KERIS NAGA SANJAYA

KERIS NAGA SANJAYA
Posted by MrR4m34t
Your Ads Here

KERIS NAGA SANJAYA

SATU
Danau Maninjau, pulau Andalas, masa 800 tahun si-lam.
Goa batu pualam itu berada di tebing curam di sisi sebelah barat Danau Maninjau, dikelilingi padang rum-put dan semak belukar, terlindung di balik kerapatan pohon perdu.
Hari masih pagi benar. Di luar goa masih diriuhi suara cicit burung bermacam jenis, seolah bergembira menikmati pagi yang basah oleh embun. Sementara sang surya baru saja memunculkan diri, menorehkan warna jingga yang menyemburat di sela awan tipis di ufuk langit sebelah timur.
Di dalam goa, seorang nenek duduk menyandarkan punggung di atas sebuah tempat tidur yang berupa bongkahan batu pualam mengkilap persegi empat, ter-letak di salah satu sudut ruangan goa. Wanita tua ini mengenakan pakaian lusuh, kain panjang berwarna abu-abu. Wajah cekung dan keriput, agak sedikit menye-ramkan untuk dipandang. Rautnya masih pucat, serupa orang yang baru saja bangun dari tidur. Namun, sebe-narnya ia baru saja siuman dari pingsannya yang cukup lama. Lima buah sunting menghiasi rambutnya yang telah memutih riap-riapan. Yang aneh, bahwa keli-ma hiasan kepala berupa tusuk konde itu tidak diper-gunakan sebagaimana laiknya orang berhias diri, yakni diselipkan di antata rambut dan sanggul. Di kepala si nenek muka seram, kelima tusuk konde itu justru ter-tancap di kulit kepalanya yang berambut sangat jarang.
Saat itu, mulut perot si nenek terlihat sedang me-ngunyah sesuatu yang disuapkan seorang pemuda yang mendampinginya duduk berhadapan di tepi batu pualam. Pemuda ini mengenakan baju putih, di kepala-nya yang berambut panjang, ia terikat sehelai kain yang se-warna dengan pakaian.
“Anak Setan.” Demikian si nenek menegur orang di hadapannya.
Pemuda yang untuk kesekian kalinya hendak meng-angsurkan suapan ke mulutnya menggunakan semacam sendok yang terbuat dari bilah bambu jadi agak terkesiap.
“Apa kau sudah cicipi makanan yang kau suapi padaku ini?”
Pemuda itu kernyitkan kening, lantas menggeleng.
“Belum, Eyang. Ada apakah? Apa Eyang merasa bubur ini tak enak?”
“Bukan. Maksudku ...." Wanita berusia teramat sen-ja hentikan cakapnya sebentar. "Meskipun warnanya yang kuning mirip-mirip ta ....”
Si nenek bersunting lima malah tak teruskan uca-pan. Gurat di pipi cekungnya terlihat seolah tengah me-nahan senyum geli. Matanya melirik ke sudut lain ru-angan goa, di mana seorang lelaki tua berwajah jernih tengah duduk tenang dengan kaki bersila, sikap tubuhnya seperti sedang semedi. Di pangkuan paha ka-ki yang tertutup jubah, kakek ini meletakkan sebuah ben-da mirip seruling, berwarna hijau.
“Dengar, Anak Setan, apa yang kau sebut bubur ini rasanya enak. Siapa sangka lidah tua ini pada akhirnya dapat menikmati kudapan legit dan serenyah ini,” kata si nenek akhirnya.
Nenek wajah cekung itu tak lain adalah Sinto Geni. Ia lalu mengalihkan kata-katanya pada lelaki tua di su-dut ruangan.
“Datuk, kau namakan apa makanan lembek tapi nik-mat ini?”
Datuk yang ditanya membuka matanya. Wajah tua berjanggut tetapi masih terlihat klimis itu melukis sega-ris senyum.
“Jika kalian katakan itu bubur, maka silakan namai sa-ja makanan itu bubur jagung. Terbuat dari saripati jagung tua. Dimasak dengan gula aren serta dicampur santan kelapa yang masih muda. Cucuku sengaja kuminta membuatnya untukmu. Karena selain meng-enyangkan, kudapan itu baik untuk mempercepat pemulihanmu.” Menerangkan lelaki tua yang dipanggil Datuk. Dia adalah pemilik tujuh saluang sakti berwarna pelangi. Dunia persilatan masa itu menjulukinya de-ngan gelar Datuk Rao Basaluang Pitu.
“Ksatria panggilan ....” Berkata Datuk Rao pada pe-muda berbaju putih yang tak lain pendekar 212 adanya. Sementara pendekar kita masih saja telaten menyuapi gurunya. Sesuatu yang jarang sekali, bahkan bisa dika-takan tak pernah ia melakukan itu pada orang yang telah mendidik dan membesarkannya. Seribu satu keha-ruan membuncah dalam benak sang pendekar. Ia me-noleh ke arah sang datuk.
“Setelah gurumu benar2 pulih, seperti yang ku-katakan kemarin, ada banyak hal yang harus kusampai-kan. Waktu kita mungkin tak banyak. Kalian ketahuilah, jika firasat dan petunjuk yang kudapatkan benar, maka akan terjadi hal besar yang menggegerkan di alammu delapan ratus tahun mendatang. Sesuatunya yang bisa saja saling mengait dengan apa sudah dan akan terjadi di Bhumi Mataram".
Guru dan murid itu saling pandang.
"Datuk," ucap Sinto Geni atau Sinto Gila setelah me-nelan suapan bubur terakhir yang diberikan wiro. "Kau mengatakan sesuatu akan terjadi dan itu saling berhu-bungan dengan apa yang telah muridku alami, semen-tara aku sendiri tak tahu apa yang telah terjadi."
"Datuk Rao," ujar Wiro pula, "Sebelumnya, aku ber-harap kau memberi penjelasan tentang apa yang terjadi, sehingga Eyang Sinto tak bisa mengingat akan apa yang telah ia alami"
Datuk Rao Basaluang pitu menghela napas sebe-lum menjawab.
"Ksatria Panggilan, Nenek Sinto ... sebagaimana kita tahu, bahwa rentetan petaka yang menimpa Bhumi Mataram sejak bermulanya pada apa yang disebut 'malam jahanam' adalah sebentuk perbuatan keji Dirga Purana dan Dua Nyawa Kembar beserta bala sekutunya untuk melemahkan prajurit dan rakyat, dan menghan-cur tiap sendi penunjang berdirinya Kerajaan Mataram. Menurut jalan pikiran jahat mereka, cara itu adalah yang paling mudah untuk melumpuhkan pemerintahan yang sah. Orang-orang jahat itu sangat menyadari bah-wa mereka tak akan mampu melakukan pemberonta-kan terbuka dikarenakan ketiadaan dukungan prajurit dan keberpihakan rakyat."
"Banjir bah berwarna merah darah dan delapan ben-jolan di kening yang menyebabkan derita panjang dan kelumpuhan ..." gumam Wiro lirih, membayangkan itu semua membuat tengkuknya menjadi dingin.
"Demikianlah, Wiro. Jika selaksa ketamakan ber-himpun dengan kesesatan berpikir, maka yang terlahir adalah perbuatan yang menghalalkan semua kekejian untuk mencapai segala tujuan."
Hening sesaat. Namun, saat itu Wiro mendengar suara mengiang di telinganya. "Anak Setan, datuk ini terlalu berpanjang kata, bertele-tele. Bubur jagung di pe-rutku rasanya hendak keluar dari lubang bawah. Hik ... hik. Lekas, kau cari tahu bagaimana caranya agar kita bisa kembali ke tanah Jawa delapan ratus mendatang."
Wiro menggaruk kepala.
"Jika pada orang-orang Mataram ilmu hitam itu di-tujukan untuk menyiksa dan melumpuhkan." Datuk yang mempunyai senjata tujuh buah seluang sakti itu melanjutkan ucapan. "Maka lain halnya yang terjadi pa-da eyang gurumu. Delapan benjolan di kening kepala-nya itu bertujuan untuk mengendalikan jalan pikiran, hingga tenaga dan ilmu kesaktian gurumu bisa mereka manfaatkan."
"Jahanam ...." Makian itu keluar dari mulut Sinto Gendeng. Tangannya terkepal. "untung saja mereka semua sudah mampus."
Sang datuk mengusap janggut putihnya sebelum me-lanjutkan.
"Aku dengan sedikit pengetahuan memang ber-hasil melenyapkan benjolan itu dan memusnahkan pe-ngaruhnya. Namun pengobatan yang kulakukan menye-babkan hilangnya semua ingatan gurumu, yakni se-mua ingatan yang berhubungan dengan apa yg pernah ia lakukan selama pikirannya dikendalikan. Hal itu men-jadi alasan mengapa saat ia siuman menjelang fajar tadi, yang keluar dari ucapannya pertama kali adalah namamu, Ni Gatri, dan Kumara Gandamayana. Karena memang hanya peristiwa sebelum itulah yang ia ingat."
Wiro dan gurunya mendengarkan penjelasan itu dalam diam dan takjub.
"Meskipun demikian," lanjut datuk, "Aku merasa itu akan jauh lebih baik bagi gurumu. Bukankah melu-pakan kenangan pahit akan membuat pikiran lebih ten-teram dalam menjajaki kehidupan mendatang? Bukan-kah demikian, Nenek Sinto?"
Si nenek yang biasa berangasan ini mengangguk, meskipun hati terasa kesal mendengar penjelasan yang panjang lebar.
Sang datuk kembali membuka mulut.
"Nenek Sinto, bukankah kau pernah mendapati se-buah ujaran yang menyatakan, 'Jika telah diselesaikan olehmu satu urusanm maka bersegeralah kepada uru-san yang lain'?"
Guru Pendekar 212 dari puncak gunung Gede ini menggerendeng dalam hati. "Datuk satu ini membuatku muak. Tadi-tadi ia mengatakan waktuku dan anak setan itu tak banyak, tapi justru dia meracau berpanjang kata, bertele-tele dengan segala petuah."
Namun, sebagai orang tua yang tak sedikit akan pengalaman, Sinto tahu benar maksud sang datuk peno-longnya itu. Bagaimanapun, Wiro telah melalui banyak hal, berupa tantangan dan perkara nyawa. Dalam hal ini, seorang muda seperti muridnya itu, sekokoh apapun ji-wa dan hati, bukan mustahil akan goyah sebagai akibat terlalu didera banyaknya hal mengenaskan yang ia jalani. Asupan semangat, itulah maksud tersembunyi dari pertanyaan sang Datuk. Memikir sampai di situ, pe-rasaan iba dan kasih sayang sebagai orang tua berga-yut di hati si nenek berwatak keras ini. Maka, dengan tu-lus ia pun menjawab kata-kata Datuk Rao Basaluang Pitu.
"Lebih dari sekadar ujar-ujar, Datuk. Itu adalah fir-man Gusti Allah dalam kitab suci. Bermakna bahwa hi-dup adalah kelindan pemecahan dari satu masalah ke-pada pemecahan masalah lain. Dan selalu demikian sampai penghabisan napas dan usia."
Datuk Rao tersenyum puas, lantas menimpali.
"Wiro, apa yang dikatakan gurumu baru saja adalah nasihat untukmu. Sekali seorang pendekar memilih un-tuk meretas jalan menegakkan kebenaran dan mengikis kebatilan, maka di sanalah hamparan segala onak dan duri. Bahwa telah menjadi niscaya, amatlah perlu bagi-mu untuk selalu memupuk kebesaran jiwa dan ketaba-han hati."
Wiro tercenung. Saat itu wajah Ni Gatri, saha-batnya Dewi Kaki Tunggal dan kakek Kumara Ganda-mayana menjelma di pelupuk matanya yang tiba-tiba sembab. Dari menunduk, sang pendekar mengangkat wajah memandang Datuk Rao lalu beralih ke wajah keriput gurunya. Dengan perasaan teriris ia memper-hatkan keadaan sang guru yang pada saat bersamaan juga memandangnya dengan kecamuk perasaan. Ia ingin sekali bangkit mendekap gurunya. Namum, sang pendekar coba menetapkan hati, meskipun saat itu ia melihat dengan jelas sebulir bening dari kelopak mata Sinto Gendeng yang jatuh di pipi keriputnya. Tampak nenek bersunting lima di kepalanya ini cepat-cepat me-nyusut air mata dan membuang pandangannya ke mu-lut goa. Lalu terdengar wiro berucap lirih dan tandas.
"Saya paham, Datuk."
* * *
DUA
Istana Lima Menara, kerajaan bawah laut Samudera Selatan.
Ruang pertemuan nan megah itu di sebut juga Siti-hinggil Laut Selatan, tempat di mana sang penguasa is-tana bawah laut itu biasa melakukan pertemuan pen-ting dengan para petinggi kerajaan.
Pertemuan baru saja dimulai. Tampak sang ratu bangkit dari duduknya di singgasana. Wanita empunya istana laut selatan itu terlihat anggun dalam balutan ga-un hijau terang dengan hiasan manik-manik berkilau ke-emasan. Pakaian yang dikenakannya panjang menjela lantai. Wajah cantik penuh wibawa terlihat tak bisa menyembunyikan kegusaran. Ia berdiri sembari pan-dangan menyapu sekalian yang hadir. Di tangan kanan ia memegang sesuatu. Perhatikanlah secara saksama, ternyata itu tak lain lipatan daun lontar kering, berwarna kecoklatan.
Suasana di tempat itu sesaat lamanya tenggelam dalam keheningan. Sang ratu memberi isyarat pada se-seorang di deretan kursi paling depan, di sisi kanan ka-nan singgasana. Seorang gadis mengenakan pakaian serba putih yang barusan diisyaratkan, berdiri dari du-duknya. Gadis ini berparas cantik, bola mata berwarna hijau dan tampak tak kalah anggun. Di pergelangan ke-dua lengannya ia mengenakan gelang-gelang, semen-tara lehernya dihiasi sebentuk kalung. Semua perhia-san ini, termasuk giwang yang mencanteli telinganya, terbuat dari cangkang kerang-kerangan laut yang di-rangkai sedemikian rupa. Ia merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, menganggukkan kepala se-cara perlahan, sebelum akhirnya melangkah ke hada-pan sang ratu. Penguasa laut kidul itu mengulurkan ta-ngan, memberikan lipatan daun lontar yang sedari tadi ia pegang. Benda itu diterima si gadis dengan kedua ta-ngan disertai sikap tubuh agak membungkuk.
"Dengan izinmu, Kanjeng Ratu," ucapnya. Suaranya terdengar lembut. Lalu gadis ini menghadapkan wajah-nya ke semua yang hadir, lantas membuka lipatan daun lontar yang berisikan tulisan, mungkin semacam surat. Kemudian ia pun membaca rangkaian kalimat yang ter-tera dengan agak keras, suaranya terdengar jelas oleh semua yang berada dalam ruang pertemuan Sitihinggil Laut Selatan.
"Bumi yang tergenang rupa-rupa culas dan ang-kara. Karenanya telah layak cahaya menyapa kege-lapan. Kecuali yang mengikat diri pada raja agung pem-bawa ketenteraman. Berserikat dengannya hingga tak menjadi lebur dalam kabut kepunahan. Tertanda: Raja Agung Kerajaan Perut Bumi.
Gadis pembantu utama Ratu Laut Selatan itu melipat surat daun lontar itu kembali. Seperti tadi, ia melakukan sikap hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan dada dan menganggukkan kepala, lalu kembali ke tempat duduknya semula.
"Nyi Roro Manggut, apa pendaparmu?" bertanya sang Ratu. Saat itu ia telah kembali duduk di singgasana. Mata beningnya memandang kepada seorang nenek yang duduk bersebelahan dengan kursi yang ditempati gadis berpakaian putih. Nenek ini mengenakan jubah berwarna gelap. Meski sudah berumurm si nenek mempunyai rambut yang cukup panjang dan hitam, disanggul ke atas. Hal lain, bahwa salah satu pembantu utama Ratu Laut Selatan ini memiliki tubuh yang lebih pendek dari manusia kebanyakan. Ia duduk dengan kepala yang tak pernah diam. Sebentar-sebentar kepalanya manggut- manggut seperti orang yang tengah cegukan.
Nenek cebol Nyi Roro Manggut mengangguk anggukkan kepala sampai tiga kali, menghela napas sebentar sebelum menjawab.
"Tak dapat saya pastikan, Kanjeng Ratu." si nenek manggut2 lagi. "Raja Agung Kerajaan Perut Bumi .... Nama atau pun gelar seperti itu tak pernah satu kali pun saya mendengarnya, baik di alam mayapada maupun alam kegaiban. Apa pun isi dan bunyi tulisan dalam surat aneh itu, yang jelas si pengirim membawa pesan peringatan ... atau tepatnya ancaman."
"Lalu apa arti 'berserikatlah sehingga tak lebur dalam kabut kepunahan'?" Yg bertanya adalah gadis berbaju putih di sebelahnya.
Nyi Roro berpaling kepadanya sebentar.
"Mohon maaf, Kanjeng Ratu. Engkau tentu lebih memahami ketimbang saya. Tapi atas pertanyaan Ratu Duyung, izinkan saya menjawab."
Nyi Roro Manggut berkata demikian karena merasa jawaban yang akan ia sampaikan adalah sesuatu yang mungkin kurang berkenan di hati junjungannya.
Ratu Laut Selatan mengedipkan sepasang mata jernih, menunjukkan persetujuannya pada si nenek.
"Intan ..." katanya seraya kembali berpaling kepada gadis yang tadi disebutnya sebagai Ratu Duyung, "Kalimat itu berarti ba wa dalam ancamannya, si pengirim memaklumkan dua pilihan, ikut bergabung dengan mereka atau dihancurkan.
Serentak semua yg ada ditempat itu tercekat dalam wajah yang tegang. Beberapa tampak mendengus menahan geram.
"Mohon maafmu, Kanjeng Ratu ...." Yang angkat bicara san menghaturkan sembah adalah seorang lelaki gagah setengah baya yang menempati kursi berseberangan dengan Nyi Roro Manggut. Orang ini bernama Jaya Wisesa. Ia mengenakan zirah atau baju perang yang terbuat dari tembaga. Sementara di kepala melekat semacam topi khas prajurit perang yang berkilau berwarna keemasan. Penutup kepala ini tidak hanya menutupi rambut dan seluruh kepala, tapi bagian depannya yang tampak menyerupai wujud kepala seekor naga terlihat juga menyembunyikan kedua telinga dan melindungi sebagian pipi hingga nyaris ke dagu. Sembari bicara, lelaki yang adalah Panglima bala tentara Laut Selatan ini merangkapkan kedua tangannya di depan wajah.
"Adakah yang Kanjeng Ratu curigai sebagai dalang peristiwa ini yang patut kita selidiki?"
"Sejak persoalan Nyi Harum Sarti berhasil diselesaikan dan kerajaan Laut Utara kembali pada pemiliknya yang sah, bisa dikatakan sejak itu kita tak lagi punya silang sengketa dengan pihak mana pun, apalagi mempunyai musuh," jawab sang ratu. Ia diam sejenak dan wajahnya terlihat mengelam.
"Surat ancaman ini disusupkan secara gaib bahkan sampai ke puri ketiduranku. Artinya, ia mampu menembus tameng pelindung istana Tirai Laut Biru yang selama ini tak ada satu makhluk dan kesaktian apapun yang sanggup melewatinya. Bahkan semua semua ilmu kesaktian yang kita miliki, yang mestinya mampu menjajagi siapa pun pengirimnya dan untuk tujuan apa, nyatanya tak satu pun berhasil melacak jejak si penyusup. Ini sungguh luar biasa. Selama ini tak ada yang berani mengancam kita begini rupa"
Suasana di ruang Sitihinggil Laut Selatan hening sesaat. Lalu terdengar Ratu Selatan kembali berkata dengan nada suara yang lebih tandas.
"Kalian semua dengar titahku. Meskipun persoalan ini masih gelap bagi kita, tapi ini tak layak diabaikan apalagi dianggap main. Musuh telah secara kasat mata mempertunjukkan kekuatan. Panglima Jaya Wisesa, kau siagakan seluruh kekuatan pasukanmu, kerahkan semua daya yang kita miliki. Lipat gandakan penjagaan di sepanjang benteng Dinding Batu Karang Abadi dan awasi setiap gerak-gerik makhluk yang ada di kawasan Segara Kidul hingga garis terluar pantai."
"Sendiko dawuh, Kanjeng Ratu ...." Arya Wisesa merangkapkan dua tangan di depan wajah, membungkuk.
"Pertemuan ini kuanggap selesai dan kalian kupersilakan pergi!" ucap sang Ratu. Saat itu dapat dilihat oleh semua yang berada dalam ruangan, bagaimana telapak tangan Ratu Laut Selatan yang menggenggam surat daun lontar itu mengepulkan asap tipis. Lalu hanya sekejap saja, benda itu berubah menjadi abu dan sirna dari pandangan.
Saat semua pembantu utamanya telah berdiri dan siap beranjak meninggalkan ruang pertemuan, kembali terdengar penguasa laut selatan itu berkata;
"Nyi Roro Manggut dan kau Ratu Duyung, harap tetaplah di tempat kalian!"
* * *
TIGA
(Cat: Bagian ini disarikan dari kisah yang dituliskan Mike Simon. Diriwayatkan kembali untuk kesesuaian alur cerita.)
Naga Kuning dan Setan Ngompol yang tiba di persawahan bersama dua satria Mahesa Edan Dan Panji Ateleng mendapati satu pemandangan yang menyayat hati. Satu mayat tergeletak di tanah sawah berselemak lumpur dalam keadaan dua kaki terkutung. Itu adalah mayat kakek tua penjaga surau, Ki Tanu Mangir. Kakek ini mengalami akhir hidup sedemikian rupa dalam usahanya melindungi bocah laki-laki bernama Jabrik Sakti Wanara dari tangan tokoh silat jahat Ki Buyut Pocong Mayit dan Merak Jingga. Saat itu kedua pendekar golongan hitam ini tengah memperebutkan sang bocah yang dianggap penjelmaan dari satu senjata sakti yang disebut-sebut bernama keris Naga Sanjaya 212. Senjata mustika berluk delapan itu sendiri diketahui sebagai anak dari perkawinan dua senjata sakti yang selama ini menggemparkan dunia persilatan, yakni Kapak Maut Naga Geni dan Pedang Naga Suci 212.
Sementara Naga Kuning dan kawan-kawannya tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan bocah yang di dadanya terdapat rajahan berupa angka 212, pertolongan justru muncul dari dalam tubuh anak laki-laki itu sendiri. Saat tubuh kecilnya siap dilabrak dua pukulan ganas Sepasang Cakra Mengeruk Samudera milik Ki Buyut Pocong Mayit dan aji kesaktian Watu Cadas yang dilepaskan Merak Jingga, mendadak dari tubuh si bocah muncul dua sosok bayangan dalam wujud kakek dan nenek berpakaian serba putih yang masing-masing membekal papak dan pedang, yakni kapak Naga Geni dan Pedang Naga Suci 212. Dengan sepasang senjata tersebut, keduanya berhasil memusnahkan pukulan sakti dan mempecundangi dua orang jahat rimba persilatan itu.
Namun, kegegeran tak serta merta berhenti sampai di situ, karena tiba-tiba, entah muncul dari mana, tempat itu telah dipenuhi kabut hitam yang menyelimuti dan secara aneh melibat semua orang, termasuk dua kakek nenek yang bernama Arya segoro dan Kintani Saraswati
Dalam kekalutan menghadapi serangan kabut hitam, tiba-tiba terdengar nenek Kintani Saraswati, pelindung bocah Jabrik Wanara yang memegang pedang Naga Suci berteriak keras penuh kepanikan.
"Astaghfirullah! Jangan kau sesat, Putra Langit! Yang ingin kau bunuh itu adikmu sendiri, Naga Sanjaya!!!"
Saat itu, terlihat dari langit muncul seberkas cahaya merah yang meluncur deras menuju tubuh bocah Jabrik Sakti Wanara yang sampai saat itu tak sadarkan diri. Meski awalnya tampak samar karena mata semua orang menjadi silau oleh terpaan cahaya, tapi terlihat di balik cahaya merah itu seorang kakek yang memegang sebilah pedang. Sosok kakek ini menukik dengan ujung pedang menyasar dada bocah jabrik di mana terdapat bayangan keris berluk delapan.
Udara di persawahan itu menjadi pengap. Hawa panas menghampar yang bersumber dari pedang merah di tangan si kakek.
"Demi Allah! Naga Geni, Naga Suci, selamatkan putra kalian!"
Berteriak nenek Kintani Saraswati seraya melemparkan pedang Naga Suci 212 ke udara. Mendengar teriakan ini, kakek Arya Segoro yang menggenggam kapak sakti turut serta melepaskan senjatanya ke udara.
Suara dengungan seperti ribuan tawon segera memenuhi tempat itu. Udara panas kian menyungkup pengap. Angin sehebat puting beliung serta merta membadai. Tanah berlumpur berikut tanaman padi yang sudah mulai berbuah bermuncratan ke udara. Naga kuning dan Setan Ngompol terpelanting ke tanah becek, sementara Mahesa Edan dan Panji Ateleng terhempas ke tegalan sawah. Keempat orang yang sedang dilibat kabut hitam aneh ini merasakan tubuhnya seolah terpanggang.
"Naga Kuning, lihat!" teriak Setan Ngompol sembari menyeka wajah yang berlepotan lumpur. Ia menunjuk sosok kakek berjubah dan bersorban putih yg saat itu sedang membuat gerakan menusuk ke arah bocah Jabrik Wanara.
"Bukankah itu Kyai Gede Tapa Pamungkas?!"
"Guru!!!" Teriakan Naga Kuning seolah senyap ditelan gemuruh angin dan gelombang panas yang membuncah. "Tak mungkin ..." desisnya.
Sementara itu, dua senjata kapak dan pedang yang dilemparkan sepasang kakek nenek menderu sebat, menyongsong datangnya pedang merah. Di udara, kedua senjata ini secara mengejutkan berubah wujud menjadi dua ekor naga raksasa. Kapak Naga Geni 212 menjelma menjadi naga jantan berwarna putih. Tampak sebuah batu permata besar berwarna merah melekat di keningnya. Sementara pedang Naga Suci berubah wujud menjadi sosok naga betina yang juga memiliki batu permata berwarna kehijauan di kening. Dua makhluk ini meraung gusar, menyambut datangnya cahaya merah. Keduanya tak dapat berbuat banyak dan menentukan sikap. Karena pedang bercahaya merah itu mereka kenali sebagai buah hati mereka sendiri. Buah hati yang terpisah lama, yang tiba-tiba saja datang membawa dendam dan niat jahat terhadap saudara mudanya, keris Naga Sanjaya 212. Dalam dunia persilatan, pedang bercahaya merah yang tengah meluncur tanpa terbendung itu dikenal sebagai Pedang Naga Merah 212, bernama Putra Langit.
* * *
EMPAT
Dalam keadaan yg berkecamuk begitu rupa ,sementara ujung Pedang Naga Merah hanya tinggal sekejapan lagi akan menghunjam dada bocah jabrik, terdengar kakek Setan Ngompol kembali berteriak.
"Naga Kuning! Dadamu!!"
Saat itu kakek pesing tukang ngompol ini melihat lukisan seekor naga yang tertera di dada sahabatnya itu tampak memancarkan cahaya putih berpendar.
Tanpa diberitahukan si kakek pun, Naga Kuning yang sampai saat itu masih tak berdaya akibat libatan aneh kabut hitam merasakan dadanya bergetar. Bocah ini segera sadar bahwa sosok Naga Hantu Langit Ketujuh yang selama ini bersemayam dalam tubuhnya tengah menggeliat dan siap untuk keluar. Naga Kuning merasakan dadanya seolah terbetot ke depan, sementara tubuhnya sendiri terhempas jatuh terduduk di tanah berlumpur. Wajah bocah yang sejatinya berusia seratus dua puluh tahun ini berubah pucat.
Cahaya putih yang berpendar di dada Naga Kuning mencuat keluar dan sekaligus memusnahkan kabut hitam yang sedari tadi mengikat tubuhnya. Dalam sekejap cahaya itu menjelma sosok naga raksasa yang jauh lebih angker dari dua naga penjelmaan kapak Naga Geni dan pedang Naga Suci. Mahkluk jadi-jadian ini mengeluarkan raungan dahsyat, tubuhnya meliuk sebentar, lalu melesat ke arah tubuh Jabrik Wanara.
Sementara itu, di atas sana, kakek yang tadi dikenali oleh Setan Ngompol dan Naga Kuning sebagai Kiyai Gede Tapa Pamungkas menunjukkan seringai buruk. Ia telah dapat memastikan bahwa ujung pedang yang dikendalikannya dalam sekejap akan menembus dada bocah jabrik dan sekaligus akan memusnahkan keris yang berada dalam tubuh si bocah. Kakek ini lipatgandakan tenaga dalamnya. Tubuhnya meluncur semakin deras. Namun, kejut kakek ini luar biasa ketika di hadapannya mendadak muncul sesosok naga luar biasa besar. Makhluk mengerikan ini tampaknya sengaja menyongsong datangnya ujung pedang dan seolah memasang badan.
Semua orang berseru tertahan. Kejadian yang begitu cepat membuat semuanya hanya mampu tercekat. Dalam keadaan yang genting itu, mendadak terdengar suara teriakan keras yang datang dari sebelah utara pematang sawah.
"Naga Hantu Langit Ketujuh! Naga Dewantara! Jangan!!!"
Namun kasip. Ujung pedang telah menghunjam tubuh sang naga tepat di bagian bawah leher. Naga pelindung bocah bernama Naga Kuning ini menggerung keras. Tubuhnya melejang untuk beberapa saat sebelum akhirnya melosoh jatuh.
Di saksikan banyak mata yang melihat, sosok Naga Hantu Langit Ketujuh yang melayang jatuh ke tanah tiba-tiba lenyap meninggalkan asap putih dan berubah wujud menjadi seorang pemuda berambut sebahu, mengenakan ikat kepala merah. Tubuh pemuda ini terhempas ke pinggiran sawah. Terbujur bersimbah darah sembari memegang gagang pedang yang menembus dada.
***
Semua pandangan untuk sesaat berpaling ke arah datangnya teriakan. Terlihat seorang lelaki tua berdiri mengambang di atas tegalan. Janggut putih dan pakaiannya tampak berkibar2 diterpa angin. Dikatakan mengambang, sebab dia berdiri tanpa memijak tanah. Kakinya yang berkasut putih seolah menggantung satu jengkal di atas tegalan sawah. Orang tua ini memakai kain putih, mengenakan sorban yang juga berwarna putih. Pakaian dan wajahnya sama serupa dengan kakek yang saat itu menusukkan pedang Naga Merah dan menciderai Naga Hantu Langit Ketujuh.
"Kiyai Gede Tapa Panungkas!" seru Naga Kuning dan semua orang nyaris bersamaan. Namun wajah heran dan keterkejutan itu tak berlangsung lama karena saat itu terdengar sang Naga Hantu Langit Ketujuh menggerung keras. Ketika itu pula kakek bersorban dan berselempang kain putih mengangkat tangan kanannya ke udara. Telapak tangan sampai ke siku berubah warna menjadi keperak-perakan. Lalu kejap itu juga cahaya putih menderu. Pukulan Sinar Matahari!
Kiyai Gede Tapa Pamungkas yang saat itu dikuasai amarah karena mendapati kenyataan yang menimpa sang Naga Dewantara susul serangannya dengan memajukan tangan kiri terkepal. Dengan pengerahan tenaga dalam penuh, kepalan tangan itu dibuka. Maka, berkiblatlah dua larik cahaya kekuningan, melabrak kakek yang menyerupai dirinya. Itulah pukulan sakti Sepasang Cahaya Batu Kumala. Pukulan ganas ini dulu sempat diwariskan kepada Nyi Retno Mantili yang dipakai dalam upaya menghukum dan membasmi orang-orang Patih Wirabumi atas kejahatan mereka yamg menyiksa dan membunuh Jaka Tua, pembantu Nyi Retno.
Dua ilmu pukulan dahsyat paling disegani dunia persilatan itu kini dikeluarkan oleh pemilik dan sumber ilmu yang asli. Maka, sungguh tak terbayangkan kedahsyatannya.
Di tempat lain, melihat apa yang terjadi dengan naga pelindungnya, Naga Kuning berteriak marah. Ia bangkit melompat. Tubuhnya menghilang, meninggalkan asap putih. Kejap itu juga, di tempat itu telah berdiri sembari mendorongkan kedua tangan ke depan, seorang kakek berselempang kain biru yang janggut dan rambutnya juga berwarna kebiruan.
Dialah Kiyai Paus Samudera Biru. Sosok penjelmaan sebenarnya dari Naga Kuning. Dari kedua tangannya yang didorongkan ke depan, mencuat cahaya biru terang menyilaukan. Berkiblat sangat cepat menyasar ke arah kakek yang bersenjatakan Pedang Naga Merah.
Mengetahui dirinya diserang secara ganas dari dua arah, kakek "kembaran" Kiyai Gede Tapa Pamungkas yang saat itu sedang mencoba untuk mencabut pedang Naga Merah 212 dari tubuh naga raksasa membatalkan niatnya. Gagang pedang terlepas bersamaan dengan meluncur jatuhnya tubuh terluka Naga Hantu Langit Ketujuh. Dengan cepat kakek ini menggerakkan kedua tangannya sedemikian rupa, seolah-olah sedang melukis bentuk setengah lingkaran yang tak terlihat. Dari gerakan tangan ini berkiblat selaksa cahaya kemerah2an, membentuk tameng cahaya yang kokoh, membentengi dirinya dari gempuran pukulan sakti yang dilepaskan Kiyai Gede Tapa Pamungkas asli dan Kiyai Paus Samudera Biru.
"Buummm!!
"Buummm!
"Buummm!!"
Tiga dentuman dahsyat menggelegar. Tanah persawahan itu laksana dilanda gempa. Percikan api dan pecahan cahaya menyebar ke mana2. Semua orang yang berada dekat di tempat beradunya ilmu kesaktian berhamburan menyelamatkan diri. Kakek Setan Ngompol jatuhkan dirinya dalam keadaan tengkurap di atas tanah berlumpur. Mahesa Edan pentangkan senjatanya yang berupa papan nisan untuk melindungi diri dari paparan cahaya panas sebagai dampak dari benturan pukulan sakti. Panji Ateleng jatuhkan diri ke parit, merapatkan tubuhnya sama rata dengan tanah. Sementara dua kakek nenek yang melindungi bocah Jabrik Wanara silangkan kedua tangan ke depan wajah, menghindari silaunya terpaan empat cahaya yang saling bertabrakan. Beruntung, bahwa saat itu mereka baru saja terbebas dari kungkungan kabut aneh yang melibat tubuh mereka.
Tubuh kiyai Gede Tapa Pamungkas tampak bergetar. Wajah jernihnya pucat untuk sesaat. Dadanya berdenyut sakit. Orang tua sesepuh dunia persilatan tanah jawa ini merasa masygul melihat bagaimana dua pukulan saktinya dimentahkan begitu saja oleh kakek yang menyerupai dirinya.
Kiyai Paus Samudera Biru terjajar dua langkah ke belakang. Dia berdiri terhuyung dan coba mengimbangi diri agar tidak jatuh terjerembab. Dua tangannya terasa ngilu dan bergetar. Di sudut bibirnya meleleh darah segar, ini menandakan ia mengalami luka dalam cukup parah.
Di bagian lain, sesaat setelah terjadinya dentuman dahsyat, tubuh kakek yang wajahnya mirip Kiyai Gede terpental beberapa tombak. Ia coba mengimbangi diri agar tidak terjatuh ke sawah. Namun gagal. Sebentar dia raba dadanya yang terasa sesak dan sakit. Mulutnya merasakan asin, lalu memuntahkan darah. Nyatalah ia menderita cidera pada bagian dalam tubuh yang tidak ringan. Namun, luar biasanya, orang tua ini segera bangkit dengan memasang kuda2 kokoh. Ia langsung menggerakkan tangannya kembali, menghimpun kekuatan untuk melancarkan sebuah serangan balasan. Hanya saja gerakannya terhenti saat satu suara mengiang di telinganya.
"Wakil Raja Agung Wilayah Jawa Satu, segera tinggalkan tempat ini. Tugasmu sudah dipastikan tak akan berhasil. Ilmu kepandaianmu belum sampai pada taraf untuk bisa mengalahkan orang2 itu. Kau juga tak akan mampu untuk merebut kembali pedang Naga Merah. Segera kembali! Waktu pemusnahan akan segera tiba!"
Meski mengumpat dalam hati mendengar suara mengiang,tapi si kakek tak membantah. Dengan menindih rasa geramnya ia segera mengeruk sesuatu di balik pakaian. Tangannya bergerak melempar. Lalu sebuah ledakan kecil terjadi disertai menggebubunya asap hitam.
"Dia hendak kabur!" berseru Mahesa Edan. Ia bergerak mengejar. Namun, gerakan segera terhenti. Tiba2 di tempat itu menggema satu seruan yang entah dari mana.
"Mulialah Raja Agung pembawa ketenteraman. Mulialah!!!"
Lalu sepi. Asap pekat tadi sirna bersama menghilangnya si kakek.
****
Bersambung
Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Older Posts Older Posts

Related Posts

Your Ads Here

Comments

Post a Comment