Wiro Sableng
Maut Bernyanyi Di Pajajaran
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Karya: Bastian Tito
Episode 002
SATU
Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan angin gersang yang datang dari pedataran. Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti! Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping. Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!….
Si pemuda sendiri kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian
berjalan tahutahu sudah ada orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke
arah datangnya semburan cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala
mendadak dari atas menderulah ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang
deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes
cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping.
Daun-daun pohon tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena
tusukan paku! Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si
pemuda belum juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan
suara tertawa itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya. Hatinya penasaran
sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian
tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke
langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang
dari atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh
daun-daun pohon yang lebarlebar dan lebat.
“Manusia di atas pohon!,” bentak pemuda itu:
“Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!” Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang berpatahan. Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul! Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter. Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon! Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon. Sekurangkurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa! Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksudmaksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.
“Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?” Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi.
“Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari
“kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan. Si pemuda tersenyum.
“Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu…. Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,” jawab Dewa Tuak pula.
“Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?” Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang pohon.
“He… he… he…,” Dewa Tuak girang sekali.
“Memang tak ada ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau tihat dengan jelas!” Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”. Si pemuda itu menjawab.
“Pernah juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan:
“Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari pohon ini!” Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“ Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu…”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok…,” kata Dewa Tuak pula.
“Dan rampoknya orang situ-situ juga” Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan? Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata:
“Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya…” Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali. Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda:
“Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu… !” Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!” Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.
“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”. Si pemuda tersenyum.
“Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu…”. Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu.
“Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”. Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat:
“Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!” Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku… Mari…” Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda:
“Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih pantas!” Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh. Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana…?” Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda.
“Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!” Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru:
“Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”. Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang. Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak” Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang… sayang…,” katanya.
“Sayang aku tak dapatkan itu pemuda…”. Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung. Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah dengan gelar:
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”! Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan…”
“Tapi guru…”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau … dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!” Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya. Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!
“Manusia di atas pohon!,” bentak pemuda itu:
“Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!” Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang berpatahan. Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul! Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter. Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon! Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon. Sekurangkurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa! Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksudmaksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.
“Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?” Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi.
“Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari
“kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan. Si pemuda tersenyum.
“Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu…. Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,” jawab Dewa Tuak pula.
“Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?” Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang pohon.
“He… he… he…,” Dewa Tuak girang sekali.
“Memang tak ada ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau tihat dengan jelas!” Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”. Si pemuda itu menjawab.
“Pernah juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan:
“Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari pohon ini!” Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“ Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu…”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok…,” kata Dewa Tuak pula.
“Dan rampoknya orang situ-situ juga” Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan? Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata:
“Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya…” Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali. Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda:
“Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu… !” Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!” Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.
“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”. Si pemuda tersenyum.
“Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu…”. Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu.
“Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”. Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat:
“Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!” Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku… Mari…” Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda:
“Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih pantas!” Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh. Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana…?” Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda.
“Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!” Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru:
“Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”. Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang. Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak” Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang… sayang…,” katanya.
“Sayang aku tak dapatkan itu pemuda…”. Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung. Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah dengan gelar:
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”! Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan…”
“Tapi guru…”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau … dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!” Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya. Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!
***
DUA
Sang surya sudah lama bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian
terik menyilaukan kini memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan
diinya dirampas oleh kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan
senja yang akan bertekuk lutut di pintu malam. Jalan yang ditempuh pemuda itu
semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri kanan senantiasa mengapit batu
karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya. Mendadak
dari puncak batu karang di sebelah timur melengking suara suitan aneh yang
menusuk sepasang gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan waspada pemuda ini
putar kepala dan mendongak ke atas. Puncak karang itu tingginya sekira dua
puluh lima tombak. Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang
tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang
mulai dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga
penolong. Meski demikian, jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya.
Sekali tergelincir tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu
karang runcing!
Suara suitan aneh itu terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang
pertama. Dan sesaat mata si pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu
dia terkejut melihat kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan
tangan kanannya buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu.
Pada ujung kayu dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang
bergemerlap ditimpa sinar matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada
sebuah tongkat biru dari besi murni. Karena puncak karang di mana manusia
berewok ini berdiri tinggi sekali maka si pemuda tak dapat mengenali dengan
jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup berewok. Hanya samar-samar bisa
dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang bertampang angker. Melihat
kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah
dekat ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai. Dipandang tajam-tajam
demikian rupa, si muka angker berewok juga memandang pada si pemuda secara
tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara. Si pemuda yang menjadi tak
sabar lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.
“Orang tua, aku yang muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua
Sanggreng?!”. Orang yang ditanya kerutkan kening.
“Bocah gondrong, apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212…?!”. Pemuda yang berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah
orang tua berewok bermuka angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya
Bergola Wungu yaitu musuh yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua
Sanggreng?.
“Aku merasa tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua…!,” menyahuti
si pemuda yang tak lain dari Wiro Sableng adanya. . Si muka berewok masih
memandang menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau
pemuda ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah
menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciriciri
yang diterangkan muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok
bersuit lagi. Kali ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat
kemudian muncullah sosok tubuh berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok
dan Wiro dapat mengenalinya sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu
Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki buntung itu punya sangkut-paut erat
dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua orang itu bercakap-cakap
sedang si buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke arah
Wiro. Tiba-tiba mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah
sekitar situ seperti dirobek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa
diketuk-ketukkannya tongkat di tangan kirinya ke atas batu karang. Batu karang
itu bergetar dan bagian yang kena ketuk lebur menjadi pasir! Kemudian kedua mata
orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro Sableng.
“Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto
Gendeng…: Ah, kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak
ubah seperti gurumu sendiri! Bego dan keblinger…!”
“Jaga mulutmu, orang tua!,” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi
diamdiam dia juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya.
Melihat kepada umur mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng.
Berewok buntung itu tertawa lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
“Muridku Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah
berhadapan muka nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian
tiga muridku aku ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak
kupecahkan kepalanya dengan tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia
adalah seorang bocah pitit, masih pantas ngempeng! Pakai baju pun belum becus!
Pendekar potongan macammu ini sekali aku ayunkan tongkat saja pasti sudah
kelojotan!” Panas hati Wiro Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru
dalam pembuluhnya.
“Orang tua!,” serunya.
“Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa semut itu sanggup
mengalahkan gajah? Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset oleh
sebutir batu kecil berlumut…?!” Si berewok kaki buntung tertawa dingin.
“Barangkali kau belum tahu kebalikan ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau
bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan mejret amblas ke dalam tanah?!
Tahukah kau kerikil kecil itu kalau ditendang akan mental jauh tiada daya?”
Wiro Sableng keluarkan suara mendengus dari hidung.
“Kadangkala manusia keliwat pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!,”
sahutnya.
“Tapi tak apa… aku tak ada urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola
Wungu!”. Si orang tua tertawa berkekeh.
“Jangan sebut soal tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang…”
“Bukan aku yang bunuh…!”.
“Tapi kau turut bertanggung jawab!” Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata Wiro.”Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras
Bergola! Aku sudah datang untuk menerima tantanganmu!” Bergola Wungu tertawa
mengejek.
“Ini bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”
“Keren betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis
macam kau! Kau tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang
punya sedikit ilmu lantas jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan
lari kepada gurunya? Kalau aku jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak
karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!” Merah muka Bergola Wungu sampai ke
telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup rapat. Gerahamnya bergemeletakkan.
Namun tak ada suara jawaban dari dia. Maka berkatalah si berewok tua kaki
buntung.
“Bocah 212, karena kau bicara begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu
yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali bertukar pengalaman!”. Wiro
Sableng tertawa-tawa.
“Kau yang sebenarnya congkak orang tua! Apakah umurmu yang sudah bangkotan
itu masih belum cukup puas untuk melakukan pertempuran? Tapi kalau kau berkeras
hati mau iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan….”
Wiro gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain
“Tapi aku ingin tahu nama dan siapa kau lebih dahulu.:..”. Si orang tua
kembali tertawa macam tadi yang menggetarkan seantero daerah batu karang itu.
“Aku adalah penghuni Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang
melintang dalam rimba persilatan! Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu
tahu namaku… akulah yang bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si
berewok kaki buntung itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan
Dari Barat adalah satu tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di
Jawa Barat, yang namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan
hitam (golongan jahat). Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak
unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa bergelak:
“Julukanmu hebat juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu
benda kosong belaka dan berbau busuk bila ke luar dari pantat!” Bladra Wikuyana
bersuit marah.
“Bocah setan! Kau berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat!
Terima ini…!”.
“Wuuuuuutt”! Tongkat birunya disapukan ke bawah! –
***
TIGA
Angin sedahsyat topan melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan
hantaman tangan ke udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum
angin puyuh! Hal yang hebat sekali terjadilah. Dua pukulan angin yang sama
mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan menimbulkan letupan udara
yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncakpuncak, karang bergetar.
Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro Sableng
telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun
demikian Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan
sehingga sesaat tubuhnya menjadi limbung huyung! Bladra Wikuyana terbeliak
kaget. Hantaman tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga
bagian tenaga dalamnya. Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah
sekurang-kurangnya pemuda itu kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu
tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro Sableng ditihatnya masih berdiri utuh!
Maka berserulah Bladra Wikuyana:
“Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk diandalkan! Aku tunggu kau di
Perguruan Gua Sanggreng!” Habis berkata begitu manusia ini menarik lengan
Bergola Wungu. Sekejapan saja guru dan murid itu lenyap dari pemandangan Wiro
Sableng. Si pemuda garuk kepala.
“Tongkat itu hebat sekali!,” katanya dalam hati. Tapi dia tak menunggu
lebih lama. Segera dia lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya
puluhan tombak itu. Puncak karang itu ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu
meringankan tubuhnya dari kelas rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!
Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi.
Matanya yang tajam segera menangkap bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di
balik karang sebelah Timur. Tanpa buang waktu Pendekar 212 segera lompat ke karang
yang terdekat. Laksana seekor rajawali demikianlah dia melompat kian kemari
sampai akhirnya orang yang dikejamya itu lenyap di sebuah jurang batu karang
yang dalam sekali! Wiro berdiri di tepi jurang batu itu, memandang ke bawah.
Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang itu dalamnya lebih dari seratus
tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap
turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat sebuah tangga tali yang
kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju ke sana dan memeriksa
tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian dengan cepat menuruni tangga
tali. Bagian bawah jurang batu itu hampir merupakan pedataran batu yang sedikit
sekali tetumbuhannya. Penuh waspada Pendekar 212 segera memeriksa keadaan.
Tiba-tiba menggema suara suitan dari arah Utara yang dibalas pula oleh suara
suitan dari arah barat. Wiro segera menuju ke Barat! Sementara itu di atas
jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro Sableng hentikan
langkahnya dekat tangga tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali itu.
Wiro berdiri di balik sebuah batu karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya
batu karang itu bisa menjadi tameng baginya dari musuh yang menyerang dengan
diam-diam. Dari balik batu berbentuk pilar ini dia memandang ke muka. Tepat di
antara dua batang kayu besar yang sangat rendah maka beberapa puluh tombak di
mukanya dilihatnya sebuah gua besar. Kemudian didengarnya lagi suara suitan.
Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini disambut oleh suitan yang
menggema ke luar dari dalam gua. Pemuda ini menunggu dengan tidak sabar. Ke
mana perginya kedua orang tadi? Apakah masuk ke dalam gua itu? Dan apakah gua
Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu dia sudah berada di
Perguruan Gua Sanggreng? Tiba-tiba terdengar suara suitan yang lebih hebat dari
suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat dari mulut gua ke luar dua lusin manusia,
semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak dan semuanya mengenakan
pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada pinggang masing-masing
tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya dengan milik Bladra
Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan panjang mulai dari
mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian muncullah Bladra Wikuyana
diiringi oleh Bergola Wungu.
“Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar!
Keluarlah!,” seru Bladra Wikuyana. Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang
batu karang dan berdiri waspada di ujung pelataran.
“Angin Topan Dari Barat! Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau
pertunjukkan kepadaku?!” Bladra Wikuyana tertawa hambar.
“Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan mata masih juga mau jadi badut!
Tahukah kau bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke mari berarti tak ada lagi jalan
keluar! Berarti mampus di sini?!”. Wiro Sableng menyengir. Katanya:
“Kalau begitu kalian semua di sini juga samasama ikut mampus dengan aku!”.
Kembali Bladra Wikuyana tertawa hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
“Turunkan tangga tali,” perintahnya. Dua orang anak murid Perguruan Gua
Sanggreng segera melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik.
“Tangga tali telah diturunkan berarti umurmu semakin singkat. Tapi ada
syarat jika kau kepingin hidup terus…”
“Apa?” tanya Wiro Sableng kepingin tahu.
“Berlutut minta ampun di hadapanku dan bergabung denganku!”. Wiro Sableng
tertawa meledak.
“Muridmu Bergola Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur!
Tahutahu kini diajak bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin
aturan…!”
“Kalau begitu kau datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata
Bladra Wikuyana pula. Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali.
“Bereskan dia dengan gebrakan enam tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra
Wikuyana dengan geram sekali. Maka enam orang muridnya segera melompat
mengurung Pendekar 212 dengan tongkat di tangan.
“Ketahuilah:..” kata Bladra Wikuyana pula.
“Yang akan kalian hajar itu adalah seorang bocah yang mengaku bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!” Bladra Wikuyana bersuit keras.
Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan serentak menyerang Wiro Sableng!
Enam larik sinar biru mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang
sangat tak menentu, mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang
pendekar bertangan kosong itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak:
“Angin Topan Dari Barat! Kerapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut
dengan aku kau suruh.maju? Apa kau tidak punya nyali?!”. Biadra Wikuyana
menyahut dengan membentak:
“Kalau kau ada urusan dengan salah seorang di sini berarti kau berurusan
dengan Perguruan Gua Sanggreng…!” Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng
melompat pula ke udara dan menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan
pergunakan jurus: Belut Menyusup Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh
mereka telah berdiri di pelataran batu kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat
biru itu di udara!
“Tolol,” makl Bladra Wikuyana pada murid-murudnya:
“Aku beri kesempatan tiga jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil
merubuhkan bangsat itu kalian musti mundur dan terima hukuman!”. Ternyata
gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid Perguruan Gua
Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan Pendekar 212. Kini karena takut terima
hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan sebat dan
lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!
“Ciaaat!” Bentakan dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu.
Bulu-bulu tengkuk anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja
oleh kedahsyatan bentakan tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan
mereka kini berdiri kaku tegang di tengah pelataran karena tubuh masing-masing
sudah kena ditotok lawan. Sedang Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri
tenang-tenang bahkan bersiul-siul! Rasa tak percaya membuat Bladra Wikuyana
buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat
birunya dari pinggang dan disapukannya ke muka. Keenam tubuh muridnya
berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus angin topan dashyat yang
keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya dari totokan! Kemudian
Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola Wungu:
“Kau majulah, pimpin semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran
pasang surut!”. Mendengar ini Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya
cabut golok panjang dan bersuit keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh
empat manusia berpakaian hitam-hitam dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan
Bergola Wungu yang memegang golok panjang segera membentuk dua lapis lingkaran
yang disebut lingkaran pasang surut, mengurung Wiro Sableng di tengah-tengah.
Gilanya, yang mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak kemik dan
sambil bersiul-siul. Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah
barisan lingkaran yang sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah
luar berputar ke kanan. Mula-mula lambat pelahan kemudian makin lama makin
kencang, makin kencang sampai tubuh kedua puluh empat. manusia berpakaian hitam
itu tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu yang menutupi
pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan
kawankawannya tiada henti berteriak melengking-lengking. Karena putaran dua
barisan lingkaran itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi lengking
pekik hiruk pikuk yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua
pandangan mata Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia
tertegun beberapa jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan
semakin menciut mendekatinya! Bergola Wungu melihat lawan muiai terpengaruh
dengan bentakan lantang menyerbu dan tebaskan goloknya ke kepala lawan yang
terkurung ditengah lingkaran. Serangan ini datangnya secara pengecut yaitu dari
belakang! Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu masih juga bersiul-siul
seperti orang lupa diri!
***
EMPAT
Dia hanya merasakan datangnya sambaran angin dari arah belakang. Lalu
cepat-cepat menggeser kaki ke muka, bergerak ke samping dan sambil bungkukkan
diri balikkan badan! Golok panjang Bergola Wungu lewat satu setengah jengkal di
atas kepalanya, mengibarkan rambutnya yang gondrong!
“Dasar pengecut! Sudah main keroyok menyerang dari belakang!,” bentak Wiro
Sableng. Kedua tangannya bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun
hampir hal itu terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang
kedua lengannya.
“Sialan!” maki Pendekar 212 dan terpaksa tarik pulang tangannya sambil
hantamkan kaki membabat ke arah beberapa orang pengeroyok dari barisan sebelah
muka. Mereka yang diserang tendangan kaki anehnya tidak melakukan sesuatu apa,
tapi tiba-tiba dari belakang menyeruak kawan-kawan mereka dari barisan kedua,
dan menangkis tendangan Wiro Sableng. Sejurus kemudian barisan muka kembali
menyerang dengan dua belas tongkat biru mengarah pada dua belas bagian tubuh
Wiro Sableng! Sementara itu dari atas laksana alap-alap golok Bergola Wungu
kembati membabat! Ini lah kehebatannya lingkaran pasang surut! Ciptaan Bladra
Wikuyana! Dua tahun dia melatih murid-muridnya untuk betul-betul memahami jurus
tersebut. Meski belum begitu sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil
senyumsenyum dia berdiri menunggu saat di mana matanya akan menyaksikan tubuh
Wiro Sableng terpancung belasan senjata muridnya, telinganya bakal mendengar
pekik kematian pemuda itu! Tapi tiada kelihatan, Pendekar 212 terpancung
meregang nyawa di tengah pelataran itu! Tiada terdengar pekik kematian Wiro
Sableng! Dengan kecepatan luar biasa yang tiada terlihat oleh mata Bladra
Wikuyana maka tahu-tahu Wiro Sableng sudah berada di luar serangan anakanak
muridnya, berdiri dengan tenang dan kembali bersiul-siul! Sebenamya pemuda
bermata tajam ini sudah dapat melihat di mana letak kelemahan barisan lingkaran
pasang surut yang mengeroyoknya saat itu. Dengan merobohkan dua atau tiga orang
pengeroyok dari salah satu barisan maka pastilah lingkaran pasang surut itu
akan menjadi kacau balau! Bisa juga sebagian atau seluruh pengeroyoknya
ditumpasnya dengan hantaman pukulan angin puyuh atau dinding angin berhembus
tindih menindih! Tapi ini pemuda inginkan cara lain yang lebih disukainya
sendiri. Maka berserulah Pendekar 212.
“Angin Topan Dari Barat! Apakah kau pernah iihat manusia dipakai jadi
senjata untuk menyerang manusia…?!”
“Bocah gila! Jangan banyak bacot! Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak
ciutkan lingkaran dalam sepertiga jurus!,” teriak Bladra Wikuyana dengan
penasaran sekali. Siulan Pendekar 212 tiba-tiba lenyap berganti dengan suara
tertawa aneh yang menegakkan bulu tengkuk. Tubuhnya berkelebat tak kelihatan.
Dan tiba-tiba pula Bergola Wungu merasakan kedua pergelangan kakinya
dicengkeram erat sekali. Dicobanya untuk meronta dan menendang tapi cengkeraman
itu laksana japitan besi tak mungkin untuk di1epaskan. Sementara itu tubuhnya
menjadi limbung dan terasa terangkat ke atas! Dicobanya membabatkan goloknya!
Terdengar satu pekikan! Pekikan kawannya sendiri yang, kemudian roboh mandi
darah! Sesudah itu Bergola Wungu tak tahu apa-apa lagi! Wiro Sableng dengan
tertawanya yang aneh memegang erat-erat kedua pergelangan kaki Bergola Wungu
lalu memutar tubuh manusia itu laksana kitiran! Pekik jerit serta seruan-seruan
tertahan terdengar di mana-mana! Barisan lingkaran pasang surut hancur
berantakan. Beberapa orang yang masih tak mau menyingkir dan terpukau oleh kedahsyatan
itu terpaksa dihantam kitiran dari tubuh Bergola Wungu! Belasan anak murid
Perguruan Gua Sanggreng bergeletakan di pelataran batu karang dalam keadaan
tubuh luka-luka parah tanpa nyawa. Suara erangan terdengar tiada hentinya. Yang
masih hidup yaitu sekira sembilan orang menyingkir jauh-jauh ke dinding batu
karang. Suara tertawa Pendekar 212 berhenti.
“Angin Topan Dari Barat! Ini terima bangkai muridmu!”. Tubuh Bergola Wungu
yang tadi dibuat menjadi kitiran untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat
ke arah Bladra Wikuyana. Orang tua ini lambaikan tangan kirinya dan tubuh
Bergola Wungu terpelanting ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa
lagi karena sudah sejak tadi kepalanya nyenyar macam pepaya busuk! Bau anyirnya
darah yang mengantarkan regangan-regangan nyawa manusia menyesak lobang hidung.
Wiro Sableng meludah ke tanah. Dan memandang pada Angin Topan Dari Barat.
“Angin Topan Dari Barat! Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang
tentu kau tidak senangi! Dan mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan
apa-apa terhadapku! Kau yang tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut
tertanya di liang kubur!”
“Pemuda iblis!” bentak Bladra Wikuyana.
“Tak usah banyak bacot! Terimalah kematianmu dalam tiga jurus!”. Tampang
manusia ini kelihatan membesi dan tambah angker. Dia melangkah ringan ke
hadapan Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya! Tiba-tiba tubuhnya berkelebat
dan selarik sinar biru melanda Pendekar 212. Pemuda ini egoskan diri ke samping
dengan cepat. Tapi dari samping menderu tangan kanan Bladra Wikuyana yang
disambung -dengan kayu dan ujungnya mempunyai senjata berbentuk Arit!
“Heyyaaa!”. Pendekar 212 membentak keras. Empat dinding jurang tergetar
hebat. Tubuhnya lenyap dan sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan
tangannya ke muka lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi tongkat biru
Bladra Wikuyana sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkan
Pendekar 212 mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya namun sambaran angin
tongkat biru membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke samping dan
menghantam dinding karang! Dinding karang itu retak-retak pecah!
Kepingan-kepingan karang menghambur ke udara berpelantingan! Wiro Sableng
penasaran sekali. Tenaga dalamnya dilipat-gandakan sampai tangannya tergetar
hebat namun tetap pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkannya masih
sanggup disapu oleh angin tongkat biru lawan!
“Edan!” maki pemuda ini dalam hati. Dia menjerit setinggi langit dan
berkelebat lagi. Kini Pendekar 212 keluarkan jurus Orang Gila Mengebut Lalat!
Kedua tangannya kiri kanan memukul kian kemari dan mengeluarkan angin keras
laksana badai! Untuk dua jurus lamanya Bladra Wikuyana terdesak hebat bahkan
kepepet ke dinding jurang sebelah Timur. Anak-anak murid Perguruan Gua
Sanggreng yang ada di jurusan ini terpaksa menyingkir kecuali kalau mau mampus
terkena sambaran-sambaran angin dahsyat kedua manusia sakti yang bertempur itu!
Angin Topan Dari Barat mengeluh dalam hati! Puluhan tahun hidup di dunia
persilatan baru hari ini menghadapi lawan yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan
gilanya lawan itu adalah anak muda hijau yang baru berumur tujuh belas tahun!
Orang tua ini kertakkan gerahamnya. Dari tenggorokkannya keluar suitan kencang.
Dengan serta merta permainan tongkat dan jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat
biru di tangan kirinya menderu dan mencurah taksana hujan badai, laksana
menjadi ratusan banyaknya! Wiro Sableng terkejut sekali melihat keganasan
serangan tawan ini! Cepat dia lompat tiga tombak ke udara.
“Ho-ho! Mau kabur hah?!” bental Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini
susul melompat.
“Angin Topan Dari Barat!,” seru Pendekar 212.
“Antara kita sebenarnya tak ada permusuhan yang berarti…”. Bladra Wikuyana
tertawa buruk.
“Ketika nyawa sudah di tenggorokan kau baru ribut-ribut segata permusuhan
yang tak berarti! Sudah kepepet-mulai bicara rendah diri! Sebaiknya sebut nama
Tuhanmu sebentar tagi roh busuk manusia yang mengaku bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 akan minggat ke neraka!” Bladra Wikuyana menyerang lagi
dengan ganas membuat Wiro Sableng kembali terpaksa lompatkan diri tiga tombak
ke belakang.
“Kalau kau yang tua tetap berkeras kepala maka
sambutlah pukulanku ini!” Bladra Wikuyana terbeliak kaget ketika melihat tangan
kanan Wiro Sableng berwarna sangat putih sedang kuku-kuku jarinya memerah
menyilaukan!
“Pukulan Sinar Matahari!” teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan
pada murid-muridnya untuk mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya
dialirkannya ke tongkat biru! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata melesat
ke depan. Bladra Wikuyana lompat ke udara sampai tujuh tombak dan sapukan
tongkatnya ke bawah! Dua angin keras beradu hebat. Bladra Wikuyana berseru
keras. Tongkatnya hampir terlepas mental sedang tangan kirinya tergetar hebat!
Tiada nyana tenaga dalam lawan yang muda belia itu lebih tinggi beberapa
tingkat dari padanya. Dengan jungkir balik di udara jago tua ini jauhkan diri
untuk atur jatan nafas serta darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya
berputar memandang berkeliling terkejutlah ia! Seluruh sisa anak muridnya yang
tadi masih hidup menggeletak bergelimpangan dipelataran batu karang itu. Tubuh
mereka semuanya termasuk yang sudah menemui ajal lebih dahulu di tangan Wiro
Sableng mengepulkan asap dan udara dalam jurang itu kini pengap bau daging
manusia yang hangus! Ketika Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi.
Bladra Wikuyana berhasil mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding
karang di sebelah tenggara. Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi
juga hancur berantakan. Bagian atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar
Matahari memantul dua kali berturut-turut di dinding karang. Hawa panas angin
pukulan ini telah melabrak sisa-sisa anak murid Bladra Wikuyana sehingga tubuh
mereka tersambar hangus dan menggeletak mati di situ juga! .Dan sementara itu
di tepi jurang sebelah atas, sesosok tubuh berpakaian ungu menyaksikan apa yang
terjadi di dalam jurang batu karang itu dengan mulut menganga dan mata
terbeliak sedang bulu kuduk merinding…. Kembali ke dalam jurang. Air muka
Bladra Wikuyana kelihatan kelam membeku. Tubuhnya laksana patung berdiri di
tengah pelataran. Cambang bawuk atau berewoknya kelihatan meranggas kaku sedang
sepasang matanya menjadi merah angker.
“Pendekar 212!” desis Bladra Wikuyana.
“Detik ini jangan harap nyawamu akan selamat…!” Tongkat birunya diacungkan
ke muka lurus-lurus dan kini tongkat itu berubah menjadi hitam legam. Sinar
hitam yang memancar dari senjata ampuh Itu menggidikkan sekali…
“Bersiaplah untuk minggat ke neraka!” teriak Bladra Wikuyana. Serentak
dengan itu menyerbulah dia ke muka. Seluruh bagian tenaga dalamnya telah
mengalir ke dalam tongkat dan serangannya kini luar biasa ganasnya! Sambil
menyerang itu Bladra Wikuyana tiada hentinya bersuit-suit aneh, menggetarkan telinga
dan raga! Wiro Sableng begitu merasakan tekanan serangan yang hebat luar biasa
segera percepat gerakannya. Namun ilmu mengentengi tubuhnya yang sudah sangat
tinggi itu masih sangat terasa lamban ditindih oleh sinar pukulan Angin Hitam
yang ke luar dari tongkat lawan.
“Breet”! Tersirap darah Pendekar 212. Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat
lawan telah merobek pakaiannya di bagian dada. Angin tongkat membuat
tulang-tulang dadanya seperti melesak! Pendekar ini berteriak nyaring dan
jungkir balik ke belakang ke luar dari kalangan pertempuran!
***
LIMA
“Ho ho…. Mau merat ke mana?!” tanya Bladra Wikuyana.
“Aku sudah bilang, sekali masuk ke sini musti lepas nyawa di sini!” Wiro
Sableng tak berikan sahutan. Kalau saja ada sepuluh manusia jahat sesakti
Bladra Wikuyana ini di atas jagat pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan
pikirnya. Ketika lawan menyerang kembali Pendekar 212 sambut dengan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera. Untuk beberapa ketika lamanya serangan tongkat
Bladra Wikuyana terbendung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro Sableng
untuk melompat ke udara, menukik kembali dan lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Dentuman yang
dahsyat terdengar. Wiro terpaksa turun ke pelataran batu karang kembali karena
pukulannya kena disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini kepepet ke
dinding jurang sebelah Timur! Pemuda ini merutuk sendiri dalam hatinya. Dalam
merutuk itu tongkat lawan menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat ke samping.
Tongkat menghantam dinding karang sampai hancur berantakan! Ketika Bladra
Wikuyana balikkan tubuh siap untuk menyerang kembali, langkahnya tertahan. Kedua
matanya yang merah memandang tak berkedip pada senjata berbentuk kapak bermata
dua yang ada di tangan lawannya. Bergidik juga Angin Topan Dari Barat melihat
senjata tersebut. Dua puluh tahun yang silam dia pernah saksikan sendiri
kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini apakah sanggup dia menghadapinya?!
“Angin Topan Dari Barat,” Pendekar 212 buka mulut.
“Baiknya kau lekas-lekas minta tobat atas kejahatanmu selama ini. Sebentar
lagi tentu sudah tak keburu…. !” Angin Topan Dari Barat atau Bladra Wikuyana
tindih rasa jerihnya dengan tertawa bergelak. Tahu akan kehebatan senjata di
tangan lawan maka dia segera menyerang lebih dahulu! Sinar hitam
bergulung-gulung ke arah Pendekar 212. Pemuda ini sambut serangan lawan dengan
pergunakan jurus: Orang Gila Mengebut
Lalat. Kapak Naga Geni 212 di tangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke
kanan, mengeluarkan suara berdengung macam suara ribuan tawon! Terkejutnya
Bladra Wikuyana bukan kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat saktinya
tak dapat lagi bergerak leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul angin kapak
bermata dua di tangan lawan! Bladra Wikuyana percepat permainan tongkatnya dan
menyerang dengan jurus-jurus lihay mematikan. Namun tetap saja tak dapat ke
luar dari tindihan senjata lawan. Dan kini sesudah bertempur di jurus yang
kesembilan puluh delapan maka mulailah jago tua ini terdesak hebat! Diam-diam
Bladra Wlikuyana cucurkan keringat dingin. Ditahannya sedapat-dapatnya serangan senjata lawan. Satu kali tongkatnya beradu dan tak ampun
ujung tongkat terbabat puntung! Bladra Wikuyana tak berani lagi bentrokan
senjata! Matanya kini liar mencari kesempatan untuk kabur. Dia menggeram karena
telah menyuruh murid-muridnya menurunkan tangga gantung karena tangga dari tali
itulah satu-satunya jalan untuk kabur ke luar jurang batu karang! Karena
pikirannya bercabang dua, satu memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan pada
serangan lawan maka pertahanan Bladra Wikuyana sering-sering melompong. Hal ini
bukan tak dilihat oleh Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi
dia melabrak manusia berewok bertangan dan kaki buntung itu. Dari mulut
Pendekar 212 mulai terdengar siulan membawakan lagu tak menentu!
Sambil kirimkan bacokan ke pinggang, Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua
mata kapak membuat setengah lingkaran, salah satu dari padanya memapas
pergelangan tangan kanan Bladra Wikuyana yang terbuat dari kayu! Tangan palsu
yang ujungnya berbentuk arit itu kutung dan lepas! Mental ke udara! Bladra
Wikuyana melompat ke belakang. Mukanya pucat pasi. Dia mengerang karena aliran
aneh yang berhawa panas dari senjata lawan merembes melalui kutungan tangan
kayu ke dalam tubuhnya!
“Cuma lengan kayumu saja. Angin Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam
mayat?” Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
“Sekarang aku minta kaki kayumu!” Habis berkata begitu. Wiro Sableng
bersiul dan melompat ke muka. Kapaknya membabat ke kepala Bladra Wikuyana. Jago
tua ini yang tak berani lakukan bentrokan senjata cepat-cepat melompat berkelit
dan lancarkan serangan balasan dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan
angin hebat. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan, segala pukulan tangan
kosong bagaimanapun hebatnya dari manusia berewok yang bergelar Angin Topan
Dari Barat itu tiada artinya lagi! Kapak Naga Geni 212 membacok ke bahu,
berbalik merambas pinggang, menderu lagi ke kepala membuat tokoh silat tua dan
berpengalaman luas itu menjadi sangat sibuk. Dan ketika tiba-tiba sekali
senjata lawan membabat ke bawah, dia tak punya kesempatan lagi untuk mengelak!
Untuk kedua kalinya mata kapak membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra
Wikuyana sebelah kanan! Meski huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat
lompatkan diri ke luar dari kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan
keningnya penuh keringat! Di dalam dadanya menggelegak rasa benci, dendam dan
nafsu untuk membunuh! Dengan tahan tubuhnya pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana
pejamkan mata. Mulutnya komat kamit.
“Ilmu apa yang kau mau keluarkan Angin Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar
omonganku! Aku yang muda ini masih mau kasih ampun kepada kau jika kau berjanji
untuk bertobat dan hidup di jalan yang benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi
mempergunakan iimumu buat menolong sesama manusia. Bagaimana…?!” Bladra
Wikuyana buka sepasang matanya sedikit. Mulutnya berkemik mengejek.
“Jangan kira kau sudah menang bocah hijau! Aku masih jauh dari kalah! Lihat
mukaku bocah hijau… lihat mukaku….
“ Mata Wiro Sableng menyipit. Ketika diperhatikannya tampang Bladra
Wikuyana terkejutlah dia. Kepala tokoh silat itu kini rnenjadi enam dan
berwarna hitam, gigi-giginya merupakan caling-caling yang mengerikan, bola-bola
matanya besar sedang lidahnya panjang menjulai sampai ke dada. Dari dua belas
mata yang ada di enam kepala itu memancar sinar hijau.
“Ah… ilmu siluman macam begini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak
kecil!” ejek Wiro Sableng. Disapukannya Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin
deras membuat Bladra Wikuyana terpelanting tapi muka silumannya masih juga
seperti tadi malah semakin menyeramkan. Tiba-tiba dengan menggereng keras
laksana harimau terluka menerjanglah tokoh silat itu didahului oleh dua belas
sinar hijau yang ke luar dari mata silumannya!
“Tua bangka geblek! Dikasih ampun malah keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!”
rutuk Wiro Sableng. Ditunggunya beberapa detik. Sesaat kemudian berkiblatlah
kapak mautnya dari atas ke bawah! Angin Topan Dari Barat terkapar di pelataran
batu karang tanpa berkutik, juga tanpa menjerit. Kepalanya sampai ke dada
terbelah dua. Darah membanjir! Tamatlah riwayat tokoh silat dari golongan hitam
itu yang selama hidupnya telah menebar benih kejahatan dan mendidik
manusia-manusia untuk disesatkan! Wiro Sableng garuk rambut gondrongnya dan
meludah. Jijik juga dia melihat darah yang membanjir dari tubuh Bladra
Wikuyana. Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanannya. Mata kapak
itu berlumuran darah. Pemuda ini goleng-goleng kepala.
“Kapak hebat… kapak hebat….” katanya. Kemudian sekali hembus saja maka noda
darah pada mata kapak pun lenyaplah! Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng
itu segera dimasukkannya ke balik pinggang kembali. Selama setengah jam Wiro
Sableng memasuki dan menggeledah isi Gua Sanggreng. Di sini ditemuinya banyak
sekali persediaan makanan dan uang serta barang-barang perhiasan. Menurut
pikiran Wiro uang serta perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang
ditimbun menjadi milik Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil sejumlah uang
dan perhiasan sekedar bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah
kursi besar dan menikmati makanan yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar
dari gua dilihatnya langit sudah sangat merah kekuningan tanda matahari hampir
tenggelam. Pemuda ini segera mencari tangga tali. Tangga tali itu kemudian
dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi jurang sebelah atas dan
mulailah pendekar ini menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke atas. Dari
atas sebelum berlalu dilayangkannya pandangannya untuk terakhir kali ke dalam
jurang batu. Duapuluh enam mayat bergelimpangan di mana-mana. Pemuda ini garuk
dan golenggoleng kepala. Dan mulailah dia melangkah sepembawa kakinya. Malam
tiba nanti entah di mana dia akan berada. Suara siulannya mengumandang di
belantara batu-batu karang. Sambil terus berjalan. bernyanyilah pendekar ini:
Langit merah angin silir…. Surya tenggelam di ufuk Barat…. Malam yang datang
tentu dingin dan gelap…. Berjalan seorang diri memang tidak enak…. Tapi selalu
diikuti orang lain juga tidak enak…. Nyanyian ini tiada menentu nadanya dan
diulang-ulang sampai beberapa kali. Akhirnya disatu penurunan curam Pendekar
212 hentikan nyanyiannya dan duduk di sebuah unggukan batu. Sambil tertawa-tawa
berkatalah dia:
“Manusia yang ikuti aku kenapa sembunyi di belakang batu? Coba ke luar
unjukkan jidat, apa betul manusia atau hantu…?” Wiro memandang pada celah batu
karang yang tadi dilewatinya. Suasana hening saja.
“Ah, manusia di belakang batu tentu seorang pemalu,” katanya.
“Biarlah aku sendiri yang lihat tampangnya!”
Habis berkata begitu Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah celah
batu. Sebagian lagi terguling ke bawah. Dan dari balik batu terdengar seruan
tertahan!
Apa yang tidak diduga oleh Pendekar 212 ternyata bahwa penguntitnya sejak
dari jurang Gua Sanggreng tadi adalah seorang gadis!
***
ENAM
“Aha… Nyatanya seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!” kata
Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar melihat kepada pakaian ungu yang
dikenakan gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak
murid Dewa Tuak.
“Gadis molek, ada apa kau menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai ke
jurang maut sana…?” bertanya Wiro.
Anggini, si gadis baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena
malu dan jengah. Wiro Sableng tertawa lagi dan berkata: “Mungkin ada mengandung
suatu maksud tidak baik …. “
“Saudara… a…aku…” Anggini gugup sekali. Apa yang harus dikatakannya pada
pemuda itu?
“Apakah gurumu si Dewa Tuak itu juga ikut bersamamu saat ini?
Barangkali juga kalian hendak menjebakku…?”
“Saudara dengarlah…” kata Anggini pula.
“Aku sebenarnya tidak mau dengan semuanya ini…”
“Semuanya ini apa…?” potong Wiro Sableng.
Anggini menggigit bibir.
“Gurumu bersamamu?”
“Tidak….”
“Gurumu yang menyuruh untuk menguntit aku?”
Gadis itu anggukkan kepala.
“Perlu apa gurumu menyuruh demikian?”
Kembali Anggini menggigit bibir.
“Apa dia belum puas dengan sedikit pertempuran siang tadi…?”
Anggini tetap membungkam. Ya, bagaimana dia harus mengatakan pada si pemuda
bahwa gurunya menyuruhnya mengejar untuk kemudian berusaha menjadi kawan hidup
pemuda itu? Bagaimana dia harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis dan
lari dari hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan kening. Mendadak mukanya menjadi merah, semerah
langit yang disaputi sinar sang surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat
akan ucapan Dewa Tuak yang mengatakan bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh
muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada gadis baju ungu. Anggini berparas bujur
telur dan molek. Kulitnya kuning dan potongan tubuhnya sedap dipandang mata.
Tapi urusan jodoh mana ini pemuda berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya
sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban berat yang dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa
dendam seribu karat terhadap Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini
masih belum lunas! Masih belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya. Dipandanginya gadis baju ungu itu
seketika lalu mengumandanglah gelak tawanya.
“Saudari… apakah penguntitan ini ada sangkut pautnya dengan ucapan gurumu
si Dewa Tuak?”
Paras Anggini semakin merah.
“Tadi aku sudah bilang… sebenarnya aku tak senang dengan semua ini. Tapi
guru memaksaku…”
“Memaksa bagaimana?!”
“Katanya aku harus mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah
kembali kepertapaan. Katanya lagi aku harus… harus…” Anggini tak dapat meneruskan
ucapannya.
“Kurasa gurumu itu sudah sinting! Sekurang-kurangnya seperempat
sinting!"
Meski Anggini memang tak suka menjalankan apa yang diperintahkan Dewa Tuak
namun mendengar nama gurunya dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
“Jangan hina guruku, saudara!” bentaknya. Wiro Sableng garuk kepala.
“Ah… guru dan murid sama saja gebleknya!” kata ini pemuda.
“Kalau gurumu suruh kau makan beling dan minum racun, apakah kau juga akan
ikuti ucapannya itu…?!”
“Guruku tidak segila itu!” bentak si gadis.
“Aku memang tidak bilang gurumu gila, tapi sinting!” menukasi Wiro Sableng.
“Sekali lagi kau berani menghina guruku, kutampar mulutmu!” ancam Anggini.
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul!
“Gurumu memang sinting!” katanya lagi. Anggini telah menyaksikan kehebatan
ilmu silat dan ketinggian kesaktian Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran di
jurang Sanggreng beberapa saat yang lalu. Dari situ dia dapat menyimpulkan
bahwa gurunya sekali pun belum tentu akan dapat mengalahkan pemuda itu dengan
mudah. Namun saat itu kegemasannya tak dapat ditahan lagi. Tangan kanannya
bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah angsurkan pipi ke muka!
“Plaak!” Tamparan mendarat di pipi Wiro Sableng. Pendekar muda ini tertawa.
“Betapa lembutnya jari-jarimu mengelus pipiku..,” katanya dengan pejamkan
mata.
“Ayo, tamparlah sekali lagi… dua kali lagi… tiga kali lagi… sesuka
hatimulah…!” Wiro menunggu tapi tamparan berikutnya tak datang dan pemuda ini
bukakan kedua matanya ‘kembali. Dilihatnya Anggini berdiri dengan hidung
kembang kempis menahan geram yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa.
“Kenapa tidak mau tampar?” tanyanya sinis. Karena digemasi terus-terusan
Anggini jadi penasaran sekali. Segera dibukanya selendang ungu yang melilit di
pinggangnya yang berpinggul besar.
“Eh… saudari kau ini apa mau buka pakaian di depanku?” tanya Wiro Sableng
sambil kedip-kedipkan mata dengan ceriwis.
“Pemuda rendah terima selendangku ini!” bentak Anggini. Tangan kanannya
bergerak. Ujung selendang berputar pelahan dan lamban ke arah kepala Wiro
Sableng. Selendang terbuat dari kain yang halus. Bila benda itu bergerak lamban
berarti benda itu dialiri oleh aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa
kadangkala tenaga halus lebih berbahaya daripada tenaga kasar yang di luarnya
kelihatan hebat. Pemuda ini tak mau menyambuti liuk liku selendang itu. Dia
menggeser kedua kaki dan menjauhkan kepalanya. Masih tertawa dia mengejek:
“Saudari, tarianmu bagus sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau
pelajari?!” Dugaan Pendekar 212 memang tepat. Kalau sekiranya dia mencoba
memapasi selendang yang meliuk-liuk itu maka dengan satu sentakan cepat Anggini
akan menarik selendang dan melesatkan ujungnya ke mata si pemuda. Ini pun
sebenarnya belum ketentuan Wiro Sableng akan kena dihajar begitu saja. Tapi
demikianlah kenyataannya bahwa kadangkala ilmu halus dan lembut harus dihadapi
dengan kehalusan dan kelembutan pula. Melihat si pemuda geser kaki menjauh tapi
masih dengan sikap mengejek maka kini Anggini rubah permainan selendangnya.
Laksana seekor naga selendang ungu itu meliuk dan mematuk kian ke mari. Dan
kini barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran pula.
“Saudari, permainan selendangmu patut dikagumi!” memuji Pendekar 212.
“Tapi tak cukup pasal kalau kau sampai menyerangku begini rupa. Aku…”
Ucapan Wiro Sableng terpotong oleh bentakan Anggini.
“Tutup mulut pemuda ceriwis! Lihat selendang!” Ujung selendang ungu dengan
sangat tiba-tiba mematuk ke arah mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda
ini tundukkan kepala untuk mengelak. Sejak tadi meski dia menghadapi
serangan-serangan lawan dengan cara kasar tapi sesungguhnya Pendekar 212
terus-terusan mengambil sikap mengelak. Tapi pada saat Wiro Sableng mengelak,
pada detik itu pula ujung selendang dengan sangat cepat turun dan melibat
leher! Setengah libatan Pendekar 212 cepat-cepat pergunakan tangan kiri untuk
rnengibaskan selendang ujung tapi ini tak bisa dilakukannya karena serentak
dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua ujung jari tangan kiri ke dada kiri
Wiro Sableng. Hebat sekali serangan ini sehingga kalau dilihat dari atas maka
serentakan dengan serangan selendangnya tadi, maka sepasang serangan Anggini
tak ubahnya seperti sebuah gunting besar yang hendak menggerus tubuh dan leher
si pemuda!
“Ah… ah… bagus, bagus sekali saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa
Tuak!” memuji Wiro Sableng. Tangan kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu
tusukan jari tangan lawan. Anggini yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh
lebih tinggi darinya batalkan serangan sebaliknya tangan kanannya siap
menyentakkan selendang ungu yang ujungnya telah melibat setengah leher Wiro
Sableng. Pendekar 212 cepat angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan
selendang sehingga kalaupun detik itu disentak, sentakan itu tak akan
mencelakainya. Kemudian dengan tangan kanannya, cepat sekali disampoknya bagian
tengah selendang! Anggini sama sekali tak dapat melihat cepatnya tangan kanan
lawan yang menyampoki senjatanya. Dia hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana
selendangnya menjadi menegang dan tertarik ke muka! Sesaat mengetahui bahwa
selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah gadis ini, tapi juga penasaran
sekali. Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro Sableng mau lepaskan, malahan
sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut sehingga tubuh Anggini sedikit
demi sedikit, selangkah demi selangkah ikut tertarik ke hadapannya. Anggini
memaki dalam hati.
“Sambut paku perakku, rnanusia rendah!” bentak gadis itu. Sekali dia
gerakkan tangan kirinya maka selusin benda yang besarnya setengah jengkal,
berbentuk paku dan berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro Sableng. Karena
jarak mereka terpisah dekat sekali maka dua belas senjata rahasia ini sangat
berbahaya bagi keselamatan si pemuda. Anggini sendiri tiba-tiba merasa menyesal
melepaskan senjata rahasia itu karena kawatir si pemuda tak dapat berkelit atau
memapakinya, karena bukankah gurunya telah berpesan bahwa pemuda itu adalah
cocok bakal jadi jodohnya…?! Sebaliknya yang diserang tenang-tenang saja.
Bahkan sambil bersiul dilambaikannya tangan kirinya. Delapan paku perak luruh ke
tanah sedang yang empat lagi dielakkan dengan berkelit sedikit ke samping.
Kalau tadi dia merasa menyesal menyerang pemuda itu dengan senjata rahasianya
maka kini setelah si pemuda berhasil selamatkan diri, kembali Anggini menjadi
penasaran. Dia memekik keras, lompat ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak
dekat susul rnenyusul.
“Ah, tak sangka gadis molek begini galak sekali!” kata Wiro Sableng pula.
Dia melompat ke samping. Membuat gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini
turun ke tanah, kedua kaki gadis itu sudah terlibat selendangnya sendiri!
Membuatnya berdiri dengan terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ayo, kenapa berhenti galaknya?” tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih memegang ujung yang lain dari selendangnya
maka dengan cepat dia dapat membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali.
Matanya menyorot memandang kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan
ceriwis mengedip-ngedipkan matanya!
“Senjata apa lagi yang bakal kau keluarkan?!” tanya Wiro.
“Lepaskan selendangku!” teriak Anggini.
Wiro hanya tertawa.
“Lepaskan!” teriak gadis itu lagi. Dicobanya menyentakkan selendang itu
tapi Wiro memegangnya erat sekali. Kalau ditariknya keras pasti selendang kain
itu akan robek.
Kesal dan gemas akhirnya dengan menghentakkan kaki Anggini lepaskan
selendangnya, putar tubuh dan lari ke balik sebuah batu besar. Di sini
menangislah gadis itu.
“Heh… kenapa jadi nangis?” tanya Wiro ketika dia melangkah dan datang di
balik batu besar. Pemuda ini jadi garuk-garuk kepala. Lalu katanya: “Saudari,
lihat, hari sudah senja.
Sebaliknya kau kembalilah ke tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan
sesat di malam yang gelap nanti!”
“Aku tak mau kembali! Tak bisa kembali ke pertapaan!” jawab Anggini di
antara tangis sesungguhnya.
“Kenapa tak mau? Kenapa tak bisa?”
“Guruku akan marah!”
“Marah kenapa?” tanya Wiro tagi.
“Sudah… sudah! Kau tidak tahu!” Dan tangis Anggini semakin mengeras.
“Lalu kalau kau tak mau kembali ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di
sini?!”
“Tak usah perdulikan aku! Biar aku mau malang mau melintang tak usah ambil
pusing! Pergi dari sini kau…!” Anggini menyeka mata dan pipinya.
“Tak perlu bicara keras macam begitu, Saudari. Antara kita tak ada
permusuhan. Ini semua adalah gara-gara gurumu yang berotak sinting itu!”
“Jangan hinakan guruku!” hardik Anggini.
“Kau seorang murid yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi
sayang kau juga turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang
sudah, kembalilah ke pertapaan gurumu sebelum hari menjadi malam…”
“Tidak!”
Wiro Sableng melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa
saat itu. Akhirnya pemuda ini berkata juga: “Ini selendangmu. Kalau kau banyak
berlatih pasti kau menjadi seorang gadis yang hebat….”
Wiro lantas menyampirkan selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia
memandang ke langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan
sabit kelihatan samarsamar di balik awan.
“Sudah malam….” desis pemuda ini. Kemudian dia memandang pada gadis yang
berdiri di depannya dengan membelakang itu.
“Pergilah cepat, saudari. Nanti kau kemalaman di jalan….”
Anggini gelengkan kepala.
“Guruku akan marah… akan marah kalau aku kembali…. “
“Kalau begitu ya tak usah kembali saja…” ujar Wiro Sableng.
“Aku memang tak bakal kembali…” kata Anggini pula.
“Hem… dan kau mau pergi ke mana?”
“Apa urusanmu tanya-tanya?”
“Ah…” Wiro tertawa. Dia melangkah ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya
pundak Anggini. Si gadis dengan serta merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi
tubuhnya sudah keburu dijalari perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke
lubuk hatinya. Tak kuasa dia menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.
“Saudari, dengarlah…” kata Wiro pula. Tangannya masih memegang bahu si
gadis malahan meremas-remasnya dengan lembut.
“Dalam hubungan guru dan murid walau bagaimana pun kau musti kembali ke
pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan sehdiri. Kalau kau tak kembali malah
gurumu akan marah sekali. Kau pasti akan dihukumnya!”
“Tapi bagaimana aku mungkin bisa kembali? Tidak bisa saudara.., kau tidak
tahu….”
“Apa yang aku tidak tahu?” tanya Wiro. Tak mungkin bagi Anggini untuk
mengatakannya dengan terus terang. Namun terluncur juga ucapan dari mulutnya:
“Kalau aku musti kembali kata guruku… aku harus bersamamu…” Wiro tertawa.
Suara tertawanya menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam itu.
“Saudari… namamu siapa?” bertanya Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu
diam saja diremas bahunya maka tangan Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi
yang masih belum kering dengan air mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak
mendebarkan dada si gadis kini tambah keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia
menyibakkan tangan yang membelaibelai itu. Ditundukkannya kepalanya.
“Siapa namamu,
saudari…?” tanya Wiro lagi.
“Anggini,”
jawab si gadis perlahan.
“Nama bagus…
nama bagus,” puji Pendekar 212 dan tangannya semakin berani membelai muka
Anggini.
“Dengar Anggini, orang tua macam gurumu itu memang suka bicara ngelantur.
Sekarang kau kembali saja ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak berhasil
mengejar atau menemui aku. Habis perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau
telah menemuiku dalam keadaan tak bernyawa mati di jurang Sranggreng!”
“Aku tak bisa berdusta… kalau aku berdusta dia selalu mengetahuinya!” kata
Anggini pula.
“Wah berabe kalau begini!” ujar Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia
berpikir-pikir apa yang akan diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu
sendirian di situ, tak tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang.
Akhirnya diajaknya gadis itu duduk di sebuah batu datar. Daerah belantara di
mana mereka berada saat itu serba asing baginya. Mungkin sampai ratusan tombak
bahkan ribuan tombak perjalanan belum menemui rumah penduduk. Apakah dia dan
gadis itu terpaksa tinggal terus di tempat itu malam ini? Angin bertiup dari
celah-celah batu-batu yang meruncing memenuhi tempat itu.
“Dingin…?” bisik Pendekar 212. Anggini mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar
212 bergerak di balik punggung si gadis untuk kemudian merangkul bahu Anggini.
Suasana berubah hangat. Dan untuk beberapa lamanya mereka tiada bicara. Wiro
memecah kesunyian.
“Kalau kau tak mau kembali ke pertapaan dan aku tak bisa pula meninggalkan
kau sendirian maka kita terpaksa bermalam di sini. Tunggulah sebentar aku akan
cari tempat yang baik….”
“Nanti sajalah….
“ kata Anggini. Diletakkannya tangan kanannya di paha Pendekar 212 dan dia
memandang ke angkasa.
“Langit cerah,” kata Wiro.
“Kalau nanti turun hujan, memang. kita yang sialan…. !” Anggini tertawa.
Manis sekali tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali jadinya. Dan
diperketatnya rangkulannya. Kemudian dengan beraninya pendekar ini menggelitiki
tengkuk si gadis dengan hidungnya.
“Jangan begitu ah….” kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan
tengkuknya tidak dijauhkannya. Malam itu Wiro Sableng sengaja tidak membuat,
perapian. Dia khawatir kalau-kalau nyala api hanya akan mengundang datangnya
hal-hal yang tidak diingini. Apalagi kalau yang datang itu adalah Dewa Tuak
adanya. Meskipun dingin, meskipun mereka hanya terbaring di balik batu besar
hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang berada berdekatan
itu saling memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat pada suatu malam ketika dia
berada berdua-duaan di sebuah dangau di tengah sawah dengan Nilamsuri. Malam
ini tak ada bedanya dengan malam yang dulu itu. Sama-sama ada seorang gadis di
sampingnya. Tapi terhadap Anggini, Pendekar 212 masih punya pikiran panjang dan
sehat: Meski saat itu Anggini sudah berbaring pasrahkan seluruh tubuhnya
untuknya dan memang sudah hampir setiap bagian dari tubuh Anggini disentuh oteh
Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih jauh dari itu pemuda ini tidak mau.
Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya menggapai punggung Wiro dan
pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212 hanya merangkuli tubuh itu,
hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi matanya yang sayu kuyu tapi
menyembunyikan hasrat yang meluap itu.
***
Sinar matahari yang menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari
kenyenyakan tidurnya. Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya
beberapa kali kemudian dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut
mendapatkan pemuda itu tak ada di sampingnya, la segera bangun duduk, lalu
berdiri dan memandang ke belakang. Tapi pemuda itu tidak kelihatan.
“Wiro,” panggilnya. Tak ada yang menyahut.
“Wiro…. !” panggilnya sekali lagi lebih keras. Hanya gaung suaranya yang
menjawab. Tiba-tiba ketika matanya memandang ke batu besar di samping
pembaringan di mana dia dan Wiro tidur semalam terbentur olehnya tulisan.
Tulisan. Anggini Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit. Aku terpaksa meninggalkan
kau. Kalau ada umur kita pasti bertemu lagi. Kembalilah ke tempat gurumu.
Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi.
Anggini merasakan dadanya menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya
pemuda itu sudah pergi. Tubuhnya masih terasa hangat oleh pelukan Wiro malam
tadi. Seperti masih terasa jari-jari tangan pemuda itu mengelusi kulit
tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang disertai gigitan-gigitan kecil. Terima
kasih untuk segala-galanya malam tadi Anggini membaca lagi tulisan itu.
Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya ke kemerahan, ditambah lagi
sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya untuk mengejar pemuda itu
kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam tadi atau dinihari, atau
pagi tadi sebelum dia bangun. Gadis ini tarik nafas panjang dan dalam. Ketika dia
membetulkan ikatan selendang ungunya yang di pinggang, maka pada ujung
selendang itu dilihatnya sederetan angka: 212. Sekali lagi gadis ini tarik
nafas dalam dan panjang. Lalu dengan langkah gontai ditinggalkannya tempat itu.
***
TUJUH
Kerajaan
Pajajaran…
Pada masa itu Kerajaan Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di Jawa
Barat. Bahkan dengan kesultanan Banten di pantai Utara masih terdapat hubungan
baik, belum ada silang sengketa. Di bawah pemerintahan Prabu Kamandaka maka
Kerajaan Pajajaran aman tenteram. Penduduk hidup berkecukupan. Tapi di dunia
ini selalu saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri dan dengki. Yang tidak
senang dengan kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan
orang lain, yang tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan
kekuasaan orang lain itu lalu ganti menguasainya! Saat itu satu-satunya manusia
di seiuruh Pajajaran yang paling membenci Prabu Kamandaka ialah Werku Alit.
Dalam tambo keturunan raja-raja Pajajaran maka Prabu Purnawijaya adalah
satu-satunya raja pajajaran yang tidak mempunyai keturunan kandung dari
permaisurinya. Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini
jugalah yang menjadi pangkal sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di
Pajajaran. Ketika Prabu Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli
agama dan orangorang tua kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik
kandung Prabu Purnawijaya, menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang
yang bijaksana, pandai serta berilmu tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia
telah menunjukkan bakat untuk menjadi seorang pemimpin agung. Lagi pula memang
tak ada manusia lain di Pajajaran saat itu yang punya hak dan pantas untuk
dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu Purnawijaya. Dari seorang selirnya,
Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama Werku Alit. Werku Alit
ini tua beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok keduanya sama-sama
disusukan pada seorang perempuan penyusu istana sehingga boleh dikatakan antara
Werku Alit dan Kamandaka terjalin sudah satu pautan tali persaudaraan! Namun
ketika Kamandaka dinobatkan sebagai Prabu Pajajaran timbullah dengki di hati
Werku Alit. Bukankah Kamandaka hanya adik Prabu Purnawijaya; bukan anak
kandungnya? Dan bukankah dia sebagai anak dari Prabu Purnawijaya, lebih
mempunyai hak untuk memegang tahta kerajaan? Werku Alit dalam dengkinya,
apalagi sesudah kena hasutan oleh golongangdongan tertentu yang memang tidak
suka pada Kamandaka, lupa bahwa dirinya hanyalah seorang anak yang dilahirkan
dari selir Prabu Pumawijaya, yang sama sekali tidak punya hak untuk menjadi
raja Pajajaran. Demikianlah, secara diam-diam Werku Alit meMnggalkan istana
Pajajaran, mengembara menuntut ilmu dan menghubungi beberapa orang tertentu.
Ketika dia kembali ke istana maka saat itu dia sudah menyusun suatu rencana
besar. Yaitu untuk merebut takhta kerajaan dengan jalan kekerasan! Dengan
pertempuran, dengan peperangan! Dalam pengembaraan itulah Werku Alit bertemu
dengan Suranyali atau Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa seorang manusia
sakti luar biasa maka Werku Alit mengambilnya sebagai tangan kanan dengan
perjanjian bila kerajaan berhasil digulingkan maka Mahesa Birawa akan dijadikan
Perdana Menteri! Dalam menjadi tangan kanan membantu rencana busuk Werku Alit.
Mahesa Birawa mempunyai rencana sendiri, rencana dalam selimut. Jika kerajaan
jatuh dan Werku Alit menang, maka Mahesa dan kawan-kawannya akan menyingkirkan
Werku Alit untuk kemudian dia sendiri yang akan menampilkan diri menduduki
tahta kerajaan Pajajaran
* * *
Di hutan belantara di sekitar kaki Gunung Halimun kelihatan bertebaran
ratusan buah kemah. Inilah pusat balatentara pemberontak yang hendak merebut
tahta kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan Werku Alit. Sementara Werku Alit
kembali ke Pajajaran maka pimpinan dipegang langsung oleh tangan kanannya yaitu
Mahesa Birawa. Di sini berhimpun sekitar seribu prajurit. Kebanyakan dari
pasukan-pasukan ini didapat Werku Alit dan Mahesa Birawa dari Adipati-adipati
kecil yang bernaung di bawah Pajajaran tapi yang kena dipengaruhi dan dihasut
oleh kedua orang itu. Bahkan saat itu Mahesa Birawa masih menunggu beberapa
orang Adipati lagi yang telah dihubunginya. Jika Adipati-adipati ini datang dan
menyerahkan beberapa ratus prajurit tambahan maka dapatlah diatur kapan
dilaksanakan penyerangan terhadap Pajajaran. Sementara waktu menunggu maka
semua prajurit senantiasa dilatih perang-perangan. Para kepala-kepala pasukan
diberi tambahan ilmu silat dan kesaktian yang lumayan oleh Mahesa Birawa sedang
para Adipati yang saat itu sudah bergabung Mahesa Birawa menurunkan beberapa
ilmu kesaktiannya. Mahesa merasa sangat menyesal sekali ketika mendapat kabar
bahwa tiga orang anak buahnya yang; diam di Jatiwalu telah menemui ajal akibat
bentrokan dengan anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng sedang Kalingundii
hilang lenyap tak tentu rimbanya. Kalau saja keempat manusia itu ada di sana
tentu tak usah payah-payah dia menggembleng kepala-kepala pasukan dan
Adipatiadipati itu. Tapi tak apa payah sedikit. Nanti dia akan memetik hasilnya
sendiri! Di dalam kemah besar yang terletak di tengah-tengah ratusan kemah di
kaki Gunung Halimun itu, mengelilingi sebuah meja bulat telur maka duduklah
empat orang laki-laki. Yang pertama tak lain dari Mahesa Birawa, kumis
melintang dan badan semakin gemuk. Yang kedua Adipati Karangtretes yaitu
Jakaluwing, bercambang bawuk lebat, potongan tubuhnya tegap kekar. Yang ketiga,
yang duduk di samping kiri Mahesa Birawa ialah seorang berbadan tinggi kurus
bermuka licin bernama Surablabak. Dia adalah Adipati Manganreja. Yang terakhir
seorang laki-laki berbadan gemuk pendek, berkepala sulah. Sinar lampu dalam
kemah membuat kepalanya itu berkilat seperti bersinar-sinar. Manusia ini
bernama Lanabelong, Adipati Kendil. Di atas meja, di hadapan keempatnya
terletak masing-masing segelas tuak murni dan harum. Ketiga Adipati itu telah
kena dihasut oleh Mahesa Birawa dan Werku Alit untuk memberontak terhadap
Pajajaran dan kepada mereka dijanjikan kedudukan sebagai Menteri kerajaan bila
pemberontakan mereka berhasil kelak.
“Silahkan diteguk tuaknya, saudara-saudara Adipati,” kata Mahesa Birawa
pula sesudah keheningan mengungkungi kemah itu beberapa lamanya. Masing-masing
kemudian meneguk tuak yang enak itu. Di malam yang dingin minum tuak memang
enak menghangatkan tubuh. Jakaluwing raba cambang bawuknya. Lalu bertanya:’
“Kapan kira-kira saatnya kita akan menggempur Pajajaran, adimas Mahesa
Birawa?”
“Soal penggempuran itu kangmas Jakaluwing, sebenarnya saat ini pun kita
sudah sanggup melakukannya. Jumlah prajurit cukup, tenaga pimpinan rata-rata
sudah berpengalaman dan dapat diandalkan. Cuma kita tak enak kalau meninggalkan
saudara-saudara Warok Gluduk dan Tapak Ireng. Kedua Adipati itu telah berjanji
akan bergabung dengan kita bersama beberapa ratus prajurit-prajurit mereka. Ada
baiknya jika kita tunggu kedatangan mereka. Sesudah itu baru kita hubungi Raden
Werku Alit untuk menentukan kapan saat yang baik untuk penyerangan….” Adipati
Jakaluwing manggut-manggut.
“Begitu memang bagus,” kata Lanabelong. Adipati berkepala sulah. Lalu
diteguknya tuaknya.
“Di samping itu, mengingat bahwa di Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh
pelindung yang berilmu tinggi maka kita musti tidak pula menyia-nyiakan bantuan
yang hendak diberikan oleh Begawan Sitaraga yang diam di puncak Gunung
Halimun!”
“Ah, hebat sekali kalau Begawan yang tersohor ini ikut di pihak kita!” kata
Surablabak sambil pukul meja.
“Sebenarnya,” kata Mahesa Birawarpula.
“Begawan Sitaraga ini mempunyai dendam kesumat yang masih belum terbalaskan
terhadap toa Pajajaran yaitu kakek dari Kamandaka….”
“Kalau Begawan ini setingkat umurnya dengan kakek Kamandaka, tentu kini
kira-kira sudah seratusan usianya…” kata Lanabelong.
“Kira-kira begitutah,” sahut Mahesa Birawa. Kemudian laki-laki ini berseru
memanggil pelayan untuk menyuruh tambah tuak di keempat gelas itu. Sesudah
pelayan pergi Mahesa Birawa buka mulut kembali.
“Besok aku akan kirimkan dua orang kurir ke Pajajaran untuk menemui Raden
Werku Alit. Kuminta kepadanya untuk menyebar mata-mata lebih banyak, terutama
di dalam istana guna mengetahui perkembangan terakhir, terutama mencari kabar
selentingan apakah gerakan kita ini bocor atau tidak….“
“Dan jangan lupa pula untuk meneliti pertahanan Pajajaran di mana yang
lemah,” kata Lanabelong. Mahesa Birawa mengangguk.
“Saudara-saudara Adipati, agaknya pertemuan kita malam ini cukup. Sampai
besok pagi.” Keempat orang itu saling menjura kemudian satu demi satu
meninggalkan kemah besar khusus untuk tempat perundingan, menuju ke kemah
masing-masing.
***
DELAPAN
Laki-laki itu berjalan di liku-liku lorong bagian belakang istana dengan
menundukkan kepala. Sekali-sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal
istana tidak menegur atau menahan laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa
laki-laki itu adalah Udayana, pembantu Prabu Kamandaka. Segala urusan rumah
tangga sang Prabu dialah yang mengurusnya. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Maut Bernyanyi Di Pajajaran Di pintu besar gedung istana sebelah
belakang laki-laki ini berhenti sebentar lalu menyeberangi halaman kecil dan
masuk ke pintu sebuah bangunan kecil yang bagus bentuknya. Justru di sini dua
orang pengawal memalangkan tombak menghentikannya.
“Aku mau ketemu Raden Werku Alit,” kata Udayana.
“Ada keperluan apa?” tanya salah seorang pengawal.
“Beliau sudah tahu.”
“Tunggu di sini,” Pengawal itu masuk yang seorang tetap di tempatnya. Tak
lama kemudian pengawal yang masuk muncul kembali.
“Kau dipersilahkan menghadap.” katanya memberi tahu. Udayana mengangguk dan
memasuki pintu gedung. Di dalam sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut
kedatangannya. Ditepuktepuknya bahu Udayana.
“Bagaimana? Ada perkembangan baru…?” Werku Alit berbadan tinggi langsing
dan me-melihara kumis panjang menjulai seperti tali, seperti raja-raja
Tiongkok!
“Perkembangan baru belum ada Raden…. Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit
banyak nya ada perlunya juga saya sampaikan kepada Raden…”
“Bagus, katakanlah Udayana….”
“Rara Murni adik Kamandaka siang besok akan berangkat ke Kalijaga untuk
menyambangi adik neneknya. Dia akan pergi dengan kereta dan dikawal
secukupnya….“
“Hem….” Werku Alit menggumam dan mengusut-usut kumis talinya.
“Aku belum melihat adanya hubungan keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi
tunggu sebentar, coba kupikir….” Tangan yang tadi mengusut kumis ini
memijit-mijit kening. Dan tangan itu tibatiba menepuk bahu Udayana sampai
laki-laki ini terkejut.
“Aku telah melihat kegunaan keteranganmu ini Udayana. Suruh seorang
mata-mata kita menghubungi Kalasrenggi. Katakan bahwa aku akan bicara dengan
dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan.” Udaya menjura.
“Perintah Raden akan saya jalankan,” katanya lalu cepat-cepat meninggalkan
kamar itu.
* * *
Seluruh balatentara kerajaan Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan
dan tiap-tiap pasukan dibagi dua masing-masing bagian dikepalai oleh seorang
yang disebut kepala prajurit, Kalasrenggi adalah salah seorang dari kepala
pasukan balatentara Pajajaran. Sebagai kepala lWiro Sableng Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 Maut Bernyanyi Di Pajajaran pasukan tentu saja dia memiliki ilmu
dan pengalaman yang dapat diandalkan. Dan memang banyak orang yang mengatakan
bahwa diantara lima kepala pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi adalah yang
paling tinggi ilmunya. Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula terseret ke dalam
rencana busuk Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka! Siang tadi seorang
suruhan Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan menyampaikan pesan bahwa
Werku Alit akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok
kerajaan. Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat
yang ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu. Sebenarnya tak pantas
disebut pondok karena sama sekali bangunan tua itu tiada mempunyai dinding dan
atapnya pun sudah sebagian melompong dimakan umur. Pondok atau lebih tepat
teratak itu sunyi saja. Tak seorang pun kelihatan di sana. Kalasrenggi berpikir
tentu Raden Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun menunggulah.
Dinyalakannya sebatang rokok. Dia memandang ke angkasa. Langit kelihatan
mendung. Bintang-bintang mulai tertutup awan. Bulan menghilang dan angin
bertambah besar serta dingin. Dia tak sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya
sudah hampir habis. Berbarengan ketika rokok itu dibuangnya ke tanah maka
dipengkolan muncul tiga sosok bayangan. Dua dari sosok bayangan itu berhenti
sedang yang satu terus melangkah ke arah teratak itu.
“Sudah lama kau…?” bertanya orang yang datang ini yang tak lain dari Werku
Alit adanya.
“Sudah juga,” sahut Kalasrenggi.
“Raden mau bicara apa dengan saya?” Sementara itu hujan rintik-rintik mulai
turun. Angin tambah kencang.
“Ada tugas buatmu besok Kalasrenggi,” kata Werku Alit.
“Tugas apakah, Raden?” Hujan rintik-rintik berubah menjadi lebat. Guruh
menggelegar. Kilat menyambar. Sesosok bayangan putih dibawah penerangan kilat
yang hanya sedetik saja terangnya, kelihatan berlari sangat cepat menuju
teratak tua itu. Werku Alit dan Kalasrenggi terkejut sekali dan tangan-tangan
mereka segera meraba hulu senjata di pinggang masing-masing!
“Hujan sialan!” Terdengar orang yang baru datang ini merutuk. Kemudian dia
berpaling pada Werku Alit dan Kalasrenggi dan berkata:
“Saudara-saudara, aku numpang mondok samasama kalian.”
Werku Alit dan Kalasrenggi memandang tajam pada laki-laki yang baru datang
ini. Dia masih muda, berbadan kekar dan berambut gondrong. Kedatangannya mau
tidak mau mencurigakan kedua orang itu meski ada alasan bahwa dia datang ke
sana untuk berteduh karena hari hujan lebat.
“Kau siapa?!” tanya Kalasrenggi membentak garang. Pandangannya buas sekali.
Tangan kirinya menyelinap ke pinggang. Laki-laki muda yang dibentak memandang
dengan keheran-heranan.
“Memangnya apa aku tidak boleh mondok di sini, Saudara?!”
“Aku tanya kau siapa dan jangan banyak tanya!” hardik Kalasrenggi. Pemuda
itu bersiul dan menyeringai.
“Tak usahlah bicara pakai membentak segala. Urusan kecil kalau dipersoalkan
dengan kasar bisa menimbulkan gara-gara yang tidak diingini!” Kalasrenggi
dengan tidak sabar melangkah ke hadapan pemuda itu dan hendak menempelaknya.
Tapi langkahnya dihentfkan ketika dalam kegelapan dan masih sempat rnelihat
isyarat yang diberikan oleh Werku Alit. Werku Alit tak ingin terjadi keributan
yang buntutbuntutnya bisa membocorkan rencana besamya. Karena itu dengan
terancam dia melangkah mendekati pemuda itu.
“Saudara,” kata Werku Alit sambil memegang bahu si pemuda.
“Harap maafkan. Kawanku memang lagi kasar berangasan habis kalah judi!
Sudahlah, tak ada yang harus kita ributkan di malam buta begini, mana hujan,
mana dingin. Bukankah begitu…?”
“Ah… tepat sekali saudara….” jawab si pemuda. Werku Alit tersenyum.
Tiba-tiba laksana kilat cepatnya, dua jari tangan kirinya menusuk ke muka
menghantam urat besar di bagian kiri tubuh si pemuda. Tak ampun lagi pemuda itu
rebah ke tanah. Sebagian kakinya terjulur lewat atap dan segera diguyur oleh
air hujan! Werku Alit tertawa mengekeh.
“Pemuda konyol mau banyak tingkah!”
“Tapi siapa tahu dia bukan pemuda biasa. Raden. Mungkin mata-mata….”
“Ah, tampangnya saja geblek, dogol, bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya
sekali totok saja sudah rubuh!” Kalasrenggi memandang sosok tubuh yang
menggeletak menelungkup itu. Dia bermaksud untuk menggeledah pemuda itu namun
didengarnya Werku Alit berkata:
“Sudah, tak perlu perdulikan kunyuk itu! Mad kita muiai pembicaraan.
Menurut keterangan pembantu rahasiaku, besok siang Rara Murni akan berangkat
dengan kereta ke Kalijaga. Tugasmu culik gadis itu, sekap di kuil tua di lembah
Limanaluk. Bila sudah beri laporan sama aku biar aku tentukan langkah
selanjutnya!”
“Itu tugas mudah, Raden,” kata Kalasrenggi.
“Tapi saya ingin tahu siapa-siapa saja yang ikut dengan Rara Murni…?”
“Aku tak mendapat keterangan tentang hal itu. Yang penting kau harus
tangkap Rara Murni hidup-hidup. Yang lainnya kalau melawan bereskan saja, habis
perkara!”
“Baiklah Raden. Sebelum malam tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang
untuk memberitahukan bahwa tugas sudah selesai….” Werku Alit menepuk bahu
kepala pasukan itu.
“Nah, aku pergi sekarang!” Kalasrenggi memperhatikan sampai ketiga orang
itu lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam. Kemudian laki-laki ini memutar
tubuh dan kembali matanya memandangi manusia yang menelungkup di bawah teratak
itu. Dia membungkuk hendak menggeledah, meneruskan niatnya yang tadi batal,
tapi kemudian terpikir olehnya, perlu apa susah-susah dengan diri orang lain.
Dengan seenaknya Kalasrenggi menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu
sehingga tubuh itu terlontar sampai beberapa tombak! Kalasrenggi kemudian
berlalu pula dari teratak tua itu.
***
SEMBILAN
Hanya beberapa ketika saja Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka
orang yang tadi ditotok dan ditendang anehnya tiba-tiba berdiri dengan cepat.
Dia melangkah kembali ke bawah teratak. Disekanya mukanya yang basah oleh air
hujan dan berselomotan lumpur. Diperhatikannya pakaiannya, kotor semua.
Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi.
“Sialan betul! Sakit juga tendangan kunyuk itu!” makinya seorang diri.
“Di lain hari aku akan balas keramah tamahannya tadi!” Sesungguhnya sewaktu
Werku Alit menotoknya tadi, orang ini sudah dapat menduga gerakan dan maksud
Werku Alit. Sebelum totokan datang cepat-cepat bagian tubuh di samping kiri
dialirkan dengan tenaga dalam. Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat di
tubuhnya, taki-laki ini pura-pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga ketika
Kalasrenggi menendangnya, dia dalam meneiungkup pura-pura pingsan masih sempat
melihat gerakan kaki orang itu dan bersiap menjaga diri sehingga waktu
ditendang tubuhnya hanya terasa pegal-pegal sedikit! Dan apa yang telah
dibicarakan kedua orang itu dapat didengarnya dengan jelas. Orang ini duduk
bergelung lutut dan berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi? Siapa
yang dipanggil dengan sebutan
“raden” dan siapa yang satu lagi? Mengapa mereka bicara di tempat terpencil
dan di malam hari berudara buruk seperti ini? Dan tugas yang diberikan oleh
orang yang dipangglkan
“raden” itu? Siapakah Rara Murni? Apakah keduanya bukan
gerombolan-gerombolan rampok pengacau? Yang hendak menculik Rara Mumi kemudian
melakukan pemerasan terhadap orang tua gadis itu? Orang itu usut-usut dagunya.
Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang telah dialaminya tadi. Tapi esok
bila hari sudah siang dia bisa mencari keterangan di Kotaraja. Sejak pagi
sampai saat itu sudah beberapa jam dia mengelilingi Kotaraja. Berbagai tempat
dan pelosok didatanginya. Namun tampang-tampang manusia yang dua orang yang
ditemuinya malam tadi tak berhasil dicarinya. Akhimya masuklah dia ke dalam
sebuah kedai. Memang saat itu tenggorokannya sudah seperti terbakar oleh rasa
haus dan perutnya perih keroncongan. Sambil makan dia terus juga
berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin kedua orang yang semalam itu gerombolan-gerombolan
rampok. Seorang rampok tak akan dipanggil
“raden”. Pasti yang dipanggil
“raden” itu seorang bangsawan kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya mau menculik
gadis orang? Mungkin pernah melamar tapi tak diterima? Dia menyudahi
makanannya. Ketika dia memandang berkeliling ternyata kedai itu sudah penuh
dengan tamu-tamu yang makan siang. Dengan perut kenyang dia kemudian melangkah
mendekati pemilik kedai. Ditanyakannya berapa jumlah yang harus dibayarkannya
lalu diberikannya sejumiah uang.
“lni kembalinya, Nak,” kata orang kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah
putih semua.
“Ah, tak usah. Ambil saja….” kata pemuda. Si orang tua jadi keheranan.
Demikian juga beberapa orang yang duduk di dekat sana. Pemuda yang berambut
gondrong, berpakaian lusuh serta bertampang keren tapi macam anakanak itu
berlagak seperti seorang kaya raya yang punya banyak uang, sok tak mau terima
uang kembalian! Tapi perhatian orang hanya sebentar tertuju kepada si pemuda.
Masing-masing kemudian sibuk mengurusi mulut dan perutnya sendiri. Si pemuda
mendekati pemilik kedai dan berkata pelahan:
“Uang yang kulebihkan itu untuk membayar beberapa keterangan darimu,
Bapak,” katanya.
“Keterangan?” Si orang tua kerenyitkan kening.
“Keterangan apa…?”
“Bapak sudah lama tinggal di Kotaraja ini?”
“Dari masih orok sampai punya buyut!” jawab pemilik kedai pula. Hatinya
masih bertanya-tanya dan heran.
“Kenapa anak tanya begitu?”
“Oh tak apa-apa…. Mungkin bapak kenal dengan seorang perempuan bernama Rara
Murni?” Pertanyaan ini membuat si orang tua lebih heran.
“Semua orang di Pakuan ini tahu siapa Rara Murni,” katanya.
“Oh pantas.. pantas… Rara Murni yang kau tanyakan itu adalah adik Sang
Prabu Kamandaka!” Tentu saja si pemuda mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa
sangka kalau Rara Murni adik dari raja Pajajaran?! Namun dengan pandainya dia
menyembunyikan kekagetannya itu. Kemudian terdengar suara orang kedai bertanya.
“Anak muda, ada maksud apakah kau bertanyakan adik Sang Prabu itu…?”
“Oh tidak apa-apa. Tidak apa-apa….”
“Kalau kau bermaksud buruk ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali
hulubalanghulubalang Sang Prabu yang bertelinga tajam!” Si pemuda sunggingkan
senyum.
“Kau terlalu bercuriga terhadapku, orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa
yang mendengar kabar disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah
seorang yang cantik jelita. Biasa bukan laki-laki tanya perempuan…?” Pemuda ini
kemudian tertawa geli. Namun tawa gelinya itu diputuskan oleh suara bentakan
dari arah pintu.
“Manusia yang berani bicara seenaknya tentang adik Sang Prabu coba putar
tubuh! Aku mau lihat tampangnya!” .Suara itu keras dan garang. Si pemuda
melihat bagaimana orang tua di hadapannya menjadi gemetar ketakutan.
“Aku sudah bilang apa… aku sudah bilang apa…” katanya berulang kali. Pemuda
itu dengan perlahan memutar tubuh. Di pintu dilihatnya berdiri seorang prajurit
berhadapan tegap bersenjata tombak.
“Bagus! Tampangmu memang mirip kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi
kerangkeng istana!” Prajurit ini melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi
muncul di ambang pintu.
“Tangkap pemuda rambut gondrong itu! Dia telah menghina adik Sang Prabu!”
Dengan tombak terhunus kedua prajurit itu melangkah ke hadapan pemuda rambut
gondrong.
“Sebentar saudara… sebentar!” kata si pemuda sambil pentangkan kedua
telapak tangannya ke muka. Selarik sinar halus berhembus ke arah jalan darah
kedua prajurit itu.
Dan semua mata dalam kedai yang tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan
bahwa kedua prajurit itu hentikan langkah karena memenuhi permintaan si pemuda.
Padahal dua prajurit itu sudah kena ditotok dari jarak jauh dan berdiri kaku
tak bisa bergerak tak bisa bicara!
“Sebentar, aku mau bicara dulu!” kata pemuda rambut gondrong kini pada
prajurit yang di pintu.
“Bicara apa?! Lekas? Katakan!” Seekor lalat terbang dan hinggap di lengan
kiri si rambut gondrong.
“Ah lalat ini! Mengganggu aku yang hendak bicara!” kata si rambut gondrong.
Dengan jari-jari tangan kanannya disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya
bukan binatang itu. Sang lalat memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi
angin sentilan terus menotok jalan darah prajurit yang berdiri di pintu kedai.
Orang-orang tetap melihat dia berdiri sebagaimana biasa tapi sesungguhnya
tubuhnya sudah kaku tegang! Si rambut gondrong datang ke hadapannya, pura-pura
membisikkan sesuatu lalu menepuk bahu prajurit itu dan berlalu. Orang-orang
mulai menjadi heran. Dan beberapa ketika saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap
tiba-tiba:
“Bluk… bluk… b!uk…. !” Ketiga prajurit itu rebah ke tanah susul menyusul!
Begitu mencium lantai begitu mereka kembali sadarkan diri! Kedai itu menjadi
hiruk pikuk. Tiga prajurit dengan rasa malu, geram dan amarah meluap memburu ke
luar kedai tapi si rambut gondrong sudah lama lenyap! Tiga prajurit ini tiada
lain adalah anak buah Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut gondrong mengeliling
Kotaraja mencari dua manusia yang ditemuinya malam tadi di teratak tua di luar
tembok kerajaan maka tanpa setahunya sepasang mata telah menguntitnya. Yang
menguntit tiada lain dari Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap untuk
melaksanakan tugas yang diberikan oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong
masuk kedai maka dikirimnya tiga orang prajurit ke sana. Diperintahkannya untuk
menangkap pemuda itu dengan alasan yang dibuat-buat. Bila sudah ditangkap, maka
pengusutan lebih lanjut siapa adanya pemuda ini akan dilakukan Kalasrenggi
sesudahnya dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit. Ketika mereka masuk
dengan diam-diam mereka telah mencuri dengar apa yang dipercakapkan si rambut
gondrong dengan orang kedai. lni mereka jadikan alasan untuk menalngkap pemuda
itu. Namun karena tiga prajurit ini hanyalah mengandalkan tenagatenaga lahir
yang kasar, tak mempunyai ilmu dalam maka dengan mudah si rambut gondrong
“mempermainkannya!”
***
SEPULUH
“Kalau Rara Murni adalah adiknya Raja Pajajaran…” kata pemuda itu sambil
terus juga menyusuri jalan di bawah panas teriknya matahari musim kemarau,
“Pasti peristiwa penculikannya mempunyai latar belakang yang besar dan
buntut panjang!” Dia menengadah ke langit.
“Ah, cepat benar bergesernya matahari….” katanya lagi. Dan ketika dia
berpapasan dengan seorang penjual sayur mayur maka bertanyalah dia,
“Bapak, manakah jalan yang menuju ke lembah Limanaluk?” Penjual sayur mayur
itu menyeka peluh di keningnya terlebih dahulu. Diputarnya badannya sedikit dan
dia menunjuk ke ujung jalan.
“Ikuti saja terus jalan ini, jangan mengkol. Limanaluk sekira setengah hari
perjalanan dari sini.” Pemuda yang bertanya mengucapkan terima kasih lalu
metanjutkan perjalanannya kembali…. Kereta itu bagus dan mungil potongannya.
Dua ekor kuda coklat yang menariknya berlari kencang. Empat prajurit terpercaya
mengawal kereta ini. Dua orang di depan, dua lainnya di belakang. Debu
menggebubu sepanjang jalan yang mereka lalui. Setelah dua jam perjalanan
meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh mulai banyak lobang-lobang dan
batu-batunya. Kusir memperlambat jalan kereta terutama ketika melewati satu
pengkolan tajam. Selewatnya sebuah penurunan jalan yang mereka lalui baik
kembali dan menyusuri tepi sebuah kali kecil berair jernih. Prajurit di depan
sebelah kanan melambaikan tangan memberi tanda berhenti. Ketika kereta itu
berhenti maka tersibaklah tirai jendela dan sebuah kepala berparas jelita
remaja munculkan diri ke luar.
“Ada apa berhenti?” Suara gadis ini bertanya begitu merdu. Kepala pengawal
menjura sedikit dan menjawab:
“Kuda-kuda kita perlu diberi minum, Tuan Puteri…” Rara Murni menutupkan
tirai jendela kembali. Kusir turun dari kereta dan membawa kedua ekor kuda
coklat ke tepi kali. Enam ekor binatang itu kemudian seperti berebutan
memasukkan mulutnya ke datam air kali yang bening sejuk. Beberapa ketika
berlalu maka rombongan bersiap-siap untuk melanjutkan kembati. Namun belum lagi
kusir naik ke atas kereta empat orang penunggang kuda muncul di tempat itu.
Badan tegap-tegap dan muka mereka tak dapat dikenali karena kepala
masing-masing tertutup dengan kerudung kain hitam yang dilubangi di bagian
matanya.
“Perjalanan kalian hanya sampai di sini!” kata penunggang kuda paling
depan. Suaranya berat dan parau, disertai dengan tenaga dalam sehingga tak
mungkin untuk mengenali suaranya yang asli. Empat pengawal kereta yang tahu
bahwa manusia-manusia berkerudung kain hitam itu datang bukan dengan membawa
maksud baik segera cabut pedang! Melihat ini orang yang tadi bicara tertawa
mengekeh.
“Kalian kunyuk-kunyuk Pajajaran kalau masih ingin selamatkan batang leher
segeralah tinggalkan tempat ini!”
“Bangsat rendah! Berani menghina prajurit kerajaan! Terima pedangku!”
bentak kepala pengawal. Dia melompat ke muka dan pedangnya berkelebat,
berkilauan ditimpa sinar matahari! Manusia berkerudung sentakkan tali kekang
kuda dan miringkan badan. Berbarengan dengan itu kaki kanannya meluncur dengan
sangat cepat. Kepala pengawal kereta terpekik. Pedangnya lepas dan mental
sedang sambungan sikunya yang dimakan tendangan tanggal dari persendian! Dia
mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk sambil memegangi sambungan sikunya yang
copot! Tiga pengawa! yang lain tanpa banyak bicara segera menyerbu dan
disambuti oleh tiga laki-laki lainnya yang memakai kerudung. Setelah terlibat
dalam dua jurus pertempuran maka terdesaklah ketiga pengawal kereta. Sementara
itu di dalam kereta, mendengar suara ribut-ribut dan disusul dengan suara
beradunya senjata dengan hati cemas Rara Mumi singkapkan tirai jendela. Dia
terkejut sekali melihat ada sesosok tubuh berkerudung melangkah mendekati
kereta. dan mengulurkan tangan untuk membuka pintu kereta!
“Rara Murni… kau tak usah cemas! Apa yang terjadi di,sini hanya pertunjukan
biasa saja. Silahkan turun…!”
“Kalian siapa…?!”
“Siapa kami itu tidak penting. Turunlah….”
“Rampok-rampok biadab! Kalau kalian tahu siapa aku segeralah tinggalkan
tempat ini sebelum pasukan kerajaan datang menumpas kalian!” Laki-laki
berkerudung tertawa bergelak. Dibukanya pintu kereta dan diulurkannya tangan
kanan untuk menarik Rara Murni keluar dari kereta. Kusir kereta yang sejak tadi
seperti terpukau melihat pertempuran yang berkecamuk di depan matanya, ketika
mengetahui bahwa Rara Murni hendak diperlakukan secara kasar segera mengambil
cambuk kereta dan menderu punggung laki-laki berkerudung.
“Rampok laknat! Berani mengganggu adik Sang Prabu!” Dan cambuk itu mendera
lagi beberapa kali. Laki-laki berkerudung memutar tubuh. Sekali dia gerakkan
tangan maka berhasillah dia merampas cambuk itu. Dan kini cambuk itu dipakainya
untuk melecuti muka kusir kereta. Kusir ini menjerit-jerit. Kemudian dengan
kalap mencabut golok pendeknya dan menyerang si muka berkerudung. Namun hanya
dengan mengelak dan sekali tendang saja maka kusir kereta itu terpelanting ke
tebing kali, masuk ke dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air, tenggelam
timbul karena sebelum jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah
membuatnya pingsan terlebih dulu! Pertempuran antara tiga prajurit pengawal dan
tiga laki-laki berkerudung lainnya tak berjalan lama. Ketiga pengawal itu
menggeletak di tanah bermandikan darah. Sementara itu di atas kereta Rara Murni
berusaha melawan dan meronta-ronta, menerjang dan meninju laki-laki yang hendak
menyeretnya turun secara paksa. Namun apalah kekuatan seorang perempuan. Dalam
waktu sebentar saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya. Rara
Murni dinaikkan ke atas kuda.
“Lemparkan ketlga mayat itu ke dalam kali!” perintah laki-laki berkerudung
yang sudah naik ke atas punggung kudanya.
“Juga kereta itu!” Tiga mayat pengawal dilemparkan ke dalam kali. Kuda
penarik kereta melonjak-lonjak dan meringkik keras ketika tiga manusia
berkerudung itu mendorong kereta ke dalam kali!
Dalam waktu yang singkat keempat orang itu segera berlalu. Yang tinggal
kini di tempat itu hanya bekas-bekas pertempuran, darah, mayat, kereta dan kuda
yang masih terus meringkikringkik sementara tubuhnya dengan perlahan tapi pasti
tenggelam ke dalam kali!
***
SEBELAS
Lembah Limanaluk satu daerah yang jarang didatangi manusia. Daerah ini
sunyi sepi, ditumbuhi pohon-pohon raksasa dan semak belukar lebat. Ke sinilah
keempat manusia berkerudung itu membawa Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua
mereka berhenti dan menurunkan gadis itu yang sampai saat itu masih terus juga
melawan dengan segala daya yang ada.
“Rara Murni, kalau kau tak banyak cingcong aku tak akan perlakukan kau
dengan kekerasan…”
“Lepaskan aku!” teriak Rara Murni.
“Masuklah ke dalam kuil sana!”
“Tidak!” dan Rara Murni berusaha hendak lari namun tangannya segera kena
dicekat. Laki-laki berkerudung yang bertindak sebagai pemimpin tiga orang
lainnya berpaling, lalu katanya pada ketiga orang itu:
“Kalian kembalilah. Beritahukan bahwa tugas kita berhasil baik!” Tiga laki-laki
berkerudung segera lompat kembali ke atas punggung kuda masing-masing dan
meninggalkan tempat itu. Yang seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam kuil.
Kuil itu sebuah kuil tua yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah
pada luruh dimakan umur. Sebuah arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian
mukanya rusak dan tangan serta kakinya sudah buntung.
“Lepaskan aku dari sini!” teriak Rara Murni untuk kesekian kalinya.
Suaranya mulai parau.
“Kau terlalu banyak cerewet, Rara Murni.” kata laki-laki berkerudung. Kedua
bola matanya berkilat-kilat memandangi paras dan tubuh gadis itu.
“Tapi…” kata orang ini kemudian,
“Kau mungkin tak akan banyak ulah bila mengetahui siapa aku.” Habis berkata
begitu laki-laki ini membuka kerudung penutup mukanya. Kaget Rara Murni bukan
kepalang. Seperti tak percaya dia akan pandangan kedua matanya. Betapakah
tidak! Laki-laki berkerudung itu ternyata adalah salah seorang kepala pasukan
kerajaan yang cukup dikenalnya.
“Kalasrenggi!” Kalasrenggi tertawa mengekeh.
“Kau sudah lihat mukaku dan tahu siapa aku. Apa kau juga masih mau
cerewet?”
“Apa maksudmu dengan semua ini, Kalasrenggi?!’ ,
“Apa maksudku? Kau akan lihat saja nanti!”
“Pengkhianat! Pengkhianat terkutuk kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya
kalau kakakku mengetahui perbuatanmu ini?!”
“Kakakmu tak akan pernah mengetahuinya!”
“Aku akan adukan dan kau akan dibuang ke pulau Neraka! Tempat
pengkhianatpengkhianat kerajaan!” Kalasrenggi tertawa lagi. Matanya semakin
berkilat-kilat memandangi paras Rara Murni. Memang sesungguhnya sudah sejak
lama laki-laki ini secara diam-diam merasa tertarik dan jatuh hati terhadap
Rara Murni. Kini berada berdua-dua di tempat sunyi itu, hasrat yang terpendam
itu menjadi berkobar-kobar memanasi darah dan tubuhnya.
“Mungkin kau tak akan pernah punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni.
Kepalamu cukup bagus untuk jadi benda persembahan kepada kakakmu sendiri!” Rara
Murni terkejut.
“Apa maksudmu?” Kalasrenggi tertawa. Tawa yang menjijikkan Rara Murni.
Katanya:
“Kalau kau mau menuruti apa yang aku katakan, mungkin aku masih bisa
menyelamatkan kau dari kematian….”
“Kau benar-benar pengkhianat terkutuk! Terkutuk!” Masih dengan tertawa yang
menjijikkan itu Kalasrenggi melangkah maju mendekati Rara Murni. Matanya
berkilat-kilat, cuping hidung kembang kempis dan dadanya bergejoiak. Melihat
ini Rara Murni segera melangkah mundur. Mundur sampai punggungnya membentur
dinding kuil. Sebelum dia sempat lari ke pintu jari-jari tangan Kalasrenggi
yang besar-besar dan panas digelorai nafsu telah mencekal lengannya.
“Kenapa musti takut…?” ujar laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas
menghembushembus ke muka Rara Murni.
“Keparat! Lepaskan tanganku! Lepaskan!” teriak Rara Murni. Tiba-tiba
Kalasrenggi menyentakkan tangan itu. Rara Murni tenggelam ke dalam pelukannya
yang beringas dan ganas. Ciumannya bertubi-tubi di paras jelita gadis itu. Rara
Murni memekik. Meronta dan memekik! Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil
oleh Kalasrenggi, membuatnya hampir tak bisa meronta dan menghindarkan kepalanya
dan ciumanciuman laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa berbuat sesuatu apa
ketika Kalasrenggi dengan beringasnya menarik kain yang menutupi dadanya! Rara
Murni memekik lagi ketika badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua kakinya
dilejang-lejangkannya. Namun lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang
dipakainya menjadi turun sampai ke paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang
sudah menggejolak dalam diri Kalasrenggi jadi mengamuk dengan dahsyat. Rara
Mumi menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa jeritan itu
tak ada artinya bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu bahwa dia dalam
keadaan begitu rupa tak akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan kehormatannya!
Dalam nafsu yang mengamuk itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar
di atas punggungnya. Belum lagi dia sempat palingkan kepala untuk melihat benda
apa yang menyambar itu maka terdengarlah suara bergedebukan di lantai kuil! Dan
sesaat bila Kalasrenggi memalingkan kepala maka terkejutlah dia, terkejut
seperti melihat setan berkepala tujuh! Tiga sosok tubuh bergeletakkan di lantai
kuil! Bukan saja tiga sosok tubuh yang bergeletakkan itu yang mengejutkan
Kalasrenggi tapi terlebih lagi ialah ketika mengenali bahwa ketiga manusia ini
adalah anak buahnya sendiri, yang tadi disuruhnya kembali ke Kotaraja untuk
memberikan laporan pada Raden Werku Alit bahwa tugas penculikan atas diri Rara
Mutni telah dilaksanakan. Nafsu yang membara di tubuh Kalasrenggi dengan serta
merta mengendur dan lenyap sama sekali. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri
dan meninggalkan Rara Murni yang tadi hampir saja menjadi mangsa kebejatannya.
Ketika diperhatikannya ketiga anak buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi
alias sudah menjadi mayat! Muka-muka mereka membiru sedang pada kening
masing-masing dilihatnya tiga deretan angka-angka 212. Muka yang biru itu
diketahuinya adalah akibat pukulan atau tamparan yang ampuh sekali. Tapi adanya
angka-angka 212 pada kening ketiga orang ini adalah tidak dimengerti sama
sekali oleh Kalasrenggi! Pada saat dirinya dilepaskan oleh Kalasrenggi maka
pada saat itu pula dengan serta merta Rara Murni bangkit berdiri dan hendak
lari ke pintu kuil. Namun baru tiga langkah kedua kakinya bergerak, gadis ini
hentikan langkah, darahnya tersirap dan mukanya memucat. Pada pintu kuil
sesosok tubuh yang memakai kerudung hitam berdiri dengan bertolak pinggang. Tak
bisa tidak pastilah manusia ini anak buah Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni…
Kalasrenggi sendiri ketika melihat bayangan seseorang di pintu kuil cepat
menoleh dan kembali mukanya dilanda rasa terkejut! Dia tidak kenal dengan
manusia berkerudung di pintu itu, tapi dia pasti betul bahwa laki-laki ini
bukanlah orangnya, tapi kerudung hitam yang dikenakannya adalah kerudung salah
seorang anak buahnya yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh itu! Bukan
tidak mustahil manusia ini pulalah yang telah menamatkan riwayat tiga anak
buahnya itu! Meski amarahnya tidak terkirakan namun Kalasrenggi tidak mau
bertindak gegabah. Sepasang matanya memandang tajam-tajam seperti mau menembus
kerudung yang menutupi kepala sosok tubuh manusia yang berdiri di pintu kuil
itu!
“Tamu tak diundang, silahkan buka kerudung!” kata Kalasrenggi. Orang yang
di pintu menyeringai di balik kerudung hitamnya. Lalu terdengarlah suara
tertawanya, mula-mula mengekeh perlahan, tapi kemudian menjadi tawa bergelak
yang menggetarkan gendang-gendang telinga serta menggetarkan dinding-dinding
kuil tua itu! Kalasrenggi bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan berlaku
waspada. Kalau suara tertawa manusia ini dapat menggetarkan gendang-gendang
telinga bahkan menggetarkan dinding kuil, maka ini suatu pertanda bahwa siapa
pun adanya manusia ini, dia bukanlah orang sembarangan! Dan semakin yakin
Kalasrenggi bahwa orang inilah yang telah menewaskan ketiga anak buahnya. Akan
Rara Murni, kalau tadi hatinya kecut dan takut melihat munculnya manusia
berkerudung ini, maka setelah mengetahui bahwa dia bukanlah di pihaknya
Kalasrenggi, diamdiam Rara Murni menjadi sedikit lega hatinya. Tapi dia tak
tahu apakah manusia yang baru datang ini adalah tuan penolongnya ataukah
seseorang yang lebih bejat dan terkutuk dari Kalasrenggi! Dalam pada itu dia
sendiri masih belum dapat melihat tampang orang ini. Hati Kalasrenggi serasa
dibakar karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa macam begitu oleh si
kerudung hitam. Maka berkatalah dia dengan menunjukkan nyali besar:
“Kalau kau tak mau buka kerudung, terpaksa aku turun tangan….” Orang
berkerudung hentikan tertawanya. Dan dia buka mulut menyahuti:
“Diri manusia tidak diukur dari tampangnya, tapi dari hatinya! Bila dia
seorang prajurit, maka kejujuran hati, kesetiaan dan baktinya pada kerajaanlah
yang menjadi ukuran!” Merah paras Kalasrenggi mendengar kata-kata ini. Si
kerudung hitam tertawa bergumam dan berpaling pada Rara Murni dan berkata:
“Bukan begitu Tuan Puteri Rara Murni…?” Rara Mumi tak menyahuti. Tapi dia
menjadi terkejut karena tak menyangka kalau lakilaki itu tahu namanya. Dan
beratlah dugaannya bahwa laki-lakl ini adalah orang dalam juga. Orang kerajaan
juga, entah pengkhianat entah seorang penolong. Tapi kalau dia bermaksud
menolong, mengapa musti pakai kerudung hitam segala?
“Tapi…” kata laki-laki yang di pintu pula melanjutkan bicaranya,
“Kalau kau memang kepingin melihat tampangku, baiklah! Aku tak keberatan
untuk membuka kerudung hitam ini. Tampangku memang buruk. Namun jika
dibandingkan dengan tampangmu, masih mendingan aku ke mana-mana!” Sambil
tertawa-tawa laki-laki ini membuka kerudung hitam yang menutupi kepalanya.
***
DUA BELAS
Bila Rara Murni memandang ke muka maka di balik kerudung yang telah dibuka
itu ternyata laki-iaki yang berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah
berambut gondrong. Meski tertawanya tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya
yang gagah itu condong kepada paras anak-anak. Sebaliknya begitu menyaksikan
tampang manusia di depannya, kedua mata Kalasrenggi menyipit, kulit mukanya
mengerenyit. Otaknya berputar dengan cepat, mengingat-ingat di mana dia pernah
melihat pemuda ini sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka menggeramlah
Kalasrenggi. Pemuda yang ada di hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda
yang malam tadi telah berteduh di teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan
lebat dan sewaktu dia tengah bicara dengan Werku Alit! Juga pemuda inilah yang
kemudian ditotok Werku Alit! Dan dia sendiri menghadiahkan satu tendangan!
“Ingat siapa aku…?”
“Saudara, apa urusanmu dalam hal ini?!” bentak Kalasrenggi garang. Tangan
kirinya menyelinap ke balik pinggang di mana tersisip sebilah keris.
“Ah… tentu ada saja, Saudara. Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan
padaku malam tadi. Enak juga tendangan itu. He,.. he… he…. Lalu, aku tidak
begitu suka pada manusiamanusia yang bersifat ular kepala dua, pengkhianat
besar serta tukang rusak kehormatan perempuan…. Apa itu kurang cukup untuk
bikin urusan denganmu?!”
“Hem….” Kalasrenggi menggumam.
“Jadi hari ini aku berhadapan dengan seorang pendekar budiman huh?! Satu
hal yang menyenangkan sekali!” Habis berkata begini Kalasrenggi keluarkan suara
berdengus dari hidungnya.
“Terangkan dulu siapa kau punya nama!” katanya kemudian.
“Ah, kau keliwat ramah tanya-tanya segala nama. Namaku sudah kutuliskan
pada kening ketiga anak buahmu!” jawab si pemuda pula. Kalasrenggi tertawa
mengejek.
“Baru kali ini aku bertemu manusia yang namanya adalah tiga buah angka.
Angka-angka gila!” Si pemuda tertawa.
“Angka-angka itu mungkin gila! Tapi tidak segila pengkhianat macam kau
Kalasrenggi!”
“Kau sudah tahu namaku. Kenapa tidak lekas kabur tinggalkan tempat ini?!”
“Apa kabur dari sini? L.alu kau teruskan maksud busukmu terhadap Tuan
Puteri Rara Murni? Aku tidak sebodoh dan sepengecut yang kau sangka,
Kalasrenggi!”
“Kalau betul kau punya nyali, tahan ini!” bentak Kalasrenggi garang. Dengan
satu lompatan cepat Kalasrenggi lancarkan serangan tangan kosong. Tapi serangan
yang hebat ini dapat dielakkan lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul dan
tertawatawa.
“Kalasrenggi, kalau mau baku jotos jangan di dalam sini, mari keluar!” kata
si pemuda rambut gondrong atau pendekar 212 Wiro Sableng. Sengaja dia berkata
begitu karena khawatir dalam pertempuran nanti Rara Murni yang juga berada di
ruangan itu akan mendapat celaka.
“Tak usah banyak mulut! Kau harus mampus disaksikan ketiga mayat anak
buahku!” bentak Kalasrenggi pula. Untuk kedua kalinya kepala pasukan Pajajaran
yang berkhianat ini menyerang, lebih hebat dari tadi. Tiba-tiba orang yang
diserangnya lenyap dari hadapannya. Kemudian di belakangnya terdengar suara
siulan.
“Aku di sini Kalasrenggi, mengapa menyerang tempat kosong?!” Kalasrenggi kertakkan
rahang. Dia berbalik dengan cepat dan menyerang lebih ganas. Tangannya bergerak
cepat, tendangan kaki bertubi-tubi. Keseluruhannya mengeluarkan angin yang
keras dan bersiuran. Agaknya permainan silat tangan kosong Kalasrenggi tidak
dari tingkat rendahan. Dari angin pukulan dan tendangannya Wiro sudah dapat
menjajaki kehebatan lawan. Karena tak mau ambil resiko pemuda ini segera
bergerak cepat. Dalam waktu yang singkat tiga jurus berlalu sebat. Pada saat
memasuki jurus keempat Wiro Sableng melihat Rara Murni melarikan diri keluar
kuil. Sambil rundukkan kepala mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro
Sableng berseru:
“Rara, tunggu! Jangan pergi dulu!” Tapi mana si gadis mau dengar. Sambil
menyingsingkan kainnya ke atas Rara Murni mempercepat larinya. Terpaksa
pendekar 212 lepaskan pukulan tangan kanan ke arah kedua kaki gadis itu.
Serangkum angin melesat deras dan dingin. Rara Murni merasa kedua kakinya
seperti disiram air es, kemudian kedua kakinya itu kaku tak bisa lagi
digerakkan. Larinya dengan serta merta terhenti. Melihat lawan melakukan dua
gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalasrenggi untuk
membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan tinju kiri kanan
menyerang susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro Sableng! Namun
dengan membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan lawan dapat dikelit
oleh pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu lagi dengan satu
serangan berantai. Kali ini, pada saat tangan kanan Kalasrenggi memukul ke muka,
pendekar 212 sengaja menyongsong datangnya lengan lawan. Maka beradulah lengan
dengan lengan! Kalasrenggi terpekik. Tubuhnya terpelanting ke belakang sampai
punggungnya menghantam dinding kuil. Lengan kanannya yang beradu dengan lengan
lawan kelihatan biru dan bengkak besar. Sakitnya bukan alang kepalang! Karena
tadi Wiro Sableng melayaninya seperti acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga
kalau kehebatan lawan demikian lihainya. Sesudah mengurut lengannya yang
bengkak biru serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian yang terpukul itu maka
kemudian Kalasrenggi dengan tangan kirinya mencabut sebilah keris dari balik
pinggang. Senjata ini sebuah senjata pusaka juga rupanya karena memancarkan
sinar membiru. Tanpa banyak bicara kepala pasukan Pajajaran itu segera lancarkan
serangan dahsyat. Kalasrenggi memang seorang kidal dan permainan kerisnya juga
sudah mencapai tingkat yang matang. Apalagi dengan mempergunakan tangan kiri
itu maka serangan-serangannya sukar diduga. Namun demikian pendekar 212 sudah
punya rencana sendiri terhadap manusia kepala dua ini! Dibiarkan dan
dielakkannya saja untuk beberapa lamanya serangan-serangan keris Kalasrenggi.
Kepala pasukan pengkhianat ini semakin gemas dan geram. Dipercepatnya
gerakannya namun tetap saja tiada mencapai hasil yang dikehendakinya.
“Pegang senjatamu erat-erat, Kalasrenggi.” kata pendekar 212 memberi ingat.
Kalasrenggi masih belum mengerti apa maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia
sama sekali tidak dapat melihat dengan jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng.
Tahu-tahu saja dirasakannya keris pusakanya terlepas dari tangan. Laki-laki ini
mengeluarkan seruan tertahan. Memandang dengan tak percaya pada tangan kirinya
yang kosong! Wiro Sableng tertawa mengekeh dan melompat ke muka. Tangan
kanannya terkembang seperti hendak mencengkeram muka Kalasrenggi. Yang diserang
cepat merunduk dan berusaha menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi
kali ini Kalasrenggi tertipu. Tangan yang menyerang dan hendak mencengkeram itu
hanya gerakan palsu belaka. Tanpa dapat dikelit lagi oleh Kalasrenggi maka dua
ujung jari tangan kanan Wiro Sableng meluncur ke rusuk kirinya. Mendadak sontak
detik itu juga tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan kakinya tak
bisa digerakkan lagi, tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa
mendengar, demikian juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa.
Pendekar 212 sengaja menotok laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan
rencananya. Sambil tertawa-tawa dan garuk-garuk kepalanya yang berambut
gondrong Wiro Sableng memandangi Kalasrenggi beberapa lamanya. Kemudian
pendekar muda ini melangkah mendapatkan Rara Murni. Dilepaskannya totokan yang
telah memakukan kedua kaki gadis itu. Rara Murni begitu merasa kakinya bebas
segera hendak lari namun tangannya cepat dipegang oleh Wiro Sableng.
“Lepaskan tanganku!” teriak Rara Murni.
“Terhadapku tak usah takut, Rara Murni.” kata pendekar 212 pula.
“Kau siapa?!” tanya Rara Murni dan berusaha melepaskan tangannya yang
dipegang.
“Siapa aku itu soal nanti. Tapi apakah kau akan tinggalkan begitu saja
Kalasrenggi tanpa memberikan satu hukuman yang setimpal terhadapnya?!”
“Aku akan laporkan kejahatannya terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan
menyeretnya ke Pakuan! Dia pasti akan dibuang ke pulau Neraka!
“ Pendekar 212 tersenyum.
“Kuil ini juga bisa menjadi tempat neraka baginya, Rara Murni. Mari, aku
akan tunjukkan cara yang bagus untuk menghukum pengkhianat dan manusia bejat
macam dia!” Dengan seutas tali pendekar 212 mengikat kedua pergelangan kaki
Kalasrenggi. Kalasrenggi yang saat itu meski tubuhnya kaku tapi masih bisa
merasa, melihat dan bicara:
“Keparat! Kau mau buat apa terhadapku?!”
“Ah, kau masih bilang keparat, Saudara…” jawab pendekar 212 dengan tertawa.
“Pernahkah kau melihat dunia terbalik?! Melihat dengan kaki ke atas kepala
ke bawah?!”
“Apa maksudmu?!” bentak Kalasrenggi. Tapi dalam hatinya dia sudah dapat
menduga apa yang bakal dilakukan oleh Wiro Sableng dan tubuhnya mengucurkan
keringat dingin.
“Apa maksudku kita akan saksikan sama-sama, Kalasrenggi,” kata Wiro Sableng
pula. Sekali saja tali yang mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi
ditariknya maka terbantinglah laki-laki itu ke lantai kuil. Kutuk serapah dan
keluh kesakitan bersemburan dari mulut Kalasrenggi.
“Sudahlah, jangan memaki-maki juga, tak ada gunanya,” kata pendekar 212.
Dia memandang ke atas atap kuil dan dilihatnya sebuah tiang yang membentang
memalang di bawah atap. Ujung tali yang dipegangnya dilemparkannya ke atas.
Bila ujung tali itu menjuntai ke bawah kembali setelah terlebih dahulu menyangkut
di tiang palang maka pendekar 212 mulai mengerek badan Kalasrenggi. Gelap dunia
ini bagi Kalasrenggi. Dalam tempo yang singkat mukanya menjadi sangat merah
karena darah yang mengalir turun memberati mukanya. Laki-laki ini coba meronta,
tapi tubuhnya kaku tak bergerak, hanya terbuai-buai saja macam karung diisi
pasir dan digantung! Yang bisa dilakukan Kalasrenggi hanya memaki dan memaki
tiada habisnya dia menjadi letih sendiri. Pendekar 212 tertawa mengekeh macam
kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni sebentar lalu bertanya pada
Kalasrenggi:
“Bagaimana, indahkah dunia ini bila dilihat terbalik…?”
“Demi setan bila bebas aku bersumpah untuk mencincang tubuhmu keparat…!”
hardik Kalasrenggi.
“Sumpahmu terlalu hebat Kalasrenggi. Tapi bisakah kau membebaskan dirimu
dari jarijari tanganku ini…?” Dengan senyum-senyum Wiro Sableng melangkah
mendekati Kalasrenggi. Kemudian sepuluh jari-jari tangannya menggerayang
menggelitiki tulang rusuk Kalasrenggi! Laki-laki ini menjerit, melolong
setinggi langit sampai suaranya menjadi serak! Wiro Sableng tertawa senang.
Rara Murni sendiri hampir-hampir tak dapat menahan gelinya. Dan Kalasrenggi
terus juga berteriak, menjerit, melolong dan memekik dengan suaranya yang serak
parau itu!
“Rara Murni, ayo mengapa diam saja? Kalau kau ingin membalaskan sakit
hatimu terhadapnya, inilah saatnya,” kata Wiro Sableng pula. Meski amarahnya
memang masih meluap terhadap Kalasrenggi namun berada lebih lama di situ
menimbulkan kekhawatiran bagi Rara Murni. Gadis ini walau bagaimanapun tak
dapat memastikan manusia yang bagaimana adanya pemuda rambut gondrong itu,
meskipun dianya telah menolong dan menyelamatkan diri serta kehormatannya.
Karenanya tanpa banyak bicara menyahuti ucapan Wiro Sableng tadi, juga tanpa
membuang waktu, Rara Murni segera lari meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro
Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk menahan Rara Murni, diikutinya saja
gadis itu dengan pandangan mata.
“Gadis tolol!” gerendeng pendekar 212 dalam hati.
“Dikiranya Kotaraja dekat dari sini!”
Kemudian ketika Rara Murni lenyap di balik kelebatan pohonpohon di lembah
Limanaluk itu maka pendekar 212 segera angkat kaki pula, menyusul dengan
diam-diam dari belakang….
***
TIGA BELAS
Begitu keluar dari lembah Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni karena
telah berlari itu. Sebelumnya jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak
pernah dilakukannya! Dia berhenti dan berdiri bersandar ke sebatang pohon
rindang. Saat itulah baru disadarinya keadaan pakaiannya yang tidak menutupi
badannya, terutama letak kain di bagian dadanya. Segera dibetulkannya letak
pakaiannya, dirapikannya pula rambutnya.
Dia menunggu sampai nafasnya yang memburu dan dadanya yang sesak pulih
seperti sedia kala. Saat itu kedua kakinya pun terasa sakit. Rara Murni merasa
bahwa dia tidak sendirian di tempat itu. Dipalingkannya kepalanya. Darahnya
tersirap karena begitu kepalanya diputar maka kedua matanya membentur sesosok
tubuh yang berada dekat sekali di sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda
rambut gondrong yang di kuil tua tadi!
“Letih?” tanya Wiro Sableng dengan senyum-senyum.
Rara Murni tak menjawab.
“Kotaraja tidak dekat dari sini, Rara…”
“Aku tahu…”
“Lalu, mengapa lari-lari macam begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi
takut? Rambutku yang gondrong ini barangkali ya?”
“Saudara, kau ini siapa sebenarnya?”
“Aku? Aku ya aku…” jawab Wiro pula.
“Kalau kau hendak bermaksud jahat pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat
ini juga!”
“Ah… tampangku memang jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara
Murni. Aku hanya tak ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di
Kotaraja! Mungkin seperempat jalan kau sudah mengeletak pingsan!”
Rara Murni terdiam. Tapi kemudian dia berkata: “Walau bagaimanapun aku
musti kembali ke Kotaraja selekas mungkin…”
“Itu memang betul. Tapi bukan dengan lari caranya. Mari ikut aku…”
“Ikut ke mana?”
“Dengar Rara, kau tak perlu terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai
sana ada beberapa ekor kuda. Kau bisa naik kuda?”
Gadis itu menggeleng. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
“Kalau begitu…” katanya,
“Kau terpaksa naik
kuda bersama-samaku!”
Maka merahlah paras Rara Mumi.
“Jangan bicara seenak perutmu, saudara!” bentak gadis ini.
“Heh… aku toh tidak bicara usil. Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri
bagaimana?”
“Aku lebih baik jalan kaki!” sahut Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa.
“Dengar Rara Murni, aku mempunyai firasat bahwa peristiwa penculikanmu ada
ekornya. Ekor yang panjang dan besar. Kalau Kalasrenggi berkhianat terhadap
Sang Prabu, terhadap kerajaan Pajajaran, bahkan bukan hanya sekedar berkhianat
tapi juga hendak bikin celaka terhadap kau, maka tidak mustahil masih ada
pejabat-pejabat tinggi kerajaan lainnya yang turut terlibat dalam pengkhianatan
ini…” Ucapan Pendekar 212 itu memang terpikir ada benarnya oleh Rara Murni.
Tapi menunggang kuda bersama pemuda itu, tentu saja dia merasa malu sekali. Apa
akan kata orang bila melihat hal itu nanti? Kemudian didengarnya pula oleh
gadis ini suara Wiro Sableng kembali:
“Makin cepat kau sampai ke Kotaraja semakin baik…” Rara Murni termenung
sejurus. Tapi hatinya tetap keras tak mau naik kuda bersama pemuda itu. Tanpa
banyak bicara gadis ini kemudian putar tubuhnya dan bergegas meninggalkan
tempat itu. Wiro Sableng menggerutu dalam hatinya.
“Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet kulit kakinya baru tahu rasa!” Dia
geleng-geleng kepala dan melangkah pula mengikuti. Beberapa lama kemudian
mereka sampai di tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak satu pun dari keduanya
yang buka mulut.
“Rara,” kata Wiro ketika mereka sampai di jalan umum itu.
“Ada baiknya kita berhenti istirahat di sini. Siapa tahu ada kereta atau
gerobak yang lewat dan kita bisa menumpang.” Gadis itu tak menjawab. Tapi dia
menghentikan langkah karena memang kedua kakinya sudah letih. Hampir sepuluh
menit mereka berdiri di tepi jalan itu tapi tak satu kendaraan pun yang lewat.
“Rara Murni…” kata Wiro Sableng.
“Agaknya kau tidak senang terhadapku…? Tak mau bicara denganku?” Rara Murni
diam saja. Sebenarnya memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya terhadap
pemuda itu. Hanya segala apa yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir
menimpa dirinyalah yang membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga
terhadap pemuda berambut gondrong yang sampai saat itu masih belum juga
diketahuinya siapa adanya. Wiro Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada
bermanusia.
“Kita berangkat lagi, Rara…?”
“Saudara….” kata Rara Murni untuk pertama kalinya sesudah sedemikian lama
berdiam diri.
“Kau sendiri siapa sebenarnya dan mau menuju ke mana?”
“Ah… ini pertanyaan yang bagus sekali. Bagus sekali.” kata pendekar 212
dengan senyum-senyum.
“Siapa aku, kurasa tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju… aku sendiri
sebenarnya juga tidak tahu… !” Rara Murni memandang dengan sudut matanya
memperhatikan pemuda itu. Jawabannya seperti jawaban orang yang tidak betul
pikirannya, atau mungkin pula jawaban itu hanya sekedar jawaban belaka.
Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke ujung jalan sebelah kanan. Di kejauhan
kelihatan muncul sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor lembu. Di bagian depan
gerobak yang terbuka itu duduk dua orang laki-laki. Mereka berpakaian petani
sedang setengah dari gerobaknya sarat dengan sayur mayur.
“Nasib kita baik juga rupanya Rara,” kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak
itu datang mendekat, pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.
“Saudara, apakah kalian menuju ke Kotaraja?” Kedua orang di atas gerobak
tak menjawab pertanyaan Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis
di sampingnya.
“Kalau kami tak salah lihat,” kata laki-laki yang mengemudikan gerobak,
“Agaknya kami berhadapan dengan Tuan Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu
Pajajaran…” Rara Murni mengangguk dan kedua orang itu segera turun dari kereta
lalu menjura.
“Ada hal apakah sampai Tuan Puteri berada di tempat ini…?” tanya laki-laki
yang memegang kemudi gerobak. Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro
Sableng, lalu melirik pada kawannya. Rara Murni hanya menarik nafas panjang.
Karena mengira pemuda rambut gondrong dan berpakaian sederhana itu adalah hamba
sahaya atau pembantu Rara Murni maka yang ditanya menjawab dengan anggukan
kepala acuh tak acuh. Seorang dari mereka kemudian berkata pada Rara Murni:
“Jika Tuan Puteri bermaksud hendak kembali ke Pakuan, kami tentu saja
bersedia bahkan merasa berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah
keadaan kereta kami, kotor dan penuh sayuran…”
“Itu tak menjadi apa, pokoknya asal sampai ke Kotaraja.” Yang menjawab
adalah Wiro Sableng. Ini mengesalkan kedua orang itu. Kemudian mereka menolong
Rara Murni naik ke atas gerobak. Gadis itu duduk di sebelah muka, di samping
pengemudi sedang kawannya bersama Wiro Sableng duduk di sebelah belakang, di
samping tumpukan sayur. Tak lama kemudian gerobak itu pun bergeraklah.
***
EMPAT BELAS
Kesunyian sepanjang jalan itu kini dipecahkan oleh suara deru roda gerobak.
Sekalisekali diselingi dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak
menggilas bebatuan atau suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika
salah satu rodanya memasuki lobang jalanan. Saat itu masih cukup jauh dari
Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua kakinya di bagian belakang
kereta. Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang yang sejuk. Beberapa
kali dia sudah menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa membuang
muka, segan atau tepatnya tak senang memandang pada pemuda ini yang
sebentarsebentar menguap, sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut
gondrong. Beberapa saat kemudian Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia
menggeliat. Ini menambah ketidaksenangan orang yang di hadapannya.
“Saudara, aku minta mentimunmu satu….” kata Wiro Sableng. Dan tidak
menunggu jawaban pemilik sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil
sebuah mentimun besar dan menggerogotinya. Orang yang di depan Wiro Sableng
memaki dalam hati. Rahangnya terkatup rapat-rapat.
“Rara Murni…” seru Wiro Sableng tiba-tiba.
“Apakah kau suka makan mentimun?” Di bagian depan kereta Rara Murni
berpaling sebentar tapi tak menjawab.
“Panas-panas begini enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan
mendapatkannya tak usah susah payah…”
“Terima kasih… aku tidak haus, Saudara….” Terdengar jawaban gadis itu.
“Hem….” Wiro Sableng menggumam dan terus juga mengunyah mentimun dalam
mulutnya, dan gerobak terus juga bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang
serta berbatu-batu. Di bagian belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap
perutnya. Telah tiga butir ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya
tampang orang yang di hadapannya. Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya.
Kalau perut sudah kenyang memang kantuk segera datang. Mendadak gerobak itu
dibelokkan ke sebuah jalan buntu yang menuju sungai oleh pengemudinya. Begitu
gerobak berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni bertanya:
“Saudara, kenapa ke sini dan berhenti di sini?” Pengemudi gerobak tertawa
mengekeh. Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu lenyap dan diganti dengan
teriakan Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta sendiri petani yang duduk
dihadapan Wiro Sableng tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik pinggang.
Begitu golok tercabut keluar dari sarungnya tanpa menungu lebih lama segera
dibacokkan ke kepala Wiro Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan
tidur-tidur ayam tertiup angin sejuk sepanjang perjalanan! Satu jengkal lagi
mata gotok yang tajam akan membelah batok kepala pendekar 212, maka
terdengarlah bentakan menggeledek.
“Ciaaat!” Tubuh petani yang menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya
lepas dan tubuh itu kemudian tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam
tendangan! Manusia ini hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun!
Pandangan bola mata pendekar 212 menyorot bersinar.
“Kentut betul!” makinya dan meludahi muka mayat petani ini.
“Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan sendiri! Puah…!” Diludahinya
lagi muka mayat itu kemudian dipalingkannya kepalanya dengan cepat. Rara Murni
tengah meronta-ronta melepaskan cekalan petani yang mengemudikan gerobak sayur.
“Saudara, tolong aku!” teriak gadis itu pada Wiro Sableng.
“Petani sialan!” gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
“Budak hina! Pergi dari sini atau kutebas batang lehermu!” teriak laki-laki
yang mencekal Rara Murni.
“Sreet!” Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.
“Hemmm… jadi kau hanyalah seorang rampok bejat yang berkedok sebagai petani
huh? Seekor serigala yang berbulu domba…. Lepaskan gadis itu atau jidatmu
kubikin rengkah!”
“Anjing buduk tak tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!” Dengan
tangan kirinya pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat kelihayan
totokan laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah
seorang petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar
lihay yang tengah menyamar! Maka ketika senjata lawan berkelebat ke arah
kepalanya pendekar 212 bergerak cepat dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi
gerobak itu buka matanya lebih lebar sewaktu melihat orang yang diserangnya
tenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang deras mengenai tempat kosong.
Ini membuat laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat inilah kedua matanya
melihat sosok tubuh kawannya yang menggeletak di tanah dengan perut pecah!
Berdiri bulu kuduk laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini
segera digantikan dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar
kembali, untuk kedua kalinya berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng.
Tapi kali yang kedua ini justru adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi
menghantam angin kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya
maka lima jari tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak
bisa dipapaki dengan golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang
bagaimanapun!
“Plaaak!” Telapak tangan kanan pendekar 212 mendarat di kening laki-laki
itu, disusul dengan suara jerit kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah
tidak sadarkan diri lagi. Kulit keningnya hitam seperti terbakar dan di bagian
tengah kulit kening itu terteralah angka 212. Laki-laki ini bernasib masih
untung dari kawannya karena pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya. Wiro
Sableng melepaskan totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni.
“Hari ini nasibmu sial terus-terusan rupanya, Rara,” kata pemuda itu dengan
senyum-senyum. Si gadis tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro
Sableng berkata lagi:
“Tapi ada juga untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita
teruskan perjalanan. Rara Murni naik kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng
mengemudikan gerobak itu. Sepanjang perjalanan gadis itu tak habis pikir.
Pemuda yang duduk di sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh dan juga lucu.
Dan di samping itu kehebatan yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi
diam-diam membuat dia mengagumi si pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak
tahu sama sekali siapa nama pemuda itu! Beberapa jauh di luar tembok kerajaan,
Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia berpaling ke samping. Lalu berkata:
“Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku mengantarkan kau hanya sampai di
sini. Kau bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk mengemudikannya….”
“Kau sendiri hendak ke mana, Saudara?” tanya Rara Murni heran. Pendekar 212
tertawa.
“Ke mana aku mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa jawab,” ujar
Wiro Sableng pula.
“Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan segala kejadian yang kau alami
pada Sang Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau alami itu mempunyai latar
belakang. Dan bukan mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar istana lainnya
yang menjadi pengkhianat macam Kalasrenggi….” Rara Murni mengangguk. Kemudian
Wiro Sableng berkata lagi:
“Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan prajurit ke kuil di lembah
Limanaluk itu untuk membekuk Kalasrenggi….” Rara Murni mengangguk untuk kedua
kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut gondrong itu memutar tubuh hendak
berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata:
“Saudara… tunggu dulu.” Pendekar 212 putar tubuhnya kembali.
“Ada apakah Rara…?”
“Aku belum bilang terima kasih pada kau…”
“Ah….” Wiro Sableng goyangkan tangannya,
“Tak usah… tak usah. Itu hanya kebetulan saja….”
“Sang Prabu mungkin akan banyak bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau
ikut sama-sama ke istana.”
“Terima kasih. Tapi aku ada urusan lain Rara….” jawab Wiro Sableng.
“Lalu kalau hem… kalau Sang Prabu bertanya siapa namamu, bagaimana aku
musti menerangkannya?” Wiro Sableng tertawa.
“Nama itu sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua dilahirkan
tidak bernama. Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya kebiasaan
saja….”
“Jadi, apakah kau tidak punya nama?” tanya Rara Mumi pula. Wiro Sableng
tertawa lagi.
“Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran ingat-ingat angka
ini….” Habis berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain yang dikenakan
Rara Murni. Dan dengan ujung jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam
tentunya, maka dituliskannya tiga rentetan angka 212. Rara Murni memperhatikan
angka itu.
“Dua satu dua…:” desisnya. Diangkatnya kepalanya hendak mengatakan sesuatu
pada pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak habis heran. Si pemuda sudah tak
ada lagi di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan bumi. Rara Murni memandang
berkeliling. Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan. Gadis itu menghela
nafas panjang.
“Pemuda aneh… agak ceriwis… tapi berhati polos….” kata Rara Murni dalam
hati. Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun bergeraklah menuju
pintu gerbang Kotaraja. Tentu saja Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika
mendapat keterangan dan mengetahui apa yang telah terjadi atas diri adiknya.
Sepasukan prajurit kerajaan segera dikirim ke lembah Limanaluk. Tapi mereka
datang terlambat karena saat itu pengkhianat Kalasrenggi sudah tak bernafas
lagi, mati tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta telinga!
Rara Murni sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang kepercayaannya
untuk mencari jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun
usaha mereka siasia belaka. Hari itu juga di seluruh Kerajaan diadakan
pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan sama
sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden Werku Alit tetap
tenang-tenang saja di tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di lingkungan
istana. Siapa yang menduga kalau saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri
yang menjadi tokoh pengkhianat terbesar? Satu-satunya orang yang ditangkap
dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang menggagahi Rara Murni di
tengah jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu,
petani ini berhasil merampas pedang seorang perajurit dan menghunjamkannya ke
batang lehernya. Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa di situ juga. Siapakah
petani ini sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan riwayatnya
oleh pendekar 212 sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu memutuskan
untuk membunuh diri sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki
tangan kaum pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden
Werku Alit dan menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan
total diadakan! Seperti yang diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu
kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah bertemu dengan Rara Murni, adik Sang
Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong yang mereka sangkakan hamba sahaya
Rara Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk menculik gadis itu dan
membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu
mati dihajar pendekar 212. Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan
kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu kerajaan tapi berhasil bunuh diri
sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum dipaksa untuk memberikan
keterangan!
***
LIMA BELAS
Malam itu untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan
kali ini sangat penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan
ketat oleh para pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting karena datangnya dua
tokoh sekutu dari kaum pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan
Adipati Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa oleh
seorang kurir Raden Werku Alit dari Kotaraja. Sebagaimana biasa pertemuan
penting ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang duduk di kepala meja. Setelah
mempersilahkan kelima Adipati meneguk minuman masing-masing maka Mahesa Birawa
segera membuka pembicaraan.
“Pertama sekali perkenankanlah saya atas nama Adipati-Adipati yang
terdahulu datang ke sini dan juga atas nama Raden Werku Alit, mengucapkan
selamat datang pada Adipati Warok Gluduk dan Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami
juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas
tekad Adipati-Adipati berdua untuk bersedia membantu dan bersekutu dalam
perjuangan mencapai cita-cita kita yang besar yaitu menggulingkan Pajajaran,
menumbangkan Kamandaka dari takhta kerajaannya karena sesungguhnya selama Raden
Werku Alit masih hidup maka Kamandaka tidak punya hak sama sekali untuk menjadi
Raja Pajajaran….” Mahesa Birawa memuntir-muntir kumisnya yang melintang dua
tiga kali lalu melanjutkan bicaranya:
“Kedua kalinya, pertemuan ini adalah juga untuk membahas keterangan yang
telah disampaikan kurir dari Kotaraja. Diterangkan bahwa dua orang mata-mata
kita tertangkap. Yang satu terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri. Mayat mereka
dibuang ke kali. Mengenai peristiwa ini ada sedikit keterangan yang bersimpang
siur sehingga belum dapat saya menarik satu kesimpulan bagaimana sampai kedua
matamata kita itu mengalami nasib demikian rupa. Kabar keterangan yang paling
buruk ialah bahwa salah seorang pembantu utama kita yaitu kepala pasukan
Kalasrenggi juga telah menemui kematiannya. Dia digantung di sebuah kuil tua di
lembah Limanaluk. Mengenai kematian Kalasrenggi ini ada hal-hal aneh dan
keterangan yang agak bersimpang siur. Menurut kurir Raden Werku Alit, ketika
pasukan kerajaan datang ke kuil itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas,
digantung kaki ke atas kepala ke bawah dan pada keningnya tertera
guratan-guratan yang membentuk tiga buah angka yaitu angka 212….” Mahesa Birawa
memandang berkeliling dan melihat paras-paras Adipati itu keheran-heranan.
“Sukar diduga siapa sebenarnya yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat
ditafsirkan apa arti angka 212 itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang
Prabu memerintahkan pembersihan besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang
kita sudah menyingkir. Dan menurut Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan
kurir itu masih belum ada kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam
sehari dua ini dia akan segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali,
menentukan kapan penyerangan dilakukan terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit
berharap agar kita terus dalam kesiap siagaan…..” Sunyi sebentar, Adipati
Lanabelong dari Kendil yang berkepala sulah meneguk tuaknya, mengumur-ngumurkan
minuman itu dalam mulutnya beberapa lama, lalu bertanya:
“Sampai saat ini berapakah kekuatan balatentara Pajajaran?”
“Menurut keterangan Kalasrenggi sebelum menemui kematiannya tempo hari
sekitar dua ribu lebih. Memang jumlah kekuatan mereka lebih dari kita. Kita
cuma sekitar seribu enam ratusan. Tapi janganlah itu menjadi kekhawatiran para
Adipati sekalian. Mengapa aku katakan tak usah khawatir sebabnya begini.
Pertama, dalam peperangan itu jumlah yang besar tidak selamanya menentukan
untuk mencapai kemenangan. Sering pasukan yang lebih sedikit sanggup
mengalahkan pasukan yang lebih besar. Ini adalah disebabkan bahwa sesungguhnya
unsur kekuatan atau jumlah tidak terlalu menentukan tapi unsur taktiklah yang
lebih menentukan. Dengan taktik yang tinggi serta matang, dengan mengetahui di
mana kelemahankelemahan pertahanan pasukan Pajajaran, pasti kita dalam
sekejapan mata bisa mengobrakabrik mereka! Kedua, dalam peperangan kecepatan
tempur atau waktu penyerangan yang tepat adalah sangat menentukan. Bila lawan
sedang lengah, meskipun jumlahnya besar, sanggup dikacau balaukan dan disapu
bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian pula dengan kita. Kita akan
menyerang dengan tiba-tiba, dengan menyergap! Pajajaran hanya baru akan
mengetahui bila balatentara kita sudah berada di depan mata hidung mereka! Dan
saat itu mereka tak akan ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Aku rasa
dengan berpegang teguh pada dua hal itu, tidak sukar bagi kita untuk
membereskan Pajajaran. Apalagi para Adipati di sini bukan pula manusia-manusia
berilmu rendah. Sedikit banyaknya adalah murid-murid dari perguruanperguruan
silat yang ternama juga, bukankah demikian?” Kelima Adipati itu sama mengulum
senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris ilmu-ilmu silat dari pelbagai
cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah dapat dianggap ilmu pasaran
yang rendah belaka!
“Di samping itu,” kata Mahesa Birawa pula,
“Jangan pula kita lupakan bantuan yang akan diberikan oleh seorang tokoh
dunia persilatan yang terkenal yakni Begawan Sitaraga….”
“Oh, jadi Begawan sakti yang diam di puncak Gunung Halimun itu membantu
kita pula?” tanya Warok Gluduk, Adipati dari Rajasitu.
“Ya,” sahut Mahesa Birawa.
“Bagaimana sampai Begawan ini mau membantu perjuangan kita?” tanya Tapak
Ireng.
“Setahuku dia mempunyai pertikaian dengan Toa Kamandaka….
“ jawab Mahesa Birawa pula.
“Kalau benar begitu, satu hari saja Pajajaran pasti sudah sama rata dengan
tanah….” kata Warok Gluduk sambil mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya
kedudukan yang bakai diterimanya bila pemberontakan mereka berhasil nanti!
* * *
Waktu itu hari hujan rintik-rintik. Angin malam bertiup kencang dan dingin.
Sosok tubuh itu berjalan dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan
rintik-rintik, tidak perduli angin kencang, tidak perduli segala rasa dingin
yang menyembilui tulang-tulang sumsum. Dia berjalan terus bahkan sambil
bersiul-siul. Sesampainya di ujung jalan itu maka disusurinya tembok tinggi dan
sekali-sekali, dalam jarak-jarak tertentu dilewatinya seorang pengawal
bersenjata lengkap. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh delapan
orang perajurit berhentilah pemuda itu. Dia memandang ke kiri dan ke kanan,
memandang ke atas pintu gerbang lalu memandang pada barisan pengawal dengan
pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal pintu gerbang mula-mula memandang saja
dengan penuh curiga namun kemudian salah seorang daripadanya membentak:
“Pemuda gondrong! Ada apa kau celangak celinguk di sini?!” Dibentak malahan
pemuda itu tersenyum.
“Apa kau tidak tahu berada di mana saat ini?!” bentak prajurit pengawal
yang lain.
“Ah… itulah yang aku mau tanya, saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu
Raja Pajajaran?” Delapan pasang mata prajurit pengawal memandang dari atas ke
bawah. Tak ada kesimpulan lain bagi mereka daripada berpendapat bahwa tentulah
pemuda berambut gondrong itu seorang yang kurang ingatan. Seorang prajurit yang
agak berumur maju ke muka.
“Orang muda, ini memang istana Raja Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan
berdiri lama-lama di sekitar sini….” Pemuda itu garuk-garuk kepalanya.
“Kalau berdiri di sini tidak boleh… tentu masuk lebih tidak boleh lagi….
“ katanya perlahan seperti pada dirinya sendiri.
“Berlalulah dari sini,” kata prajurit tadi.
“Tapi, aku mau bertemu dengan Rara Murni….” kata si pemuda. Prajurit tua
itu tertawa.
“Tak seorang pun yang diizinkan bertemu dengan Tuan P.uteri, apalagi kau….”
“Ini urusan penting sekali, Saudara!” desak si pemuda. Salah seorang
prajurit yang lain, yang sudah tak sabaran berkata:
“Pemuda gila, berlalulah dari sini. Atau pangkal tombakku akan membenjutkan
kepalamu!” Tapi si pemuda tidak memperdulikan ancaman itu.
“Saudara pengawal, dengarlah,” katanya.
“Aku pernah kenal dengan Rara Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya dari
kalian semua di sini. Aku musti ketemu dengan dia. Katakan saja bahwa ada
seorang pemuda berambut gondrong bernama 212 mau bertemu dengan dia. Pasti dia
tahu dan mengizinkan aku masuk….” Kedelapan prajurit pengawal itu tertawa
membahak. Beberapa di antaranya malah mencibir. Dan seseorang di antara mereka
berkata:
“Kau salah alamat, kawan. Mustinya kau datang ke rumah dukun Gendong di
kampung Andawa, minta obat kepadanya agar otakmu yang geblek sinting itu bisa
diperbaikinya!”
“Siapa bilang aku sinting?!” radang si pemuda rambut gondrong.
“Kau memang tidak sinting! Tapi berotak miring atau setengah gila!” Dan
gelak membahak terdengar lagi di depan pintu gerbang istana itu!
“Kalau kalian tidak mau kasih aku masuk, tak apa,” kata si pemuda yang
tiada lain daripada pendekar 212 Wiro Sableng.
“Tapi satu hal aku katakan, aku tidak gila. Kalianlah semua yang gila
tertawa tiada pangkal sebab!” Habis berkata begini pemuda itu berlalu, melangkah
sambil bersiul-siul. Rara Murni seperti tidak percaya pada pemandangannya
ketika melihat pintu terbuka dan dua sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang
adalah inang pengasuhnya, seorang perempuan tua, sedang yang satu lagi adalah
pemuda rambut gondrong yang pernah menolongnya tempo hari.
“Kita bertemu lagi, Rara,” kata Wiro Sableng.
“Di pintu gerbang aku tak diperbolehkan masuk, terpaksa lompat lewat tembok
dan memaksa perempuan tua ini untuk memberitahukan kamarmu…. “
“Ada apakah kau datang ke sini, Saudara 212?” tanya Rara Murni.
“Ah… rupanya kau masih belum melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku
datang ke sini…. Untuk bertemu dengan kau tentunya.” kata pendekar 212 pula
seraya menyandarkan punggungnya ke pintu yang tadi ditutupkannya. Merah paras
Rara Murni mendengar kata-kata Wiro Sableng. Tentang diri penolongnya ini
memang tak pernah dilupakannya, terutama mengingat kehebatannya. Maka bertanya
pula dia:
“Mengapa kau ingin ketemu aku…?”
“Oh, jadi tak boleh ketemu?”
“Bukan begitu maksudku, Saudara….”
“Dengar Rara, aku musti bertemu dan bicara dengan Sang Prabu malam ini
juga….” Rara Murni terkejut.
“Ada urusan apa…?”
“Urusan penting. Penting sekali….” Rara Murni berpikir-pikir. Pemuda ini
selama dikenalnya meski ceriwis dan suka bicara ngelantur tapi hatinya polos.
Namun demikian dia masih belum tahu siapa adanya pemuda ini. Bukan mustahil dia
adalah seorang pengkhianat macam Kalasrenggi tapi yang menjalankan taktik
secara lain. Purapura menolong pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan
menggolong.
“Katakan saja urusan pentingmu itu, saudara. Nanti aku yang sampaikan
kepada Sang Prabu….”
“Ini bukan urusan perempuan, Rara Murni.” kata Wiro Sableng pula. Rara
Murni yang lebih mementingkan keselamatan kakak kandungnya Prabu Kamandaka menjawab:
“Maaf, walau bagaimanapun aku tak dapat mempertemukan kau dengan Sang
Prabu….” Wiro Sableng tak berkata apa-apa. Digaruknya kepalanya.
“Sukar memang untuk percaya pada manusia macamku. Tapi biarlah, bertemu
dengan kau puas juga hatiku.” Pendekar itu tertawa dan kembali melihat
bagaimana kedua pipi Rara Murni menjadi merah. Tiba-tiba tangan kirinya
dihantamkan ke muka dengan telunjuk terpentang lurus-lurus. Tanpa keluarkan
suara inang pengasuh yang tadi berlutut kini rebah tiada sadarkan diri. Rara
Murni hendak menjerit. Tapi mulutnya ditekap oleh Wiro Sableng. Pemuda ini
berkata:
“Rara, perempuan itu tak apa-apa. Aku hanya menotoknya agar jangan sampai
dia membocorkan rahasia. Ketahuilah, istanamu ini kini penuh dengan
pengkhianatpengkhianat. Aku tak tahu siapa yang menjadi biang pengkhianat!
Kalau tahu siang-siang sudah kupuntir kepalanya dan kubawa ke hadapan Sang
Prabu. Kuharap besok pagi atau malam ini juga kau bawalah Sang Prabu ke kamarmu
ini dan baca pesanku ini?” Habis berkata demikian pendekar 212 melangkah ke
dinding dan pergunakan jari telunjuknya untuk menulis. Menulis serentetan syair
yang mengandung nasihat dan peringatan. Dalam waktu yang dekat akan pecah
pemberontakan Pemberontakan menggulingkan Sang Prabu dari takhta kerajaan Istana
penuh dengan pengkhianat-pengkhianat bermuka jujur tapi berhati seculas setan
Siapkan bala tentara di luar tembok kerajaan 212
“Samapi ketemu lagi Rara Murni.” kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis
menulis rentetan syair itu. Lalu cepat-cepat ditinggalkannya kamar itu. Rara
Murni memburu ke pintu tapi si pemuda sudah lenyap. Ketika malam itu juga Rara
Murni menemui Sang Prabu dan menerangkan tentang kedatangan pemuda aneh itu
maka terkejutlah Prabu Kamandaka. Dengan langkah besarbesar dan tanpa pengawal sama
sekali Raja Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke kamar. Dan memang apa yang
tertulis di dinding kamar cocok seperti apa yang diterangkan adiknya. Dinding
kamar itu dari batu dan dilapisi dengan marmer putih yang sangat keras. Dengan
pahat sekalipun akan sukar menuliskan rentetan syair itu. Tapi si pemuda aneh
telah menuliskannya dengan ujung jari!
“Bagaimana pendapat Kanda?” tanya Rara Murni kepada kakaknya.
“Pemuda itu tentu seorang yang sakti luar biasa.” kata Prabu Kamandaka.
“Tapi apa yang dituliskannya di dinding ini, adalah satu hal yang aku belum
bisa percaya. Tentara kerajaan telah mengadakan pembersihan. Dan tak seorang
pengkhianat pun ditemukan….”
“Mungkin mereka semua sudah menyingkir dan mempersiapkan diri di satu
tempat yang tersembunyi di luar kerajaan,” kata Rara Murni pula. Prabu
Kamandaka mengusap-usap dagunya. Lalu katanya:
“Rahasiakan tentang tulisan ini, Dinda. Meski aku tak percaya, aku akan
mengadakan penyelidikan juga.” Sesudah itu, keluarlah Kamandaka dari kamar
adiknya.
***
ENAM BELAS
“Berhenti!”
“Tahan!” Enam prajurit maju ke muka, enam ujung tombak ditujukan ke dada
dan punggung manusia berpakaian putih itu.
“Siapa kau?!”
“Aku mau bertemu dengan Mahesa Birawa!”
“Keparat, aku tanya siapa, menjawabnya lain” bentak prajurit itu. Laki-laki
itu menggeram dalam hati.
“Tunjukkan kemah Mahesa Birawa. Kalau tidak antarkan aku kepadanya!”
“ Manusia bau tengik! Kau kira kami ini budakmu?“
“Kau mata-mata Pajajaran ya?!” bentak prajurit yang paling kanan sekali.
Ujung tombaknya kini digeser ke tenggorokan laki-laki asing itu.
“Kalian sontoloyo semua! Aku bicara baik-baik, dibalas dengan
bentakan-bentakan! Sialan!” Enam ujung tombak dengan serta merta bergerak ke
muka. Laki-laki yang hendak menjadi bahan sasaran ujung senjata itu berkelebat
cepat. Satu kali gebrakan saja maka mentallah keenam prajurit itu! Empat
tergelimpang di tanah tak bangun lagi. Satu berdiri nanar, sedang yang satu
sambil memegang perutnya yang kesakitan, masih sanggup berteriak memanggil
kawan-kawannya. Maka dalam sekejapan mata saja puluhan prajurit dengan senjata
terhunus sudah mengurung tempat itu, mengurung ketat laki-laki berpakaian serba
putih. Oborobor menerangi tempat itu dan jelaslah tampang manusia yang telah
menggeprak enam prajurit tadi. Dia memandang berkeliling dengan air muka
melontarkan senyum mengejek.
“’Inikah tampangnya manusia-manusia yang hendak memberontak pada
kerajaan….?” Laki-taki itu tertawa mengekeh.
“Kalian manusia dogol semua. Mau saja diperalat oleh segelintir manusia
yang hendakkan kekuasaan secara keji! Kalau kalian kalah, kalian dan dipancung
semua! Kalau kalian menang, kalian dapat apa?!” Seorang laki-laki berbadan
tinggi kekar dan berkulit hitam maju ke hadapan orang asing itu. Dia adalah
seorang pelatih prajurit-prajurit yang hendak memberontak itu. Satu tangan
bertolak pinggang, satu lagi menuding tepat-tepat ke muka si orang asing, dia
berkata:
“Kurasa kau masih belum buta untuk melihat kenyataan, di mana kau berada
saat ini!” kata laki-laki tinggi besar itu. Si orang asing masih tertawa
seperti tadi, mengekeh mengejek. Si tinggi kekar yang merasa dihina di hadapan
orang banyak dengan gemas sekali hantamkan tinju kanannya ke perut si orang
asing. Apa yang terjadi kemudian terlalu cepat untuk dilihat oleh mata orang
banyak di tempat itu. Tubuh kepala pelatih yang tinggi besar itu jungkir balik
di udara dan jatuh punggung di tanah. Untuk beberapa lamanya tak dapat
bergerak-gerak! Kesunyian karena terkejut dan keheranan hanya berlangsung
beberapa ketika saja. Begitu terdengar seseorang berteriak maka menyerbulah
puluhan prajurit itu. Suara beradunya senjata riuh dan kacau balau.
“Tahan!,” Seorang prajurit berteriak.
“Lihat! Kita menghantam sesama kita! Kunyuk itu sudah ada di sana!” Dan
ketika semua mata memandang ke jurusan yang ditunjuk maka kelihatanlah orang
asing tadi berjalan seenaknya di sela-sela kemah prajurit! Sewaktu dirinya
diserang, secara bersama-sama tadi, laki-laki itu dengan kecepatan luar biasa
jatuhkan diri di tanah dan lolos di antara selangkangan para penyerangnya.
Keadaan malam yang gelap menolongnya untuk lolos dan melangkah seenaknya di
sela-sela kemah. Metihat bahwa orang yang mereka serang sudah berada di tempat
lain, di samping terkejut tentu saja prajurit-prajurit itu menjadi geram
sekali. Apa lagi kepala pelatih yang tadi dibikin menggeletak di tanah dalam
satu kali gebrakan. Dia berseru memanggil prajuritprajurit lainnya.
“Kurung bangsat itu! Kalau tak mungkin ditangkap hidup-hidup, cincang
sampai lumat!,” perintahnya. Kepala pelatih ini kemudian cabut kerisnya.
Sebelum menyerbu di antara anak buahnya dia memberi perintah pada seorang
prajurit yang kebetulan berada di dekatnya:
“Beri tahu hal ini pada Mahesa Birawa….!”
Di dalam kemah besar itu tengah berlangsung perundingan. Mahesa Birawa
tengah berkata:
“Besok Raden Werku Alit sudah berada di sini dan agaknya….
“ Ucapan Mahesa Birawa terputus. Kepalanya berpaling ke kanan dan dari
mulutnya keluarlah suara bentakan:
“Pengawal! Apa kamu orang tidak tahu bahwa tidak siapa pun boleh masuk ke
dalam kemah ini? Keluar…. !”
“Mohon maaf Raden… kata pengawal kemah seraya menjura dua kali.
“Seorang prajurit memberitahukan bahwa terjadi kerusuhan di sebelah timur…”
“Kerusuhan….?!” Mahesa Birawa berdiri dari kursinya.
“Ya, seorang asing diketahui memasuki perkemahan. Ketika dikurung dan
ditanyai dia melawan. Dia merubuhkan enam prajurit! Memukul kepala pelatih Suto
Rande dan kini tengah dikeroyok oleh puluhan prajurit di bawah pimpinan Suto
Rande!”
“Hanya seorang asing nyasar ke sini saja kalian tidak bisa membereskan?!
Memalukan sekali!” kertak Mahesa Birawa. Tapi dalam hatinya dia sebagai seorang
yang sudah berpengalaman dalam dunia persilatan memaklumi, kalau seseorang
sanggup merubuhkan enam lawan sekaligus, bahkan memukul jatuh kepala pelatih
prajurit ini suatu tanda bahwa dia bukanlah orang sembarangan, pasti mempunyai
ilmu yang diandalkan. Tapi siapa adanya orang asing yang berani datang seorang
diri ke perkemahan itu, inilah satu hal yang ingin diketahui Mahesa Birawa.
Mahesa Birawa berpaling pada Adipati-Adipati yang ada dalam kemah itu dan
berkata:
“Harap maafkan. Aku terpaksa meninggalkan persidangan sebentar untuk
membereskan keonaran…” Semua Adipati menganggukkan kepala. Adipati Tapak Ireng
berkata:
“Mungkin sekali perusuh ini seorang mata-mata Pajajaran…”
“Boleh jadi,” sahut Mahesa Birawa seraya menindak ke pintu kemah. Dan saat
itu pengawal kemah berkata:
“Orang asing itu berkata bahwa dia ingin bertemu dengan Raden…”
“Dengan aku?” Mahesa Birawa menuding dadanya sendiri. Pengawal mengangguk.
Ini membuat Mahesa Birawa tambah ingin lekas-lekas mengetahui siapa adanya
perusuh itu. Pertempuran berkecamuk seru ketika Mahesa Birawa sampai ke sana
bersama seorang prajurit. Prajurit ini hendak berseru tapi diberi isyarat oleh
Mahesa Birawa agar diam saja. Akan disaksikannya dengan mata kepala sendiri
beberapa jurus kehebatan pertempuran itu. Pekik dan jeritan terdengar hampir
setiap saat. Setiap pekikan musti disusul dengan menggeletaknya tubuh seorang
pengeroyok. Menurut taksiran Mahesa Birawa saat itu ada sekitar tiga puluh
prajurit di bawah pimpinan Suto Rande yang mengeroyok si orang asing. Diam-diam
Mahesa Birawa mengagumi juga kehebatan orang asing itu. Masih muda belia,
bertampang keren dan senjatanya sebuah tombak yang diputar seperti kitiran,
menderu dan setiap saat meminta korban dari pihak pengeroyok! Mahesa Birawa
tahu betul, tombak yang di tangan pemuda itu adalah tombak rampasan. Dan yang
membuat Mahesa Birawa terpaksa leletkan lidah ialah meski dikeroyok puluhan
manusia, si pemuda itu dengan seenaknya saja melayani sambil tertawa dan
bersiul! Beberapa orang lagi rubuh menggeletak dengan perut atau dada terluka
parah disambar ujung tombak. Kemudian terdengar lagi satu pekikan dahsyat.
Sesosok tubuh mental, jatuh tepat di hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti
oleh Mahesa Birawa ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh Suto Rande,
kepala pelatih prajurit! Nyawanya sudah minggat dan pada keningnya kelihatan
guratan angka 212…! Angka ini sekaligus mengingatkan Mahesa Birawa pada
keterangan kurir Raden Werku Alit tentang kematian Kalasrenggi secara aneh,
digantung kaki ke atas kepala ke bawah dan juga ada angka 212 pada kulit
keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak korban lagi yang jatuh maka berserulah
Mahesa Birawa!
***
TUJUH BELAS
“Aku Mahesa Birawa memerintahkan untuk hentikan pertempuran ini!” Suara
yang hampir menggeledek itu dengan serta merta menghentikan pertempuran.
Prajurit-prajurit yang mengeroyok melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Si pemuda asing masih berdiri di tempat dengan tombak di tangan. Teriakan
Mahesa Birawa tadi membuat dia putar kepala ke arah datangnya suara itu. Dan
sepasang matanya segera membentur sesosok laki-laki berbadan tegap berkumis
lebat melintang, berpakaian bagus. Pada pinggangnya terselip keris. Dalam
hatinya pemuda itu menggumam:
“Hem… jadi inilah dia manusianya yang bernama Mahesa Birawa itu…”. Selagi
dia menggumam begitu laki-laki itu melangkah mendatanginya.
“Orang asing!,” kata Mahesa Birawa dengan nada keren dan lantang.
“Meski kau punya sedikit ilmu yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat
untuk memamerkannya!” Si pemuda keluarkan suara bersiul.
“Betul aku berhadapan dengan Mahesa Birawa saat ini…?” tanyanya.
“Kau siapa?!,” membentak Mahesa Birawa.
“Namaku tertulis di kening anak buahmu itu!” Si pemuda pendekar 212
menunjuk ke mayat Suto Rande.
“Hem… bagus kalau begitu!” Mahesa Birawa puntir kumisnya.
“Kau yang membunuh Kalasrenggi, bukan?”
“Tidak! Aku hanya menggantungnya dan Tuhan kemudian mengambil rohnya….”.
Habis berkata begitu pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Kau tahu Mahesa, manusia macam Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama
di dunia! Masih kebagusan ada kali untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau
tahu… di atas bumi ini masih banyak manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan
lebih terkutuk dari Kalasrenggi yang musti dilenyapkan!” Di sini bukan tempat
pidato, budak hina!,” bentak Mahesa Birawa.
“Oh, begitu…? Kalau demikian mari kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku
memang sudah lama mencari kau!” Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian kelihatan
bagaimana mukanya menjadi kelam membesi.
“Kalau aku bicara dengan kau maka biar aku terangkan padamu bahwa
kedatanganmu ke sini hanyalah untuk mengantar nyawa!” Habis berkata demikian
Mahesa Birawa hantamkan tangan kanannya ke muka. Setiup angin yang bukan
olah-olah panasnya menggebubu ke arah pendekar 212! Pendekar 212 lompat tiga
tombak ke atas. Angin pukulan lewat di bawahnya dan menghantam sebuah pohon
kayu.
“Buum!”
“Kraak!” Pohon itu bukan saja tumbang dilanda angin pukulan tapi juga
berwarna hitam karena hangus! Kedua orang itu sama-sama terkejut. Pendekar 212
terkejut melihat kehebatan pukulan dan tenaga dalam lawan sedang Mahesa Birawa
heran tidak menyangka kalau pukulannya itu dapat dielakkan dengan satu lompatan
enteng ke udara!
Dengan penuh waspada Wiro Sableng jejakkan kedua kakinya kembali ke tanah.
“Mahesa Birawa,” katanya,
“Soal pertempuran soal mudah. Mudah dimulai, mudah diakhiri. Tapi aku
bilang, aku mau bicara dengan kau! Empat ma….”
“Budak hina! Siapa sudi bicara dengan kau!” potong Mahesa Birawa membentak.
Sekali lagi tangan kanannya dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya
mempergunakan sepertiga dari tenaga dalamnya maka kini dialirkan ke dalam
pukulannya itu setengah dari tenaga dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula
Mahesa Birawa dibuat gemas karena Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan
serangannya yang dahsyat itu.
“Mahesa Birawa, apakah kau yang lebih tua tidak memberikan kesempatan
padaku untuk bicara empat mata?!”tanya Wiro Sableng pula. Kesabarannya mulai
terkikis dari hatinya. Kalau saja dia tiada ingat pesan gurunya Eyang Sinto
Gendeng pastilah saat itu juga dibalasnya serangan-serangan Mahesa Birawa tadi!
Untuk tidak terlalu kehilangan muka karena dua pukulannya berhasil dielakkan
lawan maka berkatalah Mahesa Birawa:
“Percuma saja kau bicara, toh nantinya nyawamu akan aku bikin merat juga
dari kau punya badan!” Pendekar 212 tertawa.
“Dengar Mahesa Birawa…” kata pendekar ini. Rahang-rahangnya bertonjolan.
Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia menekan amarahnya dan berusaha
mempertahankan kesabarannya.
“Aku membawa pesan dari Eyang Sinto Gendeng…” Maka terkejutlah Mahesa
Birawa mendengar nama itu.
“Kau ini siapa kalau begitu?!” tanyanya.
“Siapa aku masih belum penting. Aku tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh.
Seorang diri, Mahesa Birawa. Datanglah seorang diri….”
“Kau bisa bicara di sini!” Pendekar 212 menggeleng.
“Di bukit Jatimaleh…” desisnya.
“Aku bilang di sini!,” bentak Mahesa Birawa.
“Takutkah kau datang ke bukit itu malam-malam gelap begini? Atau mungkin
takut pada dinginnya udara? Atau mungkin takut pada roh-roh manusia yang selama
ini membayangimu….?!” Mahesa Birawa kertakkan geraham. Dia memberi isyarat.
Bersama puluhan prajurit yang ada di situ maka menyerbulah dia! Pendekar 212
melompat sampai setinggi tujuh tombak. Dia berpegangan pada ujung sebuah cabang
pohon, membuat satu kali putaran pada saat mana Mahesa Birawa lemparkan sejenis
senjata rahasia. Mahesa Birawa berseru tertahan ketika melihat senjata
rahasianya membalik kembali menyerang dirinya sendiri. Dikebutkannya tangan
kirinya. Senjata rahasia itu bermentalan, menghantam prajurit-prajurit di
sekitarnya. Empat orang menggerang dan rebah ke tanah! Bayangan Wiro Sableng
lenyap namun masih terdengarsuara seruannya mengiangi anak telinga.
“Bukit Jatimaleh, Mahesa! Malam ini. Ingat, seorang diri…. !”
***
DELAPAN BELAS
Bukit Jatimaleh tertetak tidak berapa jauh dari perkemahan pemberontak.
Ketika Mahesa Birawa hendak meninggalkan perkemahan, beberapa prajurit
menyatakan hendak ikut serta tapi Mahesa berkata:
“Biar aku sendiri yang membereskan urusan ini! Kalian semua di sini bersiap
siagalah. Perkuat penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit peronda!”
Cuaca malam di atas bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit tiada rembulan
tiada bintang. Udara yang dingin mencucuki daging menyembilui tulang-tulang
sampai ke sungsum. Dalam kegelapan inilah kelihatan dua sosok tubuh berdiri
berhadap-hadapan. Yang satu membentak lantang:
“Cepat terangkan siapa kau adanya budak hina!”
“Ah… jangan bicara memaki terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku
lebih hina dari kau!,” jawab Pendekar 212. Marahlah Mahesa Birawa. Dia
menggeser langkahnya ke muka. Tapi langkahnya segera pula terhenti ketika
didengarnya pemuda di hadapannya berkata:
“Pesan Eyang Sinto Gendeng ialah agar kau segera kembali ke puncak Gunung
Gede dalam waktu secepat-cepatnya!”
“Kembali ke puncak Gunung Gede…. ?!”
“Yeah… Untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau
turun gunung tujuh belas tahun yang silam!”
“Jangan bicara ngaco belo! Ada hubungan apa kau dengan Eyang Sinto
Gendeng?!” Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 tertawa datar.
“Aku hanya pesuruh buruk saja, Mahesa….” jawabnya.
“Dusta!,” bentak Mahesa Birawa menggeledek.
“Kalau kau tak mau bicara yang sebetulnya jangan menyesal bila kepalamu
kupuntir sampai putus!” Wiro Sableng bersiul.
“Aku tak tahu segala urusan puntir kepala. Aku hanya menyampaikan perintah
Eyang Sinto Gendeng agar kau menghadapnya di puncak Gunung Gede! Kau dengar
Mahesa…. He… he… he….” Jari-jari tangan Mahesa Birawa mengepal membentuk tinju.
“Aku ingin tahu saat ini juga. Apakah kau bersedia memenuhi perintah itu
atau tidak…?”
“Aku tanya dulu! Apa hubunganmu dengan Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin
kesabaranku habis!”
“Kurasa akulah yang mustinya kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat
ini!” tukas Wiro Sableng.
“Katakan saja terus terang bahwa kau tak mau menghadap Eyang Sinto Gendeng!
Itu lebih baik dan lebih jelas….!” Mahesa Birawa busungkan dada. Katanya:
“Kalau orang tua geblek itu butuh ketemu dengan aku, suruh dia datang ke
sini!” Suara menggeram jelas terdengar di tenggorokan Pendekar 212. Mukanya
kelam membesi. Tanah yang dipijaknya melesak sampai tiga senti!
“Bicaramu terlalu besar Mahesa Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah
lebih dari takaran! Hari ini kau hina gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun
telah memeliharamu, mengajarmu segala ilmu kepandaian! Guru yang telah kau
nodai nama baiknya! Kau mengandalkan apakah, Mahesa Birawa….. ?!“
“Bocah gila! Terpaksa mulutmu kurobek detik ini juga!” bentak Mahesa
Birawa. Secepat kilat, belum lagi habis bicaranya maka lima jari-jari tangan
kanannya bergerak mencengkeram ke muka. Pendekar 212 tertawa. Tertawa dan
bersiul. Bentakan nyaring menggeledek dari mulutnya dan dia lompat ke samping
sambil hantamkan tangan kirinya. Mahesa Birawa terkejut ketika merasakan satu
angin yang deras mendorong tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan tangan kanan
untuk memapasi dorongan angin itu tapi tak urung tubuhnya menjadi gontai juga!
Maka kini keringat dingin memercik di kening laki-laki itu!
“Urusan kekerasan urusan mudah, Mahesa!,” kata Wiro Sableng.
“Tapi bicaraku masih belum habis. Tujuh belas tahun yang lewat kau pernah
malang melintang di Jatiwalu. Ingat…. ?”
“Pemuda sedeng! Darimana….”
“Ah… kau masih ingat! Bagus… bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada
masa tujuh belas tahun itu kau telah membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung
Jatiwalu?! Apakah kau juga masih ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak
kehormatan seorang perempuan bernama Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena
malu perempuan itu bunuh diri?! Apa kau juga masih ingat dan sanggup menghitung
berapa banyak jiwa penduduk yang kau renggut, kau bunuh?!” Mulut Mahesa Birawa
terkatup rapat-rapat. Dan pendekar 212 buka mulut lagi:
“Kalau aku tidak ingat pesan Eyang Sinto Gendeng, pada detik aku melihat
tampangmu aku sudah bertekad untuk mengermus kepalamu! Kini setelah tahu bahwa
kau tidak mau diperintahkan untuk menghadap ke puncak Gunung Gede maka tak ada
lagi halangan bagiku untuk membalaskan dendam kesumat seribu karat, untuk
membalaskan sakit hati yang berurat berakar sejak tujuh belas tahun yang lewat!
Ketahuilah Mahesa Birawa, aku adalah anak Ranaweleng. Dan aku adalah juga murid
Eyang Sinto Gendeng! Adik seperguruanmu sendiri, tapi yang akan memisahkan roh
busukmu dengan tubuh bejatmu!” Habis berkata begini maka tertawalah pendekar
212. Suara tertawanya keras dan panjang, menegakkan bulu roma. Bergetar hati
Mahesa Birawa mendengar suara tertawa yang menegakkan bulu kuduknya itu.
Terbayang olehnya masa tujuh belas tahun yang silam. Begitu cepat waktu berlalu
dan tahu-tahu kini dia berhadapan dengan kenyataan yang pahit! Berhadapan
dengan anak laki-laki dari suami isteri yang pernah menjadi korbannya. Seperti
tak percaya dia akan kenyataan ini!
“Orang muda…!,” kata Mahesa Birawa pula. Suaranya diperbawa dengan aliran
tenaga dalam agar tidak kentara getaran hatinya.
“Kuharap kau cepat-cepat saja bangun dari mimpimu dan tahu berhadapan
dengan siapa…!” Pendekar 212 tertawa lagi seperti tadi. Lebih seram malah! Dan
didengarnya suara Mahesa Birawa, musuh besarnya itu berkata pongah:
“Jangankan kau… Eyang Sinto Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan
terhadapku! Kalau kau teruskan niat edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu
sejauh ini dari puncak Gunung Gede hanyalah untuk mencari mampus sendiri!”
“Kita akan lihat Mahesa Birawa! Kita akan saksikan! Darah siapa di antara
kita yang akan dihisap oleh tanah! Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di
siang hari! Disaksikan oleh langit siang dan matahari! Karena itu besok, bila
matahari tepat sampai di puncak ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini!
Biar langit dan matahari yang dulu menyaksikan kematian ibu bapakku, besok
menyaksikan pula kematianmu, menyaksikan pembalasan dendam kesumat seribu
karat!” Mahesa Birawa keluarkan suara mendengus.
“Aku bukan manusia yang bisa menunggu, apa lagi terhadap keroco macam kau!
Tapi dengar orang muda… daripada kau mati tiada guna, aku ada usul baik bagimu.
Ikut bersamaku menghancurkan Pajajaran, niscaya kau akan kuangkat kelak menjadi
seorang pejabat berpangkat tinggi…. !” Wiro Sableng bersiul.
“Aku tidak butuh usul, Mahesa Birawa, juga tidak butuh apa-apa. Saat ini
aku hanya butuh roh busukmu! Besok siang di tempat ini. Mahesa. Darahmu atau
darahku, nyawamu atau nyawaku!” Maka kini Mahesa Birawa tidak dapat lagi
menahan hatinya.
“Tak perlu tunggu sampai besok! Sekarang pun aku bersedia melayani! Terima
pukulan seribu badai ini!” Mahesa Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya
memukul dan gelombang angin yang sangat hebat menderu menyambar ke arah
pendekar 212. Yang diserang tanpa tunggu lebih lama berkelebat dan melompat
setinggi tujuh tombak. Kedua kakinya tergetar dan linu ketika angin pukulan
lawan dalam jarak setinggi itu masih sanggup menyapu kedua kakinya! Dengan
kerahkan setengah dari tenaga dalamnya Wiro Sabteng hantamkan tangan kanan ke
bawah melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera! Mahesa Birawa berseru
tertahan melihat datangnya angin laksana badai ke arahnya. Cepat-cepat dia
melompat ke samping. Tubuhnya hampir terpelanting diserempet angin pukulan
lawan. Dengan kerahkan tenaga dalamnya dia masih sanggup berdiri di tempat
setelah mengelak tadi. Namun demikian kedua kakinya melesak sampai lima senti ke
dalam tanah! Dalam keterkejutan melihat kehebatan lawan Mahesa Birawa mendengar
suara tertawa pendekar 212.
“Kutunggu besok siang Mahesa Birawa. Di sini,di puncak bukit ini! Satu hal
perlu kukatakan. Besok aku menghadapimu bukan sebagai manusia bernama Mahesa
Birawa, tapi sebagai Suranyali!” Wiro Sableng berkelebat.
“Budak hina! Jangan lari!” teriak Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun
pendekar 212 sudah lenyap dari pemandangannya ditelan kegelapan malam.
***
SEMBILAN BELAS
Malam itu Mahesa Birawa tak dapat memicingkan mata. Dia gelisah sekali.
Sebentar-sebentar di atas pembaringan dalam kemah dia membalik ke kiri,
membalik ke kanan. Ingatannya mengawang kembali pada masa tujuh belas tahun
yang silam. Terbayang olehnya kematian Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci,
perempuan yang bunuh diri itu. Dan ketika ingatannya berpindah pada pemuda yang
mengaku anak dari Ranaweleng itu, tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski
sudah dapat mengukur kehebatan lawan namun Mahesa Birawa tidak takut sama
sekali untuk menghadapi pemuda itu. Cuma kemunculan si pemuda yang tidak
terdugalah yang benar-benar mengejutkan dan menyirapkan semangatnya. Hati
kecilnya mengutuki kebodohannya sendiri. Pada masa tujuh belas tahun yang silam
itu dia tahu kalau Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera. Kenapa dia
tidak sekaligus membunuh orok Ranaweleng itu? Tapi saat itu tentu saja dia
tidak mempunyai pikiran panjang seperti waktu sekarang ini. Mahesa Birawa
membalikkan tubuhnya kembali. Dia memandang ke dinding kemah. Dan pada dinding
kemah itu seperti terbayang oleh matanya rentetan kalimat yang pernah dibacanya
pada dinding tempat kediamannya tujuh belas tahun yang lalu yaitu ketika dia
baru saja berhasil melarikan Suci dan memasukkannya ke kamarnya. Di sana… di
dalam ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali rentetan
kalimat itu. Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:
“Apa yang kau lakukan hari ini akan kau terima balasannya pada tujuh belas
tahun mendatang!” Mahesa Birawa akhirnya turun dari pembaringan. Beberapa lama
dia mondar mandir didalam kemah besarnya itu. Kemudian teringat dia pada
kematian Kalasrenggi dan dua orang mata-mata yang dikirim ke Kotaraja tempo
hari. Mereka menemui kematian akibat turun tangannya seorang manusia aneh.
Kalasrenggi mati dengan guratan angka 212 pada keningnya. Dan tadi dia juga
saksikan sendiri kematian Suto Rande dalam cara yang sama! Kalau begitu sedikit
banyaknya atau mungkin pasti… pasti sekali pemuda yang mengaku anak Ranaweleng
itu, yang sesungguhnya adalah adik seperguruannya sendiri, pastilah mempunyai
sangkut paut atau hubungan dengan Pajajaran. Dan kalau sudah begini berarti
bocornya rencana untuk menggulingkan Prabu Kamandaka, bocornya rencana untuk
memberontak terhadap Kerajaan! Mahesa Birawa melangkah lagi mondar mandir
sambil mengepalkan tinjunya. Dia harus bertindak cepat sebelum Pajajaran
benar-benar tahu keseluruhan rencananya. Bukan mustahil saat itu balatentara
Pajajaran tengah menuju ke perkemahan mereka untuk menyapu mereka! Malam itu
juga Mahesa Birawa berunding dengan kelima Adipati. Dan malam itu pula
diputuskan untuk menggerakkan seluruh pasukan ke Kotaraja. Dua orang kurir
dikirim terlebih dahulu. Yang pertama untuk menemui Raden Werku Alit di
Kotaraja, memberitahukan bahwa karena sesuatu hal yang mendesak maka pasukan
diberangkatkan malam itu dan direncanakan untuk menggempur Pajajaran
selambat-lambatnya satu dua jam sesudah fajar menyingsing! Kurir yang kedua
berangkat menuju puncak Gunung Halimun, menemui Begawan Sakti Sitaraga yang
sebelumnya telah mengatakan bersedia turun tangan membantu kaum pemberontak!
Tapi kurir ini kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit Pajajaran di
perbatasan.
Meski tetap berhati bimbang akan kebenaran peringatan yang dibacanya di
dinding kamar adiknya, namun Prabu Kamandaka tak urung menyiapsiagakan
balatentara Pajajaran secara diamdiam. Dan ketika dini hari itu dia dibangunkan
secara mendadak, dilaporkan tentang terlihatnya sepasukan besar mendatangi
Kotaraja. Raja Pajajaran ini benar-benar menjadi kaget. Benar juga peringatan
itu, katanya dalam hati. Kepada Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera diberikan
perintah kilat:
“Kalau pasukan yang datang itu adalah benar pasukan pemberontak, hadapi
mereka di luar tembok Kerajaan!” Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk
timur maka pada saat itu pulalah mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat
di sepanjang tembok besar yang mengelilingi Kotaraja. Yang paling seru adalah
pertempuran pada dua buah pintu gerbang. Pihak pemberontak menyerang habis-habisan
untuk dapat membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang bertahan
mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia
yang terbabat senjata, bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan
suasana yang mengerikan. Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal
ini kelihatan sesudah pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih. Prabu
Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi seekor kuda putih dan di
tangannya tergenggam sebilah golok panjang yang berlumuran darah! Prabu
Kamandaka seperti terpukau dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika dia
bergerak ke medan pertempuran sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan
dengan Werku Alit, saudara sepenyusuan sendiri!
“Matakukah yang terbalik atau benarkah kau yang ada di hadapanku ini,
Alit?” ujar Sang Prabu. Raden Werku Alit tertawa membesi.
“Matamu masih belum terbalik, Kamandaka! Cuma otakmu yang miring sehingga mengambil
hak orang lain….!”
“Hak apakah yang aku telah ambil dan siapakah orang lain itu?!”
“Takhta Kerajaan adalah hak syah diriku, Kamandaka!” jawab Werku Alit
garang. Prabu Kamandaka tertawa dingin.
“Kau mengigau di slang hari Alit! Tak kusangka, kau sendiri yang menjadi
biang racun pentolan pemberontak yang memberikan perintah untuk mengeroyok Raja
Pajajaran itu!” Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian
ke mari memberi semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih
dan di tangannya tergenggam golok panjang yang berlumuran darah! Agaknya
serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran
berkecamuk hampir setengah jam lebih. Yang diserang bertahan mati-matian! Suara
beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata
bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan.
Satu demi satu prajurit yang bertempur bersama rajanya itu gugur
bergelimpangan. Keadaan Sang Prabu sangat kritis sekali sedang di sebelah barat
balatentara pemberontak di bawah pimpinan Mahesa Birawa sudah hampir berhasil
membobolkan pertahanan pintu gerbang!
***
DUA PULUH
Pada saat pertempuran berkecamuk dengan serunya, pada saat pintu gerbang
Kotaraja di sebelah barat hampir bobol dan pada saat keselamatan Prabu
Kamandaka sendiri terancam maka pada saat itulah terdengar suara yang keras
laksana guntur mengatasi segala kecamukan perang yang mendatangkan maut itu!
“Manusia-manusia bodoh! Hentikan pertempuran ini!” Hampir semua mereka yang
bertempur di medan sebelah timur itu jadi terkejut dan hampir semua mata pula
memandang ke atas tembok Kotaraja di mana kelihatan berdiri seorang pemuda
berpakaian putih-putih berambut gondrong! Mungkin sekali Raden Werku Alit
adalah orang yang paling terkejut melihat pemuda di atas tembok itu. Manusia
ini tampangnya sama betul dengan pemuda yang tempo hari ditotoknya sewaktu
hujan-hujan di teratak tua!
“Orang-orang mati inginkan hidup, kalian yang hidup mau bertempur sampai
mati! Goblok betul!” terdengar lagi pemuda yang di atas tembok berkata dengan
suaranya yang mengguntur. Werku Alit kertakkan rahang. Hatinya gusar terhadap
si pemuda. Diam-diam dia tahu bahwa suara yang mengguntur itu pastilah
menandakan bahwa si pemuda yang memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Namun
bila dia melirik ke samping dan detik itu melihat Prabu Kamandaka berada dalam
keadaan lengah maka kesempatan ini dipergunakan Werku Alit dengan
sebaik-baiknya. Senjatanya berkelebat cepat dan ganas. Satu ujung tajam dari
toja menyambar ke leher sedang ujung yang lain menyapu ke kaki Prabu Kamandaka!
Melihat datangnya serangan itu Prabu Kamandaka sadar akan keteledorannya
berbuat lengah. Sangat terlambat baginya untuk dapat mengelakkan senjata lawan
yang menyerang dua tempat itu sekaligus. Salah satu ujung tajam dari senjata
lawan pastilah akan mengenai badannya. Prabu Kamandaka lemparkan diri ke
belakang meski dia tahu bahwa kakinya akan disapu ujung toja lawan. Tapi pada
saat itu pula dari atas tembok melesat satu benda putih sekali laksana
bercahaya. Benda ini berbentuk bintang dan mengeluarkan suara mendesing,
menghantam pertengahan toja Werku Alit dengan tepatnya. Toja itu patah dua.
Salah satu patahannya menggores dada Werku Alit sendiri! Laki-laki ini menjerit
kesakitan dan lompat mundur namun diburu dengan sebat oleh Prabu Kamandaka.
Dalam keadaan terluka, bersama orang-orangnya Werku Alit bertahan dengan hebat.
Dua Adipati lainnya yang melihat terdesaknya Werku Alit segera berikan bantuan
sehingga Prabu Kamandaka dan orang-orangnya kembali terdesak hebat! Werku Alit
mengamuk dahsyat. Mengamuk dengan patahan tojanya. Namun keadaan dirinya mulai
payah akibat luka yang dideritanya. Gerakan-gerakannya mulai menjadi lamban
sehingga dia terpaksa mengambil posisi bertahan dan membiarkan
pembantupembantunya menyerang pihak lawan. Adipati Tapak Ireng mendekati Werku
Alit dan sodorkan sebuah pil.
“Telanlah cepat Raden Alit dan alirkan tenaga dalammu ke bagian yang
terluka….” Werku Alit cepat-cepat telan pil yang berwama hitam itu lalu
kerahkan tenaga dalamnya. Obat yang diberikan oleh Adipati Tapak Ireng memang
manjur sekali. Sesaat kemudian darah pada luka Werku Alit berhenti dan tiada
terasa sakit lagi. Maka dengan cabut kerisnya Werku Alit kembali maju
menghadapi Prabu Kamandaka. Ketika Adipati Lanabelong dengan ruyung besi
putihnya turut pula membantu Werku Alit maka lebih buruk dari tadi keadaan
Prabu Kamandaka kembali terdesak hebat.
“Kaum pemberontak! Hentikan pertempuran ini!” teriak orang yang di atas
tembok. Tapi tak ada yang memperdulikan malah Adipati Jakaluwing dari
Karangtretes menantang:
“Orang gila berambut gondrong kalau mau rasakan toja besiku, turunlah!”
Orang di atas tembok menggerutu penasaran. Dari balik pinggangnya
dikeluarkannya sebuah kapak bermata dua! Mata kapak itu berkilat-kilat ditimpa
sinar matahari pagi. Kemudian dengan satu gerakan yang sangat enteng dia
melompat turun. Dan begitu sampai di tanah ditempelkannya ujung gagang kapak ke
bibirnya. Maka sesaat kemudian menggemalah suara seperti seruling. Mula-mula
pelahan, kemudian makin keras dan melengking-lengking! Telinga pihak
pemberontak yang mendengar suara lengkingan seruling itu seperti ditusuk-tusuk
sakit sekali. Prajurit-prajurit rendahan menjadi terpukau dan dengan mudah
menjadi korban senjata prajurit-prajurit Pajajaran! Werku Alit dan lima Adipati
sekutunya terkejut ketika merasa bagaimana sakitnya telinga mereka sedang jalan
darah mereka tidak lagi teratur tapi sesak tersendat-sendat. Dan ketika mereka
memandang berkeliling mereka melihat bagaimana pasukan mereka di bagian medan
mayat prajurit dengan dada mandi darah! Werku Alit dan Adipati-Adipati yang
masih hidup terkejutnya bukan main. Serangan mereka di samping dijuruskan
kepada Prabu Kamandaka kini juga dititikberatkan pada Wiro Sableng! Namun bila
sekali lagi Kapak Naga Geni 212 berkelebat maka kini giliran Adipati Jakaluwing
pula yang meregang nyawa dengan kepala hampir terbelah dual Werku Alit dan
Adipati-Adipati yang masih hidup menjadi kecut. Mereka saling berlirikan tajam
dan beri isyarat namun pada saat itu pula pendekar 212 yang sudah tahu maksud
mereka membuat gerakan cepat. Rujung besi Ranabelong mental puntung dua ke
udara disusul dengan jerit kematiannya! Satu-satunya Adipati yang masih hidup
yaitu Warok Gluduk boleh dikatakan sudah tak ada daya lagi sesudah lengan
kanannya tadi dibabat puntung oleh Prabu Kamandaka. Dia memutuskan untuk kabur
saja tapi tombak seorang kepala pasukan Pajajaran lebih dahulu menancap di
punggungnya terus menembus sampai ke dada! Nyali Werku Alit semakin luntur
menciut. Di medan pertempuran sebelah timur itu hanya dia sendiri kini yang
menjadi pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan anak-anak buahnya merupakan pihak
penyerang yang mendesak maka kini keadaan terbalik! Di mana-mana puluhan
prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang masih hidup bertempur dengan
setengah hati, mundur terus-terusan dan kacau balau! Suara seruling Kapak Naga
Geni 212 yang terus menerus melengking seperti melumpuhkan sekujur tubuh Raden
Werku Alit. Dicobanya mengerahkan tenaga dalamnya namun tenaga dalamnya terasa
laksana punah! Telinganya sakit dan kemudian dirasakannya ada yang meleleh pada
kedua liang telinganya itu! Darah!
***
DUA PULUH SATU
Mahesa Birawa yang ada di medan pertempuran sebelah barat, yang saat itu
sudah hampir berhasil mendesak pasukan Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang
pertahanan menjadi terkejut ketika selintas kepalanya dipalingkan ke arah
timur! Pasukan pihaknya di jurusan ini dilihatnya bertempur dengan kacau, malah
sebagian besar mundur terdesak hebat! Beberapa kelompok pasukan bahkan
dilihatnya melarikan diri kucar kacir! Dan di antara semua apa yang
disaksikannya itu sayup-sayup telinganya mendengar lengkingan suara seruling!
Jaraknya dengan medan pertempuran sebelah timur terpisah puluhan tombak tapi
suara seruling itu seperti menerpa-nerpa kulit tubuhnya, menyendatkan jalan
darahnya dan menyakitkan anak telinganya. Dan saat demi saat jumlah prajurit
yang bertempur di medan sana itu semakin berkurang juga, banyak yang lari dan
banyak yang tergelimpang mati! Mahesa Birawa serahkan pimpinan kepada seorang
kepala pasukan yang dipercayainya. Kemudian dengan gerakan sebat dia menuju ke
medan pertempuran sebelah timur. Begitu sampai di medan pertempuran ini dia
disambut oleh satu pemandangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding. Saat
itu, Raden Werku Alit sudah terdesak hebat dan tak sanggup mengelakkan sambaran
pedang Prabu Kamandaka. jarak yang jauh Mahesa Birawa masih berusaha untuk
membokong Prabu Kamandaka dengan pukulan tangan kosong. Namun angin pukulannya
yang dahsyat itu diterpa hebat oleh satu gelombang angin ganas dari samping!
Ketika dia berpaling maka sepasang matanya membentur pemuda yang tak asing lagi
baginya. Maka membentaklah Mahesa Birawa. Namun bentakannya belum lagi keluar,
tahu-tahu satu benda menggelinding ke arah tempatnya berdiri, dan ketika
diperhatikan benda itu adalah kepala Raden Werku Alit yang sesaat sebetumnya
lehernya kena ditebas pedang Prabu Kamandaka! Kemarahan Mahesa Birawa tiada
terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada berduri yang mempunyai tiga
mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan Prabu Kamandaka! Namun setiup
angin dahsyat memotong serangannya itu dari samping. Dan ketika dia berpaling
ternyata lagi-lagi pemuda itu yang menghalanginya!
“Aku lawanmu, Mahesa Birawa!,” teriak pendekar 212 dengan bola mata
bersinar-sinar.
“Kutunggu kau di bukit Jatimaleh!”
“Budak hina! Kuburmu adalah di antara tumpukan mayat di tempat ini juga!,”
bentak Mahesa Birawa. Sementara itu Prabu Kamandaka yang tahu bahwa yang tadi
hendak menyerangnya adalah tokoh pemberontak kaki tangan Werku Alit yang
berbahaya segera berteriak berikan perintah:
“Kurung bangsat-bangsat pemberontak ini!” Dua lusin prajurit, tiga kepala
pasukan dan Prabu Kamandaka sendiri segera mengurung Mahesa Birawa. Namun pada
saat itu pula Wiro Sableng melompat ke muka dan berseru:
“Prabu Kamandaka! Kau memang punya hak untuk menangkap dan membunuh manusia
karena dia adalah pentolan pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih
punya hak untuk membereskannya karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab
kematian ibuku! Serahkan dia padaku Prabu Kamandaka!” Raja Pajajaran meski
amarahnya hampir tak dapat dikendalikan lagi, tapi mendengar ucapan Wiro
Sableng itu menahan juga serangannya dan bertanya:
“Orang muda gagah, kau siapakah?!” Wiro Sableng senyum sedikit.
Diacungkannya kapak yang di tangan kanannya. Dan pada kedua mata kapak itu
jelas kelihatan tiga rentetan angka. 212! Terkejutlah Sang Prabu! Tak disangka
pemuda itulah kiranya manusia aneh yang telah memberikan peringatan kepadanya
sebelumnya tentang akan pecahnya pemberontakan. Tahu kalau si pemuda gagah
betul-betul berada di pihaknya sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan
mengabulkan permintaan Wiro Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya
mundur kembali. Sementara itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir
berakhir. Balatentara pemberontak yang kini tidak berpimpinan lagi sudah mundur
jauh dari tembok Kerajaan dan terus dikejar oleh pasukan Pajajaran sehingga
lari kucar kacir. Dan di antara gelimpangan mayat manusia di atas tanah yang
banjir darah, di udara yang masih hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah
dua musuh besar, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan Suranyali alias
Mahesa Birawa! Pendekar 212 baru saja pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak
Naga Geni di muka dada ketika dengan membentak dahsyat Suranyali menerjang ke
muka. Keris menusuk ke kepala dan gada rantai berduri menyapu ke perut!
“Ciaat!” Wiro Sableng tak kalah sebat. Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni
berputar dahsyat menimbulkan gelombang angin dan mengeluarkan suara mengaung
laksana suara ratusan tawon! Gelombang angin itu sekaligus membentur
senjata-senjata Suranyali membuat kedua tangan-tangannya laksana kena dipukul
mental! Suranyali alias Mahesa Birawa kini tidak bisa bertempur
tanggung-tanggung lagi. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dan untuk kedua
kalinya dia menyerbu ke muka! Serangan kali ini lebih dahsyat dari yang pertama
namun pendekar 212 menunggu dengan tenang! Setengah tombak tubuh lawan
mengapung ke arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak Maut Naga Geni ke muka dalam
jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Suranyali merasakan badannya seperti membentur
dinding yang tak kelihatan! Dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah
sempurna sekali, laki-laki ini lompat ke samping. Kapak Naga Geni melesat di
bawahnya dan pada detik itu pula Suranyali kembali menukik dan babatkan gada
berdurinya! Yang diserang sama sekali tidak mau mengelak, tapi putar Kapak Naga
Geninya di atas kepala. Maka dua senjata bentrokanlah dengan hebat,
mengeluarkan suara nyaring! Kapak Naga Geni memancarkan bunga api, dua dari
rantai besi berduri yang bergandul pada gada berduri di tangan kiri Suranyali
putus! Membuat pemiliknya jadi terkejut sekali! Dan dalam saat itu pula laksana
topan Kapak Naga Geni membalik membabat ke arah selangkangannya! Suranyali
berseru keras dan jungkir balik di udara! Keringat dingin mengucur di kuduknya!
Prabu Kamandaka leletkan lidah melihat pertempuran yang hebat itu. Dalam waktu
yang singkat kedua orang itu telah bertempur dua puluh jurus! Dan kentara
sekali bagaimana kini Suranyali alias Mahesa Birawa mulai mendapat
tekanantekanan hebat! Dan pada saat laki-laki ini terpaksa buang penggada
berdurinya karena senjata itu dibabat puntung oleh kapak lawan! Dengan
penasaran Suranyali cabut senjatanya yang lain yaitu sebuah tongkat besi yang
ujungnya bercagak dua. Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan tanda bukan
senjata sembarangan dan menggndung racun yang hebat! Dengan keris di tangan
kanan dan tongkat besi bercagak di tangan kiri berkelebatlah Suranyali. Kedua
senjatanya memancarkan sinar dahsyat yang membungkus lawannya. Namun yang
dihadapi Suranyali saat itu bukan manusia berilmu rendah dan bukan pula yang
bersenjatakan senjata biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-deru mengaung
mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Tubuh kedua orang itu hanya merupakan
bayangbayang saja dan tiba-tiba terdengar teriakan Suranyali. Keris di tangan
kanannya terlepas mental patah dua. Kalau saja dia tidak cepat-cepat tarik
tangan kanannya pastilah tangan itu kena pula dibabat kapak lawan! Suranyali
melompat ke luar dari kalangan pertempuran! Mukanya memucat laksana salju!
Cepat-cepat dia atur jalan nafasnya. Ketika dia melangkah ke muka maka
kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal siku berwarna sangat hijau dan
bergetar.
“Pemuda hina dina! Kau lihat lengan kananku ini?!” tanya Suranyali sambil
acungkan tangan kanannya.
“Tujuh belas tahun yang lalu bapakmu meregang nyawa oleh pukulan Kelabang
Hijau-ku! Kini anaknya akan menerima bagian yang sama pula!” Wiro Sableng tahu.
kalau tujuh belas tahun yang lalu musuh besarnya itu telah memiliki ilmu
pukulan Kelabang Hijau itu maka kini kehebatannya tentu tak dapat dibayangkan.
Namun hal ini sama sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212
dipindahkan ke tangan kiri dan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan
ke tangan kanan. Dan kelihatanlah tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang
kuku-kuku jarinya bersinar memerah menyilaukan! Terkejutlah Suranyali melihat
hal ini. Hatinya tergetar.
“Pukulan sinar matahari…,” desisnya. Pendekar 212 tertawa menggumam.
“Silahkan mulai dahulu, Suranyali…,” katanya menantang! Diam-diam Suranyali
alirkan teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan. Mulutnya komat-kamit. Kedua
kakinya amblas lima senti ke dalam tanah yang basah oleh genangan darah. Dan
sambil lompat sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki ini hantamkan tangan
kanannya ke muka! Pendekar 212 tetap tak bergerak di tempatnya. Sinar hijau
dari pukulan lawan melesat ke arahnya dan disambutinya dengan pukulan tangan
kanan! Dua pukulan dahsyat beradu di udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar
hijau dan putih saling nyambar dan memecah ke samping! Pekik jerit dari
orang-orang yang berdiri di tepi kalangan pertempuran terdengar di mana-mana.
Tubuh mereka tergelimpang mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun pukulan
Kelabang Hijau Suranyali dan banyak yang menjadi hangus hitam tersambar pukulan
sinar matahari Wiro Sableng! Prabu Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat
melompat pastilah akan menjadi korban pula! Ketika dua sinar itu beradu keras
Suranyali merasakan badannya menjadi panas. Celaka! Keluhnya. Pukulannya kelabang
Hijaunya bukan saja musnah oleh pukulan lawan tapi juga kena dihantam
dikembalikan ke arah kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil sebuah pil
dari sabuk di pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu laksana
seekor elang dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro
Sableng. Wiro memapasi dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang kapak
dengan gagakan besi.
Tapi “trang!” Sekali kapak itu berkiblat maka patahkan senjata Suranyali.
Sebelum dia sempat menjejakkan kaki di tanah, sebelum dia sanggup menjauhi
lawan maka Kapak Naga Geni 212 menderu lagi kali ini tiada ampun membabat
kuntung bahu kanan Suranyali! Laki-laki ini melolong seperti srigala haus
darah! Tubuhnya limbung menghuyung! Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Itu dari ayahku, Suranyali!” katanya.
“Dan ini dari ibuku!” Kapak Naga Geni berkiblat lagi. Suranyali coba
menghindar dengan segala daya tapi tak berhasil. Bahu kirinya terpapas mental.
Darah menyembur! Sungguh mengerikan menyaksikan tubuh Suranyali yang tanpa
lengan itu!
“Yang ini dari Eyang Sinto Gendeng, Suranyali!” kata Wiro Sableng pula
dengan masih tertawa mengekeh seperti tadi. Kapak Naga Geni sekali lagi
menderu. Tubuh Suranyali mental tersandar ke tembok Kerajaan! Dadanya sampai ke
perut robek besar. Darah membanjir dan ususnya menjela-jela. Pendekar 212 masih
belum puas.
“Yang terakhir ini dariku sendiri, Suranyali!,” katanya. Ketika Kapak Maut
Naga Geni 212 itu membelah kepala Suranyali alias Mahesa Birawa itu, tiada
terdengar pekikan atau keluh kematian dari mulutnya. Tubuhnya masih tersandar
sesaat lamanya pada tembok Kerajaan, kemudian merosot ke bawah dan tergelimpang
di atas mayat-mayat pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak berada lama
menggeletak di sana. Sekali kaki kanan Wiro Sableng menendang maka mentallah
tubuh musuh bebuyutannya itu sampai belasan tombak! Wiro Sableng tertawa
mengekeh, lama dan panjang. dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik
pinggangnya. Kemudian seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dia bukan
berada di antara hamparan ratusan mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan
dengan bersiul!
“Saudara muda!,” Prabu Kamandaka memburu.
“Tunggu dulu…. !” Pendekar 212 berpaling.
“Ah…. aku sampai lupa minta diri padamu Prabu Kamandaka….”
“Saudara, kau tak boleh pergi dulu…”
“Kenapa?”
“Ikutlah ke istana. Kau telah berjasa besar dan….”
“Jasa hanyalah jasa Sang Prabu. Hanya sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku
jasa tidak berarti mengharapkan balas imbalan. Selamat tinggal….” Prabu
Kamandaka memegang bahu pemuda itu.
“Kuharap kau sudi datang ke istana terlebih dahulu, saudara,” katanya.
“Terima kasih Sang Prabu, terima kasih….,” sahut pendekar 212.
“Kalau begitu beri tahu saja namamu….” Wiro Sableng tersenyum.
“Namaku tidak penting Sang Prabu. Cuma ingatlah angka 212. Mungkin suatu
ketika angka itu akan kembali lagi ke Pajajaran ini…. Dan satu hal…. jangan
lupa sampaikan salamku buat adikmu…. Rara Murni….”
“Akan kusampaikan” kata Prabu Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian
menyaksikan kepergian pendekar muda itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng
kepala dan tarik nafas panjang.
“Pemuda hebat…. pemuda gagah….,” katanya.
“Pajajaran berhutang besar kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai turun
temurun….”.
TAMAT
Post a Comment
0 Comments