tenaga dalam. Mengatur jalan nafas dan darahnya! Tapi kasip! Suara seruling semakin kencang. Melengking dan menusuk-nusuk gendang-gendang telinga! Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Mulutnya komat-kamit, kedua tangannuya menghantam ke arah Sinto Gendeng, tapi sang guru kini tidak di tempat, melainkan berlari-lari sebat mengelilingi pemuda itu. Wiro membentak, tapi suaranya tidak keluar. Dari melompat tapi tubuhnya terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan dalamnya punah oleh tiupan seruling! Pinggangnya tertekuk kemuka. Mendadak samar-samar ingatan jernih melintas di otaknya. Cepat-cepat pemuda ini mentutup indera pendengarannya. Sukar sekali mula-mula, karena saat itu kedua liang telinganya sudah mengeluarkan darah! Tapi dengan kerahkan segala sisa tenaga yang ada pemuda ini sanggup juga menutup pendengarannya. Begitu suara seruling lenyap dari telinganya maka perlahan-lahan tenaga luar dan dalamnya yang tadi punah kini datang kembali. Tapi rasa yang menusuk-nusuk pembuluh-pembuluh darahnya masih belum lenyap. Karenanya, diaturnya jalan nafas dan darahnya. Pengaruh tiupan seruling sakti itu berhasil dilawannya sedikit demi sedikit. Dan ketika dirasakannya sudah punya kekuatan untuk balas menyerang pemuda ini pura-pura jatuhkan diri ke tanah, pura-pura pingsan. Namun begitu tangan kanannya menyentuh tanah, segera diraupnya pasir tanah itu dan dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng! Ratusan pasir yang sudah diisi dengan aji ”angin puyuh” itu menderu ke arah mulut naga-nagaan dan lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir lagi menyerang ke muka Sinto Gendeng. Perempuan tua renta itu melepaskan mulutnya dari mulut kepala naga dan cepat­cepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang menghambur menyerangnya rontok kembali ke tanah! Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak saktinya ke balik pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu berakhir sudah. Wiro berdiri tersengal-sengal bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan memperhatikan gerak-gerik gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng mengatakan hanya akan menyerangnya sebanyak tiga jurus, tapi bukan mustahil nenek-nenek itu akan menyerangnya kembali! Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma memandang saja kepadnya. Wiro garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun lamanya dia menuntut ilmu kesaktian dan ilmu silat baru hari ini diketahuinya bahwa Eyang Sinto Gendeng memiliki sebuah senjata berbentuk kapak yang demikian anehnya, tapi juga demikian hebatnya! Selama sekian tahun baru hari itu pula gurunya menggempur dia dengan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Serangan-serangan yang dilancarkan tidak dengan tertawa-tawa sebagaimana biasanya! Dihubungkannya pula dengan nyanyian yang dibawakan gurunya tadi! Benar-benar banyak keanehan yang dilihat Wiro Saksana hari ini. Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek sakti itu berkelebat. Wiro segera siapkan diri. Terdengar suara tertawa yang meringkik-ringkik macam kuda. ”Gila betul!” maki Wiro. Dia cepat-cepat lompat ke samping karena Eyang Sinto Gendeng berkelebat ke arahnya! 
***
DELAPAN 
Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk sebelumnya. ”Bagus Wiro…. bagus sekali,” katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah timur. ”Sekian lama kau kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak mengecewakan….!” Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan sehabis tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi tergetar. Pitulas taun wus katilar, Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo, Langit isih tetep biru, Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen, Pitulas taun agawe kang tua tambah tua. Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah, Pitulas taun wektu perjanjian, Pitulas taun wiwitane perpisahan, Pitulas taun wekdaling pamales. Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali. ”Dadamu sesak Eyang? Aku bisa tolong urut….” ”Diam!” bentak Sinto Gendeng. Wiro menggaruk kepalanya dan diam. ”Aku mau bicara sama kau!” kata Sinto Gendeng pula. ”Bicara apa Eyang….?” Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh karena dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh. ”Berapa lama kau tinggal di sini bersamaku, Wiro?!” ”Murid tidak ingat….” ”Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis baca dan berhitung sama kau?!” ”Mungkin sepuluh tahun, Eyang….” ”Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!” Wiro tertawa, ”Iyyaa…. tujuh belas tahun Eyang,” katanya pula. ”Kuharap hari ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!” bentak Sinto Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur. ”Kau lihat matahari itu?” ”Lihat Eyang….” jawab Wiro seraya memandang ke timur. ”Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih seperti dulu juga. Cuma yang tua tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!” Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya gurunya bicara seperti itu sebelumnya. Kemudian terdengar kembali suara sang nenek. ”Tujuhbelas tahun. Sekian lama kau tinggal bersamaku. Belajar tulis baca, belajar ilmu silat, belajar segala kesaktian. Tapi kau jangan lupa! Kudu inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan sama kau semuanya adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?” ”Ya, Eyang….” ”Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang musti kau lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat balasan sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kau saja yang sakti di dunia ini. Kau musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?” ”Sadar, Eyang….” ”Ingat?” ”Ingat,Eyang….” ”Ingat…. ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak mau kalau kau cuma sekedar mengingat saja karena setiap ada ingat musti ada lupa. Dan manusia manapun selagi bernama manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu. Lupa dan kelupaan. Yang penting ialah kau musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam hatimu, ke dalam sanubarimu, ke dalam aliran kau punya darah, ke dalam detakan jantung, ke dalam hembusan nafas! Sesuatu itu, jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon jadinya, tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi karena dari hari ke hari akar yang membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!” Kesunyian menyeling beberapa lamanya. Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Sinto Gendeng kembali. ”Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Wiro!” ”Eyang….,” terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu. ”Kau terkejut….? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku….” Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya. Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa perjanjian…. tujuh belas tahun saat pembalasan…. Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara. ”Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya….” Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya. ”Misalnya…., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!” ”Betul Eyang….” ”Misal lain…. ada langit…. ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air…. ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek! Semuanya selalu begitu Wiro, Kemudian…. ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan kau, Wiro….?” ”Tidak tahu Eyang….” ”Bogrol!” ”Aku tahu Eyang….” ”Siapa?” ”Ibu sama bapakku.” ”Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?” ”Nenek sama kakek….” ”Yang menciptakan nenek sama kakek….?” ”Nenek dari nenek dan kakek dari kakek….” ”Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek….?” ”Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek….” ”Geblek!” bentak Sinto Gendeng. ”Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia! Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kau dilahirkan sama nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia miskin. Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau punya mata?” ”Dua, Eyang.” ”Hidung?” ”Satu Eyang.” ”Lobang hidung?” ”Dua Eyang….” ”Mulut?” ”Satu….” ”Bibir?” ”Dua Eyang.” ”Kepala?” ”Satu….” ”Tangan?” ”Dua….” ”Kaki….?” ”Juga dua Eyang….” ”Kau punya biji kemaluan….?” ”Dua Eyang,” dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli. ”Kau punya batang kemaluan?” ”Satu Eyang….” Wiro geli lagi dan memaki lagi. ”Nah…. itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan satu itu selalu ada melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam diri manusia! Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya miskin, lapar kenyang, hidup mati, dan manusia juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah….” ”Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang sempurna dalam dirinya….” ”Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kau bahwa dalam diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang ngerti, goblok?!” Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul. ”Sekarang berdirilah kau!,” perintah Eyang Sinto Gendeng. Wiro Saksana berdiri. Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi hingga kedua matanya berair. 
***
SEMBILAN 
“Kenapa kau terkejut….?” tanya Eyang Sinto Gendeng. “Kau takut?!” “Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!” tanya Wiro Saksana bersiap-siap. Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak ke belakang. ”Pejamkan matamu, Wiro!” perintah Eyang Sinto Gendeng pula. ”Tapi…. Eyang mau bikin apa?!” ”Eeee…. kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!! pejamkan matamu!” Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu dipejamkannya tidak rapat betul. ”Biar rapat!” hardik Sinto Gendeng. Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat. “Buka bajumu!” Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam. “Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!”, perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu. Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu jarinya kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala kapak yang terbuat dari besi putih itu. ”Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!” ”Eyang….” ”Diam! Gila betul!,” bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam. Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naga­nagaan di hulu kapak melesat dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum putih. Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana. Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena tancapan jarum yang 36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri! Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro. Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir deretan angka-angka 212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak tangannya. Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga agak samar-samar kelihatannya. ”Berdiri Wiro!” perintah sang guru. Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh gurunya. Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, lalu roboh dan…. tak ingat apa-apa lagi. “Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?” Wiro mengangguk. “Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?” “Mengerti Eyang. Tapi… mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!” Eyang Sinto Gendeng tertawa mengikik. “Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212” kata Sinto Gendeng pula. Lalu nenek­nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya. Wiro merasa mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya. ”Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau bicarakan sama kau,” kata Sinto Gendeng pula. Wiro berdiri. Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya benda­benda itu. ”Wiro…. kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini berada di tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah….” Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia terdiam mematung seketika. ”Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk kau!” Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro. Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia merasa tingkat tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna! ”Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!” Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya. ”Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi, tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut naga-nagaan…. Untuk membuat angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku telah pergunakan jarum-jarum semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga tubuhmu akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa mematikan lawan!” Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya. ”Terima kasih Eyang…. terima kasih,” kata pemuda itu. Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai. Kemudian mulailah dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus katilar…. Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro. ”Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu….?” Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan begitu sedih serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar tanda dia tak dapat menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya. ”Aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di Gunung Gede ini bersamaku….” ”Mengapa demikian, Eyang….?” Wiro garuk-garuk kepalanya. ”Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis kehidupanmu sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah….” Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian diteruskannya, ”Sebelum kau meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada satu tugas yang musti kau lakukan….” ”Tugas apakah itu, Eyang?” tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya yang berambut gondrong itu. ”Dengar baik-baik Wiro…. Lebih dari empat puluh tahun yang silam aku telah mengambil seorang murid bernama Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur dua tahun. Dari umur dua tahun itulah aku mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan kesaktian. Tapi kemudian aku ketahui bahwa aku telah ketelanjuran mengambil itu manusia menjadi muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai nasihat tapi dasar Suranyali bukan manusia baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang kuberikan padanya dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia membuat keonaran dimana-mana! Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik perempuan-perempuan cantik dan merusak kehormatannya! Menurutku kini umurnya sudah hampir setengah abad, sudah dekat ke liang kubur! Tapi ini sama sekali tidak memberikan keinsyafan pada dirinya. Kejahatannya akhir­akhir ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini dia tengah menyusun rencana busuk terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu kau harus lekas-lekas dapat mencari itu manusia laknat dan perintahkan kepadanya untuk datang ke sini menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama malang melintang di dunia sana! Dan perlu kau ketahui, Suranyali kini telah memakai nama baru yakni Mahesa Birawa!” Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17 tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk menjalankan tugas dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah pemuda itu: ”Tugas Eyang akan aku laksanakan. Cuma bagaimana jika itu manusia Mahesa Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk datang ke sini….?” ”Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!” Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah ketinggian ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu? Sanggupkah dia menghadapi manusia yang sesungguhnya adalah kakak seperguruannya sendiri?! ”Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro,” kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba. Ini mengejutkan Wiro Saksana. ”Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia telah berguru pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah takut! Kau memiliki kapak Naga Geni 212. Dan kau berada dalam kebenaran pula! Sesungguhnya kau punya hak untuk membunuh itu manusia, Wiro. Pertama karena tugas yang aku pikulkan dibatok kepalamu! Kedua karena Suranyali atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!” Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam membesi! Sejak kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia mengetahui apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat itu dadanya serasa mau pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!. ”Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya. Sesudah itu bunuh diri sesudah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui ajal dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya. Kebetulan sekali aku lewat disitu….” Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. ”Terima kasih Eyang…. kalau Eyang tidak ada….” ”Berdiri!” bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak suka dilututi seperti itu. ”Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti Allah!” katanya. ”Ayo berdiri!” Wiro berdiri kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun yang lalu sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam nyanyian gurunya tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk. Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya! ”Eyang….,” desis Wiro Saksana, ”Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak langsung turun tangan….?” Sinto Gendeng tertawa rawan. ”Semustinya…. semustinya memang aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika kutahu bahwa Ranaweleng – bapakmu – mempunyai seorang orok maka aku mempunyai pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jika sudah besar dia lebih mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa Birawa. Kalau tidak percuma saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap kejahatan ada pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kau lupakan!” ”Menurut Eyang, apakah manusia keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama anak-anak buahnya….?” ”Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah bahwa manusia itu hendak membuat Pajajran banjir darah. Karenanya, seret dia ke sini sebelum hal itu terjadi. Dan kalau dia tidak mau, pateni saja!!” (pateni=bunuh). Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. ”Kau akan segera berangkat, Wiro?” Pemuda itu tak segera menjawab. Kemudian dia mengangguk perlahan. ”Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai saat kau turun gunung ini, pakailah nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG.” Dan habis berkata demikian si nenek tua ini tertawa mengikik lama dan panjang. Namun tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang rawan, sedih itu untuk membendung air mata yang hendak tumpah keluar! ”Eyang…. kapan kita bisa bertemu lagi?” tanya Wiro. Sang guru hentikan tertawanya. ”Selama langit masih biru, selama hutan masih hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro Sableng….!” 
***
SEPULUH 
Kedai nasi itu cukup besar. Tapi saat itu pengunjungnya cuma beberapa orang. Wiro Sableng meneguk air liurnya. Dia tak punya banyak uang tapi perutnya perih dan lapar, tenggorokannya kering dahaga. Akhirnya dia masuk juga ke dalam kedai itu. Wiro duduk di satu sudut. Kursi-kursi dan meja lengket oleh debu. Tapi pemuda rambut gondrong ini terus saja duduk seenaknya tanpa mengacuhkan debu itu. Seorang laki-laki tua ubanan datang mendekatinya. Dia adalah pemilik kedai. ”Makan nak….?” tegurnya. Wiro mengangguk. ”Tapi jangan mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!” kata Wiro Sableng terus terang. Pemilik warung itu kerutkan kening. Selama dia membuka kedai di Jatiwalu itu baru hari ini ada seorang tamu yang datang di kedainya dan berkata seperti itu. Matanya meneliti Wiro Sableng dari rambutnya yang gondrong sampai ke kakinya yang berdebu. ”Kau tentu seorang pendatang….”, katanya. ”Betul,” Wiro menggaruk-garuk rambutnya. ”Tolong lekas nasinya, pak, perutku sudah lapar betul….!” Orang kedai itu segera mengambilkan sepiring nasi dan segelas air lalu diletakkannya di atas meja di hadapan Wiro. Titik air liur pemuda ini. Selama tujuh belas tahun di puncak Gunung Gede dia hanya kenal nasi merah dan sayur. Kini menghadapi nasi putih dan ikan serta gulai yang lezat maka lahaplah makan Wiro. Keringat memercik di kulit mukanya. Kemudian diteguknya air. Pada saat dia mengusapi perutnya yang buncit keras itu maka masuklah empat orang laki-laki. Semuanya berpakaian serba hitam, memakai golok di pinggang. Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap dipandang. Mereka masuk dan duduk dengan seenaknya. Keempatnya memelihara berewok. Pemilik kedai melihat kehadiran keempat orang ini dengan cepat datang melayani. Agaknya keempat manusia ini pastilah orang-orang penting juga. Tak lama kemudian maka dihidangkanlah makanan yang lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan dalam sebuah bumbung bambu berikut empat buah gelas yang juga dari bambu. Keempat orang itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut mereka terdengar sampai ke tempat Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja pemuda ini tak mau ambil peduli. Meski mereka menyiplak sampai sekeras geledek pun dia tak akan ambil pusing! Wiro Sableng melambaikan tangan memanggil pemilik kedai. ”Berapa aku musti bayar?” tanya Wiro. Orang kedai itu menyebutkan jumlah uang yang musti dibayar Wiro. ”Waduh… mahal sekali!” keluh Wiro. ”Tadi aku sudah bilang jangan mahal-mahal…” ”Itu juga sudah sangat murah, Nak,” kata orang kedai. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. ”Habis uangku buat bayar makanan itu.” Dikeluarkannya uangnya dan diberikannya pada orang di kedai. Pada saat itu pula terdengar gelak tawa keempat orang yang duduk di meja seberang sana. Salah seorang dari mereka, yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak berkata, ”Kalau tidak gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!” Yang seorang lagi menyambungi, ”Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya cari saja makanan di tong sampah!” Keempat orang itu tertawa gelak-gelak. Wiro memandang kepada mereka. Diejek demikian rupa pemuda ini tenang-tenang saja malahan sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala. Laki-laki yang berkumis panjang menjulai ke bawah bertanya, ”Kau mau uang buat beli makanan?” ”Mau saja kalau diberi,” jawab Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya. ”Merangkaklah dihadapanku, menyalak tiga kali dan tuanmu ini pasti akan kasih uang kepadamu” Atap kedai itu seperti mau runtuh oleh suara tertawa keempat orang itu. Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang ambon yang berjejer digantung di atas meja tempat meletakkan ikan dan gulai maka tertawalah pemuda itu. Mula-mula perlahan tapi makin lama makin keras dan dia melangkah mendekati deretan pisang itu. Dikeluarkannya sisa seluruh uangnya yang masih ada yang tak seberapa tapi cukup untuk membeli sesisir pisang. ”Aku beli pisangmu, pak,” kata Wiro. Diturunkannya sesisisr sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah pisang. Dia melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya masih terdengar suara gelak tawa keempat orang tadi. Tiba-tiba hampir tak kelihatan saking cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat bahunya. Di belakangnya suara tertawa keempat orang tadi mendadak sontak berhenti, berganti dengan suara-suara tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke dalam mulut empat manusia berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk tertawa, bernafaspun mereka sudah megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil senyum-senyum melangkah terus sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang dan mulai memakannya. Dia melangkah terus dan acuh tak acuh ketika beberapa saat kemudian didengarnya derap kaki empat orang dalam kedai tadi mengejarnya. ”Bikin mampus saja sama kawan-kawan!” teriak salah seorang pengejar. ”Berani kurang ajar sama kita orang! Cincang sampai lumat!,” kata yang berbadan paling tinggi. Wiro Sableng terus juga melangkah enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya dilambaikannya ke belakang untuk melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya. Namun lambaian tangan itu bukan lambaian tangan biasa yang hanya sekedar melemparkan kulit pisang belaka! Dari tangan kanan pemuda itu membadai angin dahsyat laksana tembok baja yang membendung lari keempat orang pengejar itu! Betapapun mereka mempercepat lari mereka namun tetap saja mereka tak sanggup mengejar Wiro Sableng padahal kelihatannya pemuda itu hanya tinggal sepejangkauan tangan lagi! Keempat orang itu berteriak-teriak, memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan tangan ke muka karena merasa hampir-hampir dapat menagkap punggung baju Wiro Sableng! Namun gerakan-gerakan mereka itu tak ubahnya seperti empat ekor monyet yang menjadi gila mencak-mencak kian kemari! Dan orang yang dikejar terus juga berjalan ongkang-ongkang bahkan sambil makan pisang ambon! Mengapa sampai terjadi hal yang demikian, lain tidak karena Wiro Sableng telah mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang bernama: dinding angin berhembus tindih menindih! ”Gila betul!” teriak laki-laki tinggi jangkung yang lari paling depan. Namanya Bergola Wungu. Dialah yang menjadi pemimpin dari tiga orang lainnya dan dialah yang memiliki ilmu paling tinggi! Dengan sangat geram, sambil lari dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan dilemparkannya ke arah punggung Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat kembali, berbalik menyerang Bergola Wungu! Kalau saja dia tidak cepat-cepat buang diri ke samping pastilah lehernya akan dimakan ujung pisau! Akhirnya dengan keluarkan keringat dingin, Bergola Wungu dan anak-anak buahnya hentikan pengejaran. Baru hari ini Bergola Wungu serta anak-anak buahnya menghadapi kejadian seperti itu. Kejadian yang mendekam hati tapi juga aneh tak bisa mereka mengerti. Sebagai pemimpin dari tiga orang itu, sebagai orang yang paling tinggi ilmu silat dan kesaktiannya sudah barang tentu Bergola Wungu malunya bukan main! Untuk mencuci mukanya dia berkata menggerendeng: ”Kalau bangsat itu bukannya manusia siluman pastilah dia iblis bermuka manusia!” 
***
SEBELAS 
Siapakah keempat manusia berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara berewok itu? Mereka menamakan diri Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan Bergola Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak lain adalah komplotan rampok yang malang melintang sepanjang sungai Cimandilu yang terkenal keganasannya di daerah sekitar situ. Dulunya, Bergola Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung Jatiwalu. Sesudah ayahnya dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan tiga orang anak buahnya semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu yang saat itu berumur dua puluh enam tahun meninggalkan kampung kelahirannya dengan satu tekat yaitu mencari guru silat yang dapat mengajarkan ilmu dan kesaktian kepadanya. Dia berhasil menemukan seorang guru dan kemudiannya berhasil pula mendapat tiga orang anak buah, maka malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu, menjadi kepala perampok yang ditakuti. Dan ketika dirasakannya saat untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama ketiga orang anak buahnya berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu sampai di Jatiwalu, Kalingundil dan anak-anak buahnya tak ada di sana, pergi keluar kampung dan tak satu orangpun yang tahu. Rumahnya kosong dan sepi. Bergola Wungu memutuskan untuk menunggu sampai musuh besarnya itu kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil masih juga belum muncul. Mereka duduk di dalam kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun yang bisa bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya sampai habis. ”Kurasa manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundil….”, kata Ketut Ireng, laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu. Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan menemui kegagalan. Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi Kalingundil sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini adalah waktu yang cukup lama untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil seperti kenyataan tadi, ini adalah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali! ”Tidak mungkin….,” desis Bergola Wungu. ”Tak mungkin manusia tadi adalah anak buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa dia benar-benar manusia! Dan aku ingat bahwa Kalingundil cuma punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang mereka semua!” ”Tapi bukan mustahil selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah,” menyela laki-laki yang bernama Seta Inging. ”Aku tetap tidak mau percaya….!”, kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya pada pemilik kedai. ”Sini!”, bentaknya. Orang tua pemilik kedai datang dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk. ”Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?” ”Cuma tiga, Den. Cuma tiga….” ”Masih yang dulu-dulu juga….?” Orang tua itu mengangguk. ”Dan tak satu manusiapun disini yang tahu kemana mereka pergi?!” ”Tidak satupun, Den….” ”Selain mereka berempat, siapa lagi yang diam di rumah besar itu….?” ”Tidak ada, Den….” ”Dulu kudengar dia punya bini….” ”Sudah meninggal, Den….” ”Juga seorang anak perempuan…. Apa juga sudah meninggal?!” ”Tidak.” ”Kalau begitu dimana perempuan itu sekarang?” ”Bapak tidak tahu, Den….” ”Dusta!” ”Sungguh tidak tahu, Den….” ”Bakar saja kedai ini!”, ancam Ketut Ireng. Dan orang tua itupun berlutut minta dikasihani. ”Jangan den…. sungguh bapak tidak tahu. Jangan dibakar kedai ini den…. Kasihani bapak…. Tapi mungkin dia ikut bersama Kalingundil. Mungkin juga…. Mungkin juga menginap di tempat bibinya….” ”Dimana tempat bibinya?” ”Tidak tahu, Den….” ”Tidak tahu melulu!”, bentak Bergola Wungu. ”Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh Kalingundil, yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih saja melindungi manusia-manusia keparat itu!” ”Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den. Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan………..” ”Kalian bukan lemah tapi bodoh dan pengecut!” bentak Ketut Ireng. Lalu sambungnya, ”jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui Kalingundil dan cecunguk-cecunguknya itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung ini….!” ”Oh jangan, Den…. Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa kampung ini dulunya adalah kampung raden juga….” ”Dulu!” kata Bergola Wungu, ”tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam diri, tak ambil perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku ditebas lehernya! Patutkah kuakui ini sebagai kampungku? Persetan sama kampung keparat ini!” Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke meja. Papan meja pecah, gelas bambu mental terbelah dua! ”Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya. Kalingundil dan anak buahnya berilmu tinggi….” ”Diam!”, bentak Bergola Wungu. Orang tua pemilik kedai itu diam membungkam. Ketut Ireng ambil bagian kini, ”Kau tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang tadi makan di sini?!” ”Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu…….” ”Sudah pergi sana!” bentak Bergola Wungu. Orang tua itu berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa yang telah mereka makan dan mereka minum! 
***
DUA BELAS 
Dia masih juga mencabuti rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia sama sekali tak mengacuhkan derap kaki kuda yang menggeru di belakangnya karena menyangka bahwa itu adalah kuda-kuda yang biasa lalu lalang di tempat tersebut. Tapi tangannya yang halus itu berhenti mencabuti rerumputan ketika di belakangnya terdengar suara tertawa seseorang. ”Ha…. ha…. inikah manusia yang menjadi anak tunggal keparat Kalingundil?!” Gadis enam belas tahun yang berlutut di muka makam itu putar kepala. Empat orang penunggang kuda dilihatnya berjejer di belakangnya. Penunggang kuda yang paling depanlah yang tadi tertawa dan buka suara. Tubuhnya jangkung, berewoknya lebih lebat dari berewok tiga manusia lainnya, tampangnyapun lebih angker. ”He…. he…. cantik juga parasnya huh?!”, kata laki-laki ini yang tak lain dari Bergola Wungu adanya. ”Tapi sayang, kepalanya musti kita pisahkan dari badannya. Bukankah demikian, Bergola Wungu?!” ”Betul, tapi tak perlu cepat-cepat. Agaknya dia bisa memuaskan seleraku dan kalian semua!” Keempat orang itu tertawa bekakakan. ”Kunyuk-kunyuk hitam berewok! Kalian siapa?!”, bentak gadis berbaju biru. Dengan enteng dia berdiri. Tangan kanan memegang hulu pedang yang tersisip di pinggang. ”Eh, galak juga betina ini!”, kata Ketut Ireng. ”Tapi kalau kau mau kenal kami, aku tak keberatan untuk memperkenalkan diri. Namaku Ketut Ireng…. Ini Bergola Wungu. Yang ini, yang gemuk pendek Seta Inging dan ini yang matanya jereng Pitala Kuning. Nah… nah… sekarang kau tak keberatan kasih tahu namamu….?” Keempat orang itu tertawa lagi. ”Manusia edan! Berlalulah dari hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan pedangku!” ”Ah, besar mulutnya sama saja sama bapaknya!”, kata Bergola Wungu sambil usap­usap berewoknya. ”Ketahuilah kami datang untuk mengirim bapakmu ke liang kubur. Itupun kalau ada liang kubur yang masih mau menerimanya!” ”Mulutmu terlalu besar monyet berewok!”, hardik gadis itu. ”Aku mau lihat apakah juga cukup besar untuk menerima ujung pedangku ini?!” Diiringi dengan pekik yang membising maka berkiblatlah sebatang pedang ke arah kepala Bergola Wungu! Kejut keempat orang itu, terutama Bergola Wungu sendiri tidak terkirakan. Kalau tidak cepat dia buang diri dari punggung kuda pastilah kepalanya akan terbelah dua. Tapi selagi tubuhnya melayang di udara, maka saat itu pula pedang di tangan si gadis sekali lagi membabat sebat. Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke samping kiri. Pedang si gadis yang seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui sasarannya di leher kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat sebelum meregang nyawa. Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus. Kuda-kuda yang lainnya latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan darah. Untung saja tiga penunggangnya sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak pastilah mereka akan dilempar mental! Tiga ekor kuda itu seperti gila kemudian lari menghambur menerjangi batu-batu nisan pekuburan! ”Iblis betina!”, kertak Bergola Wungu. ”Meski kau punya tampang cantik dan tubuh mulus, apa kau sangka aku ragu-ragu untuk menebas kau punya batang leher?!” ”Jangan jual bacot kunyuk berewok! Lihat pedang!” pedang di tangan si gadis itu berkelebat lagi lebih cepat dan sebat. ”Sreet!” Bergola Wungu cabut golok panjangnya. Dan…. ”Trang!” Dua senjata beradu keras di udara memercikkan bunga api yang menyilaukan mata. Tangan Bergola Wungu tergetar kesemutan sedang si gadis baju biru terpental beberapa langkah ke belakang. Pedang di tangannya hampir saja terlepas! Meski tahu kalau tenaga dalam dan ilmu silat manusia berewok itu lebih tinggi dari padanya, namun gadis yang keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan lengkingan dahsyat yang keluar dari tenggorokannya maka berubahlah tubuhnya menjadi bayang-bayang. Sinar pedang menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu! Tapi Bergola Wungu bukan manusia hijau dalam dunia persilatan. Bukan anak kemarin. Percuma dia malang melintang belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Sekali dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun lenyap dari pemandangan. ”Breet…. breet…. breet…. breet….!!!” Gadis baju biru terpekik dan keluar dari kalangan pertempuran. Mukanya merah gelap ketika menyadari bagaimana ujung golok Bergola Wungu telah membuat lebih dari sepuluh robekan pada pakaiannya sehingga gadis itu kini hampir berada dalam keadaan setengah telanjang! ”Manusia binatang!” rutuk gadis baju biru. ”Hari ini aku mengadu nyawa terhadapmu!” Dengan segala kekalapan dia menyerbu ke muka. Pedangnya menderu laksana topan. Bergola Wungu berkelit ke samping. Pedang si gadis hantam batu nisan sehingga terkutung dua! Dia kembali membabat ke arah pinggang. Tapi pada saat itu lengan kiri Bergola Wungu telah menghantam pergelangan tangan kanannya, membuat pedangnya terlepas dan mental jauh. ”Ha…. ha…. hari ini tamatlah riwayatmu sebagai anak Kalingundil!” Golok panjang di tangan Bergola Wungu kembali mebabat kian kemari. Kembali terdengar suara: breet…. breet…. breet….! Dan kini celana biru si gadis yang menjadi sasaran ujung golok. Dalam waktu setengah jurus saja boleh dikatakan gadis itu sudah hampir telanjang. Pakaiannya yang robek-robek besar tiada sanggup menutupi keputihan buah dada, perut, punggung serta pahanya! Dengan andalkan kecepatan gerak bahkan dengan gulingkan diri di tanah anak perempuan Kalingundil ini berusaha untuk selamatkan diri. Namun ujung golok Bergola Wungu benar-benar telah mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin baginya untuk lari, tak mungkin baginya untuk selamatkan nyawa! ”Sreet….!” Ujung rambut gadis itu terbabat putus. ”Sreet….!” Tali celana biru si gadis terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari pinggangnya dan auratnya benar-benar tiada tertutup kini! ”Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!” teriak gadis itu. Bergola Wungu tertawa mengakak. ”Bunuh soal mudah!”, katanya sambil tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis itu. ”tapi apa kau tahu bahwa dulu sebelum membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu memperkosanya?! Ha…. ha…. Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!” Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa si gadis sorongkan batang lehernya ke muka. Tapi gerakan Bergola Wungu lebih cepat lagi. Ujung golok digesernya ke samping. Begitu si gadis terdorong ke muka maka tangan kirinya dengan sigap menyambar rambutsi gadis. Gadis yang hampir tak berdaya itu masih berusaha menendangkan kakinya ke muka. Serangan yang tak berarti itu tidak mengenai sasarannya. Bergola Wungu melemparkan gadis itu ke tanah kemudian menyergapnya dengan ganas. Keduanya bergulung-gulung. Yang satu berusaha untuk mempertahankan kehormatannya, yang satu sengaja untuk menghancurkan kehormatan itu! ”Kawan-kawan!”, teriak Bergola Wungu. ”Jangan diam saja! Gadis ini adalah bagian kita semua! Ayo tunggu apa lagi?!” Serentak dengan itu tiga orang anak buah Bergola Wungu segera menyerbu pula. Seorang gadis, empat laki-laki bergulung-gulung di tanah pekuburan! Menjerit, berteriak, menendang dan menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah sinting kemasukan setan-setan kuburan! 
***
TIGA BELAS 
Pembalasan dendam kesumat memang dahsyat. Apalagi kini disertai dengan dorongan nafsu hewan yang meluap-luap. Keadaan Nilamsuri benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang tangan manusia menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam tua. ”Ha….ha…ha! Tulang belulang kau punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan hukum karma ini!” kata Bergola Wungu. Nilamsuri hantamkan lututnya ke perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu hendak mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali itu tiada terasa oleh manusia berewok itu! ”Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!”, teriak Nilamsuri. ”Kehormatanmu dulu, baru nyawamu!.” Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh tiga anak buahnya yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu, Bergola Wungu mulai melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan Nilamsuri untuk bisa selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya. Namun nasib Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu bayangan putih berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan tahu-tahu keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana patung batu! Nilamsuri yang hanya merasakan sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan pada tubuhnya berhenti dengan mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca itu. Terkejut sekali dan hampir tak percaya dia melihat bagaimana keempat manusia berewok itu masih berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh mereka tegang kaku! Gadis ini bangkit dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat manusia itu? Dia ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada manusia yang telah menolongnya? Manusia yang mempunyai kesaktian luar biasa? Diperhatikannya keempat laki-laki itu. Ternyata mereka tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau mungkin keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan?! Peristiwa yang sangat aneh itu membuat Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya sendiri saat itu. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang tergeletak di atas batu nisan sebuah kuburan. Benda ini adalah sehelai baju dan celana putih. Dan memandang pakaian itu sekaligus mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya. Tanpa perduli lagi siapa pemilik pakaian itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana pakaian itu bisa berada di atas kuburan tersebut si gadis langsung saja melompat, menyambar pakaian itu dan lari ke balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski agak kebesaran sedikit, tapi pakaian itu memberi banyak pertolongan bagi Nilamsuri dan si gadis merasa sangat bersyukur. Dia keluar dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat manusia yang masih berjongkok kaku di seberang sana maka meluaplah amarahnya. Mendidih darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang berkiblat sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. ”Tring!” Sebutir kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang hendak merenggut nyawa keempat manusia berewok itu. Dan benturan batu kerikil ini membuat pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat satu jengkal di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu! Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu dia membentak dan memandang berkeliling. ”Manusia atau setan yang jadi biang kerok jangan sembunyi! Unjukkan diri!” Tak ada yang menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di dekat pohon kamboja kelihatan bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak belukar itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada siapapun kelihatan di belakang sana. Dengan gemas Nilamsuri balikkan tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah empat kepala manusia di hadapannya. Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur senjata itu! ”Kurang ajar betul!”, maki Nilamsuri. ”Jika berani cari urusan, berani unjukkan diri!!” Terdengar suara tawa bergelak. Suara tertawa itu datangnya dari balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan. Untuk kedua kalinya Nilamsuri lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda pohon-pohon bambu. Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang sedang daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini juga tidak kelihatan seorang manusia pun dibalik pohon-pohon bambu itu! Gemas Nilamsuri bukan main. Terdengar lagi suara tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, ”Hanya manusia pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!” Nilamsuri memandang ke atas pohon kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh kelihatan lenyap berkelebat ke utara laksana gaib! Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih lama gadis ini hentakkan kedua kaki dan segera mengejar ke jurusan utara! Sampai beberapa ratus tombak jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum berhasil mengejar orang tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan jejak kakinya sama sekali tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan pengejarannya di tepi sebuah lembah. Di samping rasa geram hatinya juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah manusia itu tadi dan kemanakah lenyapnya? Apakah manusia itu yang telah menolongnya dari perbuatan terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya? Sekiranya betul mengapa lantas kemudiannya orang itu menghalangi ketika dia hendak menebas batang leher keempat manusia berewok itu? Nilamsuri memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti kesunyian. Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini ditemuinya di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan untuk dipakainya oleh manusia aneh yang melarikan diri itu? Nilamsuri memutar tubuhnya hendak kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta tertahan ketika di belakangnya dari balik sebatang pohon waru terdengar suara orang berkata. ”Hendak kembali membuat kepengecutan? Membunuh musuh yang tak berdaya? Percuma tahu ilmu silat tapi tidak tahu tata peradatan silat!” Bukan main geramnya Nilamsuri mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah pohon waru. Tapi lebih cepat lagi gerakannya itu orang yang tadi berkata telah berkelebat laksana bayang-bayang dan lari ke dalam lembah. ”Manusia atau setan! Jangan lari!” teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia mengejar ke dalam lembah. Tapi seperti tadi, begitu dia sampai di dasar lembah maka orang yang dikejarnya lenyap lagi! Dengan hati penasaran gadis ini loncat ke atas sebatang pohon tinggi dan dari sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya orang tadi. Namun ini juga tidak memberikan hasil. Nilamsuri turun kembali. Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas kalau belum berhasil menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak sungai akhirnya gadis ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di tepi sungai ini. Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini datang dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan air liur. Gadis ini langkahkan kaki ke hulu sungai. Belum sampai lima puluh langkah dia berjalan, maka di satu tikungan sungai yang arus airnya lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk ditengah sungai, di atas sebuah batu besar yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk membelakanginya dan rambutnya gondrong, berpakain putih-ptuih. Tak tahu Nilamsuri apa yang dibuat orang ini ditengah sungai ini di atas batu itu. Berat kecurigannya bahwa manusia ini adalah orang yang tadi dikejarnya. Tapi anehnya santarnya bau benda yang terpanggang itu datang dari arah laki-laki di tengah sungai ini! Nilamsuri terus melangkah beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati laki-laki itu, untuk dapat melihat apa yang tengah dilakukannya. Nilamsuri masih belum dapat melihat paras laki-laki berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri saat itu dapat disaksikannya bahwa bau harum yang membuat titik seleranya itu disebabkan oleh seekor ikan besar yang dipanggang oleh laki-laki itu dan kini tengah digerogotinya dengan lahap! Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti sama sekali oleh Nilamsuri ialah bahwa di atas batu itu di mana laki-laki itu duduk atau ditepi sungai sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian untuk membakar ikan yang kini tengah dimakan dengan lahap oleh si rambut gondrong! Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian berserulah dia ke tengah sungai. ”Saudara! Apa kau melihat seseorang lewat sekitar sini?!” Laki-laki di tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan lahapnya terus saja dia makan ikan panggang itu. ”Saudara!”, seru Nilamsuri sekali lagi. Kali ini orang itu palingkan kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak karena tak menyangka kalau si rambut gondrong ini nyatanya adalah seorang pemuda bertampang keren! Meski keren tapi paras itu membayangkan pula paras anak-anak dan lucu! ”Eh…. kau bicara sama aku?” tanya pemuda yang asyik menggerogoti ikan panggang itu. ”Ya! Aku tanya apa kau lihat seseorang lewat di sini?!” kata Nilamsuri pula. ”Laki-laki atau perempuan?” tanya si rambut gondrong. ”Laki-laki….” ”Orangnya sudah tua apa masih muda….?” ”Kurang jelas. Cuma dia berpakaian putih-putih….” Si rambut gondrong melemparkan kerangka ikan yang habis dimakannya ke dalam sungai. Kemudian dipandanginya pakaiannya sendiri. ”Eh, aku juga berpakaian putih­ putih….,” katanya. ”Kalau begitu pastilah aku yang kau cari!”. Pemuda ini garuk rambutnya dan tertawa. Sikap dan ucapan pemuda ini agak mengesalkan Nilamsuri. Hatinya bimbang untuk memastikan bahwa orang yang dikejarnya adalah pemuda itu. Karena tampangnya meski keren tapi seperti kanak-kanak. ”Eh, kenapa diam?!” tanya pemuda itu. ”Aku tahu…. aku tahu….,” katanya. ”Tahu apa?” ”Aku tahu kau sampai ke sini karena mencium harumnya bau ikan panggangku! Lalu kau berpura-pura tanya seseorang! Kenapa musti pura-pura dan malu-malu? Kalau doyan ikan panggang silahkan datang kemari. Aku masih ada seekor lagi!” ”Saudara! Jangan bicara seenaknya!” ”Seenaknya bagaimana?!” ”Aku betul-betul mencari seseorang! Dan aku tidak butuh sama ikan panggangmu!” ”Oh…. begitu….?”. Pemuda itu manggut-manggut. Lalu katanya, ”Kalau aku tahu tentang orang yang kau cari itu, kau mau persen aku apa?” ”Apa saja yang kau maui….”, jawab Nilamsuri tanpa pikir panjang karena dia betul­betul ingin lekas-lekas dapat mengejar orang yang dicarinya tadi. Si pemuda tertawa mengekeh dan tercekik serta batuk-batuk ketika ikan panggang yang dimakannya menyekat tenggorokannya. ”Kalau begitu….,” kata pemuda rambut gondrong itu dengan masih tertawa serta batuk-batuk, ”aku mau dirimu saja saudari.” ”Pemuda ceriwis! Kutampar kau punya mulut baru rasa!” ”Lho…,” pemuda itu melongo macam orang bodoh. ”Kenapa kau jadi marah?!” tanyanya. Benar-benar kesal jadinya Nilamsuri. Dikatupkannya mulutnya rapat-rapat menahan rasa kesal itu. ”Eh, sekarang kau tutup mulut. Lucu! Kau toh belum jawab pertanyaanku, saudari. Aku minta dirimu. Boleh….?” Rasa kesal di diri Nilamsuri kini berubah menjadi amarah yang meluap. Parasnya kelihatan merah. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan pemuda itu, di atas batu besar. ”Pemuda edan, kau mau mampus?!” Si gondrong garuk-garuk kepala. “Aku tidak mengerti saudari, aku benar-benar tidak mengerti. Menapa kau jadi marah-marah begini samaku?!” ”Bicaramu terlalu kurang ajar, tahu?!” Pemuda itu goleng kepala dan angkat bahu. Lalu tertawa sambil memandangi paras Nilamsuri. ”Kau tahu saudari…,” katanya, ”kalau kau marah-marah dan membentak macam tadi hem…. parasmu tambah cantik!” ”Plak!” Tamparan tangan kiri Nilamsuri mendarat di pipi si pemuda. Pemuda itu meringis kesakitan. Penyesalan timbul di hati Nilamsuri melihat bagaimana pipi yang ditamparnya itu kelihatan menjadi sangat merah. “Kau jahat sekali!,” kata si pemuda pula. ”Aku tanya sama kau, kau mau persen aku apa kalau aku tahu orang yang kau cari itu. Dan kau jawab apa saja mauku! Lantas aku bilang mau dirimu! Apa aku salah….?!” Nilamsuri menggigit bibirnya. Dia tahu ucapan pemuda itu betul. Dia tahu kalau tadi dia telah ketelepasan bicara. “Saudara…,” kata Nilamsuri. Tapi si pemuda memotong. “Sudahlah. Aku tak sudi bicara sama kau. Orang mau menolong dikasih tamparan. Baru mau menolong. Kalau sudah ditolong aku akan dapat tendangan!” Dan Nilamsuri menggigit bibir lagi. Tanpa berkata apa-apa dia melompat ke tepi sungai kembali. “Hai saudari! Tunggu dulu!”, seru si pemuda. Nilamsuri balikkan badan. ”Sebenarnya ada apa kau mencari laki-laki itu?!” ”Itu urusanku sendiri!”, jawab Nilamsuri. ”Laki-laki itu kekasihmu agaknya?” ”Kau mau tamparan sekali lagi?!” Si pemuda tertawa. ”Dunia serba aneh,” katanya seakan-akan pada diri sendiri. “Mustinya laki-laki yang cari perempuan. Ini perempuan yang cari laki-laki….!” Dan digaruknya kepalanya. Dalam pikiran Nilamsuri terbit prasangka bahwa tentunya pemuda itu seorang yang berotak miring. Karenanya tanpa ambil perduli lagi dia segera tinggalkan tempat itu. ”Hai saudari! Kau tidak mau ikan panggang ini?!” Nilamsuri terus saja menyusuri sungai menuju ke hulu. Dia hampir keluar dari kelokan sungai ketika didengarnya lagi suara pemuda itu berseru. Jarak antara mereka saat itu sudah puluhan tombak. Kalau saja Nilamsuri mau berpikir sejenak dia akan segera tahu kalau pemuda itu bukan berteriak biasa tapi dengan menggunakan tenaga dalam. Karena dalam jarak sejauh itu bagaimanapun kerasnya seseorang berteriak namun apa yang diucapkannya tak akan terdengar dengan jelas. ”Saudari! Jangan pergi ke sana! Saudari, kembalilah!” Nilamsuri melangkah terus. ”Saudari! Hai! Disebelah sana banyak buayanya! Kembalilah!” Tapi Nilamsuri jalan terus. Si pemuda goleng-goleng kepala lalu turun ke air. Nyatanya sungai itu dalamnya hanya sebatas lutut. Begitu sampai di seberang si pemuda cepat lari menyusul Nilamsuri. “Saudari kau mau kemana?!”, tanya pemuda itu seraya pegang bahu Nilamsuri. “Kau jangan kurang ajar, saudara!” bentak Nilamsuri karena marah sekali bahunya dipegang seenaknya. “Kau mau kemana?” “Perduli apa kau?!” ”Jangan kesana saudari. Banyak buaya lagi berjemur….”. dan belum habis pemuda ini bicara tahu-tahu dua ekor buaya besar menyeruak dari belakang semak belukar di tepi sungai. ”Aku bilang apa! Celaka….! Saudari larilah!” Pemuda itu melompat ke belakang. Sementar itu kedua ekor buaya dengan cepat meluncur menyerang Nilamsuri. Gadis itu cabut pedangnya. Sekali menebas puntunglah sebagian dari mulut buaya yang hendak menerkamnya. Binatang ini menggelepar-gelepar di pasir. Buaya kedua mengalami nasib yang sama. Bau anyirnya darah yang masuk ke dalam air sungai mengundang munculnya beberapa ekor buaya lagi. Binatang-binatang itu menyelusur ke tepi sungai dan berlomba menyergap Nilamsuri. Tapi si gadis dengan permainan pedangnya yang mengagumkan berhasil menewaskan semua buaya itu! Si pemuda geleng-geleng kepala dan leletkan lidah. ”Hebat! Hebat sekali kau saudari!”, katanya memuji. ”Kau tentu seorang jago silat! Sejak lama aku ingin belajar silat! Bersediakah kau mengambil aku jadi murid?!” ”Jangan ngaco!”, bentak Nilamsuri. ”Aku tidak ngaco. Aku bicara sungguhan….”. ”Buka lagi mulutmu!”, bentak Nilamsuri. Pedangnya masih merah oleh darah buaya­buaya tadi siap ditetakkannya ke kepala pemuda itu. Tentu saja pemuda ini cepat-cepat melompat ke samping. ”Saudari, aku betul-betul ingin belajar silat padamu….” Nilamsuri pencongkan hidung. ”Tidak malu merengek macam anak kecil!”, ejeknya. Si pemuda agaknya jadi kesal, lalu menyahuti. ”Kau sendiri tidak malu pakai pakaian laki-laki!” Memang saat itu Nilamsuri mengenakan baju dan celana laki-laki berwarna putih yakni pakaian yang tadi ditemuinya di atas sebuah kuburan. Dan parasnya menjadi kemerahan. Cepat-cepat dia berlalu dari situ. ”Saudari…. Tunggu….!” ”Apalagi?!” ”Kalau kau tak mau ambil aku jadi muridmu, tak apa. Tapi ada satu permintaanku yang lain…. Boleh aku tahu namamu?” ”Manusia macammu tak perlu tahu namaku!” ”Ah saudari, kau sombong betul. Beri tahu namamu, nanti kuberi tahu namaku….” ”Siapa sudi tahu namamu segala?!” ”Namaku Wiro Sableng saudari…. Harap kau mau kasih tahu kau punya nama….” ”Wiro Sableng?” ujar Nilamsuri. Pemuda itu mengangguk. ”Pantas,” kata Nilamsuri pula. ”Pantas kenapa?” tanya Wiro. ”Pantas lagakmu seperti orang edan!” dan habis berkata begitu Nilamsuri segera berlalu. 
***
EMPAT BELAS 
Karena merasa sia-sia untuk meneruskan pencariannya maka Nilamsuri akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke pekuburan. Sebenarnya, gadis ini telah bertemu dengan orang yang telah menolongnya sewaktu dikeroyok oleh Bergola Wungu dan anak­anak buahnya. Cuma Nilamsuri tidak tahu sama sekali kalau orang yang ditemuinya itulah tuan penolongnya. Dan siapa adanya orang yang menolong Nilamsuri tiada lain dari pada Wiro Sableng itu pemuda yang baru turun gunung yang sikap serta lagaknya begitu lucu sehingga setiap orang akan menduga bahwa dia tentunya seorang yang kurang waras. Ketika Nilamsuri kembali ke pekuburan itu, yang ditemuinya bukanlah Bergola Wungu dan ketiga orang anak buahnya melainkan Wiro Sableng! Pemuda ini tengah berlutut menepekur di hadapan sebuah makam yang tanahnya hampir rata dan penuh ditumbuhi rumptu-rumput liar serta kotor oleh daun-daun kering. ”Kemana perginya kunyuk-kunyuk berewok itu?” pikir Nilamsuri. Penasaran sekali dia jadinya. Sudah tak berhasil mengejar manusia yang diburunya kini empat musuh besarnya telah lenyap sepeninggal pengejarannya. Dan apa pula urusan pemuda berotak miring yang mengaku bernama Wiro Sableng itu di pekuburan ini? Makam siapa yang tengah ditepekurinya itu? Kemudian Nilamsuri melilhat Wiro berdiri dari berlututnya. Dan ketika dia memalingkan muka, Nilam melihat pada paras pemuda itu jelas terbayang rasa sedih yang mendalam. Atas banyak kejadian aneh yang tengah dialaminya sampai saat itu diam-diam Nilamsuri ingin sekali tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong ini. Dibukanya pembicaraan denga bertanya, ”Saudara, waktu mula-mula kau datang ke sini apa ada melihat empat orang laki-laki berewok?” Bayangan kesedihan pada paras Wiro Sableng segera sirna. Dan pemuda ini tersenyum. ”Kau lucu sekali saudari,” kata Wiro. ”Pertama kali jumpa, ditepi sungai tadi kau tanya satu orang laki-laki. Kalau jumpa ketiga kali nanti, kira-kira berapa orang laki-laki yang bakal kau tanyai padaku?!” Mau tak mau paras Nilamsuri menjadi merah oleh ucapan Wiro Sableng itu. ”Saudara,” katanya, ”Kau siapakah sebenarnya?” ”Siapa aku bukankah aku sudah kasih tahu tadi di hulu sungai? Kenapa tanya lagi? Kau sendiri tidak mau kasih tahu nama.” Nilamsuri terdiam. Kemudian diputarnya pembicaraan dengan bertanya, ”Makam siapa itu?” ”Kau bisa baca sendiri pada batu nisan….” jawabnya. Penuh rasa ingin tahu Nilamsuri melangkah dan mendekati nisan makam tua itu. Nisan itu terbuat dari batu. Barisan kalimat yang terukir pada batu yang sudah retak-retak itu tak jelas lagi. Tapi Nilam masih bisa membacanya. Dan pada batu nisan itu tertulis: 

”DISINI TELAH DIMAKAMKAN SUCI BANTARI” 

Melihat Wiro yang masih muda, Nilamsuri tahu kalau orang yang bernama Suci Bantari itu bukanlah isteri Wiro Sableng. ”Ibumu….?”, tanyanya. Pemuda itu mengangguk perlahan. Dia teringat pada keterangan Eyang Sinto Gendeng ketika dia masih digembleng di puncak Gunung Gede dulu. Menurut perempuan sakti itu dia telah dipelihara sejak masih orok. Kini sesudah belasan tahun, sesudah menjadi seorang dewasa, sesudah sekian lama tiada mengenal kasih sayang ayah bunda, maka yang ditemuinya hanyalah dua onggok makam yang tiada terawat sepantasnya. Makam ayah dan makam ibunya. ”Kalau begitu kau adalah penduduk sini….?” Wiro Sableng mengangguk lagi. ”Aku tak pernah mengenal mereka.” ”Maksudmu ayah dan ibumu?” ”Ya… Keduanya menemui ajal karena kebiadaban seseorang….” ”Dibunuh….?” Wiro Sableng mengangguk. Matanya yang biasanya bersinar lucu itu kini kelihatan kuyu dan kedua matanya itu memandang pada bangkai kuda yang lehernya hampir puntung terbabat pedang Nilamsuri sewaktu terjadi pertempuran antara gadis itu dengan Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. Wiro menggeram dalam hati. Nasib ayahnya tidak lebih baik dari kuda itu! Nilamsuri sementara itu tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Tadipun Bergola Wungu mengatakan bahwa orang tuanya mati dibunuh, dibunuh ayahnya Kalingundil, ayahnya sendiri. Apakah orang tua pemuda ini ayahnya juga yang telah membunuhnya? Kalau benar maka pastilah pemuda ini datang untuk mencari urusan. Untuk menuntut balas sebagaimana kemunculan Bergola Wungu dan anak buahnya. Jadi manusia ini tak lebih dari seorang musuh pula baginya! Tapi untuk meyakinkan maka bertanyalah Nilamsuri. ”Siapakah manusianya yang membunuh kedua orang tuamu, Saudara?” “Ah panjang kisahnya. Kalaupun kuberi tahu kau tak akan kenal mungkin. Dan lagi semua itu bukan urusanmu….” ”Apakah pembunuh itu bernama Kalingundil?” memancing Nilamsuri dengan hati berdebar. Dadanya lega ketika dilihatnya Wiro Sableng menggeleng. ”Kau sendiri perlu apa datang ke pekuburan ini?” bertanya Wiro. “Sama dengan kau. Untuk menyambangi makam ibuku….” Dan Nilamsuri menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya ketika dia tengah mencabuti rumput­rumput di makam ibunya. Tapi tidak diterangkannya mengapa sampai Bergola Wungu hendak merusak kehormatannya dan hendak membunuhnya! “Sungguh aneh cerita tentang manusia yang telah menolongmu itu saudari,” kata Wiro Sableng pula dengan menahan rasa gelinya. “Pastilah dia seorang manusia sakti luar biasa. Mungkin juga dia seorang malaikat….!” Nilamsuri hanya termangu. Tapi diam-diam matanya melirik pada Wiro Sableng. Kalau tadi memang dia kagum akan paras pemuda yang keren ini tapi karena bicaranya yang usil serta lucu tapi kurang ajar itu, maka kini bicara secara baik-baik nyatanya pemuda itu bukanlah seorang yang kurang ingatan. ”Kalau sekiranya kau menemui pembunuh orang tuamu itu,” bertanya Nilamsuri, ”apakah kau juga akan membunuhnya?” Wiro Sableng tertawa, ”Itu tak perlu musti dijelaskan lagi saudari,” sahutnya. Nilamsuri ingat pada nasib buruknya yang tadi hendak menimpanya. Lalu berkatalah perempuan ini, ”Dunia ini penuh dengan ketidakadilan!” ”Ketidak adilan macam mana maksudmu saudari?” tanya Wiro Sableng pula. Nilamsuri hendak membuka mulutnya. Tapi cepat-cepat mulut itu dikatupkannya kembali. Hampir saja terluncur rahasia mengapa Bergola Wungu hendak membunuhnya. Gadis ini kemudian hanya gelengkan kepala. ”Nanti kau bakal mengalami sendiri mungkin,” katanya. ”Sekurang-kurangnya melihat dengan nyata ketidakadilan berlangsung di depan matamu.” Wiro Sableng tertawa. ”Kenapa kau tertawa?” tanya Nilamsuri karena merasa diejek. ”Berapa umurmu, saudari….?” Dalam hatinya gadis itu berpikir si pemuda hendak mulai lagi dengan keusilannya. Wiro masih juga tertawa lalu berkata, ”Kau masih sangat muda tapi bicaramu sudah seperti orang tua….” Mau tak mau Nilamsuri tertawa juga. Tapi tertawa cemberut. Diam-diam hatinya yang tadi tertarik kini semakin senang pada pemuda itu. Tiba-tiba kedua orang itu saling pandang. Dikejauhan terdengar derap suara kaki kuda. ”Ah…. hanya suara kaki-kaki kuda, kenapa terkejut?” tanya Wiro Sableng meskipun hatinya sendiri terasa tidak enak. ”Mungkin sekali, itu adalah manusia-manusia laknat yang tadi mengeroyokku!” kata Nilamsuri. ”Kalau begitu mari cepat-cepat menyingkir!” Si gadis enam belas tahun gelengkan kepala. ”Lebih baik mati daripada lari….!” Wiro Sableng menggerendeng. ”Keberanianmu tidak pakai pikiran saudari!”, katanya. Wiro Sableng melompat ke muka dan menotok bahu kanan Nilamsuri. Gadis itu rebah dalam keadaan kaku tapi sebelum jatuh ke tanah Wiro sudah membopongnya. Segera gadis itu dilarikannya namun kasip. Empat penunggang kuda sudah mengurungnya. Keempatnya tiada lain daripada Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. ”Ha….ha…, ruapanya ada juga culik kesiangan yang inginkan mangsa kita kawan­kawan!” kata Bergola Wungu. ”Tikus busuk!”, kata Ketut Ireng. ”Turunkan gadis itu!” ”Masih ingusan sudah tahu perempuan!” memaki Pitala Kuning, anak buah Bergola Wungu yang bermata jereng. ”Ayo turunkan gadis itu cepat!” Perlahan-lahan Wiro Sableng menurunkan tubuh Nilamsuri. Dipandanginya keempat manusia berewok itu seketika. ”Saudara-saudara kita tidak saling kenal satu sama lain, mengapa bicara memaki begitu?!” ”Bocah geblek! Terima ini!”, bentak Ketut Ireng pergunakan kaki kanannya untuk menendang dada pemuda itu. ”Buuk”!! Kaki kanan Ketut Ireng mendarat di dada Wiro Sableng. Tidak serambutpun tubuh pendekar dari Gunung Gede ini bergerak. Sebaliknya dari mulut Ketut Ireng terdengar lolong kesakitan setinggi langit! Tendangan yang dilancarkan Ketut Ireng hanya menggunakan tenaga kasar atau tenaga luar karena dia sama sekali tidak menduga siapa adanya pemuda berambut gondrong itu. Dan akibatnya dari tendangan itu menimpa dirinya sendiri. Kaki kanannya sampai ke betis kelihatan menjadi gembung dan kehitaman. Ketut Ireng menelungkup di atas punggung kuda dan melolong kesakitan. Kaget Bergola Wungu dan dua orang lainnya bukan olah-olah. ”Sreet”!! Pemimpin Empat Berewok dari Goa Sanggreng ini segera cabut golok panjangnya. Seta Inging cabut senjatanya yang berupa kelewang sedang Pitala Kuning keluarkan ruyung berdurinya! ”Bocah haram jadah! Siapa kau!?!”, bentak Bergola Wungu seraya melintangkan golok di depan dada. ”Aku peringatkan pada kalian,” sahut Wiro Sableng dengan suara datar sedang mulutnya menyunggingkan seringai, ”aku tidak ada permusuhan dengan kalian. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dengan aman!” ”Keparat betul, ” kertak Pitala Kuning. ”Apa kau tidak tahu berhadapan dengan siapa saat ini?!” ”Aku tidak perduli siapa kalian! Tinggalkan tempat ini kalau tidak mau susah!” ”Sebaiknya kau berlutut dan minta ampun dihadapan kami, bocah gila!” ”Aku bilang tinggalkan tempat ini, apa kalian tuli semua masih pentang bacot?!” Mendidihlah darah di kepala Bergola Wungu. 
***
LIMA BELAS 
Sebagai pendekar yang baru turun gunung dan cemplungkan diri dalam dunia persilatan tentu saja Wiro Sableng buta pengalaman dalam pertempuran. Tapi selama tujuh belas tahun digembleng oleh Eyang Sinto Gendeng maka serangan-serangan yang dahsyat itu sama sekali tidak membuat pendekar muda ini menjadi gugup. Eyang Sinto Gendeng talah menggemblengnya bukan hanya sekedar memberi pelajaran ilmu silat luar dalam dan melatihnya belaka, tapi latihan-latihan perempuan sakti itu tak ada bedanya dengan pertempuran dahsyat yang benar-benar bisa mencelakakan Wiro sendiri. Ketika tiga serangan itu datang ke arahnya, Wiro Sableng segera sambar pinggang Nilamsuri. Secepat kilat kemudian dia jatuhkan diri dan sambil berteriak hebat pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke kaki seekor kuda lawan yang hampir menendang batok kepala Nilamsuri. Kuda itu meringkik keras dan rubuh karena kakinya itu hancur. Penunggangnya yaitu si mata jereng Pitala Kuning terlempar ke tanah tapi dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh berhasil jatuh dengan kedua kaki menginjak tanah. Sementara golok panjang Bergola Wungu dan kelewang Seta Inging beradu keras di udara memercikkan bunga api maka sambil bergulingan di tanah, Wiro Sableng tak lupa hantamkan kaki kiri kanannya pada kaki-kaki kuda kedua manusia berewok itu. Seperti dengan kuda Pitala Kuning tadi maka kedua binatang inipun melemparkan Bergola Wungu dan Seta Inging. Wiro Sableng menyandarkan Nilamsuri pada sebatang pohon dan cepat bersiap-siap ketika dilihatnya tiga manusia berewok itu mendatanginya. Akan Ketut Ireng tak masuk hitungan karena saat itu dia duduk menjelepok di tanah merintih karena kaki kanannya yang hitam gembung dan sakitnya bukan main! ”Aku peringatkan pada kalian untuk penghabisan kali!” kata Wiro Sableng, ”Tinggalkan tempat ini!” ”Jangan omong besar bangsat ingusan!” bentak Bergola Wungu dengan sangat geram. ”Sebut kau punya nama agar golokku ini tidak penasaran menebas batang lehermu!” Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul lalu garuk-garuk kepala dan tertawa gelak­gelak. Kemudian menyanyilah murid Eyang Sinto Gendng ini. Anak kecil bodoh namanya biang bodoh, Tua bangka bodoh namanya biang bodoh, Monyet ingin jadi manusia, Kenapa manusia piara berewok, Apa mau jadi monyet…. Tolol, bodoh, bego, geblek! Marahlah Bergola Wungu mendengar tembang yang kata-katanya ditujukan kepadanya sebagai ejekan itu. ”Bocah gila!” bentaknya, ” terima ujung golokku ini!” Dengan pergunakan jurus ”burung bangau mematuk kodok,” Bergola Wungu tusukkan golok panjangnya ke arah tenggorokan Wiro Sableng. Pendekar Gunung Gede ini segera meringankan badan. Ujung golok hanya lewat setengah jengkal disamping lehernya. Wiro tertawa mengejek. Panas pemimpin Empat Berewok dari Gua Sanggreng ini tidak terkirakan. Baru hari ini ilmu golok yang sangat dibanggakannya itu dikelit dengan demikian mudah bahkan sambil tertawa mengejek dan menantang! Dengan kertakkan rahang Bergola Wungu balikkan mata pedang dan babatkan senjata itu. Kali ini maksudnya untuk menebas batang leher si pemuda. Kedua kaki Wiro Sableng bergerak sedikit, tangan kirinya menepis lengan yang memegang golok sedang telapak tangan kanan dihantamkan ke dada Bergola Wungu! Kepala rampok Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu mengeluarkan jerit tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang hampir jatuh duduk di tanah. Ketika dia memandang ke dadanya yang dihantam telapak tangan lawan, parasnya dengan serta merta menjadi pucat! Baju hitamnya robek hangus. Pada kulit dada yang tadi kena dihantam terlukis memutih telapak tangan dan jari-jari tangan Wiro Sableng! Pada tengah-tengah lukisan itu tertera angka hitam 212. Dan sakitnya dada yang bertanda telapak tangan kanan berikut angka 212 itu bukan olah-olah. Meski Bergola Wungu sudah alirkan seluruh tenaga dalamnya, rasa sakit itu hanya sedikit saja berhasil dikuranginya! Pitala Kuning dan Seta Inging tidak kurang pula pucat tampang-tampang mereka melihat apa yang terjadi dengan pemimpin mereka. Tidak dinyana pemuda belia berparas macam anak-anak itu lihay sekali. Apa arti angka 212 yang membekas hitam di kulit Bergola Wungu itu? Pukulan ”telapak 212” yang dilancarkan oleh Wiro Sableng tadi itu hanya mempergunakan seperlima bagian saja dari tenaga dalamnya! Kalau saja pendekar muda ini pergunakan setengah saja bagian dari seluruh tenaga dalamnya maka pastilah Bergola Wungu akan meregang nyawa dengan dada remuk! Luapan amarah Bergola Wungu membuat pemimpin rampok yang malang melintang di sungai Cimandilu ini lupakan kenyataan bahwa pemuda yang dicapnya sebagai ”pemuda gila”, ”bocah ingusan” itu sesungguhnya bukanlah tandingannya! Bergola Wungu majukan kaki kanan dan surutkan kaki kiri. Golok panjang dipegang lurus ke muka. ”Bocah sedeng! Kau telah bikin cacad dadaku! Aku Bergola Wungu akan berbaik hati untuk membalasnya! Kau tahu jurus apa yang bakal aku lancarakan ini?!” Pendekar kapak maut naga geni menjawab dengan tertawa bergelak sambil garuk­garuk kepalanya yang berambut gondrong. ”Lucu!” kata Wiro Sableng pula. ”Bertempur ya bertempur. Kenapa musti pakai pidato segala!” Bergola Wungu merasa tubuhnya seperti terbakar oleh kobaran amarahnya yang menggelegak. ”Kau boleh tertawa dan mengejek sepuas hatimu bocah gila! Bila golokku berkiblat dalam jurus: merobek langit, kau akan tahu rasa nanti!” Adapun jurus ilmu golok yang disebut ”merobek langit” itu adalah jurus yang telah dipergunakan oleh Bergola Wungu untuk ”menelanjangi” tubuh Nilamsuri yaitu dengan merobek-robek pakaian gadis itu dengan ujung goloknya. ”Jurus merobek langit memang hebat kedengarannya!” kata Wiro Sableng. ”Tapi coba buktikan. Jangan-jangan cuma jurus kosong belaka!” Tanpa banyak bicara Bergola Wungu segera putar goloknya dengan sebat. Angin menderu dahsyat keluar dari sambaran golok. Demikian hebatnya seakan-akan golok itu berubah menjadi ratusan banyaknya! Dalam sekejapan mata saja tubuh Wiro Sableng sudah terbungkus gulungan golok! Yang anehnya, diserang hebat demikian rupa tidak serambutpun Wiro Sableng bergerak. Dan lebih aneh lagi adalah karena golok Bergola Wungu sama sekali tidak dapat mendekati bagian tubuh manapun dari Wiro Sableng! Manusia berewok ini mencak-mencak sendirian macam monyet terbakar ekor! Seta Inging dan Pitala Kuning yang saksikan kejadian itu mau tak mau jadi leletkan lidah! Demikianlah hebatnya ilmu ”benteng topan melanda samudra” yang dikeluarkan Wiro Sableng sehingga setiap sambaran tusukan dan sabetan golok sama sekali tidak dapat mengenai tubuh Wiro Sableng. Tubuh golok dilanda terus-terusan oleh gulungan angin dahsyat yang membungkus tubuh murid Sinto Gendeng itu! Bergola Wungu membentak keras dan percepat permainan goloknya. Tapi sampai dua puluh jurus dimuka tetap saja goloknya tak dapat membentur sasarannya di tubuh Wiro! Pakaian dan tubuhnya sudah mandi keringat. Pegangan pada hulu golok sudah licin. Keletihan membuat gerakannya mulai menjadi lamban! ”Seta Inging! Pitala Kuning! Jangan jadi patung! Bantu aku!” teriak Bergola Wungu dengan sangat beringas. Mendengar perintah ini Pitala Kuning dan Seta Inging segera menyerbu dengan senjata di tangan. Sebatang golok panjang, sebuah ruyung berduri dan sebuah kelewang dengan dahsyatnya menyambar-nyambar ke tubuh Wiro Sableng. Tapi ilmu ”benteng topan melanda samudera” membuat ketiga senjata itu tak ada arti sama sekali. Wiro Sableng tertawa bergelak. Tawa gelak yang disertai tenaga dalam ini menambah hebat perbawa ilmu ”benteng topan melanda samudera!” Sepuluh jurus berlalu. ”Ciaatt!!” tiba tiba pendekar kapak maut Naga Geni membentak keras. Tiga manusia berewok keluarkan seruan tertahan dan lompat dari kalangan pertempuran. Mata mereka melotot besar memandang ke tangan Wiro Sableng yang saat itu telah merampas dan menggenggam senjata mereka!! Ketut Ireng yang duduk menjelepok merintih kesakitan, juga tak ketinggalan terbeliak dan terlongong-longong! Nama Empat Berewok dari Goa Sanggreng bukan nama baru dalam dunia persilatan pada masa itu mereka terkenal sebagai komplotan rampok yang berilmu tinggi dan ditakuti di sepanjang sungai Cimandilu. Terutama pemimpin mereka Bergola Wungu diakui kehebatan permainan goloknya oleh kalangan persilatan! Mereka tahu, kalau pemuda itu inginkan nyawa mau mencelakakan mereka maka sudah sejak tadi hal itu bisa dilakukannya! ”Kalau hari ini kami diberi sedikit pelajaran,” kata Bergola Wungu dengan suara bergetar, ”maka ketahuilah bahwa kami tak akan melupakan kejadian ini. Suatu hari kami akan datang untuk meneruskna apa yang terjadi hari ini!” Wiro Sableng tertawa bergelak, ”Bagus, bagus! Kau masih bisa pidato huh!! Ini terima kembali senjata kalian!” Sekali tangan kanan Wiro Sableng bergerak maka ketiga senjata lawan yang tadi dirampasnya kini melesat ke arah ketiga orang itu masing-masing pada pemiliknya, Bergola Wungu menangkap hulu golok, Seta Inging menangkap gagang kelewang sedang Pitala Kuning menyambuti tangkai ruyung berdurinya. Tanpa banyak bicara ketiga orang itu dengan membawa kawan mereka yang menderita sakit pada kakinya, segera hendak angkat kaki. Tapi sebelum mereka berlalu Wiro Sableng berkata: ”Satu hal kalian harus ingat baik-baik manusia-manusia berewok. Jika kalian berani lagi ganggu ini gadis, berarti kalian ingin cepat-cepat masuk liang kubur!” 
***
ENAM BELAS 
Begitu Empat Berewok dari Goa Sanggreng lenyap dikejauhan maka Wiro Sableng segera lepaskan totokan di leher Nilamsuri. Gadis ini memandang berkeliling dengan terheran-heran. Dia seperti orang yang baru bangun dari mimpi. Tapi jelas dilihatnya bekas­ bekas pertempuran di sekelilingnya. ”Apa yang terjadi?” bertanya gadis itu. Wiro tertawa. ”Tak satupun,” jawabnya. ”Aku tak percaya. Tadi kudengar suara derap kaki kuda menuju ke sini….” ”Ah, kau ini ada-ada saja. Aku tak dengar suara apa-apa….” Nilamsuri berpikir-pikir dan mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah. Matanya memandang lekat-lekat pada Wiro Sableng. ”Tadi…. kau melompatiku dan…,” gadis ini raba urat besar di pangkal lehernya. ”Ya…. kau menotok urat besar di leherku ini?” Habis berkata demikian Nilamsuri segera cabut pedang! ”Apa yang kau telah perbuat terhadap diriku?” tanyanya membentak. Murid Sinto Gendeng memaki dalam hati, ”Sialan! Sudah ditolong malah menuduh yang bukan-bukan!” Tapi di hadapan si gadis itu pemuda itu masih sunggingkan senyum. ”Kuharap kau jangan punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudari….” ”Lalu perlu apa kau menotok aku?!” Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia sebenarnya. Karena itu dia menjawab dusta. ”Kau ingat bagaimana kau begitu kalap untuk bertempur melawan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu?!” ”Ya, lalu?!” ”Dengar saudari, aku hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu kau tak bakal sanggup menghadapi mereka, aku lantas totok kau punya urat besar lalu sembunyi dibalik rumpun bambu. Ketika mereka pergi kubawa kau kembali ke sini dan kulepaskan totokan di lehermu.” ”Aku tak percaya….!” kata Nilamsuri. ”Aku memang tidak suruh kau percaya untuk mempercayainya,” menyahuti Wiro Sableng. ”Kai ini siapa sebenarnya?!” ”Heh…,” Wiro Sableng hela nafas panjang. ”Bukankah aku sudah kasih tahu nama? Malah kau sendiri masih rahasiakan kau punya nama!” Nilamsuri dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya untuk menjajal si pemuda. ”Baik,” katanya, ”jika kau tidak mau kasih keterangan, biar pedangku ini yang memintanya!” Habis berkata demikian maka gadis ini segera kirimkan satu tusukan hebat ke dada Wiro Sableng! Wiro terkejut dan gerabak gerubuk lompat kesamping. ”Saudari! Apa-apaan ini? Kenapa kau serang aku?!” Sebagai jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu kian kemari membuat Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan dengan cepat. ”Sekarang kau tak bisa sembunyikan diri lagi saudara!” kata Nilamsuri. ”Terima jurus elang menyambar burung dara ini!” Pedang di tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke bahu Wiro. Ketika pemuda ini berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk ke rusuk laksana patukan burung elang! Wiro lambaikan tangan kiri, angin keras membentur badan pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya! ”Saudari!” seru Wiro Sableng, ”sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa lagi!” Habis berkata demikian pemuda ini melompat ke muka, mencuil dagu si gadis lalu berkelebat. ”Pemuda kurang ajar!” maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan sekuat tenaga. Tapi Wiro Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya suara tertawanya yang masih sempat terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu. Parasnya yang cantik kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis sekali! Tapi kini dia sudah tahu bahwa pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak miring. Sama sekali tidak buta dalam ilmu silat! Tadi dia telah menyerang dengan jurus-jurus ilmu pedangnya yang lihay dan si pemuda berhasil mengelakkan bahkan memukul badan pedang dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin keras! Meski hatinya marah sekali dengan keceriwisan pemuda itu tapi rasa senang dan kagumnya tak dapat disembunyikannya. Sekelumit senyum memberkas di bibirnya ketika dia mengusap dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng.
*** 
Kedai itu sepi saja. Angin malam bertiup dingin dari lembah. Wiro Sableng masuk ke dalam seenaknya dan sambil bersiul-siul. Orang tua pemilik kedai menyambuti dengan muka pucat cemas. ”Orang muda,” katanya, ”sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini!” ”Memang kenapa?” tanyanya. ”Sebentar lagi mungkin empat manusia berewok itu akan kembali ke sini….” ”Siapa takutkan mereka!” ujar Wiro. ”Tapi anak muda, kau mungkin belum tahu siapa mereka itu.” ”Perduli amat siapa mereka,” kata Wiro pula sambil duduk di kursi. Dan pemilik kedai itu berkata lagi, ”Mereka adalah rampok-rampok yang ditakuti di sungai Cimandilu! Mereka adalah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!” ”Biar mereka adalah Empat Setan dari Neraka, aku tetap tak perduli!” Pemilik kedai jadi terdiam. Siang tadi dia memang telah menyaksikan bagaimana pemuda itu menyumpal mulut Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan pisang. Maka bertanyalah dia, ”Orang muda, kau ini siapa sebenarnya dan datang dari mana?” Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini mengingatkannya pada dagu Nilamsuri yang dicuilnya dan pemuda ini senyum-senyum sendiri. Si orang tua diam-diam mulai meragukan apakah anak muda ini berotak sehat! ”Bapak sudah lama tinggal di sini?” tanya Wiro. ”Sejak masih orok….” ”Hem…. kalau begitu tentu kenal dengna nama Ranaweleng….” ”Oh tentu… tentu sekali. Beliau adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma sayang….” ”Sayang kenapa….?” Orang tua itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti mau menembusi kegelapan malam, seperti tengah mengenangkan sesuatu. ”Beliau sudah meninggal…,” katanya kemudian menambahkan. Wiro Sableng menelan ludahnya. ”Bapak tahu siapa yang membunuhnya….?” Pertanyaan ini membuat si orang tua memandang lekat-lekat pada paras Wiro Sableng. ”Semua orang tahu….,” katanya. Kemudian dituturkannya peristiwa kematian Ranaweleng dan Suci Bantari sekitar tujuh belas tahun yang lewat. Kisah ini sudah didengar sejelasnya oleh Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng. ”Ada satu keanehan dalam peristiwa tujuh belas tahun yang lalu itu,” kata si pemilik kedai. ”Keanehan bagaimana?” tanya Wiro ingin tahu. ”Waktu itu Mahesa Birawa dan anak-anak buahnya membakar rumah mendiang Ranaweleng. Dalam kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar suara tangisan orok! Itu adalah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banayak sangat kebingungan. Bagaimana mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu? Pada saat yang sangat tegang itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam. Sangat cepat sekali bayangan hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api lalu lenyap. Dan suara tangisan oroknya Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua orang mencari. Tapi tak ditemui tulang belulang orok itu….” Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia tahu betul, orok yang diceritakan orang tua itu adalah dirinya sendiri dan berkelebatnya bayangan hitam adalah kelebat bayangan gurunya Eyang Sinto Gendeng! ”Sampai sekarang tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?” bertanya Wiro. Si orang tua angkat bahu. ”Kalau dia masih hidup kira-kira sebesar kaulah, anak muda,” katanya. ”Mahesa Birawa sendiri…. apakah masih hdiup?” ”Masih…. sampai dua tahun belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi sekarang entah dimana. Tapi ada atau tidaknya dia di sini, sama saja. Empat orang anak buahnya sama saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang melintang di kampung ini. Kalau makan tak pernah bayar!” ”Apakah mereka itu Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu?” tanya Wiro. ”Bukan…. bukan! Justru Empat Berewok dari Goa Sanggreng ini sengaja datang dari jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini! Dan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu bukanlah manusia baik. Mereka rampok-rampok yang tak kalah kejam dan terkutuknya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa! Tapi ketika mereka datang anak-anak buah Mahesa Birawa tak ada di sini. Kebetulan keluar…. sudah empat hari dengan hari ini….” Wiro mengulurkan tangannya memotes sebuah pisang yang tergantung ”Eee…. apakah kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?” tanya si pemilik kedai. Wiro tertawa, ”Hutang dulu toh tak apa-apa….” sahutnya. Si orang tua mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi ”langganan”nya yang makan tanpa bayar! Sambil mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, ”Urusan apakah yang dibawa oleh Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu ke sini?” Si orang tua memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, ”Perlu kau ketahui…. pemimpin Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu, yang kini memakai nama Bergola Wungu, dulunya adalah penduduk kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian membunuh ayahnya, juga ibunya, merusak kehormatan perempuan itu serta saudara-saudara perempuannya. Bergola Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia kembali ke sini ternyata dia sudah jadi seorang yang tak kalah jahatnya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa!” Lama Wiro Sableng terdiam. Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan Nilamsuri. ”Kenal dengan seorang yang bernama Kalingundil?” Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut. ”Adalah lucu kalau pertanyaan itu kau ajukan saat ini, anak muda?” katanya. ”Kenapa….?” ”Karena Kalingundil adalah anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini dan yang bertindak sebagai pemimpin dari tiga kawan-kawan lainnya!” Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa terkejutnya disembunyikannya. Dan dia berpikir-pikir, mengapa gadis itu di pekuburan siang tadi menanyakan apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh manusia bernama Kalingundil itu? Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. ”Siang tadi, Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas cantik. Bahkan gadis itu hendak mereka perkosa beramai-ramai. Mungkin bapak tahu pangkal sebab sampai hal itu terjadi….? mungkin juga kenal dengan gadis itu?” ”Gadis itu berpakaian biru….?” ”Betul.” Si orang tua hela nafas. ”Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu tanya padaku apakah ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil. Aku jawab tidak tahu. Aku tak ingin susah anak muda. Kalau kukatakan ada dan Kalingundil mengetahuinya, pastilah leherku akan jadi umpan pedang Kalingundil dan gadis itu adalah anak Kalingundil sendiri!” Kini jelaslah bagi Wiro Sableng mengapa demikian besar tekat Bergola Wungu untuk membunuh si gadis baju biru itu. ”Kalingundil yang bikin kejahatan, anaknya yang musti ikut tanggung akibat…,” desis orang tua pemilik kedai. Wiro manggutkan kepala. ”Dendam kesumat laksana besi tua seribu karat kadang kala tidak mengenal pembalasan yang wajar….”, katanya. ”Kadang kadang itu adalah merupakan hukum karma bagi seseorang yang pernah melakukan perbuatan terkutuk!” ”Kata-katamu beul, anak muda….”, kata orang tua itu pula. Lalu diangsurkannya mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. ”Waktu Bergola Wungu tahu bahwa kau telah mendustainya, habis mukaku ini ditempelaknya….!” ”Itu salahmu sendiri,” kata Wiro seenaknya. ”Siapa suruh kau yang tua bangka masih mau berdusta!” Orang tua itu jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam hatinya. Dan dia memaki lagi untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro berkata, ”Minta tehnya, pak.” Sementara si orang tua membuatkan segelas teh manis untuknya, Wiro Sableng tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak diduganya kalau gadis berbaju biru yang menarik perhatiannya itu adalah anak Kalingundil. Anak buah Mahesa Birawa yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ketika si orang tua datang membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng, ”Bapak tahu nama anak perempuan Kalingundil itu?” ”Nilamsuri. Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya manusia terkutuk!” ”Sewaktu Mahesa Birawa melakukan pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah Kalingundil juga ikut-ikutan?” tanya Wiro lagi. ”Bukan hanya Kalingundil, tapi semua anak buahnya,” menyahuti si orang tua. Wiro hendak bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali karena di luar terdengar suara gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai dengan cepat. Mereka bukanlah Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan ketika Wiro Sableng berpaling pada orang tua pemilik kedai, orang tua ini tarik nafas panjang dan berkata, ”Kalingundil dan anak-anak buahnya…. pasti akan segera terjadi bentrokan dengan Bergola Wungu….” ”Menurutmu…. siapa yang bakal menang di antara mereka?” tanya Wiro. Oran tua itu angkat bahu. ”Aku tidak mengharapkan siapapun di antara mereka akan menang! Kalau dapat biarlah Gusti Allah membuat mereka mampus semua. Kalingundil dan Bergola Wungu tiada beda bagiku! Sama-sama jahat! Sama-sama tidak bayar kalau makan apa-apa di sini!” Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh manis dalam gelas kaca itu. Lalu dia berdiri. ”Meski hari ini aku tidak bayar harga pisang dan teh manis itu, tapi jangan samakan aku dengan Bergola Wungu atau Kalingundil….” Habis berkata demikian Wiro segera tinggalkan kedai. Si orang tua mengangkat gelas bekas minuman pemuda itu. Tapi sesuatu menarik perhatian matanya yang sudah agak mengabur itu. Pada kaca gelas dilihatnya sederetan angka. Diperhatikannya lebih dekat. Tidak salah, itu memang deretan angka 212. Tak habis mengerti orang tua ini bagaimana angka ini bisa tertera di sana. Disekanya dengan ujung pakaiannya. Disekanya lagi…. lagi…. Tapi angka 212 itu tetap saja tidak mau pupus! ”Ah…. semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehan….” katanya dalam hati. 
***
TUJUH BELAS 
 Dari jauh telah terdengar suara beradunya senjata serta bentakan-bentakan hebat. Wiro Sableng percepat jalannya. Dan bila dia sampai di halaman rumah yang agak kegelapan itu maka dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu kini berubah menjadi sebuah medan pertempuran. Enam manusia, sepasang demi sepasang tangah bertempur hebat dan cepat. Di tangga rumah besar dilihatnya berdiri Nilamsuri. Di bawah tangga, dengan bersedekap tangan berdiri seorang laki-laki berbadan tinggi langsing. Wiro tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia yakin betul bahwa manusia ini pastilah Kalingundil. Di ujung halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana dua orang yang terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman, memperhatikan jalannya pertempuran. Tiga orang anak buah Kalingundil yaitu Saksoko, Majineng dan Krocoweti sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu rendah. Permainan golok mereka cukup lihay. Tapi menghadapi anak-anak buah Bergola Wungu yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah gesit. Dalam sembilan jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung berduri Pitala Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak! Tiga jurus kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat kelewang Seta Inging. Pertempuran yang agak lama berlangsung ialah antara Ketut Ireng dan Saksoko. Kedua orang ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama dan sama-sama bersenjatakan golok. Namun oleh kemenangan kedua kawannya Ketut Ireng mendapat semangat dan nyali besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang berbadan gemuk pendek itu menjerit mengerikan ketika perutnya yang buncit terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan menjela-jela di tanah! Rahang-rahang Kalingundil kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan. Kedua kakinya terpentang. Saat itu karena gelap tak seorangpun yang melihat bagaimana kedua lengan Kalingundil menjadi hitam samapi ke jari-jari tangannya. Didahului dengan suara bentakan yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan dada tapi juga menggetarkan tanah maka melompatlah Kalingundil ke tengah halaman di mana tiga anak buah Bergola Wungu berada. Tujuh belas tahun yang lampau kehebatan pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan. Dan kini dapat dibayangkan bagaimana keampuhannya! Tiga pekik kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging dan Pitala Kuning terlempar sampai lima-enam tombak dan menggeletak di tanah tanpa nyawa! Bergola Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya itu dengan tubuh bergetar. ”Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi! Majulah jika kau benar-benar ingin membalaskan dendam kesumat seribu karat!” Meski bagaimana kobaran amarahnya namun Bergola Wungu menyahuti, ”Jangan bicara terlalu keren, keparat! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau bernafas beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu menunggu kau besok pagi waktu matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin nyawamu terbang ke neraka disaksikan makam ayah­bundaku!” Habis berkata demikian, Bergola Wungu putar tubuh. Tapi saat itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua tangan terpentang! Bergola Wungu yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti. Dia berkelit ke samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin menyambar ke dada Kalingundil. Kalingundil melompat ke samping dan hantamkan lengannya kembali. Tapi ini juga dapat dielakkan Bergola Wungu. Dalam sebentar saja kedua orang ini sudah terlibat dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat tiba-tiba dari bagian yang gelap di bawah pohon mempelam terdengar suara memaki. ”Kalingundil edan! Orang sudah kasih kesempatan untuk bertempur besok pagi masih saja beringasan! Gelo betul!” Kalingundil keluar dari kalangan pertempuran. Segera dia hantamkan lengannya ke jurusan datangnya suara. ”Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah unjukkan diri!” Angin dahsyat melanda ke tempat gelap, menghantam pohon mempelam sampai pohon itu tumbang. Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika menoleh ke samping, Bergola Wungu pun sudah lenyap! Akan Nilamsuri begitu mengenali suara yang memaki tadi tanpa tunggu lebih lama dia segara mengejar ke tempat gelap. Beberapa puluh meter kemudian, di pinggiran kampung dekat pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya dikuntit. Dengan pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai ke puncak yang sangat tinggi dia melompat ke satu cabang pohon dan menunggu. Nyatanya yang mengejar adalah si gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun kembali. ”Kita berjumpa lagi, Nilamsuri….” ”Eh, dari mana kau tahu namaku?” gadis itu tanya dengan heran. Wiro Sableng tertawa dan menjawab, ”Terlalu banyak manusia tempat bertanya. Terlalu banyak mulut yang bisa kasih keterangan! Ada apa kau mengejar aku?!” ”Ada apa kau ikut campur urusan ayahku?!” balik menanya Nilamsuri. Wiro Sableng melangkah mendekati gadis itu. Matanya yang memandang tajam membuat hati si gadis menjadi berdebar. Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri menyurut mundur namun badannya tertahan oleh batang pohon. ”Ayahmu Kalingundil, bukan….?” desisnya. Gadis itu mengangguk. Wiro menyeringai. Dipegangnya bahu gadis itu. Nilamsuri hendak menyibakkan tangan itu tapi tak jadi karena saat itu Wiro membungkukkan kepalanya. Rasa panas menjalari darah ditubuhnya ketika bibir pemuda itu berani mengecup bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si pemuda mengusap mukanya. Dia diam saja. Juga masih diam ketika tangan itu meluncur turun ke bawah lehernya. ”Wiro…. kau ini ceriwis sekali…. ceriwis sekali,” bisik gadis itu setengah merintih. Pemuda itu menyeringai. ”Kenapa kau ikuti aku….?” ”A…. aku suka padamu Wiro….” Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut itu dan dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau. Angin malam terasa sangat dingin di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda keringat panas dalam melakukan apa yang belum pernah mereka alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya!
*** 
Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun kesegaran itu tiada dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan Jatiwalu. Yang dua adalah Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga Nilamsuri. Paras gadis ini agak pucat. Bergola Wungu hentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Kalingundil. ”Keluarkan senjatamua Kalingundil!” Kalingundil tertawa bergelak dan meludah ke tanah. ”Untuk menghadapi manusia macam kau tak perlu pakai senjata segala! Mulailah!.” Mulut Kalingundil komat-kamit dan sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam! Tergetar juga hati BergolaWungu melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu saja tak diperlihatkannya. Malahan dia berkata, ”Bagus kalau tak mau pakai senjata. Itu mempercepat aku mengirimkan kau ke neraka!” Bergola Wungu mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia menunjuk ke arah dua buah makam di bukit pekuburan. ”Kau lihat dua makam di lereng sana, Kalingundil?!” Kalingundil tak berani mengalihkan pandangannya karena khawatir ini hanya tipuan belaka. ”Itu adalah makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak gembira bila menyaksikan sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!” ”Tak perlu jual bacot manusia hina! Terima lenganku!” Disertai angin yang dahsyat maka kedua lengan Kalaingundil memukul susul menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan lawan! Betapa terkejutnya dia ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan malahan mata goloknya menjadi sumplung! Dengan segera Bergola Wungu keluarkan jurus terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus ”merobek langit.” Sesaat saja terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus dimuka Kalingundil terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah lawan namun Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil coba menyampoki senjata lawan dengan kedua lengannya. Tapi Bergola Wungu tidak bodoh. Mana dia mau adu senjata dengan lengan yang kerasnya macam baja itu! ”Ha… ha… lekaslah minta tobat pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu, Kalingundil! Sebentar lagi kepalamu akan menggelinding!” ejek Bergola Wungu. Geram Kalingundil bukan alang kepalang. ”Kita akan lihat siapa yang bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk berewok!”, balasnya mengejek. Kalingundil berseru keras, ”Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!” Ratusan jarum hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi dengan satu kali putaran golok saja senjata rahasia itu gugur semua ke tanah! ”Hebat! Hebat…. hebat!” terdengar suara dari jurusan barat. Orang yang bicara itu jauhnya masih sekitar seratus tombak. Namun begitu suaranya berakhir serentak itu pula dia sudah berada di tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan hebatnya ilmu lari orang itu. ”Hebat memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa manusia itu adalah bagianku!” Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan pertempuran. Bagi Kalingundil ini adalah satu keuntungan karena saat itu dirinya terdesak. Keduanya memandang pada orang yang berdiri di bawah pohon. Kalingundil kerutkan kening sedang Bergola Wungu katupkan rahang rapat-rapat begitu kenal pendatang baru itu! ”Kalingundil! Kau tak perlu pandang aku dengan kerut jidat segala! Dimana manusia bernama Mahesa Birawa?!” ”Orang muda bermulut besar, kau siapa?!” bentak Kalingundil. ”Ditanya malah menanya! Sialan betul!”, gerendeng Wiro Sableng. ”Tujuh belas tahun yang silam kau bersama Mahesa Birawa telah membunuh Ranaweleng, bapakku! Juga membunuh ibuku dan Jarot Karsa! Apa kau punya otak masih sanggup mengingatnya?!” Kalingundil merutuk dalam hati. Apakah manusia ini juga hendak membalaskan dendam kesumatnya seperti Bergola Wungu? Melihat kepada tenaga dalam yang menyertai suaranya tadi Kalingundil sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini. Hatinya mengeluh! Melayani Bergola Wungu saja dia sudah kepepet, apalagi menghadapi dua lawan sekaligus! ”Apa maumu orang muda?!” ”Apa mauku….?!” Wiro tertawa bergelak. Nilamsuri yang merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, ”Wiro…. dia adalah ayahku!” ”Aku tahu adik manis…,” dan si pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu masih bisa dia mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang dirasakannya bersama gadis itu di dangau di tengah sawah tadi malam. ”Karena itulah aku berbaik hati datang ke sini hanya untuk meminta tangan kanannya saja!” ”Wiro!” muka Nilamsuri menjadi pucat. Bergola Wungu sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng bukan omong kosong belaka. Dia telah melihat kehebatan pemuda rambut gondrong ini! Sebaliknya Kalingundil keluarkan tertawa membahak. ”Kurasa kau masih pantas untuk menetek sama kau punya ibu!”, ejeknya. ”Kata-kata itu cukup lucu, Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia yang suka bicara lucu!” Wiro Sableng melangkah mendekati Kalingundil. Nilamsuri melompat ke muka hendak menahan si pemuda tapi pada saat itu pula dari samping Bergola Wungu yang sejak lama menahan kegeramannya terhadap Kalingundil, maka ketika melihat anak musuh bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa tunggu lebih lama segera ditebaskan golok panjangnya! Nilamsuri melengking! Tubuhnya tercampak ke tanah. Dadanya robek besar. Darah menyembur! Bergola Wungu yang melihat tidak adanya kesempatan baginya untuk turun tangan terhadap Kalingundil segera lari ke lereng bukit pekuburan dan berseru: ”Manusia bernama Wiro Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan! Kalau kau merasa punya nyali untuk meneruskan, aku tunggu di Gua Sanggreng!” ”Setan alas betul!” maki Wiro Sableng. Dipukulkannya tangan kanannya ke arah lereng bukit pekuburan. Angin laksana badai menderu dahsyat. Batu-batu nisan dan tanah pekuburan beterbangan. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar diterabas gundul! Tapi Bergola Wungu sudah lenyap dibalik bukit! Wiro Sableng putar kepala dan dia memaki lagi ketika melihat Kalingundil melarikan diri. ”Boleh saja lari Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu dahulu!” Sekali pemuda itu melompat ke muka maka dia berhasil menyusul Kalingundil. Tiba­tiba Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan tusukkan ke perut Wiro Sableng! Serangan yang dilancarkan dengan kalap serta karena ketakutan itu tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya yang diserang cepat gerakkan tangan kanannya. ”Kraak”! Kalingundil melolong. Tangan kanannya sebatas bahu tanggal. Tulangnya copot! Daging dan otot seta urat-urat berserabutan mengerikan sekali! Laki-laki itu macam babi celeng seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi. ”Eee…. tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu angka kenang-kenangan ini!” Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan tapak tangan kanannya ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka terpampanglah lukisan telapak tangan berikut lima jari dengan angka 212 pada baigan tengahnya! Kalingundil seradak seruduk lagi macam babi celeng! Darah berceceran dari luka di tangannya. Wiro Sableng tertawa mengekeh. Diperhatikannya laki-laki itu berlari macam dikejar setan! Tangan kirinya memutar-mutar lengan Kalingundil yang masih dipegangnya. Tiba-tiba dilemparkannya potongan lengan itu. Laksana anak panah potongan lengen itu melesat dan menghantam punggung Kalingundil, membuat laki-laki itu tergelimpang menelungkup di tanah, tapi segera bangkit lagi dan lari lagi! Wiro Sableng hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar suara gerangan Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di tanah. Matanya menyipit melihat luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di tolong lagi. Dibopongnya gadis itu, dibawanya ke tempat teduh dan dibaringkannya. ”Wiro….” Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu. ”Wiro…. peluk aku….,” pintanya. Wiro Sabelng merangkul gadis itu. ”Cium aku…. Wiro….” Si pemuda mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu kesat dan dingin kini, tidak basah dan hangat seperti malam tadi. Nafas Nilamsuri lambat dan satu-satu. Sinar matanya semakin pudar. ”Umurklu untuk mengenalmu hanya sampai di sini, Wiro….” bisik Nilamsuri. ”Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau akan sembuh….” kata Wiro pula menghibur. Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan memberkasnya senyum itu di bibirnya maka saat itu pula rohnya lepas meninggalkan tubuh. Pendekar muda dari Gunung Gede hela nafas panjang. Hatinya beku menyaksikan kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri masih dirangkulnya, masih dirabanya…. tapi kini tubuh itu tiada akan memberikan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan kehangatanpun tidak karena saat itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi dingin. Wiro mennghela nafas panjang sekali lagi. Disibakkannya bagian pakaian yang robek di dada gadis itu. Pada bagian kulit dada yang masih utuh, tepat di atas buah dada sebelah kiri si gadis, dengan pergunakan ujung telunjuk jari tangan kanannya, Wiro menggurat tiga barisan angka: 212. Disandarkannya tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati. Lalu melangkahlah pendekar ini meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa, seperti tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir pemuda ini terdengarlah suara siulan. Siulan melagukan nyanyi tak menentu….

TAMAT

Bersambung ke Episode Maut Bernyanyi Di Pajajaran

Post a Comment

0 Comments