Novel
Suling Naga Sakti
Semilir angin malam menghembuskan udara yang terasa sangat dingin ketika seorang wanita cantik tengah membuka pakaian warna merah yang dikenakannya. Rambutnya yang semula digelung dengan tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal itu membuat kecantikan Dewi Rukmini kian bertambah nyata.
Tanpa sepengetahuannya, seseorang dengan mata tak berkedip mengintip tubuhnya yang kuning langsat dan menggairahkan. Lelaki itu berulang kali menelan ludah serta menahan napas dengan mata jalang.
"Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau Segoro Wedi sampai mabuk kepayang kepadanya. Tidak kusangka, kalau sang Dewi benar-benar mempesona," gumamnya dengan gairah yang bergejolak.
Ketika ia tengah asyik mengintip tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya yang tak mampu menahan getaran birahi tanpa disengaja membentur sesuatu.
Krak
Kegaduhan kecil itu membuat Dewi Rukmini yang tengah mengganti pakaian tersentak dan terburu-buru mengenakannya kembali. Mata cantiknya memandang lekat pada dinding bilik rumahnya, sedangkan pendengarannya dipasang setajam mungkin.
"Hm, kurang ajar" rutuk hati Dewi Rukmini setelah menyadari kalau sejak tadi ada seseorang yang mengintipnya.
Mata Dewi Rukmini memandang tajam, lalu tanpa banyak bicara tangannya segera mengibas ka arah dinding rumah di mana orang itu berada.
"Rasakan ini Heaaa..."
Wuut
Terdengar desiran angin tajam menyertai puluhan jarum kecil yang menerobos dinding. Lelaki hidung belang itu tak mampu lagi mengelak dari ancaman senjata rahasia yang dilepaskan Dewi Rukmini.
Jlep Jlep Jlep...
"Akh..."
Jeritan lelaki naas tadi tidak hanya mengejutkan Citra Yuda yang saat itu sedang menunggu istrinya di luar kamar, tetapi juga mengejutkan beberapa pengintai lain yang bersembunyi di sekeliling rumah itu.
"Hm, ada apa ini?" gumam Citra Yuda seraya bangkit dari duduknya.
Pendekar muda dari Perguruan Golok Sakti itu melangkah ke arah kamar di mana istrinya tengah mengganti pakaian.
"Ada apa, Diajeng? Kudengar tadi ada jeritan di luar?" tanya Citra Yuda setelah sampai di ambang pintu kamar.
"Mereka telah datang, Kakang," sahut Dewi Rukmini dengan wajah geram.
"Maksudmu...?"
"Antek-antek pengkhianat, Segoro Wedi," desis Dewi Rukmini penuh kebencian terhadap orang yang disebutnya.
"Apa Segoro Wedi masih belum kapok?" gumam Citra Yuda.
Setelah menghela napas pelan, Pendekar Golok Sakti itu kembali berkata.
"Kalau tahu dia tidak akan jera seperti sekarang ini, dulu dia tidak akan kuampuni"
Kedua suami istri itu terdiam, saling pandang dengan dengusan napas yang memburu. Terlebih Dewi Rukmini yang merasa telah diperlakukan tak senonoh oleh anak buah Segoro Wedi yang lancang mengintipnya.
"Kali ini tidak akan kubiarkan pengkhianat itu hidup" dengus Dewi Rukmini sengit, lalu disambarnya golok miliknya.
Golok sakti itu sebenarnya kembar. Yang pertama dipegang oleh suaminya, sedangkan yang lain dipegang Dewi Rukmini. Ilmu golok mereka telah terkenal sejak keduanya bertualang di rimba persilatan untuk membela kebenaran dan keadilan.
Jangankan ilmu golok yang mereka miliki dipadukan, sedangkan untuk menghadapi salah satunya saja orang akan berpikir seratus kali.
Dewi Rukmini menyelipkan goloknya di pinggang, kemudian dengan wajah penuh kemarahan melangkah meninggalkan kamarnya. Hal itu membuat Citra Yuda terkejut.
Tidak diduganya sama sekali Dewi Rukmini akan begitu berang. Mau tidak mau, Citra Yuda ikut melangkah ke luar.
"Sabar, Diajeng.... Biar aku saja yang menghadapi mereka. Kau selamatkan saja anak kita. Kalau aku selamat, aku akan
menyusulmu," tutur Citra Yuda, berusaha menenangkan istrinya. Dia tahu watak Dewi Rukmini, terlebih terhadap Segoro Wedi yang sangat dibencinya.
"Tidak, Kakang. Dia harus kuhajar. Berulang kali kita coba menyadarkannya. Berulang kali pula kita ampuni, tetapi dia tetap saja bandel. Itu sama saja mencari penyakit" dengus Dewi Rukmini sengit
Citra Yuda menghela napas pelan. Dia sadar, kalau Segoro Wedi sangat mencintai istrinya. Bahkan lelaki itu tidak jera-jeranya berusaha untuk mendapatkan Dewi Rukmini. Dulu, ketika mereka masih sama-sama di perguruan, Segoro Wedi malah nekat menculik Dewi Rukmini.
Beruntung seorang pendekar sakti telah menolongnya. Lalu setelah mereka menikah, Segoro Wedi pun tidak juga mau memahami kedudukan Citra Yuda sebagai suami Dewi Rukmini.
Berulang kali Segoro Wedi diberi pelajaran oleh Citra Yuda dan istrinya, tapi tetap saja orang itu tak mau mengalah begitu saja. Sesungguhnya Citra Yuda dapat saja menghabisi nyawa Segoro Wedi saat itu. Berhubung Citra Yuda masih menghargai Segoro
Wedi sebagai adik seperguruan, masih bisa memaafkannya. Kini, apakah dia masih bisa memaafkan tindakan Segoro Wedi?
Kedua suami istri yang bergelar Sepasang Pendekar Golok Sakti itu melangkah dengan mantap. Sorot mata mereka tajam, memandang ke luar yang masih gelap. Mereka memasang seluruh indera, agar gerak sekecil apa pun dapat ditangkap.
"Hei Kalau kalian memang laki-laki, keluarlah" tantang Dewi Rukmini yang kelihatannya sudah tidak sabar lagi untuk secepatnya menghajar orang yang dibenci. Matanya beredar tajam, setajam mata elang yang memburu mangsa. Tangan kanannya menggenggam gagang golok di pinggang, siap mencabut golok sakti itu untuk memenggal leher lawan.
"Segoro Wedi, keluarlah Jangan berlaku pengecut" seru Citra Yuda.
Seperti juga istrinya, Citra Yuda pun telah slap menyambut kedatangan tamu-tamu tak diundang. Tangan kanannya ikut meraba gagang golok. Sedangkan matanya nyalang menyapu kegelapan malam yang lengang.
Tengah keduanya memandang ke sekeliling pelataran rumah, tiba-tiba terdengar alunan harpa yang membelah kesunyian malam. Dentingan harpa itu mulanya terdengar lambat, tapi makin lama bertambah keras. Bahkan suaranya kini tak beraturan lagi, hingga yang terdengar hanya nada melengking yang aneh dan memekakkan telinga.
Ting, tong, ting...
Citra Yuda dan istrinya tersentak kaget, sehingga mata mereka membelalak lebar. Tapi keduanya cepat sadar kalau dentingan harpa itu bukanlah dentingan sembarangan. Alunan harpa itu dilepaskan dengan tenaga dalam sempurna yang menimbulkan hentakan amat keras di telinga.
"Akh... Cepat tutup saluran telinga mu, Diajeng Ini bukan denting harpa sembarangan. Jelas pemetiknya menginginkan kematian kita," kata Citra Yuda memperingatkan istrinya. Kemudian segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk menutup gendang telinga agar tidak pecah.
"Ohhh...," keluh Dewi Rukmini.
Telinga wanita cantik itu terasa sangat sakit. Dewi Rukmini memang sedikit terlambat menutup gendang telinganya. Untung saja telinganya tidak sempat pecah oleh lengking harpa yang memekakkan.
"Bedebah Siapa yang memetik harpa itu? Kalau kalian memang laki-laki, keluarlah"
Tantangan Dewi Rukmini sia-sia, karena tidak ada seorang pun yang menyahuti. Yang terdengar tetap denting harpa yang kian menggila hingga mampu menggigilkan tubuh Sepasang Pendekar Golok Sakti.
"Celaka, Diajeng kalau kita terus bertahan seperti ini, kita tak akan mampu melawan. Cabut golokmu Kita harus menyatukannya" perintah Citra Yuda yang merasa sia-sia jika mereka terus menguras tenaga untuk melawan suara harpa itu.
Sret
Sepasang Pendekar Golok Sakti segera mencabut senjata kembarnya. Kemudian, keduanya segera menyatukan mata golok dengan cara menyilangkan ke muka.
Dari penyilangan golok itu, terpancar seberkas cahaya sangat terang berwarna merah dan putih. Cahaya itu terus memancar untuk memapaki suara harpa yang datang.
Glarrr
Tercipta ledakan menggelegar yang memekakkan telinga ketika sinar merah dan putih yang keluar dari golok itu bertemu dengan suara harpa.
"Akh..."
Kedua pendekar itu terhuyung dua tindak ke belakang dengan mata membelalak tegang. Mereka tidak pernah menduga kalau
'Inti Cahaya Sakti' yang keluar dari golok di tangan mereka akan berbenturan keras dengan suara yang keluar dari petikan senar harpa itu. Keduanya saling pandang, kemudian Dewi Rukmini yang berwatak keras dengan sangit membentak,
"Kurang ajar Kau jangan bersembunyi terus-menerus, Pengecut"
"Ha ha ha..."
Terdengar suara tawa menggelegar sebagai jawaban dari tantangan tadi. Sepasang Pendekar Golok Sakti kembali terkejut. Keduanya saling pandang, kemudian mereka kembali mempersiapkan golok sambil memandang ke arah datangnya suara tawa itu.
Krasak
Dari semak-semak yang ada di sekitar rumah mereka, berkelebat beberapa orang dengan suara tawa yang memekakkan telinga.
Mereka berdiri kira-kira dua puluh lima tombak di sekeliling kedua pendekar itu. Di antaranya, terlihat seseorang dengan sebuah harpa bertengger pada punggungnya. Mata mereka bersinar liar, pada Sepasang Pendekar Golok Sakti.
"Segoro Wedi..." seru Dewi Rukmini ketika mengetahui pembawa harpa itu.
***
Orang yang memanggul harpa tertawa. Wajahnya yang sesungguhnya tampan, dengan tajam memandang Sepasang Pendekar Golok Sakti yang juga kakak-kakak seperguruannya. Kemudian, pandangannya diarahkan pada Dewi Rukmini yang semakin sengit melihat tatap mata nakal itu, sehingga napasnya turun-naik. Matanya melotot penuh kebencian.
"Segoro Wedi, masih belum jerakah kau?" tanya Dewi Rukmini dengan bentakan marah.
Ucapan itu tidak menjadikan Segoro Wedi takut. Malah, lelaki berpakaian serba merah itu tergelak-gelak hingga matanya berlinang air mata.
"Ah, mana mungkin aku jera sebelum mendapatkan Kitab Inti Golok Sakti?"
Usai berkata demikian, Segoro Wedi memandang taman-temannya sambil tergelak-gelak. Sehingga teman-temannya turut tertawa.
"Kau benar-benar keras kepala, Wedi Sudah kukatakan, bahwa kitab itu tidak ada pada kami Lagi pula, jangan bermimpi untuk mendapatkan kitab itu" bentak Dewi Rukmini gusar. Kemarahannya sudah tidak dapat lagi dibendung.
Dibentak begitu rupa oleh Dewi Rukmini yang selama ini sangat diidam-idamkan untuk menjadi pendampingnya, tidak membuat Segoro Wedi marah. Malah lelaki itu tertawa keras kembali, menjadikan gerombolannya turut tertawa.
"Semakin kau galak, hatiku semakin bertambah penasaran, Dewi. Percuma aku datang dan menunggu kesempatan seperti ini kalau tidak mendapatkan kitab itu beserta dirimu," ucap Segoro Wedi sambil tetap tertawa mengejek.
Hal itu tentu saja membuat muka Dewi Rukmini merah. Begitu juga dengan Citra Yuda yang merasa harga dirinya diinjak-injak. Betapa ia dianggap sampah yang tidak berarti sama sekali di mata bekas adik seperguruannya itu.
"Tutup mulutmu, Segoro Wedi" bentak Citra Yuda yang nampaknya sudah hilang kesabaran.
"Sudah kukatakan bahwa kitab yang kau maksud tak ada pada kami, namun kau tetap tak percaya Kau rupanya mencari gara-gara"
Tapi Segoro Wedi benar-benar tak mau peduli dengan dengusan dan bentakan Sepasang Pendekar Golok Sakti yang dulu adalah kakak seperguruannya.
"He he he.... Sudah lama dendamku menumpuk terhadapmu, Citra Yuda Kau memang lebih beruntung dariku Karena kepandaianmu bicara, dan sikap yang sok alim, membuat semua ilmu yang seharusnya untukku, berpindah ke tanganmu Guru selalu pilih kasih Apalagi sejak kau berhasil merayu wanita ini" ujar Segoro Wedi dengan suara yang ditekan sambil menunjuk ke arah Dewi Rukmini.
"Aku makin dicampakkan olehmu. Kau memang lelaki yang pintar merayu Dan sekarang, aku ingin membalas sakit hatiku".
"Kau memang lelaki tak tahu diuntung, Segoro Wedi Semestinya ayahku tak mengampunimu Kau orang yang tak beriman" bentak Dewi Rukmini dengan geram.
"Wajahmu makin menarik kalau sedang marah, Dewi. Ha ha ha...."
"Kurang ajar" bentak Dewi Rukmini makin geram.
Segoro Wedi segera mengerling pada lima orang rekannya, sebagai isyarat kepada mereka untuk bersiap-siap.
"Baiklah, kalau memang itu yang kau inginkan. Tapi harus kau ingat, sebelum kau mati, kau akan merasakan kenikmatan bagaimana bergelut denganku" ujar Segoro Wedi dengan suara bergetar.
Mendengar ucapan Segoro Wedi, kelima kawannya terbahak-bahak. Sepertinya ucapan Segoro Wedi tadi lucu. Sepasang Pendekar Golok Sakti menggere-takkan gigi mereka karena menahan amarah. Mata mereka memandangi satu persatu gerombolan Segoro Wedi.
Berdiri paling kiri, seorang lelaki bermuka bengis agak kepucat-pucatan dengan cambang bauk menutupi mukanya. Orang ini memegang sebilah pedang, yang membuatnya mendapat julukan Pedang Akhirat
Di sampingnya, berdiri sepasang lelaki kurus yang berwajah panjang. Di tangan mereka tergenggam rantai baja yang di ujungnya terdapat bulatan sebesar buah kelapa dengan duri-duri tajam. Keduanya terkenal dengan julukan Sepasang Hantu dari Kelangit
Di sampingnya lagi, tepatnya di samping kanan Segoro Wedi, seorang lelaki berbadan tegap yang menggambarkan kekokohan dengan wajah tidak kalah seram seperti hantu. Dia bertelanjang dada dengan perut agak buncit. Alis dan kumisnya tebal. Di tangan orang itu tergenggam sebatang tongkat berukuran kira-kira dua depa. Orang ini dikenal sebagai Raja Setan Muka Ular. Di samping mukanya yang panjang seperti muka ular, kelakuannya pun tidak kalah bengis dengan setan.
Dan satu lagi, seorang lelaki muda berbaju rompi warna biru dengan kumis tipis menghias di atas bibirnya. Di tangannya tergenggam senjata kapak, hingga dia lebih terkenal dengan sebutan si Kapak Iblis.
"Diam" bentak Citra Yuda dengan suaranya yang menggelegar karena disertai tenaga dalam.
Keenam lelaki di hadapannya seketika menghentikan tawa mereka. Mata keenam lelaki itu melotot buas, memandang ke arah Citra Yuda.
"Selama ini, aku tidak pernah berurusan dengan kalian berlima. Tapi rupanya kalian ingin berurusan denganku.
Baik, aku sebagai pewaris 'Ilmu Golok Sakti' tidak akan membiarkan kehormatanku diinjak."
"Bagus" ejek si Kapak Iblis.
Dilihat dari pandangan matanya, pemuda beraliran sesat ini sangat merendahkan lawan yang ada di hadapannya. Kemudian tanpa dapat dicegah, tubuhnya melesat disertai bentakan menggelegar.
"Jangan banyak bacot Hadapilah sepasang kapak iblisku. Hiaaa..."
Si Kapak Iblis dengan cepat membabatkan kapaknya ke arah Citra Yuda yang masih berdiri di samping istrinya.
Pemuda ini nampaknya sangat bernafsu sekali untuk segera menjatuhkan Citra Yuda yang selama ini diagung-agungkan di dunia persilatan. Karena itu, gerakan ilmu silat si Kapak Iblis nampak membabi buta, menyerang tanpa perhitungan yang matang.
Citra Yuda yang tidak mau memandang enteng lawannya dengan cepat mendorong tubuh istrinya ke samping. Sedangkan dia sendiri dengan cepat berkelit ke kiri sambil menarik kaki kanannya untuk mendekati lawan. Lalu dengan gerakan cepat, kaki kanannya menendang ke arah kemaluan lawan.
"Seranganmu terlalu mentah, Kawan. Terimalah ini.... Heaaat"
Si Kapak Iblis terbelalak kaget melihat serangan cepat yang dilancarkan oleh Citra Yuda. Untuk mundur, jelas ia malu. Maka dengan nekat kembali kapak di tangannya dibabatkan ke bawah, di mana kaki Citra Yuda meluncur. Namun, ternyata serangan kaki Citra Yuda hanya pancingan belaka. Terbukti pendekar itu segera menarik kakinya dengan cepat, lalu melontarkan pukulan dengan tangan kirinya ke arah dada lawan.
"Celaka..." pekik si Kapak Iblis.
Kembali si Kapak Iblis merasa kaget dengan serangan cepat itu. Serangan lawan berusaha dielakkan dengan menggeser kaki ke samping. Tapi....
Desss
"Uhk..."
***
DUA
Sebuah pukulan mendarat telak di pundak sebelah kanan si Kapak Iblis. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terasa sakit.
Citra Yuda kembali berdiri dengan tenang. Hanya matanya yang menyorot tajam menyapu wajah-wajah keenam lawannya yang berdiri dengan mata membelalak menyaksikan Kapak Iblis dapat dengan mudah dipecundangi oleh Citra Yuda.
Tiba-tiba....
"Serang dia Biar aku menyerang Dewi Rukmini" perintah Segoro Wedi pada kelima rekannya yang segera melesat menyerang Citra Yuda. Dia sendiri segera meloncat untuk menghadapi Dewi Rukmini.
"Jangan sampai keduanya menyatukan golok mereka" serunya lagi.
"Kubunuh kau, Segoro Wedi..." bentak Dewi Rukmini sengit.
Kemudian tanpa banyak berkata lagi, Dewi Rukmini segera menyerang dengan tebasan-tebasan golok. Serangannya begitu gencar, membuat golok di tangannya bagai menghilang. Ke mana pun Segoro Wedi menghindar, golok di tangan Dewi Rukmini mengejarnya. Keadaan itu membuat Segoro Wedi agak kerepotan juga.
"Hebat.. Rupanya ilmu golokmu semakin lama semakin bertambah maju, Dewi...," puji Segoro Wedi sambil tertawa terkekeh, membuat perempuan itu semakin bertambah panas. Karena ia tahu kalau ucapan Segoro Wedi hanyalah sebuah ejekan kepadanya.
"Jangan banyak bacot Terima seranganku ini..." Dewi Rukmini semakin mempercepat serangannya. Golok di tangan kanannya berkelebat cepat, menimbulkan sinar putih keperakan yang bergulung cepat mengejar Segoro Wedi.
Menghadapi serangan gencar dari Dewi Rukmini, Segoro Wedi yang tidak memakai senjata mau tak mau harus mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk berkelit ke sana kemari.
Sebuah sodokan gagang golok Dewi Rukmini yang merangsek ke arah dada Segoro Wedi dengan cepat, disusul oleh tendangan kaki kanan ke arah lambung lawan. Sungguh perpaduan gerak yang luar biasa dan berbahaya. Kalau saja Segoro Wedi lengah, mungkin nyawanya akan segera terbang
Kembali Segoro Wedi berkelit ke samping, kemudian tangannya bergerak mengebut ke arah kaki lawan yang hendak menendang ke lambungnya. Gerakannya tak kalah cepat, sehingga menjadikan lawan agak kaget menghadapinya.
Dewi Rukmini tidak menyangka kalau serangan balasan lawan begitu cepat dan tidak terduga. Dia berusaha menarik kembali kakinya, sedangkan tangannya yang menyodok dengan gagang golok, kini diputar dengan cepat, sehingga mata goloklah yang menyerang ke arah Segoro Wedi.
"Uts Hebat.." puji Segoro Wedi dengan senyum sinis menyaksikan bagaimana lawan menggerakkan goloknya begitu rupa.
Sehingga kalau dia lengah, mata golok yang tajam akan membelah tubuhnya menjadi dua. Tubuhnya ditarik ke belakang dua tindak, kemudian tangannya bergerak cepat ke arah buah dada lawan.
Gerakan tangan Segoro Wedi yang kurang ajar itu membuat mata Dewi Rukmini membelalak kaget. Segera tangan kanannya diputar untuk membabatkan golok pada tangan kiri Segoro Wedi yang hendak menjamah buah dadanya. Tapi, rupanya serangan yang dilancarkan Segoro Wedi hanyalah pancingan belaka. Terbukti ketika golok lawan menyerang, dengan cepat tangannya ditarik ke belakang. Lalu dengan tangan kanannya, Segoro Wedi menghantam tangan Dewi Rukmini yang menggenggam golok.
Takkk
"Akh..." Dewi Rukmini mengaduh.
Pergelangan tangan kanannya terasa sakit akibat berbenturan dengan tangan Segoro Wedi. Tubuh wanita itu melompat ke belakang, sedangkan goloknya terjatuh ke tanah. Segoro Wedi terbahak-bahak menyaksikan bagaimana Dewi Rukmini kelihatan tegang setelah golok di tangannya jatuh.
Kakinya melangkah perlahan ke arah Dewi Rukmini yang makin ketakutan. Dia tahu, tentunya Segoro Wedi akan berbuat kurang ajar kepadanya. Kekurangajaran itu sudah berulang kali dilakukan Segoro Wedi, tapi semua dapat digagalkan oleh Citra Yuda.
Tapi kini Segoro Wedi tidak seorang diri, melainkan dengan kelima rekannya yang tengah mengeroyok Citra Yuda. Mana mungkin Citra Yuda dapat menolongnya? Dia sendiri tengah sibuk menghadapi keroyokan teman-teman Segoro Wedi dan belum tentu menang. Tak ada lagi yang bisa menolong Dewi Rukmini dari rasa takut terhadap tindakan yang bakal dilakukan Segoro Wedi terhadapnya.
"Kini tidak ada lagi yang bisa menolongmu, Dewi. Kau harus mau melayani ku sekarang juga...," kata Segoro Wedi sambil terkekeh senang. Sudah terbayang dalam benaknya, bagaimana mulus dan indahnya tubuh wanita yang tengah ketakutan di hadapannya. Tubuh dan kecantikan wanita itulah yang senantiasa menggoda, hingga ia selalu berharap dapat memilikinya.
"Tidak Jangan kau kira akan dapat menikmati tubuhku, Segoro Wedi Kalaupun bisa, aku sudah menjadi mayat sebelum hal itu dapat kau lakukan," ancam Dewi Rukmini seraya melangkah mundur berusaha meninggalkan Segoro Wedi. Ia hendak masuk ke dalam rumah untuk mencari senjata yang dapat dijadikan pelindung dirinya.
"Hm, mungkinkah itu?" sinis suara Segoro Wedi. "Tak akan kubiarkan kau melakukannya sebelum kudapatkan tubuhmu."
Segoro Wedi tertawa keras. Lalu kakinya kembali melangkah perlahan, menghampiri Dewi Rukmini yang bertambah takut dan tegang. Mata wanita itu menyorot tajam penuh kebencian ke arah Segoro Wedi yang cengengesan dengan sesekali menjulurkan tangan untuk meraih tangan Dewi Rukmini.
"Jangan macam-macam, Segoro Wedi
Aku adalah istri Citra Yuda, kakak seperguruanmu" sentak Dewi Rukmini berusaha menyadarkan Segoro Wedi dari keinginan kotor yang membeludak.
Mata lelaki itu merah dibakar api nafsu yang membara. Sekian tahun niat nista itu dipendamnya. Kini api nafsu itu berkobar kembali, setelah dia merasa yakin akan kemampuannya mendapatkan tubuh Dewi Rukmini.
"Aku tidak macam-macam, Dewi Kalau saja kalian mau menyerahkan kitab itu dan sekaligus dirimu..."
"Tak tahu malu Orang macam kau tak pantas memiliki kitab itu Lagi pula, kitab itu tidak ada pada kami" bentak Dewi Rukmini, sebelum ucapan Segoro Wedi selesai.
Segoro Wedi menyeringai di bentak begitu rupa. Matanya yang merah terbakar, masih memandang tajam pada Dewi Rukmini. Napasnya mendengus-dengus, bagai diburu oleh nafsu dan dendam mendalam.
"He he he.... Kalian memang pintar Sebenarnya kitab dan kau adalah milikku," tutur Segoro Wedi seenaknya.
"Cihhh Tak tahu malu..." bentak Dewi Rukmini "Bicaramu makin menjijikkan, Segoro Wedi. Kau kira aku perempuan apa?"
Keduanya terus melangkah masuk ke dalam rumah, hingga mereka berdua saja yang ada di dalamnya. Justru itu yang diharapkan Segoro Wedi. Dengan begitu, apa pun yang akan dilakukannya terhadap Dewi Rukmini, tidak akan ada yang mengganggu.
Melihat keadaan yang makin tidak menguntungkan, Dewi Rukmini segera mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap untuk melawan Segoro Wedi yang sudah kerasukan setan.
Dewi Rukmini secepat kilat menyerang Segoro Wedi dengan pukulan jarak jauh secara beruntun. Kemudian, disusul dengan lompatan ke arah Segoro Wedi, lalu menendang dada laki-laki itu.
Desss
Segoro Wedi terhuyung lima depa ke belakang. Matanya terbelalak gusar pada Dewi Rukmini. Sejenak laki-laki itu merasakan sakit pada dadanya. Tapi, cepat dapat disembuhkannya. Lagi-lagi bibirnya tersenyum mengejek.
"He he he.... Ternyata ilmumu masih seperti dulu Kau perlu tahu, Dewi. Segoro Wedi yang sekarang bukan Segoro Wedi yang dulu"
Selesai berkata begitu, dengan sekali lompat Segoro Wedi sudah berada di depan Dewi Rukmini. Melihat hal itu, Dewi Rukmini segera mundur dengan kuda-kuda. Kemudian, secepat kilat diserangnya Segoro Wedi.
Terjadilah perkelahian yang cukup seru. Keduanya saling serang dengan mengeluarkan jurus-jurus andalan. Terkadang keduanya melenting ke udara disertai beradunya tangan dan pukulan.
Nampak sekali Segoro Wedi lebih unggul dibanding Dewi Rukmini, sampai akhirnya Segoro Wedi sempat memasukkan pukulan ke dada Dewi Rukmini.
"Akh" pekik Dewi Rukmini. Tubuhnya terhuyung beberapa tombak ke belakang sambil memegangi dadanya.
Segoro Wedi menyeringai. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Maka dengan gerakan cepat dia melompat memeluk tubuh Dewi Rukmini.
"Hup..."
"Auh, tidak..." Dewi Rukmini kembali memekik seraya menghindari sergapan Segoro Wedi. Kaki kanannya memang mampu digeser agak melebar, tapi tetap saja tangan Segoro Wedi dapat menjambret pakaiannya.
Breeet
Pakaian yang dikenakan Dewi Rukmini robek di dadanya, sehingga bagian dadanya tampak jelas terlihat. Hal itu membuat Segoro Wedi menelan ludahnya berulang kali. Sedangkan Dewi Rukmini berusaha menutupinya dengan kedua tangan.
Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata masih memandang tegang ke arah Segoro Wedi yang kian kerasukan setan. Tubuhnya kembali menerkam Dewi Rukmini. Dan tanpa dapat dihindari lagi, tubuh Dewi Rukmini disergap dengan buas oleh Segoro Wedi.
"Lepaskan Lepaskan aku, Pengecut"
jerit Dewi Rukmini sambil terus berontak untuk dapat melepaskan dekapan kokoh tangan Segoro Wedi yang kian beringas dan terus menciumi wajahnya.
Kegaduhan itu rupanya membangunkan seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun yang tengah tidur di kamarnya.
Bocah kecil itu melangkah keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya. Betapa terkejutnya bocah itu ketika menyaksikan ibunya dalam dekapan seorang lelaki berpakaian serba merah dengan harpa di punggungnya.
***
Darah bocah yang bernama Sena Manggala itu mendidih menyaksikan ibunya meronta-ronta dalam pelukan lelaki asing yang hendak memperkosanya. Naluri untuk menolong ibunya muncul seketika. Dengan memekik laksana seekor anak kucing, bocah itu menerkam ke arah Segoro Wedi.
Sementara, Segoro Wedi yang tengah asyik menggumuli Dewi Rukmini tidak menyadari serangan itu. Tubuh Sena melompat ke atas tubuh Segoro Wedi, kemudian menggigit tengkuknya dengan geram.
"Auh Kurang ajar... Bocah setan Kubunuh kau..."
Sambil berkata begitu, tangan kanan Segoro Wedi memukul tubuh bocah itu. Tak ayal lagi, mulut mungil itu langsung menjerit setelah terkena pukulan.
Kemudian tubuhnya terpelanting deras hingga membentur bilik rumahnya yang langsung jebol. Begitu kuat pukulan Segoro Wedi, sampai-sampai tubuh Sena terus berguling-guling ke luar, dan baru berhenti ketika membentur sebongkah batu yang cukup besar.
"Uhhh..." keluh Sena ketika tubuhnya terasa sakit akibat pukulan Segoro Wedi. Meski kepalanya terasa agak pening, dia terus berusaha bangkit.
Bayangan ibunya dalam dekapan lelaki itu membuat semangatnya tak padam. Dengan agak tertatih-tatih, bocah kecil itu berusaha bangun. Tapi baru saja tubuhnya hendak bangkit, tiba-tiba telinganya mendengar kegaduhan di depan rumahnya.
"Heh Sepertinya ada orang bertarung. Kedengarannya seseorang sedang dikeroyok...."
Naluri Sena kemudian membimbingnya untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di halaman depan rumahnya. Betapa terkejutnya bocah kecil itu setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi. Ayahnya tengah dikeroyok oleh lima orang bersenjata lengkap di tangan masing-masing.
Sena kebingungan menyaksikan pertarungan itu. Tetapi kembali nalurinya memerintahkan agar dia membantu sang Ayah yang dikeroyok lima orang jahat itu.
Tanpa pikir panjang, bocah kecil itu segera melompat menyerang salah satu pengeroyok, lalu dengan geram digigitnya tangan orang itu kuat-kuat.
"Auh... Bocah kurang ajar Kubunuh kau..." maki Raja Setan Muka Ular geram sambil memegangi tangannya yang tergigit oleh bocah itu. Matanya memandang bengis penuh kemarahan pada bocah kecil yang tadi menggigitnya.
Melihat anaknya ada di dalam kancah pertarungan, seluruh otot Citra Yuda semakin tegang. Dia sendiri kini dalam keadaan terjepit, apalagi harus melindungi anaknya? Celaka. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Sena, aku belum tentu bisa menyelamatkannya. Sedangkan aku sendiri kini dalam keroyokan, keluh Citra Yuda dalam hati.
"Sena Cepat tinggalkan tempat ini" seru Citra Yuda sambil menangkis serangan yang dilancarkan keempat lawannya.
"Tapi, Ayah.... Ibu harus di tolong," sahut Sena hendak lari ke dalam rumah ketika telinganya mendengar jeritan sang Ibu yang berusaha melepaskan diri dari kebuasan Segoro Wedi.
"Sena, Jangan nekat Selamatkan dirimu, cepat.." seru Citra Yuda semakin panik. Dia takut kalau-kalau anaknya akan mendapat celaka jika tidak segera pergi dari tempat itu. Dia sadar, tentunya Segoro Wedi dan kelima rekannya tidak akan membiarkan anaknya hidup.
Sementara, Sena tampak masih kebingungan. Jeritan ibunya seakan mengharap agar dia menolong. Sementara ayahnya terus menyuruhnya segera pergi meninggalkan tempat itu. Saat bocah kecil itu kebingungan, tiba-tiba terdengar seruan sang Ayah.
"Sena, awas..."
Bocah kecil itu tersentak kaget ketika melihat Raja Setan Muka Ular menendang ke arahnya. Sena berusaha mengelakkan tendangan itu. Tapi terlambat. Tendangan yang dilancarkan oleh Raja Setan Muka Ular sangat cepat, sehingga dia tidak mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, tubuh bocah kecil itu harus menerimanya.
Bugk
"Akh..."
Sena menjerit bersamaan tubuhnya yang melayang bagai kayu kering terkena tendangan Raja Setan Muka Ular. Tubuh kecil itu berguling-guling, lalu berhenti saat membentur pohon.
Daya tahan tubuh bocah kecil itu sungguh luar biasa. Kalau orang lain, tentu tulangnya akan langsung patah terkena tendangan Raja Setan Muka Ular.
Tapi Sena tidak Dia hanya merasakan sekujur tubuhnya panas bagai terpanggang. Bocah itu mengeluh lirih. Kemudian dengan tertatih-tatih tubuh kecilnya berusaha bangkit. Badannya terasa sangat sakit. Dia kembali teringat akan ibunya yang tengah dalam dekapan seorang lelaki dengan sebuah harpa di punggungnya.
Tentunya lelaki itu hendak memperkosa wanita yang amat yang dicintai dalam hidupnya. Untuk itu dia harus menolong. Namun, dia juga teringat ayahnya yang menyuruh agar segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Ayah, Ibu.... Semoga kalian selamat. Oh, aku tak ada gunanya sama sekali. Aku tak mampu menolong kalian," keluh Sena seraya melangkah meninggalkan tempat itu.
Dia kini menuruti apa yang dikatakan oleh ayahnya. Dia memang harus menyelamatkan diri. Mereka bukan tandingannya. Ayah dan ibunya yang pendekar saja tak mampu berbuat apa-apa, apa-lagi dia yang cuma anak kecil dan tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat Dengan merasakan sakit serta panas di tubuhnya akibat tendangan Raja Setan Muka Ular, kaki bocah kecil itu terus melangkah semakin jauh dari tempat di mana ayah dan ibunya tengah menghadapi orang-orang jahat. Kaki kecil itu terus melangkah, menyelusuri jalanan gelap dan lengang.
Mungkin karena badannya sakit akibat tendangan Raja Setan Muka Ular, membuat tubuh bocah itu gontai. Kepalanya terasa berat. Bumi yang dipijaknya seperti berputar, hingga bocah kecil itu tak mampu lagi mempertahankan diri untuk tetap tegak. Dia tidak sadar, saat kakinya telah berada di bibir lereng sebuah gunung.
"Akh..."
Sena kembali mengeluh saat tubuhnya terpelanting, lalu bergulingan ke bawah. Tubuhnya terus meluncur turun tanpa dapat tertahan. Kesadarannya menjadi samar-samar, hingga dia pasrah menerima apa pun yang terjadi. Tubuhnya dibiarkan berguling ke bawah lereng, di mana sebuah gua berada.
Tubuh kecil itu terus berguling, semakin lama semakin bertambah dekat pada mulut gua yang seakan siap menerima tubuhnya yang kecil. Benar juga Tubuh Sena akhirnya masuk ke dalam gua. Anehnya, setelah tubuh Sena masuk, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak.
Sebuah batu besar bergerak menutup pintu gua. Mulut gua itu tiba-tiba menghilang, berganti dengan dinding batu cadas yang kokoh. Tak akan ada orang yang tahu kalau di balik batu cadas yang kokoh itu terdapat sebuah gua yang dinamakan Gua Setan.
"Ukh...,"
Sena kembali mengeluh lirih. Semuanya terlihat gelap gulita. Matanya berusaha mengetahui di mana dia sekarang berada, tapi kepalanya masih terasa sakit. Begitu juga dengan sekujur tubuhnya, hingga bocah kecil itu kembali terkulai pingsan.
***
TIGA
Pertarungan Citra Yuda melawan kelima begundal Segoro Wedi masih berlangsung seru. Dilihat dari perkem-bangannya, jelas menunjukkan Citra Yuda semakin terdesak hebat oleh kelima lawannya yang semakin bernafsu untuk secepatnya menjatuhkan lawan mereka.
Meski begitu, Citra Yuda tidak mau mengalah begitu saja. Selama hayat masih dikandung badan, ia akan tetap melawan sampai titik darah penghabisan. Itulah jiwa ksatria sejati.
Golok Sakti di tangan Citra Yuda bergerak cepat, memapak serangan lawan yang dating silih berganti. Sesekali tangannya menyodokkan golok ke arah lawan yang menyerang, tapi lawannya yang lain telah mendahului dari belakang. Mau tak mau Citra Yuda mengurung serangannya. Sambil membalikkan tubuh, ditangkisnya serangan lawan.
"Heaaa..."
Senjata rantai berujung bola berduri di tangan Sepasang Hantu dari Kelangit mendesing di alas kepalanya. Cepat-cepat Citra Yuda merundukkan tubuh ke bawah untuk menghindar dari sabetan ganas salah satu rantai. Kemudian dengan cepat pula goloknya ditebaskan ke arah rantai yang lain.
Rantai milik Kelangit Sepuh dapat dielakkan, sedangkan milik Kelangit Anom berbentur dengan golok di tangannya, menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga.
Trang
Ki Kelangit Anom terkejut, tangannya langsung terasa bergetar akibat benturan tadi. Tidak disangkanya kalau ilmu tenaga dalam lawan berada dua tingkat di atasnya. Kalau saja dia hanya seorang diri, sudah barang tentu dengan cepat dapat dipecundangi lawan. Diam-diam, Kelangit Anom merasa kagum terhadap lawannya.
Kemudian, tubuh Citra Yuda diserbu serangan lain dari samping. Serangan itu dilancarkan oleh Pedang Akhirat dan Kapak Iblis yang tidak kalah cepat dan ganas dibanding dengan serangan dua lawan sebelumnya. Bahkan, senjata mereka yang berbentuk pedang dan kapak nampaknya jauh lebih berbahaya. Gerakan senjata mereka sangat cepat, menimbulkan suara laksana dengung ribuan tawon.
Kedua orang itu menggebrak dengan tebasan sepasang senjata mereka ke arah lambung dan pinggang lawan. Hal itu menjadikan Citra Yuda harus bergerak lebih cepat untuk mengelitkan serangan mereka. Lalu dengan tak kalah cepatnya, goloknya dibabatkan ke arah salah seorang lawan setelah mengelakkan serangan yang lain.
Trang
Benturan golok di tangan Citra Yuda dengan senjata di tangan Pedang Akhirat terjadi, menimbulkan percikan api sekaligus keluhan dari mulut Pedang Akhirat. Tangannya yang memegang pedang terasa nyeri, bahkan pedangnya sampai bergetar hebat
"Hebat Kau benar-benar hebat, Citra Yuda. Tapi kami berlima tidak akan kalah olehmu," dengus Pedang Akhirat sambil menyeringai akibat benturan itu.
Kemudian dengan menggerakkan tangan ke atas, Pedang Akhirat kembali menyerang dibantu oleh keempat rekannya.
"Heaaa..."
Senjata di tangan mereka bergerak cepat, berusaha mengurung tubuh Citra Yuda. Namun begitu, Citra Yuda nampaknya tidak gentar sedikit pun menghadapi kurungan kelima lawannya. Matanya tajam menatap setiap gerakan kelima orang lawannya yang terus mengurung sambil memutar senjata masing-masing.
Citra Yuda cepat bergerak memutar, menyapu kepungan lawan sambil menebaskan golok di tangannya sedemikian rupa, sehingga menciptakan sebuah benteng yang akan melindungi tubuhnya dari setiap serangan lawan. Golok sakti di tangannya pun bagai menghilang, berubah menjadi cahaya putih keperakan yang menutupi tubuhnya.
"Serang..."
Kembali terdengar seruan Pedang Akhirat memerintahkan kepada keempat rekannya yang langsung menyerang berbareng ke arah Citra Yuda. Serangan mereka sangat cepat diperkuat pula oleh tenaga dalam yang mereka kerahkan.
"Heaaa..."
Tongkat di tangan Raja Setan Muka Ular bergerak memukul ke arah kepala lawannya, hingga menimbulkan suara menderu keras.
"Pecah batok kepalamu....'"
Citra Yuda tersentak, segera kakinya melompat ke belakang sambil membabatkan goloknya ke arah ayunan tongkat lawan, sedangkan tangan kakinya bergerak menghempaskan pukulan untuk menangkis serangan pedang.
Trak
"Hah...?"
Mata Raja Setan Muka Ular melotot tak percaya pada apa yang dilihatnya. Tongkat di tangannya yang terbuat dari kayu langka itu ternyata bisa dibabat putus oleh golok Citra Yuda. Raja Setan Muka Ular melompat mundur, lalu sesaat tertegun menyaksikan kejadian yang baru dialaminya. Celaka Kalau dibiarkan terus-menerus, bisa-bisa kami tak mampu menghadapinya, keluh Raja Setan Muka Ular dalam hati.
Ternyata bukan hanya Raja Setan Muka Ular saja yang kaget, Pedang Akhirat pun melompat dua tindak ke belakang. Dia tidak menduga kalau serangan pedangnya dapat dipatahkan oleh Citra Yuda dengan pukulan. Malah kembali tangannya terasa linu akibat benturan pukulan lawan dengan pedangnya.
Sementara itu, Segoro Wedi berusaha melampiaskan nafsunya pada Dewi Rukmini yang tetap berontak untuk melepaskan diri. Namun berontakan Dewi Rukmini justru membuat Segoro Wedi bertambah nafsu.
"Lepaskan" jerit Dewi Rukmini dengan nada suara bergetar. Pakaian telah sebagian lepas dari tubuhnya, sehingga tubuh bagian atas benar-benar terbuka.
"Semakin kau berontak, semakin membuat gairahku kian menggebu, Manis..,"
Segoro Wedi terkekeh, kemudian tangannya kembali bergerak merenggut pakaian yang dikenakan oleh Dewi Rukmini.
Setelah tubuh wanita cantik itu polos tak tertutup oleh sehelai benang pun, dengan gerak cepat Segoro Wedi menotok jalan darah wanita itu. Membuat Dewi Rukmini tak mampu lagi bergerak. Hanya suaranya yang masih terdengar mencaci-maki.
"Pengecut Laknat... Lepaskan totokan mu. Tak sudi aku melayanimu, Iblis"
Segoro Wedi tertawa terbahak-bahak, lalu membopong keluar tubuh Dewi Rukmini. Kemudian diletakkannya tubuh wanita itu di rerumputan, tak jauh dari arena pertarungan Citra Yuda melawan para begundal Segoro Wedi. Lalu dengan nafsu yang memuncak, tubuh Dewi Rukmini digelutinya.
Hal itu membuat Citra Yuda yang sedang bertarung menghadapi kelima lawannya seketika terpecah perhatiannya. Kemarahannya kian menjadi, menyaksikan bagaimana Segoro Wedi memperkosa istrinya dengan buas.
"Bangsat Kubunuh kau, Segoro Wedi..."
Dengan dada penuh amarah, Citra Yuda membabatkan goloknya ke arah lawan-lawannya. Kemudian tubuhnya mencelat meninggalkan kelima lawannya memburu ke arah Segoro Wedi yang masih menggeluti tubuh istrinya.
"Kubunuh kau. Hiaaat.."
Citra Yuda dengan penuh amarah menebaskan goloknya ke arah tubuh Segoro Wedi. Namun dengan cepat Segoro Wedi membuang tubuhnya ke samping. Hingga tanpa ampun lagi, tubuh Dewi Rukminilah yang menjadi sasarannya.
"Kakang... Akh..." pekik Dewi Rukmini ketika golok suaminya menghunjam di lambung sebelah kiri. Darah muncrat keluar dari luka di mana golok Citra Yuda masih menghunjam.
"Dewi.... Oh, maafkan aku...,"
Citra Yuda segera memeluk tubuh istrinya yang bermandi darah. Hingga dia tidak dapat lagi memperhatikan keenam lawannya.
Dia masih terisak menangisi kejadian itu, sehingga ketika kelima lawannya menyerang, dia tidak dapat lagi mengelak. Terlebih ketika Segoro Wedi menghajarnya dengan pukulan maut 'Pasir Baja'nya yang mengandung racun jahat
"Citra Yuda, terimalah kematianmu Hiaaa..."
Deggg
"Aaakh..." Citra Yuda menjerit sejadi-jadinya, ketika pukulan Segoro Wedi menghantam tubuhnya. Matanya mendelik, memandang ke arah Segoro Wedi dan teman-temannya yang tergelak-gelak
"Bajingan Pengecut... Kubunuh kalian..."
Citra Yuda berusaha bangkit untuk menyerang. Namun baru beberapa langkah, tubuhnya telah ambruk. Dari mulutnya melelehkan darah segar kehitaman. Melihat suaminya mati, Dewi Rukmini yang masih merasakan sakit, dengan cepat mengambil golok suaminya. Lalu dihunjamkan golok itu ke dadanya.
"Kakang...," Dewi Rukmini berusaha menggenggam tangan suaminya. Setelah dapat, dia pun terkulai tanpa nyawa dengan dada tertembus golok sang Suami.
"Dewi..." Segoro Wedi berusaha mencegah, tapi terlambat. Semuanya telah terjadi. Dipandanginya dua sosok mayat bekas kakak seperguruan yang ada di hadapannya. Dihelanya napas pelan, kemudian dengan suara lirih Segoro Wedi bertanya pada temannya.
"Di mana anak mereka?"
"Mungkin sudah mampus, Wedi," sahut Raja Setan Muka Ular.
"Mati...?"
"Ya. Tadi kutendang karena menggigit tanganku. Lihat, lukanya masih ada," kata Raja Setan Muka Ular sembari menunjukkan luka bekas gigitan di tangannya.
"Syukurlah kalau begitu, jadi kita tidak usah repot-repot mencarinya," kata Segoro Wedi dengan helaan napas. Tapi kemudian dia kembali bertanya.
"Kau yakin bocah itu telah mampus?"
"Ya"
"Sekarang cari kitab itu..." perintahnya.
Kelima temannya segera menerobos masuk ke rumah dan mengobrak-abrik isi rumah itu. Namun mereka tidak menemukan apa yang dicari.
"Tak ada," lapor Raja Setan Muka Ular.
"Hhh..." Segoro Wedi menghela napas. "Bakar saja rumah ini"
***
Pagi lamat-lamat datang, menyibak kegelapan malam dengan sinarnya yang terang. Kokok ayam bersahut-sahutan, menyambut tersembulnya mentari dari kaki langit. Burung-burung berkicau dengan riang, bagai bernyanyi bersama sambil bercanda. Semilir angin pagi bertiup, perlahan mengusir kabut yang menggelantung di pucuk-pucuk pepohonan.
Di dalam sebuah gua yang tertutup oleh batu cadas, seorang bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun tergeletak pingsan. Bocah yang tidak lain adalah Sena Manggala itu tidak mengetahui kalau ayah dan ibunya telah meninggal oleh keroyokan Segoro Wedi dan begundalnya.
"Uhhh...," keluh Sena lirih.
Perlahan-lahan matanya membuka. Ia terkejut menyaksikan dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang terbuat dari batu.
"Di manakah aku?" tanyanya sambil terus memperhatikan sekelilingnya yang terasa asing. Anehnya, meski ruangan itu terbuat dari batu, ia tidak merasa kedinginan. Justru hawa di dalam ruangan itu hangat
Sena berusaha bangun dengan tertatih-tatih meski tubuhnya dirasakan masih agak linu. Benaknya masih menggambarkan tendangan lelaki berwajah menyeramkan yang membuat tubuhnya terasa remuk. Lalu tubuhnya menggelinding ke bawah lereng, dan masuk ke dalam gua ini.
Setelah mampu bangun, bocah kecil itu mencoba menajamkan pandangannya ke sekeliling gua. Matanya membelalak tiba-tiba ketika melihat dinding gua di kanan dan kirinya terdapat gambar-gambar jurus silat yang aneh. Jurus-jurus itu mirip dengan gerakan orang gila.
"Hai, gambar apa ini? Seperti gambar orang gila sedang menari," gumam bocah kecil itu sambil mendekati dinding batu untuk mengamati gambar-gambar yang ada di sana. Keningnya mengerut, ketika lebih jelas lagi memperhatikan gambar-gambar itu.
"Gambar-gambar yang aneh. Jika hanya gerakan orang gila, mengapa mesti ada aturannya?" gumamnya saat melihat aturan dan cara yang tertulis, untuk melakukan gerakan dari gambar-gambar itu.
Sena kembali tertegun. Otaknya mencoba mencerna gambar-gambar aneh itu. Bocah kecil itu menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Pikirannya berusaha keras menebak maksud gambar yang ditemukannya. Lama dia memperhatikan, hingga tanpa disadari, tubuhnya telah meniru-niru salah satu gerakan yang ada dalam gambar di dinding gua.
"Hei, kenapa aku meniru-niru gerakan gambar itu?" tanya Sena tertegun-tegun setelah menyadari kalau tubuhnya bergerak mengikuti salah satu gambar yang ada di dinding gua.
Bocah kecil itu terus memandangi satu persatu gambar-gambar tersebut. Sementara hatinya terus pula bertanya-tanya. Tiba-tiba matanya menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Sebuah batu berwarna ungu bulat menempel di satu bagian dinding.
"Hm, batu apakah itu? Coba aku dekati," pikir Sena seraya melangkah ke arah batu berwarna ungu itu. Dipandanginya batu ungu bulat sebesar uang perak tersebut. Kemudian dengan perasaan ingin tahu, tangannya meraba batu itu.
Srak
Sena tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja dinding gua di hadapannya yang tadi tertutup, membuka. Mata bocah itu membelalak lebar dan mulutnya menganga. Belum juga hilang rasa kaget bocah itu, dari mulut ruangan yang kini terbuka tiba-tiba berhembus asap tebal berwarna ungu yang bergulung-gulung menyelimuti seluruh ruangan di mana bocah kecil itu berada. Hal itu membuat Sena kelabakan.
Tangannya mengibas-ngibas untuk menghalau asap ungu yang terus mengalir ke arahnya. Ketika asap ungu itu semakin padat mengurungnya, mau tak mau asap ungu itu terhisap juga.
"Uhk..."
Sena terbatuk-batuk kecil akibat asap ungu yang menerobos tenggorokannya. Semakin lama semakin banyak menghisapnya.
Sena tidak tahu, kalau asap ungu itu sesungguhnya adalah racun yang belum ada tandingannya. Racun itu sangat dahsyat. Siapa pun yang menghisapnya, akan lumpuh dan mati Anehnya, bocah itu justru tidak merasakan kelumpuhan. Hanya kepalanya terasa sangat pening. Semakin banyak asap ungu beracun itu dihisapnya, semakin terasa pusing kepalanya. Tubuhnya sendiri merasakan kehangatan yang lain, yang perlahan-lahan berubah menjadi sejuk.
Bocah itu terheran-heran. Otaknya berusaha memahami apa yang terjadi. Namun, kepalanya terasa semakin berat dan matanya mengantuk sekali. Bumi yang dipijaknya seakan berputar dengan cepat.
Setelah banyak menghisap asap beracun, kepalanya terasa amat berat. Dan, Sena melihat gambar-gambar di dinding gua seperti bergerak-gerak.
"Hi hi hi.... Ha ha ha..... Lucu Lucu sekali"
Bocah kecil itu terus tertawa-tawa, dan tidak menyadari dirinya malah bergerak-gerak mengikuti jurus-jurus gila yang tertera di dinding tembok. Sena masih berusaha bertahan. Dicobanya untuk membuka mata selebar mungkin. Tiba-tiba semuanya kelihatan lucu. Gambar-gambar yang ada dinding gua seperti bergerak-gerak, membuat Sena tertawa nyaring menyaksikan semua itu. Kemudian tanpa sadar tubuhnya bergerak, mengikuti gambar-gambar yang terlihat bergerak sendiri.
"Hi hi hi... Ha ha ha.... Lucu Lucu sekali"
Sena terus tertawa-tawa dengan tubuh bergerak lentur kian kemari. Bocah kecil itu benar-benar tidak sadar kalau dirinya tengah mengikuti sekaligus mempelajari jurus-jurus gila yang tertera di dinding tembok.
Lama Sena mengikuti gerakan-gerakan gambar di dinding gua. Keringat bersem-bulan dari pori-pori tubuhnya. Tapi bocah kecil itu sendiri tak peduli, terus diikutinya gerakan-gerakan itu. Kepalanya yang pening tak dihiraukan. Pandangannya yang aneh tidak juga mempengaruhinya. Dia terus bergerak dan bergerak. Setelah jurus-jurus yang berada di dinding di ikuti seluruhnya, baru tubuhnya terkulai kecapaian.
***
EMPAT
Entah berapa lama Sena terkulai pingsan, tanpa tahu di mana dirinya kini. Ketika matanya membuka, didapati dirinya telah berada di atas sebuah batu datar dengan lebar sekitar dua depa dan panjang dua setengah depa. Mata bocah kecil itu mengawasi sekelilingnya dengan pandangan nanar.
"Di manakah aku...?" tanyanya lirih pada diri sendiri.
Setelah pandangannya mulai jelas, kembali didapatinya gambar-gambar pada kanan dan kiri dinding gua. Sena yakin kalau dirinya kini berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya, karena gambar yang ditangkap matanya pun berbeda. Meski begitu tetap terlihat bergerak lucu, memperagakan gerakan-gerakan yang aneh seperti jurus-jurus silat.
Mata bocah kecil itu terus memandangi setiap gambar di dinding gua yang terus bergerak ganjil, sehingga membuatnya kembali tertawa nyaring. Tiba-tiba semangatnya muncul. Entah apa penyebabnya. Mungkin gambar di dinding gua yang seperti bergerak memperagakan gerakan-gerakan ilmu silat. Atau karena pengaruh Racun Kabut Ungu?
Tubuhnya segera bangkit. Rasa letih setelah mengikuti gerakan-gerakan di dinding gua sebelumnya, hilang seketika. Bocah kecil itu turun dari batu datar, lalu dengan tertawa-tawa diikutinya gerakan-gerakan gambar di dinding gua.
"Eh Kenapa aku kembali mengikuti-nya? Oh, tapi gambar-gambar itu dapat bergerak dan lucu sekali. Hi hi hi... Ha ha ha... Baik, aku pun senang dengan kalian. Aku suka sekali dengan kalian," kata Sena sambil terus mengikuti gerakan-gerakan yang ada di dinding gua.
Rasa letih yang sempat datang, begitu saja hilang melihat lucunya gerakan-gerakan yang tergambar di dinding gua.
"Heat.."
Sambil tertawa, tangan dan kakinya terus bergerak mengikuti jurus-jurus aneh yang ada di dinding. Sesekali kepalanya digaruk, lalu kembali tertawa-tawa senang, seperti mendapat teman bermain.
Tanpa diketahuinya, sejak bocah itu berada di dalam gua, seorang lelaki tua berambut serta berjenggot panjang warna putih, duduk di atas sebuah batu datar berukuran satu tombak kali satu tombak sambil memperhatikannya. Dilihat dari sorot matanya, lelaki itu merasa kagum pada bocah kecil yang masih mengikut gerakan-gerakan di dinding gua sambil tertawa-tawa. Sepertinya bocah kecil itu tidak merasakan lelah barang sedikit pun.
"Hm, bocah ini benar-benar hebat Racun Kabut Ungu yang selama ini tak ada yang mampu menahan, seakan tiada artinya sama sekali."
Orang tua itu menggelengkan kepalanya, sambil sesekali manggut-manggut. Diperhatikannya lekat-lekat tubuh Sena dengan pandangan tajam.
"Kulihat tulang tubuhnya pun sangat rapi dan kokoh.... Hyang Jagat Dewa Batara, mungkin bocah inilah yang dimaksud dalam mimpiku. Seorang bocah yang memiliki daya tahan tubuh yang sempurna. Hm, semoga apa yang kuharapkan selama ini akan menjadi kenyataan," gumam orang tua itu sambil terus memperhatikan tingkah laku Sena yang tiada hentinya mengikuti gerakan-gerakan gambar di dinding gua sambil tertawa-tawa.
"He Hi hi hi.. Aneh sekali gerakan ini. Tapi aku senang. Akan kuikuti kalian, Gambar-gambar Aneh" ceracau bocah kecil itu sambil memperagakan gerakan-gerakan tangan dan kakinya yang ringan.
Bocah kecil itu terus melakukan gerakan-gerakan seperti tergambar di dinding. Gerakan bagai orang gila Sesekali tangannya bergerak menimpuk, lalu menepuk. Itulah jurus 'Kera Gila Melempar Batu', sebuah jurus gila yang dahsyat dan ampuh.
Sesaat Sena menghentikan gerakan untuk menarik napas sambil memperhatikan gambar-gambar berikutnya. Lalu kembali lagi mengikuti gerakan-gerakan ilmu silat itu dengan penuh semangat sambil terus tertawa-tawa. Keringat makin membasahi seluruh tubuhnya. Tapi bocah itu tetap tak peduli.
Sementara, orang tua yang terus memperhatikan tingkah laku Sena, tercengang menyaksikan bagaimana bocah kecil itu melakukan gerakan 'Kera Gila Melempar Batu'. Begitu cepatnya si bocah menyerap gambar di dinding, sehingga mampu melakukan gerakan itu. Padahal jurus yang kini tengah dilakukan olehnya adalah salah satu jurus yang sulit untuk dipelajari. Orang lain paling tidak harus mempelajarinya dalam waktu tiga hari, itu pun kalau berlatih terus menerus tanpa istirahat.
Orang tua itu berdecak kagum tanpa sadar. Belum pernah selama ini dilihatnya seorang manusia mampu mempelajari jurus-jurus gila dalam waktu yang singkat.
"Hebat Sungguh hebat..." pekik orang tua itu dengan mata membelalak menyaksikan keluarbiasaan yang terjadi di depan matanya.
Makin tersentak hati orang tua itu melihat bocah kecil itu menghentikan jurus yang telah dilakukannya. Dikiranya bocah kecil itu akan kelelahan dan tertidur, tapi ternyata tidak. Kini bocah kecil itu mengalihkan pandangannya ke dinding yang lain, di mana tertera jurus-jurus yang lebih sulit
Sesaat bocah kecil itu memakukan pandangannya ke gambar-gambar yang dalam penglihatannya bergerak-gerak bagai sedang memperagakan jurus. Sekali lagi, bocah itu tertawa-tawa senang.
"Oh, begitu...? Baik, kurasa aku bisa. Hi hi hi..."
Kembali tubuhnya bergerak mengikuti gerakan-gerakan gambar di dinding. Orang tua yang memperhatikannya dari jauh semakin melebarkan matanya mendengar ucapan si bocah yang menganggap gerakan-gerakan yang tengah dilakukannya sebagai permainan yang menyenangkan.
Dengan tertawa-tawa Sena mengikuti gerakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus yang lebih tinggi dibanding jurus sebelumnya. Tubuh kecilnya kini laksana menari-nari dengan lemah gemulai. Sementara tangannya sesekali menepuk.
Tak diingatnya lagi kegetiran hidup yang baru ia telan dengan meninggalkan kedua orangtuanya dalam keadaan di ujung tanduk. Tidak ada lagi pertanyaan tentang nasib ayah dan ibunya dalam benak Sena. Perasaannya begitu terhibur dengan gambar yang bergerak lucu di matanya.
"Jagat Dewa Batara, apakah mataku tak salah lihat?" gumam orang tua itu dengan mata memperlihatkan ketidak-percayaan pada apa yang dilihatnya saat itu. "Tidak Aku tidak bermimpi. Ini kenyataan. Bocah itu sungguh luar biasa.
Aneh bagaimana mungkin jurus sesulit itu bisa cepat dikuasainya?"
Dengan mata berbinar takjub, orang tua itu menyaksikan Sena mampu melakukan gerakan-gerakan yang amat sulit. Jangankan orang lain, dulu dia sendiri mempelajari jurus itu paling cepat sehari. Tapi bocah kecil itu malah sekejap, seperti pernah mempelajarinya terlebih dahulu. Ingin rasanya bocah itu dihampirinya, tapi dia tidak ingin mengganggu luapan rasa senang si bocah.
Sementara itu, Sena terlihat menghentikan gerakannya, setelah dirasa jurus-jurus itu sudah dihafalnya. Kemudian tubuhnya dibalikkan, memandang ke arah lain. Sesaat matanya memandang tajam ke satu deret gambar baru.
"Baik, kalau itu yang kalian maksudkan. Aku pun merasa bisa. Hi hi hi.... Lihat, aku akan mengikuti kalian."
Sena terkikik, lalu tangan serta kakinya bergerak mengikuti gerakan gambar-gambar di dinding yang menari. Gerakan yang kini diikutinya adalah jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kalau saja bocah kecil ini mempunyai tenaga dalam yang sempurna, gua itu bisa dibuat hancur berantakan.
"Hah...?"
Orang tua yang masih memperhatikannya dari kejauhan lagi-lagi tercengang menyaksikan bocah kecil itu melakukan gerakan 'Si Gila Membelah Awan', sebuah jurus yang dahsyat luar biasa bila disertai tenaga dalam.
"Benar-benar bocah aneh. Hm, tidak sia-sia selama lima puluh tahun lebih aku menanti," gumam orang tua itu.
Setelah melakukan jurus-jurus yang ada di dinding gua, Sena tampak berdiri mematung. Kepalanya terasa pening. Setelah tertawa, bocah kecil itu kembali terkulai jatuh. Dia tidak pingsan, tapi tertidur kelelahan.
***
Orang tua penghuni Gua Setan tersenyum-senyum, kemudian melangkah menghampiri tubuh si bocah yang tertidur menggeletak di tanah begitu saja. Dipegangnya dada si bocah, denyut jantungnya sangat beraturan, seperti tidak merasakan lelah.
"Hebat.." puji orang tua penghuni Gua Setan tanpa sadar sambil menggeleng-geleng lemah. "Daya tahan tubuh bocah ini benar-benar hebat. Mungkinkah karena pengaruh Racun Kabut Ungu? Hm, kurasa itu hanya sebagian saja. Mungkin ada hal lain yang mempengaruhi ketahanan tubuhnya hingga daya tahan tubuh bocah ini sangat kuat."
Orang tua itu kemudian membopong tubuh Sena ke atas batu datar tempat ia tertidur tadi. Kembali mata tuanya menatap tubuh bocah kecil itu penuh perhatian, tanpa sejengkal pun terlewati.
"Hm. Bocah inilah yang ada dalam mimpiku. Semuanya sama, tak ada bedanya...," ucapnya perlahan namun penuh keyakinan. Jarinya memijit beberapa bagian tubuh Sena untuk membuka jalan darah di tubuhnya.
"Uhhh..."
Sena menggeliat. Perlahan-lahan matanya membuka, lalu samar-samar matanya melihat seorang lelaki tua berjubah putih dengan wajah dihiasi jenggot dan kumis yang juga putih. Wajah orang tua itu mencerminkan sikap yang ramah dan penyabar. Bibirnya tersenyum, menyaksikan si bocah telah terjaga.
"Kakek, siapakah engkau? Sedari tadi aku tidak melihatmu?" tanya Sena sambil menggerakkan tubuh untuk bangkit
"Bocah, aku adalah penghuni Gua Setan ini. Sepantasnya aku yang bertanya begitu padamu," ujar orang tua itu, tanpa melepas senyumnya.
Sena terkejut mendengar penuturan orang tua yang memberitahukan kalau dirinya berada di dalam gua angker yang ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan. Memang, walaupun masih kecil tapi ayah dan ibunya sering memberitahukan hal-hal yang terjadi di dalam rimba persilatan.
"Jadi, inikah Gua Setan?" tanya bocah kecil itu.
"Ya," sahut orang tua penghuni Gua Setan masih tersenyum ramah.
"Dan kau penghuni Gua Setan ini?"
"Benar," jawab orang tua itu lagi.
Setelah tahu siapa lelaki tua di hadapannya, tanpa diperintah bocah kecil itu langsung turun dan sujud di kaki orang tua itu.
"Maafkan aku yang bodoh dan begitu lancang memasuki Gua Setan ini serta mempelajari gambar-gambar di dinding. Sekiranya engkau menyalahkan tindakanku, aku siap menerima hukuman."
Orang tua penghuni Gua Setan tersenyum, kemudian tangannya mengangkat pundak si bocah.
"Berdirilah. Kau tidak bersalah, Bocah. Bahkan aku bangga menyaksikan mu tanpa rasa lelah mempelajari jurus-jurus ilmu silat yang ada di dinding gua ini.
Siapa namamu?" tanya orang tua itu.
"Ampunkan aku yang bodoh ini, Kek.
Namaku Sena Manggala. Kalau aku tidak salah, bukankah engkau yang bernama Eyang Singo Edan?" tanya Sena, memberanikan diri. Meski ia tidak berani mengadu pandang pada orang tua di depannya yang saat itu tertawa.
"Benar.... Benar apa yang kau katakan. Aku memang Singo Edan, penghuni Gua Setan ini," jawab orang tua itu sambil terus tertawa. "Bocah, dari mana kau tahu kalau aku Singo Edan?"
Sena tidak langsung menjawab, malah dia balik bertanya untuk menegaskan kebenaran yang didengarnya.
"Jadi, benarkah kau Eyang Singo Edan?"
"Ya, kenapa...?"
Kembali bocah itu bersujud, lalu dengan suara penuh hormat berkata,
"Oh, sekali lagi ampuni saya yang bodoh dan lancang ini."
Singo Edan tertawa bergelak. Sekali lagi diangkatnya pundak si bocah hingga berdiri. Matanya memandang lekat ke wajah Sena sebelum kembali bertanya,
"Katakanlah, dari mana kau tahu aku bernama Singo Edan? Dan, jangan kau pikirkan masalah kelancanganmu, sebab aku justru senang dengan kehadiranmu di gua ini. Aku bahkan kagum dengan semangatmu mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si Gila'."
Sena tercengang mendengar penuturan Singo Edan yang mengatakan kalau dia telah mempelajari jurus-jurus langka yang hebat itu.
"Apa? Jadi...," seru Sena tanpa sadar.
"Benar. Semua yang kau anggap lucu adalah jurus-jurus langka 'Ilmu Silat Si Gila'. Nah Sekarang katakan, dari mana kau tahu namaku Singo Edan?" desak orang tua itu ingin tahu.
Setelah menjura, Sena menceritakan siapa sesungguhnya dirinya, siapa orangtuanya dan siapa pula kakeknya. Bocah kecil itu juga menceritakan kalau dia tergelincir dan menggelinding ke bawah lereng karena tubuhnya lemah terkena tendangan seorang pengeroyok ayahnya.
"Begitulah ceritanya, Eyang," kata Sena, mengakhiri ceritanya.
"Jadi kau cucu Senabrata?" tanya Singo Edan dengan kening berkerut Sena menganggukkan kepala.
"Kakekmu telah meninggal?" tanya Singo Edan kembali.
"Benar, Eyang. Kakek meninggal karena usia tua, sedangkan ayah dan Ibu entah bagaimana nasibnya. Orang-orang itu begitu jahat, Eyang...," tutur Sena polos, membuat Singo Edan manggut-manggut dengan raut wajah prihatin.
Di samping Singo Edan terharu mendengar penuturan bocah kecil itu, dia juga merasa sedih karena Senabrata sebenarnya adalah sahabatnya. Nasib yang menimpa anak Senabrata dirasakan seperti menimpa anaknya sendiri.
"Sudahlah, Sena.... Semua sudah menjadi suratan takdir. Tak perlu disesali lagi. Kini, Eyang mau menawarkan padamu. Maukah kau mempelajari dengan tekun gambar-gambar itu?" tanya Singo Edan setelah memberi petuah pada si bocah, sekaligus memberikan semangat Sena memandangi wajah Singo Edan.
Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Tapi, setelah Singo Edan kembali menganggukkan kepala sambil tersenyum, segera bocah itu bersujud.
"Oh, sungguh aku yang bodoh dan lancang ini tidak terkira bahagianya, sebab aku merasa telah mendapatkan kehormatan menjadi murid Eyang. Terimalah sembahku, Eyang."
"Sudahlah, tak perlu begitu. Kita sama-sama manusia. Hanya Tuhan yang patut disembah. Bangunlah," ujar Singo Edan, kemudian diajaknya bocah kecil itu melangkah ke ruang dalam. Sejak saat itulah, Sena Manggala menjadi murid tunggal tokoh sakti yang belum tertandingi sampai saat ini.
***
LIMA
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa sepuluh tahun telah berlalu. Selama itu, Sena Manggala dengan tekun mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si Gila' yang langka dan dahsyat. Sedikit pun tak ada keluhan dari bibirnya. Bukan itu saja, Kitab Ilmu Silat Si Gila yang ditulis Eyang Singo Edan pun telah dilalapnya dengan cepat, hingga semua 'Ilmu Silat Si Gila' tak satu pun tersisa.
Ilmu-ilmu lainnya, seperti tenaga dalam, meringankan tubuh, dan pukulan-pukulan sakti telah pula dipelajarinya. Hingga pada usia dua puluh tahun, Sena telah menjadi sosok pendekar muda yang memiliki bekal ilmu kedigdayaan yang tinggi.
Pagi merambati muka bumi bersama seluruh warna dan tembang alam. Di dalam Gua Setan, dua orang tengah duduk berhadap-hadapan. Yang seorang adalah lelaki tua berjubah putih dengan rambut yang kian memutih pula. Ia tak lain Singo Edan atau lebih terkenal dengan julukan Penghuni Gua Setan. Di depannya duduk seorang pemuda tampan, berkulit kuning bersih serta rambut panjang rapi yang diikat dengan selembar kulit ular.
Tubuhnya yang berotot menggambarkan kalau selama ini ia telah menjalani godokan yang berat. Pemuda itu adalah Sena Manggala.
"Sena, sepuluh tahun telah berlalu. Sepuluh tahun pula kau berada di gua ini.
Semua ilmu yang Eyang miliki, telah diwariskan padamu...," kata Singo Edan setelah beberapa saat terdiam.
"Perpisahan memang berat, Cucuku...."
Sena tak berkata apa-apa. Pemuda itu nampaknya terharu mendengar penuturan eyang gurunya. Bagaimanapun juga, selama sepuluh tahun mereka senantiasa berdua. Susah senang mereka jalani bersama. Tapi, tiba-tiba kini mereka harus berpisah. Siapa pun pasti akan merasa sedih.
"Sena, jangan kau pikirkan perpisahan antara kita, sebab hal itu adalah kenyataan hidup setiap manusia. Di mana ada pertemuan, tentu ada perpisahan.
Kau telah dewasa, telah mewarisi seluruh 'Ilmu Silat Si Gila'...."
Kembali orang tua sakti itu menghentikan ucapannya. Dihelanya napas sebelum meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, ilmu seseorang tidak berarti sama sekali jika digunakan untuk kejahatan. Dan harus kau ingat pula, bahwa sesungguhnya ilmu yang dimiliki manusia hanya bagai setetes air di lautan dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Hyang Widhi. Kau paham, Sena...?" pesan Singo Edan, amat menggiris.
"Paham, Eyang...," sahut Sena masih menunduk.
"Bagus.... Dengan begitu, kau tidak akan tersesat nantinya. Kemudian yang perlu kau ingat juga, jangan menaburkan benih permusuhan dalam hidupmu. Buanglah rasa dendam di hatimu, sebab dendam adalah setan."
"Baik, Eyang.... Semua yang Eyang petuahkan, akan senantiasa kuingat," jawab Sena.
Singo Edan mengangguk-angguk, sementara tangannya mengelus-elus jenggotnya yang semakin memutih.
"Satu lagi yang ingin kukatakan padamu, Sena."
"Kalau Eyang berkenan, katakanlah. Sebab semua petuah Eyang adalah penerang jalan hidupku yang masih buta," tutur Sena, penuh hormat.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik, dan camkan. Pepatah mengatakan; Jangan melawan badai, jika kau tak mampu. Dan jangan melawan arus jika kau tak memiliki pegangan. Kau tahu artinya, Sena...?" tanya Singo Edan.
"Ampun, Eyang.... Aku masih terlalu buta dan bodoh untuk mengurai maksud peribahasa itu," jawab Sena merendah. Dan hal itu yang menjadikan Singo Edan semakin kagum terhadap muridnya. Ternyata sang Murid bukan hanya cerdas, namun kepribadiannya pun sangat luhur.
Singo Edan tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Sena sesungguhnya memahami apa maksud peribahasa itu. Tapi pemuda itu tampaknya lebih suka merendah.
"Sena, arti peribahasa itu begini.... Seorang manusia seharusnya jangan menyombongkan diri hingga membuatnya mencelakakan diri sendiri. Seorang manusia seharusnya jangan bertindak tanpa pertimbangan, hingga tindakannya menjadi sia-sia belaka. Bukan mendapatkan yang terbaik, justru akan mencelakakan diri sendiri. Nah, kau paham...?"
"Paham, Eyang...."
"Nah, kini tidak ada lagi yang dapat Eyang berikan padamu. Hanya suling ini yang masih tersisa di tangan Eyang.
Suling ini pun akan Eyang berikan padamu. Terimalah Anggaplah suling ini sebagian hidupmu. Jagalah baik-baik, jangan sampai jatuh ke tangan manusia-manusia berhati iblis, sebab akan menimbulkan celaka," tutur Singo Edan memberi petuah dengan penuh penekanan pada setiap kata yang terucap. "Hm.... Mari ikut aku, biar kutunjukkan keistimewaan suling sakti ini."
Segera kaki Singo Edan melangkah ke ruang lain yang luas dalam gua itu. Singo Edan lalu memperagakan sesuatu. Suling itu dihentakkannya ke depan dan seketika batu-batu yang ada dalam gua ituterlempar berhamburan disertai angin kencang.
"Ini sebagian dari kesaktian suling ini," ujar Singo Edan setelah memperagakan kesaktian suling sakti itu, membuat Sena berdecak kagum.
Setelah itu, Singo Edan memberikan suling di tangannya pada Sena yang langsung menerimanya. Sekilas diamatinya suling berwarna perak yang pada satu ujungnya terukir kepala naga. Itulah Suling Naga Sakti, yang sampai saat ini menjadi incaran kaum rimba persilatan.
"Kini lengkap sudah semua yang kau miliki. Semua milik Pendekar Gila telah kau dapatkan. Pergilah dari Gua Setan ini. Banyak orang yang membutuhkan pertolongan dan uluran tanganmu. Ber-jalanlah di jalan yang lurus, jangan sesekali berpaling ke jalan yang sesat," tutur Singo Edan seraya membelai rambut pemuda itu.
"Terima kasih, Eyang.... Sungguh besar jasamu padaku. Entah dengan cara apa aku yang bodoh dan tiada guna ini dapat membalasnya."
"Sudah, jangan pikirkan hal itu. Eyang akan senang, jika kau dapat membantu orang yang memerlukan pertolonganmu. Pergilah ke arah selatan, di sana akan kau temukan pintu keluar dari gua ini. Ingat, jangan kembali ke Gua Setan ini," tegas Singo Edan.
"Baik, Eyang. Aku mohon pamit..."
Sena menjura hormat dengan membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan masih membungkuk, pemuda itu bangkit dari duduknya, melangkah mundur meninggalkan orang tua yang masih duduk di atas batu datar.
Di bibir orang tua itu tersungging senyum kepuasan. Hatinya merasa tenang, sebab kini telah ada penggantinya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi.
"Semoga Hyang Widhi senantiasa melindungimu, Cucuku," desis orang tua itu lirih. Matanya pun segera dipejamkan, seolah berusaha menahan rasa haru yang menyelinap di harinya.
***
Pemuda berbadan tegap serta berwajah tampan dengan pakaian terbuat dari kulit ular sanca itu masih melangkah menyusuri lorong-lorong gua, meninggalkan eyang gurunya yang semakin jauh. Pemuda itu tidak lain adalah Sena Manggala.
Kakinya terus menyelusuri lorong gua, mencari jalan keluar yang ditunjukkan oleh gurunya. Lama pemuda itu menyelusuri lorong gua, hingga akhirnya matanya melihat sebuah sinar terang menyeruak masuk ke dalam.
"Hm, tentunya itu sinar dari luar. Tidak salah lagi, itu memang pintu gua," kata Sena sambil mempercepat langkahnya menuju ke arah sumber sinar yang menerobos masuk. Lorong gua yang berliku, menjadikan sinar itu tidak tembus ke dalam. Dan tentunya orang lain tidak akan menyangka ada jalan keluar dari lorong itu.
Benar juga dugaannya. Ketika tiba di mulut gua, terlihat laut yang luas membentang. Dan ketika kepalanya menengadah ke atas, ternyata pintu gua itu terpayungi batu cadas, sehingga tidak terlihat dari atas sana.
"Heh Bagaimana aku bisa ke luar?
Di hadapanku laut, sedang di atasku batu," gumam pemuda itu seperti kebingungan. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya cengar-cengir seperti melihat hal lucu.
"Ah, bodohnya aku Kenapa aku tidak mencoba dengan menggunakan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam?"
Setelah mengangguk-angguk sambil tersenyum, Sena menyurutkan kakinya tiga langkah ke belakang. Lalu sambil tertawa, dia melesat laksana terbang. Tubuhnya meluncur lurus di atas permukaan air laut, lalu berputar ke atas bagai menunggang angin, dan dengan ringan kakinya dijejakkan di atas batu cadas yang menutupi mulut gua.
"Huh, segar sekali udara di sini. Hm, inikah dunia bebas?"
Bibirnya kembali cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Kemudian diambilnya suling yang terselip di pinggang. Lama suling itu diamati seraya menimangnya perlahan.
"Aku harus menjaga suling ini baik-baik," gumam Sena seperti berjanji pada diri sendiri.
Sena kembali menimang-nimang suling itu. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk meniup suling sekadar menghibur diri. Disatukan bibirnya pada ujung suling berbentuk kepala naga, kemudian di tiupnya.
Suara suling mengalun merdu, berkumandang ke seluruh pelosok dan menyelusup di pucuk-pucuk pohon kelapa yang tumbuh di sekitar daerah itu.
Semakin lama, suara suling itu kian tinggi. Dan....Darrr
Ledakan terjadi, ketika lengking suling membentur sebatang pohon kelapa. Kejadian itu menyentakkan Sena, hingga segera menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya membuka lebar dan mulutnya menganga melihat sesuatu yang dahsyat Pohon kelapa itu terbakar hangus, kemudian tumbang dengan daun-daunnya yang mengering hangus.
"Oh.... Tidak salahkah yang kulihat?" tanya Sena pada diri sendiri setengah bergumam. Matanya menyapu ke segenap penjuru tempat itu. Tidak ditemukan adanya orang lain. Berarti, pohon kelapa besar itu terbakar dan tumbang oleh suara sulingnya. "Oh, sungguh dahsyat suara suling ini. Eyang, pemberianmu ini sungguh-sungguh benda pusaka yang sangat hebat. Pantas kau begitu sungguh-sungguh berpesan padaku."
Angin Laut Selatan bertiup ramah, mengantar kesejukan. Gelombang laut masih bergulung, berusaha menggempur batu karang. Pemuda tampan dengan rompi kulit ular itu masih mematung setelah menyelipkan sulingnya pada sabuk kulit ular yang melilit pinggangnya. Dia masih bingung ke mana harus melangkah. Dunia bebas ini masih sangat asing baginya.
"Ah, bodohnya aku"
Kembali Sena menepuk keningnya perlahan, seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Bukankah aku punya kaki? Kenapa mesti bingung?"
Usai berkata begitu, kakinya melangkah mantap meninggalkan Pantai Selatan di mana pintu rahasia Gua Setan berada. Sena hanya mengikuti kata hati, melangkah tanpa tujuan yang pasti.
***
Sinar matahari pagi membelai hangat. Sebuah kedai telah dibuka oleh pemiliknya sejak kokok ayam pertama terdengar. Empat orang lelaki bertampang kasar memperlihatkan kebengisan masuk ke kedai itu. Tingkah mereka tidak sopan, menandakan kalau keempat lelaki itu bukan orang baik-baik. Dilihat dari golok yang tergantung di pinggang, jelas keempat lelaki berwajah bengis itu dari rimba persilatan.
"Sediakan arak empat guci, cepat" seru seorang dari mereka. Tangannya dengan keras menggebrak meja di depannya.
Brak
Pemilik kedai dengan wajah ketakutan, tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Tubuhnya menggigil, karena rasa takut tidak alang kepalang.
"Maaf, Aden sekalian minta apa?" tanya pemilik kedai itu, dengan suara bergetar.
"Goblok Apa telingamu tuli, hah?
Cepat sediakan empat guci arak, juga makanan yang enak" bentak orang yang tadi menggebrak meja.
"Ba..., baik," jawab pemilik kedai semakin bertambah ketakutan.
Lalu, tanpa banyak tanya lagi dia tergopoh-gopoh berlalu. Tidak lama kemudian, bersama seorang pelayan, laki-laki tua itu membawa empat guci arak serta makanan-makanan lezat
"Cepat.." bentak orang itu lagi tak sabar.
"I..., iya, Den," sahut pemilik kedai.
Dengan tubuh gemetar ditaruhnya empat guci arak di meja. Sedangkan pelayannya menaruh makanan-makanan permintaan keempat lelaki kasar itu. Keempat lelaki kasar itu terbahak-bahak melihat wajah pucat pasi pemilik kedai yang masih berdiri di samping mereka dengan tubuh gemetaran.
"Heh, kenapa kau masih di sini?" tanya orang kedua dari mereka. Nada suaranya tidak sekasar orang pertama.
"Maaf, Den.... Barangkali masih ada yang dipesan?" tanya pemilik kedai, mencoba tersenyum meski terlihat kaku.
"Apa? Pesan...? Siapa yang pesan? Apakah kau belum tahu siapa aku? Kau belum tahu kami, ya? Dengar, kami adalah Empat Iblis dari Kranggeng, anak buah Segoro Wedi" tutur orang pertama dengan suara keras, seakan ingin menyombongkan diri dengan menyebut Segoro Wedi sebagai tokoh sesat yang sangat ditakuti.
"Ampunilah hamba yang buta ini...," ujar orang tua pemilik kedai setelah mendengar penuturan tadi.
"Baik, pergi cepat Jangan sampai aku muak"
Tanpa diperintah dua kali, orang tua itu berlalu meninggalkan mereka. Bukan hanya pemilik kedai yang ketakutan setelah tahu siapa keempat lelaki beringas dan kasar itu. Para pengunjung kedai juga begitu. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru. Di wajah mereka terlukis rasa takut luar biasa.
Semakin pongah saja keempat lelaki bertampang beringas dan kasar itu, merasa kalau semua orang takut kepada mereka. Dengan tertawa-tawa, mereka menyantap makanan. Tapi tawa mereka seketika terhenti ketika dari luar terdengar tawa yang mampu menggetarkan hati mereka.
"He he he.... Ha ha ha... Lucu..., lucu sekali. Iblis-iblis sekarang bergentayangan Ah, dunia ini aneh sekali," ujar sebuah suara, dibarengi dengan munculnya seorang pemuda tampan berompi kulit ular. Pemuda itu tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sesekali menggeleng. Sedangkan mulutnya cengengesan persis orang gila.
"Bocah edan Siapa kau? Lancang sekali ucapanmu Apakah kau tidak tahu kami, hah?" bentak salah seorang dari Empat Iblis dari Kranggeng. Wajahnya yang beringas semakin bertambah beringas karena marah. Tapi pemuda yang dibentak bukan takut, malah semakin memperkeras tawanya sambil menggaruk-garuk kepala.
"He he he.....Bukankah tadi kau mengatakan kalian berempat iblis?" balik pemuda itu dengan maksud mengejek.
Tangannya terus menggaruk-garuk kepala serta mulutnya cengengesan. Kemudian dengan tingkah laku seperti orang gila, pemuda yang ternyata Sena Manggala itu kembali berkata, "Ah, lucu.... Seharusnya orang seusia kalian belum pikun. Tapi...
Yah, mungkin inilah dunia. Ternyata iblis pun bisa pikun...,"
Merah membara wajah Empat Iblis dari Kranggeng mendengar ocehan pemuda gila itu. Salah seorang dari mereka melontarkan paha ayam ke arah si pemuda, disertai tenaga dalam penuh.
"Nih untukmu, terimalah Lalu pergi dari sini, jangan sampai kesabaran kami hilang"
Paha ayam yang masih utuh itu melesat seperti mata anak panah ke arah si pemuda. Tapi dengan enteng, Sena menangkapnya. Hal itu membuat Empat Iblis dari Kranggeng cukup terkejut. Sedang pemuda itu dengan santai menggeragoti daging ayam.
"Terima kasih, kau baik sekali.
Terimalah tulang ini. He he he..." ujar Sena setelah paha ayam itu tinggal tulang.
Tulang ayam itu melesat cepat, mengejutkan Empat iblis dari Kranggeng. Mata mereka menegang, tidak menyangka lemparan pemuda itu sangat kuat. Mau tidak mau mereka merundukkan kepala agar tidak terkena sambaran tulang itu Wesss
Tulang itu meluncur tepat di atas rambut mereka, lalu akhirnya tertanam dalam pada sebatang pohon yang ada di samping kedai. Semakin terbuka lebar mata keempat lelaki beringas itu menyaksikan pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa itu.
Namun kepongahan rupanya membuat mereka buta pada ilmu pemuda yang jauh berada di atas mereka. Didahului bentakan, Empat Iblis dari Kranggeng mencabut golok dan menyerang pemuda yang masih tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar Rupanya kau perlu dihajar"
Sena agak terkejut mendapat serangan begitu cepat dari keempat lelaki yang menamakan dirinya Empat Iblis dari Kranggeng itu. Ia memang belum banyak pengalaman dalam rimba persilatan yang penuh kelicikan dan tipu daya. Tapi nalurinya menuntun agar serangan itu dielakkannya.
Dengan satu lentingan indah, dimentahkannya serangan ganas itu. Menyebabkan golok para penyerang beradu di tempat kosong.
Trang
Sena kembali cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu pantatnya ditepuk berulang kali.
"Kenapa kalian mengeroyokku? Wah, celaka Kalian benar-benar orang jahat"
"Kurang ajar Kurencah tubuhmu, Bocah Sinting" dengus orang pertama dari Empat Iblis dari Kranggeng. Lalu dengan penuh amarah tubuhnya melesat untuk memburu pemuda itu, diikuti oleh ketiga temannya.
"Heaaa..."
***
ENAM
Semua orang yang menyaksikan pemuda itu dikeroyok oleh Empat Iblis dari Kranggeng turut tegang. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda tampan yang bertingkah seperti orang gila itu akan menjadi korban keberingasan dan kekejaman mereka.
Namun untuk membantu pemuda itu, mereka tidak berani. Mereka tahu, siapa Empat Iblis dari Kranggeng, terlebih dengan Segoro Wedi. Tokoh yang terakhir, akhir-akhir ini sangat ditakuti, baik oleh tokoh rimba persilatan atau oleh tokoh kebanyakan. Dia ditakuti karena kekejamannya.
Belum ada tokoh rimba persilatan yang mampu menghadang sepak terjangnya. Semua yang mencoba menghalangi, tak ada yang dibiarkan hidup. Mereka dibantai bagai binatang tak berharga. Kini seorang pemuda berani menghadapi Empat Iblis dari Kranggeng, itu berarti secara tak langsung telah menantang pimpinan mereka.
"Benar-benar nekat pemuda gila itu.
Apakah dia tidak takut terhadap Segoro Wedi?" gumam pemilik kedai yang masih menyaksikan jalannya pertarungan antara Sena melawan Empat Iblis dari Kranggeng, begundal Segoro Wedi.
"Namanya saja pemuda gila. Mana ada sih, orang gila yang takut?" sambung temannya.
"Iya, ya.... Tapi kasihan juga dia; semuda itu sudah gila," kata pemilik kedai seraya menghela napas. "Semoga pemuda gila itu bisa menang. Muak rasanya aku melihat tingkah laku bajingan-bajingan itu."
"Benar Mereka bukan hanya kejam, tapi juga menculik gadis dan memperkosanya. Tindakan mereka benar-benar seperti iblis" rutuk teman bicaranya.
Apa yang diharapkan kedua orang itu menjadi kenyataan. Pemuda tampan yang tindak-tanduknya seperti orang gila itu kini mampu menguasai keadaan. Bahkan kini dia mendesak Empat Iblis dari Kranggeng dengan jurus-jurus yang aneh. Jurus-jurus yang menyerupai orang gila tengah menari-nari dan sesekali tampak menepuk gemulai itu, ternyata mampu membuat keempat lawannya kewalahan.
Semua orang yang melihat pertarungan itu pun membelalakkan mata dengan mulut berdecak kagum melihat gerakan pemuda aneh itu. Gerakannya memang kelihatan lambat, namun sesungguhnya sangat dahsyat dan cepat, karena disertai tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Berkali-kali pemuda itu terkepung serangan golok Empat Iblis dari Kranggeng. Tapi berkali-kali pula pemuda itu mematahkan serangan lawan, hanya dengan jurus-jurus yang terlihat sangat lemah dan lucu.
Kalau orang yang tidak mengerti ilmu silat, mungkin melihat gerakan pemuda itu hanyalah sebuah gerakan main-main. Untuk apa tangannya menepuk? Untuk apa tubuhnya meliuk-liuk seperti menari?
Padahal dia dalam ancaman maut keempat lawan yang menyerang bertubi-tubi. Tapi bagi yang tahu ilmu silat, justru akan berpikir seribu kali untuk menghadapi gerakan aneh pemuda itu.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', salah satu jurus langka yang pernah menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun silam milik seorang pendekar gila yang bernama Singo Edan.
Dan selama itu pula, belum ada yang mengalahkannya. Kini jurus itu kembali muncul, lewat seorang pemuda bau kencur yang aneh. Kalau saja Empat Iblis dari Kranggeng tahu, tentunya mereka akan berpikir berulang kali untuk menghadapi jurus itu.
"Bocah edan Rupanya kau memiliki ilmu juga, heh?" bentak orang pertama dari Empat Iblis dari Kranggeng. "Jangan bangga dulu, Bocah Kalau sejak tadi kau bisa mematahkan serangan kami, maka kali ini nyawamu akan hilang. Terimalah jurus 'Empat Golok Iblis Membelah Bumi'.
Heaaa..."
Empat Iblis dari Kranggeng merangsek cepat. Mula-mula mereka mengangkat golok masing-masing ke atas kepala. Kemudian menebaskan ke muka, disusul dengan tebasan ke samping kiri dan kanan. Gerakan mereka serempak, sehingga rasanya sangat sulit bagi Sena untuk dapat melepaskan diri dari serangan itu.
"Celaka... O, matilah aku...," keluh pemuda itu sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya tetap cengengesan, layaknya orang gila.
"Belah tubuhmu, Bocah Edan..."
Empat bilah golok di tangan lawan mengarah dari atas ke kepalanya. Sena tersentak merasakan angin tebasan. Segera nalurinya memerintah agar dia mengelak.
Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan Benang', pemuda itu mencoba menyelamatkan diri dari maut Sebuah gerakan aneh seperti melepaskan lilitan benang yang menjerat tubuh, ternyata mampu menyelamatkan nyawanya. Kini dengan menggerakkan tangan, pemuda itu malah menghantamkan cengkeraman ke selangkangan salah seorang dari pengeroyoknya.
Crak
"Akh..." jerit orang itu sambil melepaskan goloknya dari genggaman lalu beralih memegangi kemaluannya yang pecah.
Orang itu melotot sesaat, kemudian terjerembab dengan tubuh bergelinjang sekarat lalu mati. Ketiga temannya tersentak. Tubuh mereka tegang menyaksikan kematian salah seorang teman mereka. Kemarahan mereka kian membeludak. Kemudian dengan mendengus, ketiganya kembali menyerang ke arah Sena dengan membabi buta.
Hal itu sebenarnya sangat menguntungkan bagi Sena karena mereka tak mempedulikan keselamatan diri sendiri. Dada mereka dipenuhi nafsu untuk segera membinasakan pemuda gila yang telah membunuh salah satu temannya.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan"
"Heaaa..."
Pemuda gila itu menggaruk-garuk kepala. Setelah cengengesan, sekali lagi pantatnya ditepuk, yang membuat pengeroyoknya semakin marah dan langsung menggebrak dengan babatan golok.
"Mampus kau..." bentak orang kedua dari Empat Iblis dari Kranggeng.
Golok itu melesat cepat ke arah Sena, namun dengan gerakan aneh tubuhnya berhasil luput dari serangan. Malah tanpa diduga, tangannya menepak ke kening si penyerang.
Plak
"Akh..." jerit orang itu. Tubuhnya meluncur deras ke belakang dengan tangan memegangi keningnya yang hancur. Tulang tengkorak kepalanya pecah, sehingga dari mata, hidung, dan telinganya mengalir darah segar. Untuk sesaat tubuh orang itu mengejang, kemudian lunglai tanpa nyawa.
Sena bertepuk tangan sambil berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Tangannya sesekali menggaruk-garuk kepala, atau menepuk-nepuk pantat sambil tertawa-tawa girang. Seakan apa yang terjadi hanya kejadian lucu yang mengundang tawanya. Hal itu membuat sisa pengeroyoknya semakin murka. Satu orang kembali melesat sambil membabatkan goloknya. Orang inilah yang sangat bengis di antara mereka.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan... Heaaa..."
Golok di tangannya ganas mengancam kepala pemuda tampan itu. Sebentar lagi, kepala Sena akan menjadi sasaran empuk. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu menjadi bergidik ngeri.
Tapi dugaan mereka meleset, dalam sekejap pemuda itu menggeserkan kakinya dengan melebar ke samping. Kemudian, mendorong miring tubuhnya ke arah kaki yang melebar.
Tangan lawan yang menggenggam golok melesat cepat di sampingnya. Secepat itu pula, tangan Sena mencengkeram per-gelangan tangan lawan, lalu tubuh lawan yang tengah melesat dibantingnya dengan kuat
Bugkh
"Akh..."
Orang itu menjerit. Tulang punggungnya langsung remuk akibat bantingan tadi. Sesaat mata orang itu mendelik bagai hendak melompat keluar. Kemudian diam tak berkutik dengan mulut bersimbah darah.
Seorang lawannya yang masih hidup seketika ciut nyalinya menyaksikan bagaimana ketiga rekannya mati. Lelaki berwajah kasar itu mendadak pucat pasti, dan serta merta meminta ampun pada pemuda itu.
"Ampunilah aku, Anak Muda," ratapnya mengiba.
Pemuda tampan itu tertawa, seakan menganggap hal itu lucu. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepalanya yang digeleng-gelengkan perlahan.
"Lucu... Baru kali ini aku melihat hal yang amat lucu. Tadi kau menunjukkan kebengisanmu. Mengapa kini kau seperti tikus pikun?" ujar Sena kembali terbahak bahak. "Dunia ini memang aneh,... Ada kalanya orang yang mengaku waras, bertindak seperti orang tak waras. Tapi sebaliknya, orang yang dianggap tak waras, malah bertingkah bagaikan orang waras. Ah, benar-benar lucu...."
Semua tertegun menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang dengan seenak perutnya berlalu sambil bernyanyi meninggalkan semua orang. Termasuk seorang lawan yang terpaku bengong.
"Pendekar Gila..." gumam lelaki kasar itu, sambil menatap punggung Sena yang makin lama makin jauh.
Sementara itu kasak-kusuk merambat di sekitar arena pertarungan, bagai satu upacara untuk kepergian Sena Manggala.
"Ternyata pemuda gila itu seorang pendekar. Pendekar Gila Dari mana dia datang?" gumam pemilik kedai dengan nada kagum setelah menyadari siapa sesungguhnya pemuda gila yang telah mampu mengalahkan keempat tangan kanan Segoro Wedi.
"Ck, ck, ck..." decak temannya.
"Hebat Baru kali ini aku melihat Pendekar Gila yang sering kudengar. Ternyata orangnya masih muda."
"Bukankah Pendekar Gila hidup pada puluhan tahun yang silam?" tanya yang lainnya terheran-heran.
"Mungkin dia muridnya," sahut temannya.
Sejak itulah, orang-orang membicarakan pemuda gila itu. Tidak hanya rakyat biasa, tapi tokoh-tokoh rimba persilatan pun mulai membicarakan kehadiran seorang pemuda yang berulah gila-gilaan. Tetapi ilmu silatnya sangat sakti. Dan, setiap Sena Manggala muncul mereka menyebutnya Pendekar Gila.
***
Segoro Wedi tengah berkumpul di ruangan besar dengan ketujuh kaki tangannya, termasuk seorang wanita cantik bernama Nyi Bangil yang baru saja menjadi anggota. Seperti saat ini, ruangan itu dipakai mereka untuk berembuk menentukan langkah yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Ada dua pengikut baru Segoro Wedi. Salah satunya Nyi Bangil, wanita cantik menggairahkan yang sesungguhnya mencintai Segoro Wedi. Hingga karena cintanya, wanita itu rela mengabdi pada Segoro Wedi. Tapi selama ini, cintanya dipermainkan oleh Segoro Wedi. Dia hanya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki berjubah merah yang kini duduk di singgasana kepemimpinan.
Berulang kali Nyi Bangil meminta pertanggungjawaban dari sang Pemimpin, tetapi semuanya tiada guna. Segoro Wedi selalu berjanji dan berjanji. Malah sering berbuat kasar jika dia terlalu mendesaknya. Hal itulah yang membuat wanita cantik bertubuh sintal itu menyimpan dendam cinta di hatinya. Tapi apa dayanya saat itu?
Segoro Wedi terlalu kuat baginya. Apalagi dengan kelima begundalnya. Hingga akhirnya dia hanya mampu menerima nasib, sambil menunggu datangnya penolong yang akan membebaskannya dari belenggu cinta.
Seorang lagi adalah lelaki bertubuh ceking bermata sayu. Mungkin hal itu disebabkan karena dia selalu meminum tuak. Ke mana-mana, selalu dibawanya guci berisi tuak. Hingga dia dijuluki Tuak Iblis.
"Sahabat-sahabat sekalian, sengaja kuundang kalian karena aku ada rencana," kata Segoro Wedi membuka pertemuan dengan ketujuh kaki tangannya. "Tentunya kalian telah tahu, setiap rencana yang aku ungkapkan adalah rencana besar."
"Benar, Ketua...," sahut Pedang Akhirat.
Segoro Wedi bangun dari singgasananya, lalu berdiri tegak sambil menopang tangan kanan yang mengelus jenggot dengan tangan kiri. Tatapan matanya tajam serta lurus ke muka.
"Kalian tahu apa rencanaku?" tanyanya tiba-tiba.
"Menyerang sebuah perguruan, Ketua...?" tanya Sepasang Hantu dari Kelangit hampir bersamaan. Segoro Wedi menggelengkan kepalanya.
"Bukan itu. Semua perguruan di wilayah ini telah kita taklukkan...," jawab Segoro Wedi.
"Rasa-rasanya, kedudukan kita telah kuat"
"Mungkin Ketua hendak menyerang kadipaten?" tanya Raja Setan Muka Ular.
"Tidak perlu, Raja Setan Muka Ular.
Bagaimanapun juga, adipati masih ada hubungan saudara denganku. Lagi pula, untuk apa merebut kadipaten? Kalau kedudukanku kini jauh lebih enak dan lebih berpengaruh?" ujar Segoro Wedi sambil melepas tawa terkekeh, menjadikan keenam rekan lelakinya turut tertawa.
Hanya Nyi Bangil yang diam, dengan wajah agak merengut.
"Memang benar apa yang Ketua katakan," tukas Kapak Iblis, bernada menjilat. Kemudian setelah melihat ketuanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala, Kapak Iblis melanjutkan kata-katanya. "Kalau boleh kami tahu, rencana apa yang hendak Ketua sampaikan pada kami dan harus kami laksanakan?"
Segoro Wedi tidak langsung menjawab, tapi dia kini berjalan ke samping kanan. Matanya menatap ke dinding, di mana sebuah lukisan seorang wanita cantik bernama Dewi Rukmini terpajang. Ditatapnya wajah yang cantik jelita dan membuatnya begitu tergila-gila dalam lukisan itu.
Semua terdiam, tanpa seorang pun berbicara. Sedangkan Nyi Bangil menjadi geram menyaksikan Segoro Wedi memandangi lukisan itu. Kau benar-benar bajingan, Segoro Wedi Kau permainkan aku Kau jadikan aku pelampias nafsumu Huh, tunggulah pembalasanku Geramnya dalam hati. Segoro Wedi membalikkan tubuh dan kembali memandang ketujuh kaki tangannya sambil berkata.
"Apakah kalian telah mendengar bahwa besok akan datang seorang saudagar Cina?" tanya Segoro Wedi.
"Belum, Ketua...," sahut ketujuh kaki tangannya hampir berbareng, termasuk Nyi Bangil yang berusaha memendam dendam cinta di harinya.
"Hm apakah kalian tidak menerima laporan tentang hal itu dari Prangga yang memimpin di laut?" kembali Segoro Wedi bertanya.
"Ampun, Ketua. Prangga sama sekali tidak menceritakan pada kami," sahut ketujuh kaki tangannya setelah saling pandang sejenak.
Kembali kepala Segoro Wedi mengangguk-angguk. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Hal itu menjadikan ketujuh kaki tangannya bertanya-tanya dalam hati, sebab mereka merasa heran melihat senyumnya. Selama ini, ketua mereka tak pernah tersenyum selebar itu. Kalaupun bibirnya tersenyum, sekadar senyum kecil. Itulah yang menimbulkan tanda tanya di hati mereka.
Ada apa gerangan dengan sang Ketua? Tak ada seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya diam membisu dengan menyimpan pertanyaan dalam hati.
"Dengar Besok kapal saudagar itu akan merapat ke pesisir. Untuk itu, kuharap kalian dapat menanganinya.
Prangga dan anak buahnya tak mampu menghadapi pengawal saudagar yang terdiri dari sepuluh pendekar muda dari Cina."
"Jadi kami harus menumpas mereka semua, Ketua?" tanya Tuak Iblis, memberanikan diri.
Mata Segoro Wedi langsung melotot pada Tuak Iblis yang segera menundukkan kepala:
"Bodoh Apakah kau tahu, bahwa di kapal itu ada seorang gadis Cina yang cantik? Kalian boleh menumpas semuanya.
Tapi ingat, kalian harus bisa membawa gadis itu hidup-hidup ke hadapanku untuk kujadikan istri Mengerti...?" bentak Segoro Wedi keras, hingga ketujuh kaki tangannya sampai terlonjak karena kaget
"Mengerti, Ketua...," jawab mereka serentak sambil menundukkan kepala, tak berani beradu pandang dengan mata bengis Segoro Wedi. Mereka tahu, berani menentang berarti kematian
"Besok, siapkan pasukan secukupnya. Tugas ini aku percayakan pada kalian. Dan ingat, jika sampai gagal maka leher kalian sebagai gantinya" ancam Segoro Wedi, membuat bulu kuduk mereka seketika berdiri. Mereka tahu, ancaman ketuanya tidak main-main.
"Baik, Ketua," sahut mereka.
Tengah mereka rapat, tiba-tiba masuk seorang lelaki yang mereka kenal dengan tergopoh-gopoh. Lelaki yang tidak lain salah seorang dari Empat Iblis dari Kranggeng, memperlihatkan wajah pucat. Hal itu menjadikan Segoro Wedi mengerutkan kening.
"Ada apa, Wangsana? Kau seperti ketakutan, dan di mana ketiga saudara seperguruanmu?" tanya Segoro Wedi.
"Ampun, Ketua.... Aku datang untuk melaporkan sesuatu," jawab Wangsana terbata-bata. Napasnya turun-naik setelah berlari tiada henti.
"Katakanlah"
Dengan wajah masih ketakutan, Wangsana pun menceritakan bentrokan antara dia dan ketiga saudara seperguruannya dengan seorang pemuda gila yang memiliki kesaktian luar biasa.
Sampai mereka mengalami kekalahan. Bahkan, tiga saudara seperguruannya mati terbunuh. Hanya dia yang selamat dan sampai di tempat itu. Mendengar cerita Wangsana, pimpinan dunia hitam itu kelihatan sangat gusar. Napasnya terdengar mendengus berat.
"Kenapa kau tidak sekalian mampus saja bersama mereka, Wangsana?
Menghadapi pemuda gila saja kalian tidak becus Kau tidak berguna lagi bagiku. Pengawal, tangkap orang ini Pancung di depan, hingga semua melihatnya" perintah Segoro Wedi, membuat semua mata terbelalak kaget.
Wangsana menggigil ketakutan. Mulutnya meratap agar mendapat ampunan dari ketuanya. Bahkan kaki Segoro Wedi diciuminya dengan merengek-rengek. Tapi semua itu tiada arti. Sekali keputusan diucapkan, maka hukuman harus dilaksanakan.
"Ketua, ampunilah nyawa hamba....Ampunilah...."
"Tak ada ampun bagi orang sepertimu" dengus Segoro Wedi "Kalian lihai sendiri bukan? Kalau sampai besok kalian gagal, maka kalian pun akan mengalami hal seperti anjing itu"
Semua tertunduk tanpa ada yang berani berbicara. Bahkan ketika pengawal yang bertubuh besar dan kokoh menyeret tubuh Wangsana, tak seorang pun berani melihatnya.
"Sekarang kalian boleh bubar untuk mempersiapkan apa yang akan kalian lakukan besok" perintah Segoro Wedi.
Ketujuh kaki tangannya segera bangkit lalu menjura hormat Ketika mereka hendak pergi, Segoro Wedi memanggil salah seorang dari mereka.
"Nyi Bangil, jangan pergi"
Wanita cantik bertubuh sintal yang di hatinya memendam dendam karena cintanya tak terbalas, menghentikan langkahnya. Sakit sekali hatinya saat itu. Dia tahu, tentunya Segoro Wedi ingin melampiaskan nafsunya lagi.
Segoro Wedi menghampiri wanita cantik dan menggairahkan itu. bibirnya tersenyum, kemudian tangannya merangkul pundak Nyi Bangil.
"Ikutlah aku, Nyi...," ajaknya ramah.
Nyi Bangil tahu kalau keramahan itu hanya ada di saat-saat tubuhnya dibutuhkan. Setelah itu, dia akan kembali seperti semula. Melihat Nyi Bangil cemberut Segoro Wedi mengerutkan kening,
"Ada apa, Nyi? Mengapa wajahmu begitu?"
Nyi Bangil menatap tajam ke arah Segoro Wedi. Sorot matanya menyiratkan kebencian.
"Kapan kau akan menjadikan aku istri, Segoro Wedi?"
Segoro Wedi tersenyum. Diajaknya Nyi Bangil melangkah masuk ke dalam kamarnya. Kemudian setelah menutup pintu, tangan Segoro Wedi membuka pakaian yang dikenakan Nyi Bangil yang berusaha menolak.
"Katakan, kapan...?"
"Jangan mendesakku, Nyi" bentak Segoro Wedi kasar. Lalu tangannya dengan kasar merenggut pakaian wanita itu hingga lepas dari tubuhnya.
Nyi Bangil tak dapat berbuat apa-apa, kecuali menuruti apa yang diinginkan oleh ketuanya. Dendam di hatinya semakin menganga dalam karena cinta yang tak terbalas.
***
TUJUH
Dari kejauhan tampak sebuah kapal layar melaju menuju pesisir. Kapal itulah yang tengah dinanti oleh anak buah Segoro Wedi. Kapal yang membawa saudagar kaya dari dataran Cina dengan gadis cantik jelita.
Beberapa orang tampak berdiri di atas perahu dengan mata memandang pesisir yang hendak mereka singgahi. Ada sepuluh orang lebih di atas perahu itu. Dilihat dari sorot mata mereka yang tajam bagai elang dan pedang yang tergantung di punggung, sudah dapat dipastikan kalau kesepuluh pemuda tersebut adalah para pendekar yang mengawal saudagar kaya itu.
Sepuluh pendekar Cina itu terus mengawasi pesisir di mana sebentar lagi kapal mereka akan merapat. Mereka kelihatannya waspada, mungkin karena kejadian di laut tempo hari saat kapal mereka diserang sekelompok bajak laut.
Mereka yakin kalau bajak laut yang masih hidup dan tidak sempat mereka tangkap telah melapor pada pimpinannya. Tidak tertutup kemungkinan, kalau kedatangan mereka diawasi oleh kawanan perompak itu.
"Waspadalah, tentunya bajak laut yang tempo hari lolos telah melaporkan pada pimpinannya. Tidak tertutup kemungkinan, kedatangan kita diawasi mereka," kata seorang pendekar bertubuh tinggi tegap dalam bahasa Cina. Tentunya pendekar ini yang menjadi pemimpin dari sembilan pendekar lainnya.
Di dada pemimpin pendekar dari daratan Cina itu tertera sebuah lambang seekor naga berwarna hijau dengan sepasang pedang menyilang. Gambar itu mengandung arti kalau pendekar itu berasal dari Perguruan Naga Hijau, sebuah perguruan besar di Cina yang banyak menghasilkan pendekar-pendekar tangguh dan digdaya. Dia adalah kakak perguruan tertua dari sembilan Pendekar Naga Hijau lain di kapal layar itu.
"Baik, Koko Han Jin. Kami senantiasa siap menjaga kemungkinan yang akan terjadi. Kami siap mempertaruhkan nyawa untuk melindungi Koh Lie dan Nona Cin Mei Lie," sahut salah seorang adik seperguruannya.
"Bagus Sebagai seorang pendekar, kita harus bisa menjaga nama baik Perguruan Naga Hijau. Bersiaplah, sebab sebentar lagi kapal akan mendarat..," pesan pemimpin rombongan yang bernama Han Jin pada adik seperguruanya.
Mendengar ucapan itu, adik seperguruan Han Jin segera memberitahukan pada delapan pemuda lain untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kapal melaju dengan tenang, semakin lama kian dekat dengan pesisir. Tanpa mereka ketahui, dari balik semak-semak sekitar pesisir telah siap sekelompok anak buah Segoro Wedi untuk menunggu kapal itu merapat. Nampaknya mereka sudah tidak sabar lagi untuk segera menyerang.
Kepungan itu dipimpin oleh tujuh orang kaki tangan Segoro Wedi. Masing-masing pemimpin menempati tempat yang telah diatur dengan seksama, hingga tidak akan ada jalan bagi orang-orang Cina itu untuk meloloskan diri. Strategi mereka benar-benar matang. Terbukti dari cara mereka bersembunyi.
Tiga kelompok yang dipimpin oleh tiga orang kaki tangan Segoro Wedi yaitu Raja Setan Muka Ular, Kapak Iblis dan Tuak Iblis, berada paling depan. Mereka akan melakukan serangan pertama. Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak di belakang mereka, telah siap empat kelompok yang masing-masing dipimpin oleh Sepasang Hantu dari Kelangit, Pedang Akhirat dan Nyi Bangil.
Jika kelompok terdepan menghadapi bahaya, maka empat kelompok yang ada di belakangnya akan segera membantu. Sungguh strategi yang hebat. Untuk membuat strategi itu, tidak tanggung-tanggung Segoro Wedi dan tujuh begundalnya mengerahkan hampir delapan puluh orang anggota. Dan telah tertanam peringatan di benak mereka kalau mereka tidak boleh melukai gadis Cina. Mereka harus mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup dan utuh. Jika gagal, sudah dapat dibayangkan akibat 'Pukulan Pasir Beracun', sebuah pukulan dahsyat milik ketua mereka.
Mata mereka terus mengawasi kapal layar yang melaju perlahan dan semakin mendekati pesisir. Mereka tidak tahu kalau para pendekar yang mengawal kapal itu pun telah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Sebelum kapal layar itu benar-benar merapat di pesisir, terdengar aba-aba berkumandang lantang, seakan hendak membelah ombak yang datang di bibir pantai.
"Serbu..."
Keempat pemimpin yang berada di barisan belakang tersentak kaget. Mereka tidak menduga sama sekali kalau pasukan di barisan depan telah mendahului menyerbu sebelum kapal itu merapat ke pesisir.
Mendengar seruan dari pemimpin mereka, serentak pasukan pada lapisan terdepan yang terdiri dari tiga puluh orang, berlompatan keluar dari persembunyian mereka.
Para pendekar Cina yang berada di atas kapal tersentak kaget. Beruntung mereka telah waspada, hingga mereka tidak panik menghadapinya. Dengan sigap, sepuluh pendekar Cina itu menghadang di tepian kapal yang tentunya akan dijadikan jalan bagi penyerang untuk naik.
"Kita sambut mereka di atas"
Terdengar perintah dari Han Jin yang merupakan pemimpin para pendekar Cina. Dengan tubuh tegang dan mata tak berkedip, mata mereka mengawasi serbuan orang-orang yang masih terus berlari menuju ke arah kapal dan segera melompat ke laut yang bergelombang setelah mereka tiba di bibir pantai. Sebab, jarak kapal dengan pantai memang masih sekitar dua puluh lima tombak. Hal itu menguntungkan bagi para pendekar Cina. Dengan mengarungi laut berarti tenaga mereka akan terkuras. Jadi ketika tiba di kapal, tenaga mereka akan tinggal separuh.
Nafsu mereka yang terlalu menggebu, membuat mereka luput memperhitungkan hal itu. Mereka terus merenangi laut dan berusaha sampai di kapal. Ketika mereka tiba di kapal, segera sepuluh pendekar Cina menghadang mereka. Pedang di tangan sepuluh pendekar dari Cina berkelebat cepat untuk membabat penyerang yang berusaha naik ke atas kapal.
"Hadang... Jangan sampai ada yang bisa naik" teriak Han Jin sambil mengayunkan pedang sedemikian rupa.
Gerakannya begitu cepat dan lincah, sehingga pedang di tangannya hanya terlihat sebagai kilatan cahaya perak mengelilingi tubuhnya. Setiap kali penyerang berusaha naik, dengan cepat pedang di tangannya bergerak membabat ke arah tubuh lawan.
Cras
"Akh..."
Terdengar jeritan melengking tinggi, disusul dengan melayangnya tubuh korban jatuh ke laut. Sesaat tubuh itu menghilang di bawah permukaan air laut yang tiba-tiba berwarna merah, kemudian muncul kembali ke permukaan dengan keadaan tak bernyawa.
Begitu juga yang dilakukan sembilan pendekar Cina lain, mereka dengan mudah menghalau penyerang. Pedang di tangan mereka laksana malaikat pencabut nyawa yang haus darah, menciptakan kelebatan maut yang senantiasa membawa korban. Tapi hal itu tidak menjadikan nyali anak buah Segoro Wedi ciut, bahkan mereka semakin buas dan beringas. Mereka berusaha naik ke atas kapal, walau kematian siap menghadang mereka.
Pembantaian terhadap para penyerang membuat tiga pemimpin mereka menjadi sengit. Ketiganya kini ikut melesat cepat ke arah kapal yang semakin mendekati pesisir. Hingga mereka tidak terlalu membuang tenaga dengan mengarungi laut untuk sampai di kapal itu.
"Bangsat Kalian harus mampus..." maki Kapak Iblis murka.
Tokoh sesat bersenjatakan sepasang kapak itu tidak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan senjata yang sudah terkenal haus darah manusia. Disertai dengusan sebagai tanda kemarahan yang tak terbendung lagi, Kapak Iblis memburu ke arah Han Jin. Sepasang kapaknya bergerak dengan ganas, menimbulkan suara dengungan yang memekakkan telinga.
Han Jin tersentak mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada, sehingga dengan memiringkan tubuhnya ke samping, serangan itu dapat dihindarinya. Kemudian, tanpa berpikir panjang, pendekar dari Cina itu balas menyerang dengan menusukkan pedangnya ke tubuh lawan yang meluruk ke depan.
Kapak Iblis tersentak kaget, hampir saja pedang di tangan lawan menghunjam ulu hatinya, kalau saja ia tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh. Sementara tangan yang memegang sepasang kapak turut bergerak menangkis tusukan.
Tring
Dua buah senjata beradu keras. Memercikkan pijaran api di udara. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat melompat ke belakang. Wajah Kapak Iblis berubah pucat ketika tangannya tergetar akibat benturan senjata tadi. Dia sadar kalau lawannya bukan orang sembarangan.
Tenaga dalam lawan ternyata berada dua tingkat di atasnya. Benar-benar tidak terduga oleh Kapak Iblis, kalau lawannya yang masih kelihatan muda itu memiliki tenaga dalam hebat. Namun, bagaimana mungkin dia harus mengakui keunggulan lawan di depan anak buah dan gerombolannya? Hendak ditaruh di mana mukanya?
Sesaat mata kedua orang itu saling berpandangan. Nampak ketenangan di wajah Han Jin. Sepertinya, dia tidak merasakan apa-apa atas benturan senjatanya dengan senjata lawan. Hal itu membuat Kapak Iblis semakin penasaran bercampur marah. Dia mendengus, kemudian kembali menyerang.
"Heaaa..."
***
Sepasang senjata di tangan Kapak Iblis bergerak dengan cepat ke arah Han Jin, yang dengan tenang mundur sambil mengelitkan badan ke kiri dan kanan. Lalu dengan cepat dia balik menyerang dengan tusukan serta babatan pedang yang mengarah ke bagian tubuh yang mematikan.
Kapak Iblis yang sudah tahu kehebatan tenaga dalam lawannya berusaha menghindari bentrokan senjata. Matanya membelalak kaget, menyaksikan serangan lawan yang datang begitu cepat dan mengarah ke bagian tubuhnya.
"Celaka..." pekik Kapak iblis. Dia tidak menyangka kalau lawan yang semula dianggap enteng ternyata memiliki serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Kalau tidak hati-hati, dalam beberapa gebrakan saja dia akan menerima kekalahan. Han Jin yang melihat lawannya agak kerepotan, tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan tusukan dan tebasan pedang yang cepat, dia terus menyerang Kapak Iblis.
"Gila... Benar-benar gila..." maki Kapak Iblis sambil berusaha berkelit. Serangan-serangan itu terus mencecarnya. Seakan-akan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menarik napas.
Han Jin terus memberondong dengan kombinasi pukulan, tendangan, serta tusukan pedangnya. Membuat Kapak Iblis kian kewalahan. Dia hanya mampu menghindar dari serangan, tanpa berani untuk mengadu senjata kembali. Tapi hal itulah yang menjadikan kedudukannya semakin terjepit.
Gempuran-gempuran yang dilancarkan oleh Han Jin kian cepat dan deras pada setiap titik kematian. Tangan, kaki, serta pedangnya silih berganti menyerang, seakan tidak ada ruang bagi Kapak Iblis untuk mengelak dan balik menyerang.
Kapak Iblis mencoba membuka benteng serangan lawan dengan menyodorkan satu serangan. Tapi hampir saja dia menjadi korban ketika pedang lawan dengan tiba-tiba melesat ke arah tubuhnya. Setelah itu tak ada lagi kesempatan baginya untuk bisa menghindar dari serangan beruntun
itu. Sebab dia baru saja melakukan salto, sementara kakinya belum sempat menginjak lantai kapal. Mungkin ini saat kematianku, keluh Kapak Iblis dalam hati.
Pedang di tangan Han Jin sekejap lagi akan melubangi ulu hatinya, ketika sebuah benturan terjadi tiba-tiba, hingga menyelamatkan nyawa Kapak Iblis dari kematian.
Trang
Han Jin menarik mundur serangannya, matanya memandang ke arah orang yang telah menggagalkan serangan tadi. Orang tersebut kini terhuyung ke belakang dengan mulut meringis sambil memegangi tangan yang terasa ngilu. Sedangkan pedang yang tadi digunakan untuk menangkis, kini terpental jauh. Orang itu yang tidak lain Raja Setan Muka Ular membelalakkan mata. Dia tidak menyangka kalau kejadiannya begitu tak terduga.
Raja Setan Muka Ular yang tadinya menyangka kalau pendekar muda itu ilmunya belum seberapa, kini harus membuka mata dan mengakui kalau tenaga dalamnya masih di bawah pemuda bermata sipit itu.
"Kalian mencari mampus" dengus Han Jin gusar, kemudian tanpa banyak kata lagi dia berkelebat melabrak dua orang yang menjadi lawannya dengan serangan cepat dan sulit diduga.
"Awas..." pekik Kapak Iblis dengan mata membelalak menyaksikan serangan yang begitu mendadak dan cepat.
Tangannya mendorong Raja Setan Muka Ular, sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri untuk mengelakkan tusukan pedang lawan. Ternyata dugaannya meleset, pendekar muda itu menarik serangan pedangnya, kemudian dengan gerakan yang sulit diduga kakinya menendang ke arah lambung Kapak Iblis.
Deg
Tak ampun lagi, tendangan yang disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di lambung Kapak Iblis, mendorong tubuhnya hingga terpental keluar dari kapal lalu jatuh ke laut.
Hal itu menjadikan Raja Setan Muka Ular seketika terkejut. Sulit sekali diikutinya gerakan yang dilakukan pendekar muda dari Cina itu. Belum juga hilang rasa kaget di hati Raja Setan Muka Ular, tiba-tiba dia dikejutkan oleh serangan cepat yang dilakukan oleh pendekar muda itu. Sebuah tusukan pedang melesat ke arah ulu hatinya. Mau tak mau Raja Satan Muka Ular segera menjatuhkan diri untuk menggelakkan tusukan itu.
Tangannya yang masih agak sakit langsung digerakkan, memukul ke arah selangkangan lawan yang dengan cepat memapaskan pedangnya ke bawah.
"Celaka" pekik Raja Setan Muka Ular perlahan.
Raja Setan Muka Ular berusaha menarik pukulannya, tapi tebasan pedang lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding gerakannya. Tanpa ampun lagi, pedang lawan menebas tangan kanannya.
Cras
"Aaa..."
Pekik kesakitan pun keluar dari mulut Raja Setan Muka Ular. Disusul sebuah tendangan cepat menghantam dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Raja Setan Muka Ular pun terpental keluar dari kapal dan jatuh ke air.
Empat begundal Segoro Wedi yang masih bersembunyi di semak-semak tersentak menyaksikan dua orang temannya dapat dikalahkan. Kini yang tersisa di kapal itu hanya Tuak Iblis dan beberapa anak buahnya.
"Keparat Kalau didiamkan terus, korban akan semakin banyak di pihak kita. Nampaknya Tuak Iblis pun tak mampu berbuat banyak menghadapi serangan pendekar-pendekar Cina itu. Kite bantu dia," kata Pedang Akhirat "Kalian serang sembilan pendekar lainnya. Bantu Tuak Iblis. Kami berempat akan mengeroyok pendekar itu. Serbu..."
Mendengar aba-aba itu, lebih dari lima puluh orang dengan spontan berlompatan keluar dari persembunyian mereka diikuti oleh empat pimpinan mereka. Dengan semangat tinggi mereka menyerbu ke arah kapal.
Seperti telah direncanakan, sekitar lima puluh orang anak buah itu segera membantu Tuak Iblis menghadapi sembilan pendekar dari Cina itu. Sedangkan empat pemimpin mereka kini mengurung pemimpin pendekar muda dari Cina yang sudah diketahui berilmu tinggi.
Pertarungan yang tadinya tidak seimbang kini bertambah seru, karena banyak para penyerang mengalami kematian. Bahkan dua orang pemimpin mereka entah bagaimana nasibnya. Semangat para penyerang yang tadinya telah melemah, kembali berkobar.
Mereka dengan berani mencoba merangsek sembilan pendekar muda dari Cina, walau untuk itu mereka harus mengorbankan nyawa. Sebab, sembilan pendekar muda dari Cina itu ternyata bukan lawan enteng. Ilmu mereka semuanya setara, membuat gerakan mereka terlihat demikian kompak dan cepat
Kegaduhan di atas kapal itu rupanya mengejutkan orang yang berada di bawah. Termasuk saudagar Cina yang bernama Koh Lie dan anaknya, Cin Mei Lie. Ayah dan anak itu segera naik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan, betapa kagetnya mereka ketika menyaksikan para pengawal tengah bersabung nyawa.
"Oh Apa yang terjadi. Ayah...?" tanya gadis cantik jelita berkulit kuning langsat itu. Di matanya terbayang kengerian menyaksikan pertarungan yang memakan korban hingga berserakan di atas kapal.
Sang Ayah tak dapat menjawab. Dia tidak tahu pasti apa yang tengah terjadi. Saat itu, terdengar suara perintah dari pendekar muda yang tengah dikeroyok oleh empat penyerangnya.
"Koh Lie, cepat selamatkan diri Bawa Nona Mei Lie pergi..."
***
DELAPAN
Koh Lie dan putrinya kebingungan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Membantu kesepuluh pendekar untuk menghadapi pengeroyok itu, rasanya tidak mungkin. Untuk lari juga sulit, sebab di sana-sini terjadi pertempuran sengit yang mengerikan.
Melihat ayah dan anak itu masih berdiri mematung kebingungan, pendekar muda yang tengah menghadapi keroyokan empat lawan yang rata-rata berilmu setingkat dengannya mau tak mau harus membagi perhatian.
Diputarnya pedang dengan cepat membuat suatu lingkaran untuk melindungi dirinya dari serangan yang dilancarkan oleh keempat lawannya.
"Cepat lari Tak ada waktu lagi..." seru Han Jin lagi.
Setelah melihat tuan dan anaknya pergi, dengan cepat perhatiannya kembali dicurahkan pada pertempuran yang tengah dihadapi. Jurus-jurus pedangnya semakin dipercepat, menjadikan keempat lawannya meski berilmu setingkat harus berhati-hati kalau tidak ingin bernasib seperti Kapak iblis dan Raja Setan Muka Ular.
Dengan cepat keempat orang itu berpencar mengelakkan serangan lawan, lalu mereka serentak menyerang dari empat penjuru.
"Heaaa..."
Serangan lawan yang datang dari empat penjuru angin tidak membuat pendekar muda itu gentar. Cepat-cepat kepalanya dirundukkan manakala senjata milik Kelangit Anom yang berbentuk rantai dengan ujung bola besi berduri sebesar buah kelapa melesat ke arahnya. Pedangnya digerakkan ke atas, menangkis serangan senjata lawan. Sedangkan tangan kirinya menyerang ke arah lawan yang berada di depan.
Tring
Terdengar suara beradu dua benda yang terbuat dari logam keras disertai percikan bunga api dan pekikan kaget Kelangit Anom ketika mendapatkan Ujung senjatanya yang terbuat dari baja telah putus.
"Akh..." mata Kelangit Anom membeliak, bagai tak percaya melihat kenyataan yang kini diterimanya.
Senjatanya yang belum pernah terkalahkan oleh senjata lain, kini terputus oleh hantaman pedang di tangan pendekar muda dari Cina itu.
Kalau Kelangit Anom kaget melihat senjatanya putus, tidak kalah kagetnya Kelangit Sepuh yang tidak menduga kalau dalam keadaan terjepit seperti itu, Han Jin masih mampu melontarkan pukulan tenaga dalam yang mengeluarkan serangkum angin keras ke arahnya.
"Oh..." keluh Kelangit Sepuh melihat selarik angin melesat ke arahnya.
Kalau saja dia kurang waspada dan tidak cepat berkelit dengan menggeser kaki ke samping, sudah barang tentu tubuhnya terhantam satu pukulan dahsyat. Pukulan itu luput beberapa rambut di sampingnya. Tak urung pakaiannya koyak akibat terserempet angin pukulan lawan.
Darrr
Pukulan 'Naga Menyibak Samudera' yang dilontarkan Han Jin menghantam sisi kapal yang seketika hancur berantakan, membuat beberapa penyerang yang berada di dekatnya terpental. Mereka adalah penyerang yang umumnya berilmu rendah.
Tubuh mereka langsung tertindih serpihan kayu-kayu kapal. Sedangkan penyerang yang berilmu lumayan melompat cepat untuk menyelamatkan diri agar terhindar dari bencana itu. Ketika kapal itu sudah benar-benar merapat di satu dermaga kecil, maka pertarungan dilanjutkan di darat. Dengan begitu, tampak gerakan mereka semakin leluasa.
Han Jin segera saja mencari tempat yang luas untuk menghadapi empat pengeroyoknya yang mengejar tanpa mau membiarkan pendekar muda itu lepas.
"Mau lari ke mana, heh?" bentak Pedang Akhirat
"Aku bukanlah pengecut seperti kalian yang main keroyok Aku hanya mencari tempat yang agak lapang agar dapat leluasa membantai kalian" tantang Han Jin lantang. Dengan segera disiapkannya jurus-jurus andalan.
Pedangnya dihunus di depan muka, sementara matanya mengawasi gerakan keempat orang yang mengurungnya.
"Heaaa..."
"Hiaaat..."
Empat orang itu menyerbu kalap dengan senjata di tangan masing-masing, diikuti pekikan membahana. Tubuh mereka bergerak laksana terbang dengan senjata mengarah ke satu sasaran yang nampaknya masih tenang dan hanya menggeser-geser kakinya.
Baru ketika keempat penyerang itu semakin dekat Han Jin bergerak cepat Tubuhnya diputar sedemikian rupa, sementara pedang di tangan kanannya bergerak membabat ke segala penjuru, sedangkan tangan kirinya memukul dengan pukulan dahsyat yang terbukti mampu menghancurkan kapal.
"Heaaa..."
Melihat gerakan lawan yang begitu cepat seketika keempat penyerang tersentak. Mereka segera melompat mundur, kemudian dengan cepat mengubah serangannya dan kembali melompat menyerang.
"Hiaaat.."
Kembali senjata di tangan keempat begundal Segoro Wedi bergerak ke satu titik di mana lawan berada. Kini mereka benar-benar tak akan merubah lagi jurus serangannya. Mereka telah memperhitungkannya masak-masak serangan itu. Tenaga dalam mereka telah disalurkan ke tangan kanan yang menggenggam senjata masing-masing. Hingga laju senjata di tangan mereka mampu mengeluarkan angin dahsyat
Han Jin merasakan angin serangan yang menerpanya begitu dahsyat. Namun sebagai pendekar yang telah menjalani gemblengan keras, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget apalagi gentar.
Pedangnya digerakkan dengan membentuk putaran di atas kepala. Sementara tangan kirinya yang tidak bersenjata, turut menghempas pukulan dahsyat ke depan, sedangkan kaki kanannya dengan gerakan tak kalah gesit, menyepak ke belakang. Sungguh sebuah gerakan yang sangat hebat. Jarang orang bisa melakukan gerakan-gerakan seperti itu. Hampir semua anggota tubuhnya merupakan senjata ampuh.
"Heaaa...."
Keempat penyerang kembali harus membuka mata menyaksikan gerakan yang aneh dan dahsyat itu. Akan tetapi, tak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk menarik serangan karena jarak antara mereka dengan Han Jin telah demikian dekat.
Trang
Benturan senjata mereka dengan pedang Han Jin terjadi, menciptakan percikan api dan keterkejutan keempat penyerangnya. Tangan mereka seperti kesemutan.
Sementara itu, Han Jin rupanya mengalami luka dalam yang cukup parah akibat benturan tadi. Hingga dari sudut bibirnya meleleh darah kehitaman. Han Jin menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan rasa pening yang berdenyut.
Matanya sedikit berkunang-kunang membuat pandangannya agak meremang. Di lain pihak, ternyata salah seorang dari penyerang, yaitu Kelangit Anom, nampak tergeletak tanpa nyawa. Di dadanya tergurat tanda hitam berbentuk cakar naga. Ternyata ketika mereka menyerang, 'Pukulan Cakar Naga' yang dilontarkan Han Jin tak mampu dielakkan Kelangit Anom. Tanpa ampun lagi, pukulan dahsyat itu harus diterimanya.
Di sisi lain, Nyi Bangil Nampak memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia berusaha menahan rasa sakit akibat tendangan yang dilancarkan Han Jin.
Gerakan tendangan tadi yang begitu cepat, hingga sulit baginya untuk mengelak. Sedangkan Kelangit Sepuh dan Pedang Akhirat masih tertegun merasakan tangan mereka yang berdenyut keras, sehingga mereka tak segera bertindak menghabisi Han Jin yang kini terluka dalam. Mereka sama sekali tidak menyangka, kalau tenaga dalam Han Jin masih mampu mengimbangi tenaga dalam mereka. Padahal mereka terdiri dari empat tokoh yang rata-rata berilmu tinggi dan disegani di rimba persilatan.
Sementara itu, sembilan pendekar muda dari Cina lainnya tampak masih sibuk menghadapi keroyokan yang dilakukan oleh Tuak Iblis dan anak buahnya yang berjumlah cukup banyak. Ada sekitar dua puluh orang yang terus berusaha menekan mereka yang pantang menyerah. Sedangkan Tuak Iblis dengan senjata tuaknya tak mau ketinggalan untuk menggempur sembilan pendekar muda itu.
"Serang -terus Habisi mereka..." seru Tuak Iblis sambil menenggak tuaknya.
Kemudian, dengan gerakan mulut yang aneh, disemburkannya tuak itu....
Wusss
Tuak yang menyembur dari mulut Tuak Iblis melesat cepat ke arah seorang dari Pendekar Naga Hijau yang bernama Can Kok Han yang tengah dikeroyok oleh anak buahnya. Can Kok Han yang perhatiannya tidak tertuju pada Tuak Iblis, tak dapat lagi mengelakkan serangan tersebut
"Cuhhh..."
"Akh..."
***
Can Kok Han menjerit. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar kejang dengan tangan menutupi mukanya yang terasa sangat panas bagaikan terbakar. Bahkan dari mukanya mengepul asap. Lalu, tak begitu lama kemudian tubuhnya meregang dan mati.
Pertarungan semakin bertambah seru dengan matinya salah seorang dari sembilan Pendekar Naga Hijau dari Cina. Semangat anak buah Tuak Iblis yang semula surut kembali berkobar. Mereka dengan berani kembali merangsek ke arah lawan yang tinggal delapan orang.
Kenekatan mereka tak dilandasi perhitungan, sehingga dengan cepat serangan mereka dapat dipatahkan oleh delapan adik seperguruan Han Jin yang memiliki kepandaian di atas lawan-lawannya. Hingga pedang di tangan mereka laksana malaikat maut yang dengan enteng mencabut nyawa.
"Bangsat Ini tidak bias didiamkan" dengus Tuak Iblis yang kemudian melesat untuk membantu anak buahnya yang semakin bertambah kacau.
Tuak Iblis meneguk araknya dari guci. Kemudian dengan penuh amarah yang meledak-ledak dl dada, Tuak Iblis menyerang ke arah orang ketiga dari para pendekar dari Cina yang bernama Lie Sauw Liang. Guci tuaknya bergerak cepat, menyerang ke arah pendekar itu.
"Pecah kepalamu" bentak Tuak Iblis.
Lie Sauw Liang tersentak, tak menyangka akan diserang begitu cepat dan tiba-tiba. Padahal saat itu dia tengah menghadapi gempuran anak buah Tuak Iblis.
Untuk melindungi diri dari serangan Tuak Iblis, Lie Sauw Liang membabatkan pedang untuk memapak luncuran guci. Secepat itu pula Tuak Iblis menyemburkan tuaknya ke muka lawan, hingga lawan yang tidak menduga akan diserang oleh semburannya tak mampu lagi mengelak.
"Cuhhh..."
"Aaa..." Lie Sauw Liang menjerit merasakan wajahnya terasa sangat panas.
Tangannya segera mendekap ke arah wajah. Tubuhnya tak lama kemudian meregang dan mats seperti yang dialami oleh temannya yang menjadi korban pertama.
Melihat dua orang temannya mat], ketujuh orang pendekar muda dari Cina itu menjadi kalap. Terlebih-lebih ketika melihat kakak seperguruan mereka tengah mengalami luka dalam dan nampaknya sulit untuk bebas dari kepungan lawan. Ketujuh pendekar muda dari Cina itu kini menjadi nekat. Mereka menyerang membabi buta, mencurahkan serangan yang cukup berbahaya bagi para pengeroyok.
Tuak Iblis yang telah berhasil membinasakan dua dari sembilan pendekar muda itu terbahak-bahak. Dia semakin bersemangat. Serangan dengan guci tuaknya kian gencar. Sesekali Tuak Iblis menenggak tuak mautnya disertai serangan ke arah lawan.
Pedang di tangan Tan Bing It bergerak cepat, membabat dan menusuk ke arah tubuh Tuak Iblis. Kaki dan tangan kirinya pun turut bergerak menangkis dan menyerang.
"Cuhhh..."
Tuak Iblis menyemburkan lagi tuak mautnya. Dengan cepat pendekar muda yang diserangnya melenting dengan tubuh bersalto untuk mengelakkan serangan itu hingga luput dan tuak maut. Namun belum juga kakinya sempat menginjak tanah, serangan dari Tuak Iblis menyusul. Guci tuak yang juga merupakan senjata yang tidak boleh dipandang ringan, mendesing ke arah tubuhnya.
Tan Bing It berusaha berkelit dengan membuang tubuhnya ke samping. Tapi sebuah tendangan kaki kiri yang dilancarkan oleh Tuak Iblis mengha-dangnya. Pendekar muda itu hendak melakukan gerakan menghindar, namun tendangan Tuak Iblis lebih cepat.
Buggg
"Huk...."
Tubuh Tan Bing It terhuyung ke belakang dengan mata melotot berusaha menahan rasa sakit akibat tendangan pada lambungnya itu. Tangannya mendekap bagian tubuh yang terasa sakit hingga tubuhnya membungkuk. Pada saat itu, sebatang tombak tanpa dapat dielakkan menghunjam dari belakang, tembus hingga ke ulu hati.
"Aaa..."
Pendekar malang itu memekik dengan mata melotot. Tangannya berusaha mencabut tombak yang menancap di punggungnya, namun maut telah mendahului. Tubuhnya limbung, kemudian jatuh terkulai tanpa nyawa.
Kepanikan datang mendera keenam pendekar muda dari Cina yang masih hidup, terlebih ketika mereka mendengar jeritan yang menyayat. Ketika mata mereka melirik ke arah kakak seperguruan mereka yang tengah menderita luka dalam, mata mereka membelalak khawatir.
Han Jin terlihat memegangi kepalanya yang melelehkan darah, tersabet pedang di tangan Pedang Akhirat. Han Jin masih berusaha mempertahankan diri, akan tetapi darah yang banyak keluar menjadikannya tak mampu. Tubuhnya ambruk dan mati.
Tuak Iblis yang melihat gelagat itu dengan segera memberi semangat pada sisa-sisa anak buahnya yang masih berjumlah dua puluh lima orang.
"Habiskan mereka"
Pertarungan jelas semakin tidak seimbang dengan hilangnya rasa percaya diri pada keenam pendekar muda dari Cina itu. Hal itu cukup menguntungkan bagi Tuak Iblis dan anak buahnya. Mereka terus merangsek, berusaha secepat mungkin menghabisi keenam pendekar dari Cina itu.
Hal itu menjadikan serangan yang dilakukan tidak lagi terarah, hingga mereka harus menerima kenyataan pahit. Ternyata dalam keadaan putus asa, keenam pendekar dari Perguruan Naga Hijau itu melakukan pertarungan dengan nekat dan untung-untungan. Tanpa ampun lagi, korban kembali berjatuhan, baik dari anak buah Tuak iblis maupun dari pendekar-pendekar Cina itu sendiri
Kini tinggal seorang lagi dari sepuluh pendekar muda Cina yang masih hidup. Sedangkan di pihak Tuak Iblis, tinggal Tuak iblis seorang diri. Mereka kini saling berhadapan, siap melakukan pertarungan penentuan. Tak begitu lama kemudian, dengan diikuti pekikan dahsyat keduanya sama-sama melesat ke udara untuk melakukan serangan.
"Heaaa..."
Tuak Iblis menghantamkan gucinya ke arah lawan yang dengan cepat berkelit memiringkan tubuhnya dengan menggeser kaki agak melebar. Kemudian dengan cepat tangan kanannya yang memegang pedang bergerak menusuk ke arah ulu hati Tuak Iblis. Tusukan pedang yang cepat itu hampir saja melubangi ulu hati Tuak Iblis kalau dia tidak segera merundukkan tubuh ke bawah dengan cepat lalu menggeser kaki kanannya untuk melakukan tendangan dengan kaki kanan.
Melihat serangan datang, dengan cepat Sun Peng menarik serangannya, lalu pedangnya dikibaskan ke kaki Tuak Iblis yang mengarah ke selangkangannya. Tuak Iblis tersentak. Serangannya berusaha ditahan, namun terlambat. Tebasan pedang lawan telah sulit untuk dielakkan.
"Celaka..."
Tuak Iblis menjatuhkan diri ke tanah, tangan kirinya cepat mencengkeram selangkangan lawan. Gerakan itu bersamaan dengan tebasan pedang Sun Peng ke arah leher Tuak Iblis. Seketika keduanya menjerit
Sun Peng matanya melotot karena kemaluannya hancur teremas tangan Tuak Iblis, kemudian tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah tanpa nyawa. Keadaan Tuak Iblis juga tak kalah mengerikan. Lehernya terpenggal. Kepalanya tergulir lepas dari tubuh dengan mata melotot.
Pedang Akhirat, Kelangit Sepuh, dan Nyi Bangil yang telah sembuh dari rasa sakit akibat tendangan lawan tak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya mampu melihat bagaimana dua orang itu mati.
"Hai, sejak tadi kita tidak ingat pada gadis itu Bagaimana kalau gadis itu mati? Bisa celaka kita. Ayo, kita cari di kapal" ajak Pedang Akhirat pada kedua rekannya yang segera ikut berlari.
Ketiga tangan kanan Segoro Wedi yang masih hidup segera mencari gadis Cina itu, namun mereka tidak menemukannya.
"Celaka Rupanya mereka pergi ketika kita sedang bertarung. Mari kita kejar, jangan pulang sebelum kita dapat menemukan gadis itu...," seru Pedang Akhirat dengan wajah tegang.
Mereka tahu apa yang akan didapatkan jika gadis Cina itu tidak ditemukan. Tanpa membuang-buang waktu, ketiga begundal Segoro Wedi itu lari meninggalkan tempat yang kini terhias oleh puluhan mayat.
***
SEMBILAN
Pemuda tampan berompi kulit ular yang tidak lain Sena Manggala tengah meneruskan langkah kakinya, setelah duduk istirahat di sebuah dahan pohon. Baru saja hendak meneruskan langkahnya, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar jeritan kematian. Disusul oleh suara teriakan seorang wanita.
Pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu kembali menghentikan langkahnya. Tangannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan keningnya berkerut.
"Oh, sungguh tiada hentinya pembunuhan dan perkosaan di dunia ini. Baru saja kulihat mayat-mayat bergelimpangan di pantai utara. Kini, kudengar suara kematian dan jeritan seorang wanita. Hm, hidup...," gumam Sena. Nalurinya seketika menyeret kakinya untuk melihat apa yang telah terjadi.
Baru beberapa langkah dia ke utara, matanya melihat seorang gadis cantik berkulit kuning, langsat dengan mata agak sipit tengah berlari sambil berusaha memapah seorang lelaki yang telah lemah.
Di punggung lelaki setengah baya itu, menancap sebuah senjata rahasia yang beracun. Hal itu terlihat dari wajahnya yang kebiru-biruan.
"Mei Lie, cepatlah pergi.
Selamatkan dirimu...," ujar lelaki setengah baya itu dengan suara lirih, mengharap anaknya yang bernama Mei Lie pergi untuk menyelamatkan diri.
"Tidak, Ayah.... Ayah tak boleh mati...."
Gadis itu menangis sambil terus berusaha mendukung tubuh sang Ayah yang semakin lama bertambah lemah, hingga pada akhirnya ambruk.
"Ayah..." pekik gadis Cina itu, menangisi kematian ayahnya.
Hati Sena terenyuh melihat kesedihan yang dialami oleh gadis Cina itu. Perlahan kakinya melangkah mendekati gadis itu, kemudian dengan pelan dipegangnya pundak si gadis.
"Nona..., sudahlah. Jangan kau tangisi. Ayahmu telah meninggal. Semua sudah menjadi suratan."
Mei Lie dengan terisak memandang Sena. Kakinya tiba-tiba menyurut mundur dengan pandangan takut. Melihat hal itu, Sena segera memperkenalkan dirinya. Dengan harapan, gadis itu tidak takut lagi. Tapi usahanya itu tidak mengubah keadaan.
"Nona, aku tidak bermaksud jahat padamu," ucap Sena, mencoba meyakinkan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan mulutnya nyengir. "Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi percayalah, aku bukan orang jahat seperti yang Nona duga."
Mei Lie tak lagi melangkah mundur. Matanya yang agak sipit namun lentik dan indah, memandangi sosok di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung rambut
"Maafkan atas prasangka burukku tadi...."
"Tidak apa... Kau orang asing di sini dan nampaknya baru mengalami suatu kejadian yang menyedihkan. Kalau boleh kutahu, bagaimana ceritanya hingga Nona sampai tersesat ke tanah Jawa Dwipa ini? Lalu siapakah lelaki ini?" tanya Sena hati-hati.
Mei Lie kembali terisak, kemudian menceritakan semua yang terjadi atas dirinya juga ayah serta para pengawalnya.
"Entah mengapa, mereka sepertinya tidak bermaksud membunuhku," tutur Mei Lie setelah menceritakan semua kejadian yang menimpa mereka.
"Jadi, mayat-mayat yang kemarin kutemui, adalah mayat para pengawal kapal ayah Nona?" tanya Sena berusaha memastikan.
"Tidak semuanya. Pengawal kami hanya sepuluh orang. Selebihnya adalah begundal orang yang kudengar bernama Segoro Wedi," jawab Mei Lie menegaskan, membuat mata pemuda itu membelalak mendengar nama Segoro Wedi kembali diucapkan oleh seseorang sebagai simbol kejahatan dan kekejaman.
Ingatan pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila itu seketika kembali ke masa sepuluh tahun silam. Saat ayah dan ibunya dikeroyok oleh Segoro Wedi dan begundalnya. Dia sudah mendatangi desa di tempat dia dilahirkan. Di sana telah didapatnya berita kalau ayah dan ibunya mati di tangan Segoro Wedi.
"Jahanam Orang itu benar-benar jahanam" dengus Sena seraya mengepalkan tinjunya. Tapi secepat itu pula, pemuda itu tersenyum-senyum seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Ah, sayang guru melarangku untuk mendendam. Kalau saja tidak...."
Sena tidak meneruskan kata-katanya, tapi kembali mulutnya bertanya pada Mei Lie.
"Nona, kulihat tadi kau dan ayahmu berlari-lari. Kenapa?"
Setelah menyeka air matanya, Mei Lie kembali bercerita sewaktu dia dan ayahnya berlari meninggalkan kapal. Setelah seharian berlari, akhirnya mereka berhenti untuk istirahat. Tetapi rupanya Segoro Wedi dan ketiga temannya yang masih hidup terus berusaha memburu. Hingga akhirnya Segoro Wedi dan begundalnya menemukan mereka. Kejar-mengejar kembali terjadi.
"Seorang di antara mereka melemparkan pisau beracun ke arah ayahku, hingga Ayah mengalami kematian," isak gadis itu tak terbendung, setelah menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya dan ayahnya.
"He he he.... Jadi Segoro Wedi ikut mengejar?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Mei Lie mengangguk perlahan. Isak tangisnya masih saja bersambung. Gadis itu benar-benar hancur hatinya, karena ayahnya telah mati di tangan Segoro Wedi
***
"Mau lari ke mana, Manis? Bukankah lebih baik kau menuruti keinginanku untuk menjadi istriku.... Ha ha ha..."
Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah hutan yang membuat Mei Lie tersentak. Seketika tubuhnya menggigil ketakutan setelah mengenali suara itu. Gadis Cina itu hendak pergi meninggalkan Sena, tapi dengan cepat pemuda itu mencegahnya.
"Tak usah lari, Nona...."
"Kenapa? Apakah kau teman mereka?" tanya Mei Lie semakin ketakutan. Matanya memandang tajam ke wajah pemuda yang masih tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala itu.
"Bukan, aku bukan teman mereka," sahut Sena.
"Lalu, kenapa kau melarangku lari?" tanya Mei Lie kembali dengan kecemasan terlintas di wajahnya. Apalagi ketika matanya melihat empat orang keluar dari dalam hutan. Seorang di antaranya adalah lelaki setengah baya dengan harpa bertengger di punggungnya. Bibirnya menyeringai, membuat gadis Cina itu semakin ketakutan. Seluruh badannya makin gemetaran. Mei Lie berusaha melepaskan tangan Sena yang masih menahannya agar tidak pergi.
"Lepaskan tanganku. Tolonglah..." pinta gadis itu semakin bertambah ketakutan, sebab orang-orang yang mengejarnya kini semakin mendekat. Tetapi pemuda itu malah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala seperti orang gila.
"Tenanglah, Nona. Ketenangan akan membuat semua masalah beres. He he he..." usai berkata begitu, Sena kembali cengengesan.
Mei Lie akhirnya mau menuruti nasihat Sena. Sementara pemuda itu memandang keempat orang yang menatap mereka dengan angkuh dan tajam. Detak jantung Sena terhenti sesaat dan matanya terbelelak lebar manakala melihat lelaki angkuh berjubah merah dengan harpa di punggungnya.
Ingatan pemuda tampan berompi kulit ular itu kembali melayang ke masa sepuluh tahun silam, bagaimana lelaki yang kini melangkah ke arahnya berusaha memerkosa ibunya. Inikah Segoro Wedi? Tanya Sena dalam hati seraya memandang tajam lelaki yang masih terlihat tampan itu.
Satu persatu, ditatapnya keempat orang itu. Tiga orang telah dikenalnya. Merekalah yang dulu telah menghancurkan keluarganya. Tapi wanita muda dan cantik itu, tidak dikenalinya.
"Anak muda, berikan gadis itu padaku Lalu cepatlah minggat dari hadapanku" bentak Segoro Wedi, menyentakkan pemuda yang masih memandangnya.
Sena tertawa nyaring. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kurasa aku tidak bias mengabulkan permintaanmu, sebelum aku tahu apakah gadis ini mau atau tidak jika kau ajak. Bagaimana, Nona? Apakah kau mau ikut dengannya?"
Tidak Aku tak sudi menjadi istri pembunuh ayahku" sentak Mei Lie dengan mata terbakar dendam, memandang liar ke arah Segoro Wedi. Sena kembali tertawa riuh, tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah laku pemuda itu seketika menyentakkan keempat orang di depannya. Mereka bertanya-tanya dalam hati, inikah pemuda gila yang dimaksudkan Wangsana?
"Anak muda, jangan berlaku kurang ajar di hadapanku Cepat serahkan gadis itu padaku, atau terpaksa kami menghajarmu"
"Ha ha ha... Lucu sekali kau, Orang Tua Tak ada angin, tak ada hujan. Mengapa kau mau menghajarku? Ah, aneh.... Aneh sekali," ejek pemuda itu diiringi tawa terbahak. "Mengapa orang masih saja suka memaksakan kehendak?"
Tanpa menghiraukan semua orang yang ada di situ, Sena berdendang menyanyikan sebuah syair lagi. Syair itu menceritakan tentang sebuah kejadian sepuluh tahun yang silam, di mana sepasang pendekar suami istri dan keluarganya menjadi korban dari sifat tamak dan keji orang yang selalu berusaha memaksakan kehen-daknya.
"Bocah edan Apa maksud syair yang kau nyanyikan itu, hah?" bentak Segoro Wedi yang terkejut mendengar syair itu.
Sena menghentikan nyanyiannya. Wajahnya ditengadahkan memandang ke langit yang biru, kemudian dia tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya itu membuat Segoro Wedi mengerutkan kening. Dia teringat akan seorang pendekar sakti yang selama hidup belum ada yang mampu menandingi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Tapi pendekar itu hilang puluhan tahun yang silam. Kemudian muncul seorang yang mirip dengan pendekar itu, bernama Singo Edan.
Tidak mungkin Singo Edan pun telah hilang dari dunia persilatan. Lalu, ada hubungan apakah pemuda ini dengan kedua orang itu? Tanya hati Segoro Wedi, mencoba menerka-nerka siapa sesungguhnya pemuda gila di hadapannya.
"Orang tua, bukannya aku tak tahu apa maksud syair yang baru saja kudendangkan tadi, tapi tentunya kau dan kedua temanmu sudah mengerti," jawab Sena dengan tenang. Bibirnya masih cengengesan. Jawaban itu membuat Segoro Wedi dan kedua temannya semakin terkejut. Mereka telah menduga, kalau syair itu memang ditujukan kepada mereka.
"Bocah edan Cepat katakan, siapa kau sebenarnya?" bentak Segoro Wedi gusar, merasa dipermainkan oleh pemuda sinting yang dianggapnya masih bau kencur dan tidak memiliki apa-apa.
Sena yang mendapat julukan Pendekar Gila sesaat memandang Mei Lie, lalu beralih menatap Segoro Wedi dengan tatapan tajam.
"Orang tua, sesungguhnya kau yang telah banyak makan asam garam kehidupan, sudah tahu siapa aku. Tapi baiklah, kuberi tahu siapa aku sebenarnya. Pasang telinga kalian baik-baik. Aku bocah kecil yang kedua orangtuanya kalian bantai.
Ayahku bernama Citra Yuda, kakak seperguruanmu...."
Sesaat Sena menghentikan ucapannya, memandang lekat wajah Segoro Wedi yang berubah terkejut. Pemuda itu terkekeh, seakan perubahan wajah Segoro Wedi merupakan hal lucu yang tak mampu menahan tawanya.
"Ibuku bernama Dewi Rukmini. Seorang wanita yang setia pada suaminya. Dan karena cinta butamu, kau berusaha memperkosa ibuku. Nah Cukup jelas, bukan?"
Merah padam wajah Segoro Wedi dilanda amarah. Kini tak ada waktu lagi untuk membiarkan pemuda gila itu hidup. Pemuda itu akan senantiasa menjadi duri dalam setiap sepak terjangnya. Dengan mendengus sengit Segoro Wedi berseru memerintahkan pada ketiga rekannya untuk menyerang.
"Bunuh pemuda sinting itu..."
Tanpa diperintah dua kali, ketiga pengikutnya segera menyerang pemuda gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala menyaksikan tiga orang menerjang ke arahnya.
"Bocah edan Terimalah kematianmu Heaaa..."
Pedang Akhirat yang sudah tahu siapa pemuda yang menjadi lawannya, kini tidak tanggung-tanggung menyerang. Niatnya untuk menghabisi nyawa pemuda itu menggebu. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang yang turut terlibat pembantaian kedua orang tua pemuda itu. Pedang di tangannya bergerak cepat, menusuk ke ulu hati lawan.
Sena Manggala yang diberi julukan Pendekar Gila tersentak kaget mendapatkan serangan yang cepat dan tiba-tiba. Hampir saja pedang itu menghunjam di ulu hatinya, kalau saja pemuda itu tidak segera sadar dan menggeser kakinya ke belakang. Kemudian tubuhnya disorongkan ke kiri, mengelakkan hantaman senjata di tangan Kelangit Sepuh.
Serangan mereka dapat dielakkan Pendekar Gila yang dengan cepat bergerak ke arah semula. Disusul satu gerakan aneh yang kelihatannya sangat lemah gemulai, mirip gerakan orang gila yang sedang menari sambil sesekali menepukkan tangan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', salah satu dari jurus 'Ilmu Silat Si Gila'.
Ketiga orang lawannya terkejut menyaksikan jurus aneh yang dilakukan pemuda itu. Mereka menyangka jurus tersebut sangat lemah, terbukti dari gerakan-gerakannya yang terlihat sangat lamban dan lowong.
Pedang Akhirat kembali merangsek dengan tusukan pedang dan pukulan tangan kiri ke arah lawan. Tapi kali ini dia harus membuka mata lebar-lebar, serta menarik kedua serangannya dengan cepat kalau tidak ingin celaka. Ketika pedang di tangan kanan Pedang Akhirat menusuk yang disusul oleh pukulan tangan kirinya tadi, rupanya pemuda itu membabatkan kedua tangannya pada dada Pedang Akhirat Gemulai sekali gerakan kedua kaki dan tangan pemuda itu, membuat Pedang Akhirat berusaha kembali merangseknya.
Tapi gerakan yang nampaknya lamban itu justru mengandung kekuatan yang kuat. Dari angin pukulannya saja, sudah dapat diketahui bagaimana dahsyatnya gerakan itu. Itu pun belum seberapa, ada yang lebih mengejutkan Pedang Akhirat ketika telapak tangan pemuda itu menepuk.
"Celaka... Jurus gila..." pekik Pedang Akhirat kaget, Dia segera melompat ke belakang untuk menarik tangannya. Tapi justru dengan menarik serangan itu, dirinya kini balik diserang.
Sena masih menggerakkan kedua tangannya seperti menari dengan lemah gemulai. Sesekali tangannya menepuk bagaikan memburu lalat. Kedua kakinya pun turut bergerak, melangkah dengan teratur.
Pedang Akhirat benar-benar terkejut dibuatnya. Segenap tenaganya telah dikerahkan untuk mengelitkan serangan itu. Tapi entah bagaimana caranya, tiba-tiba tangan pemuda itu telah berada persis di depannya. Hampir saja dadanya terhajar kibasan punggung tangan itu.
"Uts... Keparat Pemuda gila ini benar-benar bukan pemuda sembarangan," maki Pedang Akhirat sambil terus bergerak mengelakkan serangan lawan yang datang secara aneh dan susul-menyusul bagaikan tiada henti. Dia makin tidak mengerti, bagaimana mungkin gerakan yang terlihat lamban itu bisa mengejar tubuhnya yang telah mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuh untuk menghindar?
Kedua orang temannya pun sepertiterpaku dengan jurus-jurus yang dilancarkan pemuda itu. Keduanya terpana dan hanya menjadi penonton. Sedangkan Segoro Wedi telah hilang entah ke mana bersama gadis Cina yang telah ditotoknya.
Sambil menyerang dengan jurus-jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena melirik ke tempat Mei Lie berada. Dia terkejut ketika tak melihat gadis itu, begitu juga Segoro Wedi. Pikirannya buyar, hingga dia menjadi lengah. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Pedang Akhirat yang segera menendang ke arah dagu lawan.
Deggg
"Akh..." Sena mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, dan dari sela bibirnya mengalir darah segar. Pendekar Gila meringis, kemudian menyeka darah di sela bibirnya dan diludahkan ke tanah.
Merasa telah dapat menyarangkan sebuah tendangan ke dagu lawan, Pedang Akhirat kembali berkelebat menyerang sebelum pemuda itu sempat menguasai keseimbangannya. Sebuah tendangan, pukulan, serta tusukan pedang mengancam jiwa Pendekar Gila.
"Mampuslah kau, Bocah Edan Heaaa..."
Sena tersentak kaget ketika ujung pedang semakin dekat ke ulu hatinya. Cepat-cepat kakinya digeser ke samping untuk mengelitkan tusukan itu sambil melancarkan tepukan ke arah kening lawan. Tusukan Pedang Akhirat dapat dielakkan, tapi pukulan dan tendangan itu telak menghantam dada dan perutnya, bersamaan dengan tepukan tangannya yang mendarat di kening Pedang Akhirat
"Ukh..."
Tubuh Sena kembali terhuyung-huyung ke belakang. Darah segar makin banyak keluar dari mulutnya. Kedua tangannya memegangi dada dan perutnya yang agak sakit. Sedangkan mulutnya yang basah oleh darah, meringis-ringis dengan napas terasa agak sesak.
Sementara apa yang dialami oleh Pedang Akhirat jauh lebih parah. Akibat tepukan tangan Pendekar Gila, kening Pedang Akhirat hancur dengan memuncratkan darah. Matanya melotot mengerikan.
Melihat temannya mati, Kelangit Sepuh yang juga terlibat pembunuhan kedua orang tua pemuda itu berusaha menyerang, selagi pemuda itu masih dalam keadaan luka dalam. Benda bulat berduri kini mendesing di atas kepala Sena. Dan sambil menahan rasa sakit, kakinya digeser agak mendatar, kemudian mendoyongkan tubuhnya ke samping kanan.
Benda bulat berduri itu lalu menghantam ruang kosong. Pemuda tampan itu dengan masih menahan rasa sakit, kembali bergerak mengelitkan serangan susulan benda bulat berduri yang berada di tangan Kelangit Sepuh. Benda itu terus mencecarnya, seperti tidak memberi kesempatan padanya untuk mengatur napas.
"Pecah batok kepalamu, Bocah Gila..." bentak Kelangit Sepuh sambil menyerang kembali dengan senjata mautnya.
Bola baja berduri itu sekali lagi mengancam kepala Sena. Dan, kalau tidak dapat dielakkan, pasti kepalanya akan hancur. Meski pemuda itu merasakan rasa sakit yang tak terkira di dada dan perutnya, dia tetap berusaha bertahan dari serangan lawan.
Singgg...
Senjata lawan menderu ke arah Pendekar Gila. Sesaat lagi, pasti batok kepalanya akan remuk dihantam rantai berduri milik lawan. Dalam keadaan kritis, pemuda itu mencabut Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian ditebaskannya suling itu ke atas dengan mengerahkan sisa tenaga dalamnya yang dilapisi Racun Kabut Ungu.
"Heaaa..."
Trang
Percikan bunga api keluar ketika dua senjata itu beradu. Pendekar Gila terpental, jatuh terduduk dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Sedangkan mata Kelangit Sepuh melotot tegang ke arahnya. Dari mulutnya keluar kata terputus-putus.
"Kau.... Kau Pendekar Gila.... Kau pemilik Racun..., Ka...."
Belum usai ucapannya, tubuh Kelangit Sepuh telah terjungkal setelah mengeluarkan darah kehitaman. Sesaat dia mengerang, kemudian mati dengan tubuh biru Nyi Bangil terlonjak ke belakang dengan mata melotot tegang. Tatapannya ngeri, menyaksikan betapa dahsyatnya tenaga dalam pemuda gila itu. Tanpa sadar, mulutnya mendesiskan julukan pemuda itu.
"Pendekar Gila...? Pendekar Gila dari Gua Setan..."
***
SEPULUH
Nyi Bangil menghampiri pemuda tampan berbaju rompi kulit ular yang tengah duduk bersila. Kelihatannya pemuda itu tengah berusaha menyembuhkan luka dalamnya akibat tendangan dan pukulan Pedang Akhirat. Dari tubuhnya mengepul asap berwarna ungu, menjadikan Nyi Bangil terkejut dan melompat mundur. Matanya membelalak, dan dari mulutnya keluar desisan.
"Racun Kabut Ungu... Hei, dari mana pemuda gila ini mendapatkan racun langka itu?"
Nyi Bangil masih tertegun, setelah melangkah untuk menjauh. Dia tahu, apa-apa yang baru saja keluar dari tubuh pemuda itu. Kalau orang biasa, sudah barang tentu akan lumpuh dan mati. Tapi pemuda itu justru mampu mengatur racun ganas itu di dalam tubuhnya, sehingga bisa digunakan untuk menyembuhkan luka dalam.
Pendekar Gila membuka matanya perlahan setelah tubuhnya dirasakan pulih kembali. Matanya memandang tajam pada Nyi Bangil yang mendadak ketakutan.
"Aku telah siap melayanimu bertarung, Nyi..." tantangnya dingin.
Semakin menjadikan Nyi Bangil menggigil ketakutan. Bagaimanapun juga, dia telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatan ilmu pemuda gila yang diyakininya sebagai pewaris tunggal Ilmu Singo Edan.
"Ti..., tidak. Ampunilah aku.
Sungguh bukan maksudku untuk ikut komplotan Segoro Wedi. Aku sangat mengharap pertolongan darimu, Tuan Pendekar...," desis Nyi Bangil lirih.
Nyi Bangil terdiam sesat, matanya memandang wajah pemuda yang tampan itu tanpa berkedip, menyebabkan hati wanita itu tiba-tiba bergetar. Kemudian, napasnya dihela dengan tarikan berat
"Dugaanku tentang dirimu pasti benar"
"Hm, dugaan apa?" gumam Sena.
"Apa yang kau lihat?"
"Dilihat dari jurus-jurus yang kau lakukan, serta asap ungu yang keluar dari tubuhmu, aku tak sangsi lagi kalau kaulah pewaris ilmu si Gila. Sungguh beruntung kau menjadi pewaris ilmu langka itu.
Untuk itulah, kumohon pertolonganmu. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk seluruh rakyat yang sangat mengharapkan pertolonganmu."
"Aku masih tidak mengerti, Nyi," sahut Sena seraya berdiri dari silanya.
"Kau harus mengerti. Sebagai seorang pendekar, apalagi sebagai pewaris ilmu si Gila, kau harus mengerti penderitaan orang yang selama ini dalam cengkeraman Segoro Wedi," tutur Nyi Bangil menegaskan.
"Hm, itukah yang kau inginkan?"
"Bukan hanya aku, tapi banyak orang," tegas Nyi Bangil.
Sena mengerutkan kening, kemudian muncul lagi tingkah gilanya. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya, lalu terdengar gelak tawanya yang membahana.
"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Nyi. Memang selama Segoro Wedi masih hidup, wilayah kadipaten ini tak akan aman. Hm, baiklah. Aku akan membantumu."
"Kalau begitu, cepat kita menyusulnya" ajak Nyi Bangil yang kemudian lari menuju ke arah utara, diikuti oleh Sena.
***
Segoro Wedi baru saja hendak melepaskan pakaiannya untuk menggeluti Mei Lie yang masih tak berdaya dalam pengaruh totokan, ketika terdengar suara gelak tawa menggelegar disusul oleh teriakan keras.
"Segoro Wedi, aku datang untuk menagih hutang padamu"
Segoro Wedi yang merasa hasratnya terganggu, seketika menjadi marah. Pakaiannya kembali dikenakan. Kemudian dengan membawa harpa di pundaknya, Segoro Wedi keluar untuk melihat siapa yang berani berkoar di tempatnya.
Kening Segoro Wedi mengerut ketika tahu siapa yang datang. Dilihatnya seorang pemuda berompi kulit ular yang tingkah lakunya seperti orang gila. Tetapi bukan pemuda gila itu yang membuat keningnya berkerut melainkan wanita cantik yang datang bersamanya.
"Kau...? Rupanya kau telah berkhianat, Bangil Jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan kuhancurkan?" dengus Segoro Wedi marah melihat Nyi Bangil berkomplot dengan pemuda gila itu.
"Segoro Wedi, dari dulu aku memang menunggu saat-saat seperti ini Aku memang mencintaimu, meski kutahu kaulah pembunuh kedua orangtuaku," tutur Nyi Bangil. "Tapi kau benar-benar iblis berbentuk manusia Cintaku yang tulus, malah kau permainkan. Kau jadikan aku budak nafsumu. Kini, terimalah kematianmu"
Segoro Wedi tergelak-gelak mendengar ancaman Nyi Bangil. Dia masih menganggap enteng pemuda berkelakuan gila yang bersama Nyi Bangil.
"Rupanya kalian datang untuk mengantar nyawa. Baiklah, jika itu yang kalian minta. Tapi sebelum itu, aku ingin tanya pada pemuda gila di sampingmu itu...," ujar Segoro Wedi seraya menunjuk Sena. "Anak muda, tingkah lakumu mengingatkan aku pada Pendekar Gila dan muridnya yang bernama Singo Edan. Ada hubungan apa kau dengan mereka?"
Sena Manggala tertawa riuh sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Dengar, Segoro Wedi Aku adalah murid tunggal Singo Edan, yang berarti cucu murid Si Gila dari Gua Setan"
Segoro Wedi terkejut mendengar penuturan pemuda gila yang mengatakan pewaris tunggal ilmu silat Gila dari Gua Setan. Tapi hatinya yang sudah diliputi kepongahan tak mau peduli dengan semuanya.
"Anak muda, aku tak peduli kau cucu murid Si Gila dari Gua Setan Aku Segoro Wedi, penguasa rimba persilatan tak akan takut menghadapimu Bersiaplah kalian untuk mampus. Heaaa..."
Tubuh Segoro Wedi melesat menyerang dengan harpanya ke arah Pendekar Gila dan Nyi Bangil. Harpa di tangannya seketika menjadi sebuah senjata yang sangat dahsyat dan membahayakan. Sehingga memaksa keduanya melompat untuk mengelakkan serangan itu.
Nyi Bangil yang sudah tak sabar lagi untuk menghabisi manusia keji itu segera mencabut pedangnya. Kemudian dengan cepat menyerang ke arah Segoro Wedi.
"Hiaaat.."
Melihat serangan pedang Nyi Bangil menuju ke arahnya, cepat Segoro Wedi menggeser kakinya ke samping. Kemudian dengan memiringkan tubuh, tangannya yang memegang harpa menderu ke arah lawan.
Serangan Nyi Bangil dapat dielakkan, malah harpa di tangannya menghantam punggung wanita cantik yang selama ini menjadi pelampiasan nafsunya. Wanita itu memekik, dan tubuhnya terpelanting ke depan, kemudian jatuh dengan muka mencium tanah.
Melihat Nyi Bangil jatuh, Pendekar Gila dengan geram melenting untuk menyerang. Jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' dikeluarkannya, membuat tubuhnya meliuk-liuk laksana menari dengan tangan sesekali menepuk ke arah lawan. Gerakannya kelihatan lamban dan lemah gemulai, membuat Segoro Wedi menganggap enteng.
Segoro Wedi segera menyabetkan harpa di tangannya ke arah lawan. Dia menyangka gerakan Pendekar Gila yang lamban dan lemah itu tak akan mampu mengelakkan sabetan harpanya. Tapi betapa terkejut hatinya ketika menyaksikan apa yang terjadi.
Pemuda berkelakuan seperti orang gila yang mengaku sebagai pewaris ilmu Si Gila dari Gua Setan dan menurut dugaannya tak akan mampu mengelakkan serangannya, ternyata justru sebaliknya. Meski gerakan pemuda itu kelihatan lamban dan lemah, namun justru dengan mudahnya mengelak.
Hanya dengan menggeser kaki ke samping dan melenturkan tubuh dengan membungkuk dan mendongak, semua serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan kini tepukan pemuda itu mengejutkan Segoro Wedi.
Plak
Hampir saja Segoro Wedi dapat ditepuk oleh tangan pemuda itu, kalau tubuhnya tidak segera melompat ke belakang. Tidak alang kepalang kagetnya Segoro Wedi ketika tiba-tiba tangan pemuda yang seperti menari itu telah dekat ke arahnya. Padahal dia telah menguras ilmu meringankan tubuh, namun tetap saja pemuda itu mampu mengejarnya.
"Jurus gila..." pekik Segoro Wedi, kecut menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan pemuda itu. Tapi sebagai orang yang telah banyak pengalaman, Segoro Wedi tidak mau mengalah begitu saja. Segera tubuhnya melenting untuk mengelakkan serangan Sena, kemudian dengan cepat dibukanya jurus andalan yang dinamakan 'Cakar Seribu Iblis'
Tangan Segoro Wedi seketika berubah menjadi banyak karena cepatnya. Tangan dengan jemari membentuk cakar itu, kini mencabik ke arah Pendekar Gila. Ke mana pemuda itu bergerak, tangan Segoro Wedi terus mencecarnya dengan cakaran-cakaran maut
"Hiaaat.."
Tangan itu terus bergerak dengan cepat, mencakar atau mencengkeram ke arah Pendekar Gila yang hanya mengelak dan melompat. Belum juga pemuda itu bisa melepaskan diri dari serangan gencar 'Cakar Seribu Iblis', Segoro Wedi telah menambah serangannya dengan pukulan maut yang dinamakan 'Pukulan Pasir Baja'.
Pukulan itu semakin merepotkan Pendekar Gila yang belum berpengalaman dalam rimba persilatan. Beberapa kali Pendekar Gila harus berjumpalitan untuk mengelakkan serangan-serangan maut yang dilancarkan Segoro Wedi. Nampaknya Segoro Wedi tidak mau memberikan waktu barang sekejap untuk bernapas. Dia terus mencecar pemuda itu dengan pukulan dan jurus mautnya.
"Gawat.. Kalau terus begini, bisa-bisa aku mampus" gumam Sena perlahan.
Tubuhnya terus bersalto mengelakkan serangan gencar lawan. Sekali saja dia lengah, berarti kematian baginya.
"Mampuslah kau, Pemuda Gila Tamatlah riwayatmu.... Ha ha ha..."
Segoro Wedi kian bertambah congkak dan pongah menyaksikan lawannya hanya mampu bersalto mengelitkan serangan-serangannya. Dia semakin gencar menyerang, menguras tenaganya. Pendekar Gila terus berpikir sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ah, kenapa aku tidak mencoba menggunakan jurus 'Si Gila Membelah Awan'? Pikir Pendekar Gila.
Kemudian setelah melakukan salto mengelakkan serangan lawan, pemuda itu mengeluarkan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Tangan dan kakinya dipentang lebar-lebar. Kemudian napasnya ditarik dalam-dalam. Dan setelah itu, secara bersamaan kedua tangannya bergerak seperti membelah dan kakinya menendang-nendang sesuatu.
"Hiaaat.."
Wesss...
Segoro Wedi tersentak kaget, melihat serangannya dapat dikandaskan oleh jurus yang dilakukan oleh lawannya. Kini giliran pemuda itu mencecarnya dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', sebuah jurus yang dahsyat. Setiap sabetan tangan-tangan yang bergerak membelah, menimbulkan desingan angin yang dahsyat
"Edan Rupanya dia benar-benar Pendekar Gila dari Gua Setan Semua jurus yang dilakukannya adalah jurus-jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila'" pekik Segoro Wedi kaget sambil terus mengelakkan serangan-serangan Pendekar Gila yang dahsyat namun terlihat lamban.
Segoro Wedi berkelit, mencoba mengelakkan sabetan tangan dan jejakan kaki Pendekar Gila. Tapi malang ternyata gerakan yang dilakukan Pendekar Gila tadi hanya sebuah jebakan. Selanjutnya serangan-serangannya tak dapat dielakkan lagi.
Deggg
Kaki Pendekar Gila mendepak punggung Segoro Wedi sangat keras, sampai-sampai tubuhnya terhuyung ke depan hingga tersuruk mencium tanah. Pendekar Gila tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dibiarkannya Segoro Wedi merutuk dan mencaci maki sambil berusaha bangun. Dia terus tertawa, berjingkrak-jingkrak seperti monyet gila.
"Bangsat Jangan kira aku akan kalah olehmu, Pendekar Gila Meski ilmu gilamu memang hebat, tapi aku tak akan kalah. Terimalah ini..."
Segoro Wedi segera menggerakkan jemarinya untuk memetik senar harpa. Seketika alunan harpa terdengar. Suara itu melengking tinggi, membuat gendang telinga bagaikan hendak pecah. Pendekar Gila tersentak, segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk membendung suara dentingan senar harpa yang memekakkan. Tapi, ternyata suara itu jauh lebih kuat menyerang telinganya.
"Ohhhh...," keluh Sena.
Seketika lututnya teras lemas dan perlahan-lahan tubuhnya semakin merendah dan kian rendah. Dan kini dia berlutut dengan kedua tangan masih menutup telinganya yang semakin terasa sakit
"Ha ha ha..."
Mendadak Sena melepas tawa keras menggeledek. Suara tawanya amat dahsyat, hingga mampu merontokkan daun pohon sekitar arena pertarungan. Tapi tetap saja desakan suara harpa masih dirasakannya.
Tubuh Sena menggigil, menahan rasa sakit yang tiada terkira. Semakin dia mencoba mengerahkan hawa murni dan tenaga dalam, kian terasa sengatan suara itu. Saat tubuhnya masih terduduk, dicobanya untuk memusatkan pikiran. Dicobanya terus untuk bertahan dari serangan suara harpa.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Pendekar Gila teringat pada Suling Naga Sakti pemberian Eyang Singo Edan yang ada di pinggangnya. Seketika suling itu dicabut dari pinggangnya, kemudian ditiupnya.
Suara Suling Naga Sakti yang ditiup oleh Pendekar Gila mengalun lembut. Semakin lama semakin bertambah kencang melengking. Suara suling itu terus mendesak suara harpa yang tak juga mau kalah.
Glarrr
Terdengar ledakan menggelegar, ketika dua kekuatan saling beradu. Sedangkan kedua orang yang tengah bertarung itu sama-sama terpental. Segoro Wedi terpental tiga tombak ke belakang dengan darah meleleh di sela bibirnya. Sedangkan Pendekar Gila tersurut dua tindak dalam keadaan tetap bersila.
"Uhk..., uhk.... Kau hebat, Pendekar Gila Tapi aku belum mau kalah. Terimalah seranganku. Heaaat.."
Tubuh Segoro Wedi melesat bagaikan terbang. Harpa di tangannya kini siap menghantam lawan. Pendekar Gila tak mau tinggal diam. Dia pun melesat dengan Suling Naga Saktinya.
"Heaaa..."
Dua orang berilmu tinggi, kini sama-sama melesat laksana terbang. Dua senjata di tangan mereka siap untuk menentukan siapa yang lebih hebat.
Sedangkan tangan kiri mereka yang kosong, telah siap melakukan serangan pukulan sakti masing-masing. Pendekar Gila dengan 'Pukulan Inti Bayu'nya. Sedangkan Segoro Wedi kembali mengeluarkan 'Pukulan Pasir Baja'nya. Serangkum angin menderu keluar dari tangan Pendekar Gila. Sedangkan selarik sinar seperti jutaan pasir keluar dari tangan Segoro Wedi.
"Heaaa..."
Dua senjata di tangan mereka, dan pukulan sakti di tangan kiri masing-masing siap beradu. Dan....
Trak Desss
"Hiaaat.."
Trak Desss
'Pukulan Pasir Baja' yang dilontarkan Segoro Wedi tersapu oleh 'Pukulan Inti Bayu' yang dilontarkan Pendekar Gila. Tubuh Segoro Wedi bahkan turut terpental dan melayang bagai tanpa bobot, diikuti pekikan menyayat.
Sementara harpa yang menjadi senjata andalannya nampak hancur berantakan, tak mampu menandingi Suling Naga Sakti. Saat tubuh Segoro Wedi melayang, dengan cepat Nyi Bangil segera berlari menyongsongnya. Pedang di tangan wanita cantik itu berkelebat cepat
"Hiyaaa..."
Desss
"Aaa..."
Lengkingan kematian terdengar, bersamaan dengan ambruknya tubuh Segoro Wedi tanpa nyawa. Tubuhnya hancur terbabat pedang Nyi Bangil yang kini justru menangisi kematiannya. Kematian orang yang dicintai, sekaligus dibencinya.
Pendekar Gila tertegun sesaat menyaksikan kejadian itu. Kemudian dia melesat ke kediaman Segoro Wedi untuk mencari Mei Lie.
"Nona Mei Lie.... Di manakah kau...?"
"Koko.... Aku di sini," terdengar jawaban dari kamar yang tertutup.
Pendekar Gila segera menuju kamar itu. Alangkah terkejutnya dia ketika membuka pintu kamar tersebut Matanya membelalak, memandang tubuh Mei Lie yang terkulai polos tanpa sehelai benang pun.
"Koko...," desis Mei Lie agak tersipu-sipu.
Sena segera bergerak cepat. Dibukanya totokan pada tubuh gadis cantik itu.
"Koko.... Oh Terima kasih, Koko...," desah Mei Lie seraya memeluk tubuh Sena dalam keadaan masih polos. Hal itu membuat Sena salah tingkah.
"Kenapa, Koko. Kau tak suka jika aku senang?" tanya Mei Lie yang melihat Sena kebingungan.
"Bukan begitu, Nona Mei Lie. Tapi...."
"Tapi apa? Katakanlah, Koko...?" desak Mei Lie dengan tatapan mata penuh harap. Ada detak aneh yang berdentang dalam dadanya kalau matanya beradu pandang dengan pemuda tampan itu.
"Aku senang jika kau senang, Nona...."
"Jangan panggil aku nona. Panggil saja namaku..."
"Baiklah, Mei.,.. Kenakan lah pakaianmu dulu," kata Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya.
Mendengar ucapan itu, Mei Lie langsung menyadari keadaannya yang tidak berpakaian. Kemudian, tubuhnya membungkuk untuk mengambil pakaiannya yang tergeletak di bawah ranjang. Dan dengan tergesa-gesa, setelah membalikkan tubuh, dia mengenakan kembali pakaiannya. Tapi ketika telah selesai dan membalikkan tubuh kembali, Sena telah tiada.
"Koko..."
Mei Lie lari ke luar. Namun tetap saja dia tidak menemukan pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila itu. Dia hanya menemukan sebaris tulisan Aku tak bisa membawamu, Mei Lie.
Pengembaraanku tak menentu. Si Gila.
"Koko.... Tak tahukah kau akan isi hatiku?" tangis Mei Lie setelah membaca tulisan itu, "Terus terang, meski kau gila, aku mencintaimu. Kau telah banyak menolongku.... Mengapa kau tinggalkan aku?"
Gadis itu masih menangis, ketika sebuah belaian lembut menyentuh rambutnya. Mei Lie menengok, dan melihat seulas senyum di bibir seorang wanita cantik yang matanya masih sembab karena habis menangis.
"Sudahlah, Nona.... Jangan kau tangisi kepergiannya. Kalau memang jodohmu, kelak kalian akan bertemu," hibur Nyi Bangil.
"Kuharap begitu, Cici...," desah Mei Lie hampir tak terdengar.
Kemudian Nyi Bangil membimbing Mei Lie meninggalkan tempat itu yang kembali sepi bagaikan mati.
Post a Comment
0 Comments