lima laknat malam kliwon




WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito

MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN BUKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng yang terbit sebelumnya, berjudul "Munculnya Sinto Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto Gendeng bersama seorang kakek sakti bernama Ki Rana Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja sendiri yaitu Pangeran Jingga. Tugas ke tiga orang itu dalam membantu menyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain Bergola Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri), Si Tangan Besi (mati), Malaikat Serba Biru (mati), dan Nenek Kelabang Merah (mati). Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantu kaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan Turonggo Wesi (Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati). Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau mereka menolak namun Raja memaksa menyerahkan sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga rahasia ini kemudian dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Telaga Emas Berdarah". Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212 terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan orang bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang murid? Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata pada sang guru. "Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada muridnya!" Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah merah dan membentak. "Apa maksudmu anak sableng?" "Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar dari mata dan merontokkan tubuh kelabang sakti…!" "Hemm… begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu sekarang, anak sableng…?" "Dua… dua puluh satu Eyang!" "Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!" Wiro garuk-garuk kepalanya. "Mengapa begitu, Eyang?" "Selama sepasang matamu masih terpikat pada keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus mulus, selama kau suka melihat aurat perempuan yang terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal dapat menguasal ilmu itu!" Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya. "Ah… nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan paha putih. Ha… ha… ha…. Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu! Ha… ha… ha!" 2 DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGAD WIRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya telah menggelincir jauh ke barat. Sebentar lagi sang mentari ini akan segera tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa haus. Maka diapun melangkah ke jurusan datangnya suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan lalu tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro melihat si nenek duduk sambil bertopang dagu, menatap ke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu. "Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu senyumnya menyeruak. Kembali dia membatin. "Jangan­jangan dia sengaja menunggu aku di sini. Jangan-jangan dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik sinar biru yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir begitu Wiro segera dekati Eyang Sinto Gendeng dan menegur. "Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata nongkrong di sini. Apakah kau hendak mandi mem­bersihkan diri dengan air pancuran?" "Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa yang mau mandi? Apa kau kira aku tidak pernah mandi­mandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah pancuran. Sang murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu dan pakaianmu tidak bau pesing!" "Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam hati?!" Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau. "Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam hati!" Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak berucap apa-apa. Cuma aku heran melihat kau ada di sini. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau mendadak berubah pikiran?" "Anak setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana yang berubah? Atau kau mau bilang aku berubah jadi setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja menatap ke arah pancuran bambu. "Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empat puluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan ilmu dua jalur sinar biru itu sekarang juga…." "Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku di puncak Gunung Gede! Apa selama itu kau pernah melihat aku berubah pikiran?!" "Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih senyum dan kali ini sambil garuk kepala. "Tapi per­timbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah. Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam rimba persilatan semakin besar. Hingga…." "Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu dua larik sinar biru itu! Begitu?!" "Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar. Lima tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala si nenek berjingkrak. Mulutnya yang kempot digembungkan. "Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai aku menggebukmu karena muak!" "Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku tidak memikirkan lagi soal ilmu itu. Juga tidak untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu itu harus dimanfaatkan selagi muda untuk menolong sesama…. " Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa mengekeh. "Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar hatiku bisa terenyuh! Hik… hik… hik! Sekalipun angin sejuk atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan mengganggu diriku lebih lama!" Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak Eyang, aku minta diri sekarang. Tapi kalau boleh aku memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama berada di tempat ini…." "Eh, memangnya kenapa? Siapa yang berani melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air pancuran. "Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar sini ada binatang buas aneh berkepala macan tapi cuma punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka menggeragot benda jelek dan bau-bau!" "Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan bau! Kau sengaja menghina mempermainkan diriku! Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri hendak memukul sang murid. Tapi sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat. Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal Eyang…. " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar si nenek berseru. "Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!" Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar berbalik hati. Pasti dia memanggilku untuk mengajarkan ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot itu memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti emas…." Sambil tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi dan tetap menatap ke arah pancuran bambu. "Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?" "Malam ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan. Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga si nenek akan bicara soal ilmu kesaktian itu. Ternyata malah mengajukan pertanyaan aneh. "Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu mendadak gagu?! Atau kupingmu tiba-tiba budek?!" Sinto Gendeng membentak. Sang murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari ini hari Kamis, Nek. Malam nanti jelas malam Jum’at…." "Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan nanti malam Jum’at! Yang aku ingin tanya malam nanti malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atau Kliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun masih saja konyol dan geblek!" Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah, mungkin sekali malam nanti adalah malam Jum’at Kliwon, Nek…." Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya dari air pancuran yang sejak tadi diperhatikannya. "Jangan bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!" Si nenek menghardik. Wiro perhatikan wajah sang guru. Seperti ada perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu. "Aku… aku yakin malam nanti adalah malam Jum’at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi. "Kau yakin?!" "Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa heran, mengapa sang guru bertanya begitu. Ketika dia memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek berubah. "Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum’at Kliwon ya sudah! Pergi sana…." "Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek? Jadi sekarang aku pergi saja?" "Apa kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng. "Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk Eyang sebelum pergi?" tanya Wiro. "Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!" jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arah pancuran bambu. Melihat sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Lupa kalau sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang berganti malam. Kegelapan mulai merayap pekat. Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua tangannya untuk rnenampung air pancuran yang sejuk. Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik. Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya "Mereka sudah datang…" kata si nenek dalam hati. "Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku mau lihat apa benar begitu! Hik… hik… hik." *** 3 DENDAM DELAPAN TAHUN SINTO GENDENG!" satu suara membentak dalam kegelapan. Orangnya tegak mende kam di sebelah kanan si nenek. "Delapan tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir! Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan padamu untuk bertobat minta ampun!" Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahan saja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang lalu berusaha tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menem­pelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan. "Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan pertemuan memang bukan manusia yang mengatur! Tetapi ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir di pinggir comberan liang kubur! Hik… hik… hik!" Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang mengurung dalam gelap menjadi marah. Namun mereka masih bisa mengendalikan diri. "Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya. "Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup membuat senjata sendiri?!" "Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata orang lain!" orang di sebelah belakang menjawab. "Tapi jika kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha… ha… ha! "Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau hatimu juga polos! Delapan tahun kau menguntit aku! Apa hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar kalau kubunuh kalian satu persatu aku tidak penasaran lagi! Hik… hik… hik!" Sinto Gendeng balas tertawa. Orang di samping kanan Sinto Gendeng mendengus marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak oleh si nenek sambil jentikkan tangan kanannya. "Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!" "Wuuussss!" Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin yang membuat sebuah batu serta tanah di depan orang yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat bersurut dan tegak diam di tempatnya. "Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan awas! Aku tidak begitu suka melihat orang bicara ngawur!" "Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah kanan berucap datar. "Weehhh! Dendam yang mana? Delapan tahun kemana­mana membawa dendam pasti kau repot keberatan! Hik… hik!" "Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan nyawa dan darahmu!" "Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang majulah mendekat. Biar kulihat tampangmu!" Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana berbahayanya Sinto Gendeng. "Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka barong! Mana aku bisa mengenali dirimu!" Sinto Gendeng geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia melirik empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan juga mengenakan topeng menutupi wajah masing-masing. "Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang rimba persilatan mana yang tidak tahu siapa kami! Sinto Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa yang kami bawa!" "Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia berjubah hitam yang separoh dari usianya sengaja menjalani hidup dengan menutup muka! Hik… hik… hik. Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan menggelari kalian karena selalu muncul menebar maut hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual nama dan tampang di depan Sinto Gendeng!" . "Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak perlu susah payah berikan keterangan!" Orang di sebelah kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan kepala pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah hitam itu segera melesat menyerbu si nenek yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas batu di depan pancuran bambu. "Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng tidak ada lagi di atas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong. Di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa molos! Hik… hik… hik! Sungguh memalukan!" ‘ Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Lima Laknat Malam Kliwon kertakkan rahang sama menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan serta merta menghantam. "Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang. "Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada mental berantakan. "Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di hantam lima pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi. "Hik… hik… hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di sini!" Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang. Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulan yang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahu­tahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air pancuran. Malah saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah terkempot-kempot! "Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan jurus Lima Bintang Jatuh!" salah seorang dari lima orang bertopeng berteriak marah. Lima sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto Gendeng! 4 LAKNAT BERNASIB MALANG DARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar setengah lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri ditendangkan ke depan. "Bukkk!" "Bukkk!" "Dukkkk!" Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah. Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si nenek menggeram kesakitan. Di sebelah depan, satu dari lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambil mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah, menggeliat-geliat sambil pegangi perut. Kelihatannya dia cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit berdiri kembali dan bergabung dengan empat temannya. Perkelahian lima lawan satu itu berkecamuk semakin hebat. Lima Laknat Malam Kliwon lancarkan serangan sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di muka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan di tubuh lawan namun keadaan Sinto Gendeng saat itu benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima pengeroyok dengan tenang. Mulutnya yang dipenuhi susur terkempot-kempot dan termonyong-monyong. Memasuki jurus ke sembilan serangan Lima Laknat Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera, Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Jurus-jurus pertahanan itu diselingnya dengan jurus­jurus menyerang Segulung Ombak Menerpa Karang, Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung Memukul Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan. Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan Angin Puyuh. Lima pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali mereka. Dikeroyok lima ternyata si nenek bukan saja mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri masing-masing dan mengurung rapat agar lawan tidak lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak bagaimana bisa merobohkan Sinto Gendeng. Di jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk mendaratkan serangan terlihat oleh tiga dari lima pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan jotosan ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang. Inilah jurus yang disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus ini mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang! "Braaakkk!" Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada lawan paling depan. Orang ini adalah yang sebelumnya juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di tanah dan ada darah meleleh keluar dari bawah topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik pada kawan di sebelahnya. "Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya menemui kesia-siaan! Jahanam betul! Ternyata nenek ini sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada kawan­kawan, agar segera tinggalkan tempat ini!" "Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan bertanya. "Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kita menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal kena digebuk nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar. Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!" "Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu ditakutkan? Lagi pula kita belum pasti apa benar dia memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu!" "Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus lebih dulu silahkan tinggal di sini!" Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia berjubah dan bertopeng hitam itu akhirnya segera berkelebat melarikan diri. Sinto Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah. Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya lalu segera dekati orang yang ditinggalkan kawan­kawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada kabur! Kalian biasa membunuh orang di malam Kliwon! Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di malam Kliwon ini! Hik… hik… hik!" Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak di tanah terdengar suara bergumam. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya. Dengan mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus hanya tinggal tulang serta kotor, enak saja Sinto Gendeng tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara seruan tertahan dan tersurut dua langkah. "Kau!" *** 5 BAHALA DARI TELUK AKHIRAT ORANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara mengerang. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta dalam derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih kelihatan gagah. "Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak salah melihat? Benar kau…?!" Sepasang mata si nenek melotot tak berkesip. Si kakek kedipkan matanya satu kali. "Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku… Suro Ageng…." Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping kakek bernama Suro Ageng itu. "Belasan tahun kita tidak bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini…? Ah! Kalau aku tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan tangan jahat…." "Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima akibat! Itu nasib diriku!" "Suro…." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek hingga lebih tinggi. "Mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam Kliwon?" "Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku dengan tuba sejak sepuluh tahun silam. Jika aku dan kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan memberikan obat penawar!" "Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan Lima Laknat Malam Kliwon itu?" "Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk menyelidik. Apakah selama belasan tahun berpisah kau selalu balk-baik Sinto?" Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah yang tengah sekarat menahan sakit itu. Dua mata si nenek tampak berkaca-kaca. "Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu terhadapku seperti di masa muda dulu…. " "Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi kemudian dia merasa menyesal berkata kasar begitu dan gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin. "Ah, kau masih galak seperti dulu saja…" kata Suro Ageng menyeringai lalu mengerang kesakitan. Sinto Gendeng tersenyum dan usap kepala si kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuh dan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng gelengkan kepala dan berkata. "Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu pertanda kau masih mengasihiku. Tapi tak ada gunanya Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku agaknya sudah remuk…." "Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!" kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul kepalanya sendiri. Suro Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku merasa bahagia. Karena tidak pernah menyangka bakal menemui ajal di sampingmu…." Darah mengucur lagi dari mulut si kakek. "Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau pasti sembuh!" Kembali si nenek meraba ke balik pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa yang dilakukan Sinto Gendeng. Namun belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau busuknya binatang hutan. "Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam dirimu…" kata Suro Ageng. "Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku hendak menolongmu!" "Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara menjawab lalu orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng dan Suro Ageng. Orang ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping mencuat ke atas. Dia memiliki dua buah tangan panjang menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Dua matanya sangat kecil dan sipit, seolah terpejam. Baik Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan. Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto…." "Aku ingat. Siapa takut…!" "Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan menganggap enteng dirimu. Tapi manusia ini punya ilmu jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa saja dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan tidak berbau!" "Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi monyet tangan panjang ini!" Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan ketika dia melihat satu keanehan terjadi dengan sosok orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar menciut pendek sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang. "Plaakkk!" "Plaakkk!" Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar memayungi tempat itu hingga suasana menjadi sangat gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke atas. Si nenek tercekat! Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu kini kelihatan dua ekor kelelawar raksasa mengepakkan sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan sinar merah memandang membersitkan maut pada Sinto Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi runcing pertanda beringas. Sepasang kaki dua kelelawar raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang yang memegangnya. "Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil" Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Sosok kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua kelelawar jejadian menguik dahsyat. Sebelum Sinto Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan angin kencang. "Seribu Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto! Lekas menyingkir!" Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap saja pasang kuda-kuda siap untuk menghantam dengan pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat itu juga ke dua orang itu megap-megap roboh ke tanah. "Plaakk!" "Plaakk!" Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang yang memegangnya membesar kembali. Begitu sampai pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa bergelak dia tinggalkan tempat itu. *** 6 PENGORBANAN DI AKHIR HAYAT DI SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan. Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat akan gurunya yang ditinggalkan sendirian. Memang si nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu malam apa. Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat di antara rerumpunan semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh silat kaki tangan pemberontak," pikir Wiro. "Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari rombongan di dalam gelap berkata. Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa gerangan orang-orang ini…" pikir Wiro. Lalu didengarnya salah seorang dari mereka berkata menyahuti ucapan kawannya tadi. "Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yang menghabisi pentolan pemberontak? Kita jangan sampai terlibat! Urusan kita ada yang lebih penting." "Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi menemui Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui. Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah timur dan lenyap dalam kegelapan. Wiro keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil usap-usap dagu, coba menduga-duga siapa adanya ke empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang disebut setan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?" Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan lanjutkan perjalanan. Karena mempergunakan ilmu lari cepat dan me nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Namun betapa kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar seorang kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya kelihatan nyalang. "Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan kepala si nenek di atas pangkuannya. Sosok kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit. "Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah sapu tangan hitam dalam saku pakaianku…." "Katakan apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro memotong ucapan orang. "Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng dalam bahaya besar. Dia bisa mati dalam beberapa kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu tangan hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam mulut Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai terlambat!" Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera lakukan apa yang dikatakan orang. Di dalam saku kanan pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada empat butir benda bulat sebesar ujung jari kelingking. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke dalam mulut gurunya. Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan melewati tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke dalam usus besar, Sinto Gendeng menggeliat dan keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi. "Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat obat yang ditelannya!" teriak Wiro marah. Tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala si kakek. "Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu menduga buruk. Gurumu hanya pingsan tanda obat tengah bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang penting Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian. Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan denyutan nadi tanda dia masih hidup…." Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada denyutan pada urat besar si nenek. "Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi. Dan kau sendiri siapa?" "Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri tahu…. Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satu­satunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari kelumpuhan…." "Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?" "Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa Kematian. Tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa yang tidak kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih berat dari udara maka hawa beracun ini selalu mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang bisa lolos dari kematian…." "Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung Roh itu. Akan kucari dan kucincang sampai lumat manusia keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang. "Hai! Kau belum menerangkan siapa dirimu!" "Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa muda…. Aku…." "Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong…. Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada Eyang Sinto Gendeng?" "Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk gurumu. Tapi jika dibagi dua daya kekuatannya jadi berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku sendiri sudah pasrah menghadapi maut…." "Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya sebelumnya. Ketika dia memperhatikan pula pakaian si kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan jubah hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang Sinto Gendeng jadi curiga. "Kek, sebelumnya aku melihat empat orang me­ngenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan mereka…?" "Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat Malam Kliwon?" "Pernah…" jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya guruku pernah bertanya malam ini malam apa! Bukankah malam ini malam Jum’at Kliwon? Berarti…!" Sepasang mata sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah satu dari mereka!" Suro Ageng mengangguk perlahan. Rahang Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika Lima Laknat Malam Kliwon muncul di malam Kliwon berarti ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangan kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!" "Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal…." "Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak perduli! Biar kupecahkan dulu batok kepalamu!" Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidak bergerak, berkedippun tidak seolah pasrah. Tiba-tiba dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng. "Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku dengan nyawanya! Mengapa kau hendak membunuhnya?!" "Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak bangkit dan duduk di tanah. Ketika dia mencoba berdiri ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak merasa apa-apa. Maka menjeritlah si nenek! Lalu terkulai pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng terkulai pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya melayang sudah. *** 7 SINTO GENDENG LUMPUH SOSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanya Wiro yang duduk memangku kepala gurunya. "Kepalaku berat…. Mataku sulit dibuka. Tapi aku mendengar suaramu. Anak setan…. Apa yang terjadi dengan diriku. Aku… aku tidak mampu menggerakkan dua kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk…." "Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak bicara…." "Anak setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak Sinto Gendeng. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang kelihatan pucat. "Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku ingin ingatanmu pulih dan tabah menerima kenyataan…." "Tabah menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak sableng?! Memangnya apa yang terjadi?!" tanya Sinto Gendeng pula. "Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa Kematian…." Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit, makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan tangan kanan. Tidak terasa apa-apa. Dia coba gerakkan dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto Gendeng hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa pasrah. "Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat…. Dia yang mencelakaiku. Dia melampiaskan dendam empat puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung. Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker. "Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari dan membunuhnya…." "Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan segala dendam kesumat. Kita harus mencari jalan bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek bernama Suro Ageng itu…." "Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu setengah menjerit. "Mana dia?!" Sepasang mata si nenek berputar. "Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu. Mati akibat Seribu Hawa Kematian." Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si kakek. Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya sesenggukan. "Suro…. Kalau saja dulu aku menerima lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan mengalami nasib seperti ini. Ah…." Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda…?" Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanya­tanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya tak pernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam keadaan seperti itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang guru. Sinto Gendeng usap-usap mukanya yang pucat beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan. "Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja me­ngorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku! Suro…. Sungguh tinggi budimu…." "Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu menerangkan bahwa satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada saat gerhana matahari…." Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit. "Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan obat bukan cuma satu macam! Pasti ada obat lain yang lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat! Anak setan! Apakah kau sudah siap?!" "Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran. "Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat! Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!" "Eyang…. Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau…. Kau tak bisa berjalan sendiri…." "Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa lagi onta tunggangan!" jawab si nenek. "Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang cukup. Jika kesehatanmu pulih baru kita pikirkan apa yang harus kita lakukan…." "Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!" Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia hendak membantu si nenek berdiri pandangannya membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki Suro Ageng. Wiro segera mengambilnya. "Benda apa itu…?" Sinto Gendeng bertanya. Sambil memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari perak. Rantainya sudah putus…." "Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek. "Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari komplotan Lima Laknat Malam Kliwon. Mungkin juga punya makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu…. " "Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan pelacak dimana sarangnya Lima Laknat Malam Kliwon serta Kelelawar Pemancung Roh!" Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya. "Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata Sinto Gendeng. "Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi pula bukankah kita harus mengurus mayat kakek bernama Suro Ageng In!?" "Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi kalau kita melewati sebuah desa, kita bisa upahkan orang untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah. Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh dari sini!" "Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!" ujar Wiro pula. "Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek seraya menyeringai. "Memangnya kau bisa terbang, Nek?" "Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!" Wiro keheranan tak mengerti. "Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa, berlari atau terbang! Suka-sukamulah! Hik… hik… hik…." "Nek! Kau…." "Jangan berani membantah perintah seorang guru!" "Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja kalau aku harus membawamu kemana-mana. Di dukung di atas bahu!" "Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung bayi di depan dada? Hik… hik… hik!" "Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu…" kata Wiro pula. "Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma mau didukung belakang. Nangkring di atas pundakmu! Ayo tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!" Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar! Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur badannya bau pesirfg begini rupa!" "Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu anak setan! Jika kau tidak rela mendukungku, cepat kau tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus hubungan kita sebagai murid dan guru!" Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air kencing yang menempeli kain panjang butut yang dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212 menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak. Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan badannya seperti anak kacil keenakan. "Uh…. Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum melangkah. "Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal tulang belulang! Apanya yang berat?!" Si nenek lalu jambak rambut gondrong muridnya. "Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat mungkin dosamu karena terlalu banyak kekasih di masa muda!" jawab Pendekar 212 pula. Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro lalu dipuntir lumat-lumat hingga Wiro menjerit kesakitan. "Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku seperti ini! Tapi seandainya aku seorang gadis cantik jelita, weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Dia puntir lagi telinga kiri Wiro. "Ayo jalan!" "Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku segera jalan!" teriak Wiro kesakitan. "Nah bagus kalau begitu! Hik… hik… hik…." Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi telinga kiri Wiro. "Nek…!" "Anak setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidak bodoh! Teluk Akhirat letaknya di sebelah selatan sana. Mengapa kau menuju ke arah timur?" "Anu Nek…. Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek Segala Tahu di bukit kapur tempat kediamannya. Siapa tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk bagaimana caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat…." "Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut gondrong muridnya. "Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur barang beberapa lama…." Sinto Gendeng rangkapkan dua tangannya di depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan. "Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia enak-enakan ngorok di atas pundakku sementara aku sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas, yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing tubuh dan kain panjang butut si nenek! TAMAT

Post a Comment

0 Comments