Menangkap Hantu Penunggu Sekolah

Menangkap Hantu Penunggu Sekolah
Posted by MrR4m34t
Your Ads Here


DOWNLOAD KUMPULAN CERITA
------------------------------------

Karya: Bow
------------------------------------



Sudah hampir setahun bangunan itu belum laku terjual, beberapa kali ada yang berminat, tapi kemudian karena berbagai alasan membatalkan niat mereka untuk membeli bangunan. Ahmad melangkahkan kakinya menyusuri selasar yang dulunya bagian dari kantor guru, ditengoknya ruang itu lewat jendela kaca yang buram, didalamnya kosong dan tampak kotor, laba-laba berbondong-bondong telah membuat sarang disana-sini, kakinya kembali melangkah, kini langkahnya berhenti disebuah ruangan, dengan ukuran kurang lebih 3 x 4 meter, Ruang Kepala Sekolah, ruangnya dulu kenangnya.

Dua belas tahun yang lalu ia berkantor disini, sebagai Kepala Sekolah, dengan gigih ia berusaha membangun sekolah ini agar mampu bersaing dengan sekolah-sekolah setingkat lain yang ada dikotanya, usahanya cukup berhasil, sekolah ini menjadi salah satu tempat pendidikan yang menjadi tujuan siswa menempuh pendidikan tingkat pertama. Tapi sayang, setelah pergantian kepemimpinan, akibat pengelolaan yang kurang baik, sekolah yang telah diperjuangkannya makin menyusut muridnya, dan akhirnya terpaksa harus ditutup karena kekurangan murid.

Kurang lebih setahun yang lalu, ia dihubungi beberapa rekan yang pernah mengabdi di sekolah ini, memintanya untuk ikut menjual bangunan sekolah tersebut, berat rasanya, tapi apa mau dikata, untuk mengoperasikan sekolah kembali sudah tidak mungkin, biaya yang dibutuhkan sangat besar, ditambah persaingan semakin ketat.

Ahmad menghela nafas, kemudian ia melangkahkan kaki, kini keluar dari area sekolah, yang ditujunya sebuah rumah kecil yang tak jauh dari bangunan sekolah itu, rumah penjaga sekolah.  Penjaga sekolah itu sebenarnya bukan penjaga yang dulu bertugas pada saat sekolah masih aktif berfungsi, tapi seorang buruh yang tidak memiliki rumah, dengan rasa kemanusiaan dipebolehkan menempati rumah tersebut, sampai laku terjual.

Rupanya si penjaga sekolah sudah menunggunya, ia menyambut kedatangan Ahmad dengan ramah, “Mampir dulu Pak, saya bikinkan kopi,” katanya.

“Terimakasih mas, saya cuma mau pamit, oh ya, seperti biasa, nanti kalau ada yang berminat saya minta menemui sampean, tolong diajak berkeliling,” balas Ahmad, sambil menyalami tangan si penjaga yang bernama Miran itu. Setelah pamit Ahmad lalu mengambil motornya dan meninggalkan area sekolah.

Keluar dari tikungan jalan masuk area sekolah Ahmad baru sadar, sedari tadi perutnya belum diisi nasi, pantas laparnya begitu terasa, maka ketika pandang matanya melihat ada warung soto didekat situ lantas saja ia membelokkan motornya.

Ada tiga pengunjung diwarung soto itu, begitu asyik mereka menikmati soto masing-masing, Ahmad memberi salam, ketiga pengunjung menoleh dan memberi salam, “Silahkan Pak masuk saja,” ucap salah satu pengunjung. Ahmad mengangguk dan mengambil tempat duduk yang masih kosong.

Pemilik warung seorang ibu-ibu separuh baya, melihat Ahmad ia langsung menghampiri, “Mau pesan apa Pak?”

“Soto Bu satu porsi, minumnya es teh,” jawab Ahmad

“Baik, tunggu sebentar Pak,” kemudian si pemilik warung bergegas kembali ketempatnya semula menyiapkan pesanan Ahmad.

Selagi menunggu Ahmad mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya, ia tuliskan beberapa hal penting berkaitan rencananya untuk menawarkan bangunan sekolah itu, selagi mencatat seorang pengunjung warung bertanya padanya, “Bapak ini darimana?” Si penanya seorang lelaki tua, rambutnya sudah beruban seluruhnya, berkumis dan kumisnyapun sudah memutih.

“Saya barusan dari area bangunan yang dulunya bekas sekolah dibelakang itu Pak,” jawab Ahmad.

“Oh dari situ, apa sekolahnya mau dioperasikan lagi?” tanyanya kembali.

“Tidak Pak, rencananya mau dijual.”

“Lha siapa yang mau beli bangunan berhantu begitu?” ucap si lelaki sambil lalu.

“Berhantu bagaimana Pak?” kini Ahmad merasa heran.

“Memang sampean tidak tahu ceritanya?” pancing si orang tua.

“Saya malah baru dengar dari mulut bapak barusan,” kata Ahmad.

“Semua orang sini sudah tahu, bangunan itu berhantu, pada takut orang-orang, tidak ada yang berani dekat-dekat situ, iya kan?” ujarnya sambil meminta dukungan dua pengunjung yang lain. Dua pengunjung yang lain manggut-manggut sambil menoleh ke Ahmad. “Betul itu Pak, berhantu,” tegas salah satunya. “Hantu pocong,” yang lain menimpali.

Ahmad mengerenyit, “Memang sudah banyak yang lihat hantu itu Pak?”

“Tanya saja sama Miran, ia yang bolak-balik melihat hantu itu, warga sini juga banyak yang sering liat, dimalam-malam tertentu hantu pocong itu berkeliaran diarea sekolah,” jawab si lelaki tua.

Aneh. Kalau Miran tahu bangunan itu berhantu kenapa selama ini diam saja, tak satu kalipun diceritakan padanya?

Selagi ia berpikir, ibu penjual soto datang membawa pesanannya. Rupanya ia dengar percakapan mereka tentang hantu, lantas saja ia menambahi, “Betul lho Pak, cerita tentang hantu itu beneran, lha saya sih sudah tahu banguan itu mau dijual, beberapa kali ada yang berkunjung kemari bersama Miran, ya itu orang-orang yang mau beli gedung sekolah, tapi kontan langsung ketakutan begitu mendengar cerita Miran soal hantu,” ceritanya menggebu-gebu.

Makin janggal rasanya mendengar cerita tentang hantu ini, ada sesuatu yang melintas di pikirannya, tapi tak diutarakannya, ia cuma manggut-manggut pada si pemilik warung dan mulai menikmati sotonya. Selesai makan, Ahmad membayar harga soto, dan pamit pada tiga pengunjung yang lain.

Sesampai dirumah Ahmad menghubungi tiga rekannya untuk berkunjung kerumahnya nanti malam, ia sampaikan ada satu hal penting ingin ia diskusikan, tiga rekannya menyanggupi. Beruntung Ahmad punya tiga rekan yang solid, Karman, Bagio, dan Setyo. Dari bujang dulu mereka selalu saling membantu, dan sering pula berkumpul mendiskusikan banyak hal. Kini setelah usia mereka hampir separuh abadpun, hubungan mereka masih tetap terjaga.

Sesuai janji, malamnya tiga rekan Ahmad sudah berkumpul dirumahnya. Ahmad tak lupa meminta isterinya untuk menyediakan minum dan hidangan yang lain. Setelah berbasi-basi dan menikmati hidangan yang tersedia, Ahmad mulai membuka percakapan yang serius, “Sebenarnya ada satu urusan penting yang aku ingin bicarakan dengan kalian,” ucapnya.

Tiga temannya mengangguk-angguk dan menunggu ucapan Ahmad selanjutnya. “Begini, kalian pasti sudah tahu rencana rekan-rekan guru melalui persetujuan pihak yayasan untuk menjual gedung sekolah swasta dimana aku dulu pernah berkantor,” lanjutnya.

“Iya Mad, kamukan pernah bercerita dulu, bagaimana hasilnya? Apakah sudah laku terjual?” potong Karman.

“Belum, nah karena itu sebenarnya aku mengundang kalian kemari,” jawab Ahmad.

“Maksudnya bagaimana Mad?” tanya Setyo.

Ahmadpun menceritakan tentang beberapa peminat yang urung membeli bangunan sekolah yang hendak dijual itu, sekaligus cerita desas desus tentang adanya hantu di sekolah.

“Bagaimana menurut kalian, apa kalian percaya cerita hantu itu?” tanya Ahmad meminta pendapat setelah selesai menjelaskan.

“Sulit dipercaya,” tukas Bagio, “Makhluk gaib memang ada, “Tapi cerita tentang hantu di sekolah  yang barusan kau ceritakan masih sukar untuk dipercaya,” lanjutnya kemudian.

“Menurut kalian gimana? Karman, Setyo?” tanya Ahmad pada dua temannya yang lain.

“Kamipun sukar percaya Mad,” jawab Setyo, diiringi anggukan Karman.

“Lantas bagaiman usul kalian?”

Tiga temannya terdiam, masing-masing berpikir, Setyo yang duluan berkata, “Kurasa perlu kita buktikan,” ucapnya.

“Betul itu Mad,” susul Karman.

“Caranya?” kembali Ahmad bertanya.

“Kita ke sekolah itu malam hari, kita tunggu si hantu, apakah benar-benar ada,” ujar Bagio. Ahmad mengangguk, “Bagus idemu, terus bagaimana kalau memang ada betulan hantunya?” Bagio melengak mendengar pertanyaan itu, ia memandang dua rekannya, “Bagaimana?” Setyo membuka mulut, “Kalau memang ada betulan baru kita siasati rencana lain,” jawaban Setyo disetujui bersama, diakhir pertemuan mereka sepakat besok malam akan mengunjungi gedung sekolah itu.

Keesokan malamnya mereka berempat kembali berkumpul dirumah Ahmad, kemudian berbarengan berangkat ketempat tujuan. Miran agak terkejut melihat kehadiran Ahmad dan tiga rekannya malam-malam. “Tumben Pak, datang malam-malam begini?” Ahmad tersenyum, kemudian menjawab, “Kami ingin berburu hantu mas.”

“Hantu? Hantu apa Pak?” Miran tampak kebingungan.

Ahmad makin heran dengan kelakuan Miran, “Hantu pocong mas,” jawabnya. Tanpa menunggu ucapan lain dari mulut Miran, ia segera mengajak tiga rekannya menuju lokasi.

Suasana agak terang malam itu, rembulan bersinar cerah, tak ada satu megapun diatas langit, Ahmad dan tiga rekannya berpencar, mereka mencari tempat untuk menunggu masing-masing, sudah disepakati mereka akan menunggu selama tiga jam, kalau selama tiga jam si hantu tidak nongol mereka akan pulang.

Ahmad memilih menunggu di belakang salah satu ruang kelas, ia duduk berjongkok sambil memegangi senter, matanya awas melihat kanan dan kiri, dalam hati dibacanya do’a berulang-ulang, seandainya hantu itu memang ada, ia berharap dapat melindungi dirinya dengan bacaan do’a. Suara jangkerik terdengar silih berganti, untung ia memakai jaket, denging nyamuk begitu liar ditelinganya, topi yang dikenakan agak diturunkan sedikit, setidaknya mengurangi ruang bagi nyamuk untuk mencari sasaran.

Entah berapa lama Ahmad menunggu, penantiannya sepertinya sia-sia malam ini, kecuali beberapa ekor tikus yang lewat, belum dilihatnya dari tadi kelebatan sesosok hantu. Kakinya terasa pegal, sesekali direntangkannya.

Teng! Terdengar suara besi dipukul, itu pasti Karman, memang tugasnya tadi memberi tanda kalau waktu perburuan telah berakhir. Iapun keluar, tiga temannya sudah menanti dihalaman sekolah, “Lanjut besok!” kata Karman. Merekapun kembali kerumah penjaga sekolah dimana motor-motor mereka parkir. Si penjaga belum tidur, ia menyambut Ahmad dengan tiga rekannya, “Bagaiman Pak? Hantunya ketangkep?” tanyanya. Ahmad merasa ucapan Miran seperti meledeknya, tapi mulutnya berkata, “Tidak mas, kurasa cerita hantunya bohong, kami pulang dulu, mari!” lantas disalaminya penjaga sekolah, dan mereka berempatpun kembali kerumah masing-masing.

Keesokan malamnya kembali mereka berkumpul di rumah Ahmad. “Bagaimana? Kita berangkat ke sekolah lagi sekarang?” tanya Setyo. Ahmad mengangguk, “Tapi kita jalan kaki malam ini, kalau lewat jalan dalam, tidak terlalu jauh dari sini.”

Mereka berempat berjalan beriringan menuju lokasi malam itu, melalui area persawahan dan jalanan sempit yang lebih dekat menuju sekolah. Lampu senter tidak mereka hidupkan, takut menimbulkan kecurigaan. Beberapa kali Bagio yang bertubuh agak tambun tergelincir saat melalui jalanan sawah yang licin, “Pelan-pelan,” ucap Karman.

Sesampai dekat area sekolah Ahmad memberi isyarat rekan-rekannya untuk berhenti dan merunduk. “Kenapa berhenti, apa kita tidak ijin dengan Miran dulu?” tanya Bagio.

“Ssst.. jangan keras-keras..” bisik Ahmad. “Ku ajak kalian jalan kaki bukan tanpa maksud, aku memang sengaja lewat jalan belakang, ada sesuatu yang kucurigai dengan sipenjaga itu, ayolah pelan-pelan kita menyebar,” jelas Ahmad kemudian. Merekapun dengan hati-hati mulai menuju area sekolah, masing-masing mencari tempat pengintaian sendiri yang dianggap tepat.

Ahmad memilih tempat mengintai di samping kelas dibagian depan, dari situ ia bisa memperhatikan rumah sipenjaga dan area halaman sekolah, dieratkan restling jaketnya mencegah angin dingin masuk, dan meringkuk ia dengan sabar.

Penantiannya mulai berbuah, kurang lebih satu jam menunggu, dilihatnya dari jauh pintu rumah sipenjaga terbuka, satu sosok tubuh keluar, dengan cepat pintu rumah kembali tertutup, dilihatnya kini sosok hitam yang keluar dari rumah sipenjaga melangkah ke area sekolah, dan berhenti disebuah pohon sawo yang tumbuh di sebelah kiri luar area pagar sekolah, sosok yang dilihat Ahmad kini menyelinap dibalik pohon, beberapa lama kemudian keluar sesosok tubuh dari balik pohon, sesosok putih-putih. Hantu Pocong! Pekik Ahmad dalam hati, tapi ketakutannya langsung pulih ketika sadar apa yang terjadi, jelas kcurigaannya terbukti sekarang, maka lantas ia kembali duduk tenang memperhatikan sosok putih itu bergerak ke area sekolah.

Sosok putih mondar-mandir dihalaman sekolah, kadang berhenti, kadang meloncat-loncat. Seandainya ada orang lain yang kebetulan melihat, pasti kontan lari ketakutan menyangka melihat hantu sungguhan.

Ahmad sudah bersiap kini, ia mengendap-endap dibalik dinding, begitu sudah sampai disamping sisi depan mulutnya membuka, “Tangkaapp!” teriaknya, iapun berlari menuju si hantu yang sedang asyik melompat, si hantu kaget, ia melihat Ahmad, langsung putar arah dan mencoba kabur, tapi dari arah lain Setyo sudah menghadang, begitu juga teman-temannya yang lain bermunculan. Si hantu kebingungan, akhirnya hanya berdiri mematung diantara kepungan Ahmad dan rekan-rekannya.

“Lepas kain putihmu!” perintah Ahmad keras. Senternya ia hidupkan mengarah sosok si hantu. Perlahan hantu yang telah kepepet itu menarik kain putih yang menyelubungi tubuhnya.

“Miran!??” teriak Ahmad kaget. Sebelumnya ia memang sudah mencurigai Miran, tak urung tetap juga rasa tak percaya keluar dari mulutnya. Miran menunduk, “Iya Pak,” jawabnya  pelan.

Ternyata Si Hantu yang menghebohkan warga selama ini Miran, memang ia sengaja menakut-nakuti warga dan orang-orang yang berniat membeli, alasannya karena ia bingung hendak tinggal dimana seandainya gedung itu laku terjual. Sungguh kasihan Miran, tak bisa dipungkiri hidup pemuda itu memang sulit, kerja hanya sebagai buruh dan harus menghidupi anak isteri. Namun tindakannya juga kurang tepat, karena menyusahkan orang lain.

Ahmad memaafkan kelakuan Miran dan tidak memperpanjang urusan, tapi terpaksa ia meminta Miran untuk meninggalkan rumah yang dijaganya, untung bagi Miran, karena diijinkan menumpang di rumah salah satu saudara dari isterinya. Tak berselang lama setelah malam perburuan hantu, bangunan sekolah akhirnya terjual.


------------------------------------


Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Newer Posts Newer Posts Older Posts Older Posts

Related Posts

Your Ads Here

Comments

Post a Comment