MANUSIA PENCARI BAHAGIA

MANUSIA PENCARI BAHAGIA
Posted by MrR4m34t
Your Ads Here


Oleh : B o w


Kurus kering dan mudah terpelanting, adalah jiwa resah yang enggan di beri sedekah, inilah cerita seorang kurcaci yang marah di sebut tak berarti, dalam dunia yang tak pantas ia berada.

Mendung sudah berganti hujan, dan hujan lama baru berhenti. Di sebuah kamar dengan suasana yang hening masih asyik seorang biduan imajinasi terlelap dalam tidurnya. Pukul tujuh malam, saat hewan kecil haus darah mulai menyerbu melalui lubang-lubang jendela, sang tokoh pertama terbangun, tubuhnya di rasa lemah, energi yang seharusnya jadi pegangan hidup manusia seakan raib dari dirinya, terlalu lama tidurkah? Mungkin....

Selesai cuci muka dan makan dengan goreng tempe yang telah dingin, kembali ke kebiasaan lama, ia sekedar menatap gelapnya malam di depan rumah sambil menikmati kepulan asap rokok yang keluar bebas dari hisapannya. Sebuah gelas teh yang nyaris habis menemani duduk malasnya. Otaknya berpikir tapi tak menentu, selalu saja sekilas dua kilas masa lalu dan sekejap dua kejap angan-angan di masa yang akan datang bercampur aduk dalam olah batinnya. Ialah sang perencana kesepian yang jemu dengan manusia, dan dirinya sendiri... di lemanya tetap sama, hidup segan matipun tak mau.

Disatu saat, ia mencari keberartian hidup dalam keraguan, seperti manusia yang berjalan maju selangkah dan membiarkan satu kaki tetap enggan untuk menyambut langkah selanjutnya, adalah seperti saat berada dalam kegelapan mencari jalan, tapi tak jelas arah yan harus di tempuh. Bingung?

Ia sang pemimpin yang berjuang dalam hidup bermasyarakat, mengabdikan diri bukan pada materi, tetap mencoba kukuh dalam keikhlasan, tapi harus dihadapkan pada realitas, bahwa manusia bisa hidup kalau ia tetap makan.

Maka dalam dunianya, sang pemimpin menjadi pemimpi pula, tiap hari harus bersedekah dengan ilmunya dan di lain saat harus menangis meratapi serba kekurangannya. Otaknya berpikir tak menentu dalam hening lamunan... di lema menjadi akrab dalam batinnya, hidup segan matipun tak mau.

Dilain waktu pula, bukan main beratnya kebencian dan marah harus di tahannya, saat sabar tak dianggap dan pembelajaran diam bahkan di tertawakan. Ia yang mengaku banyak tahu tentang sesuatu kini menyadari, semua metode yang dimengertinya harus hanyut dalam ketololan manusia-manusia yang punya gaya sendiri, dan dia pun harus tunduk pada hukum mayoritas ketimbang terseret karena melawannya.

Ia manusia yang harus menyendiri dan mengkaryakan dunianya sendiri dalam ruang imajinasi dan jatuh menjadi pemimpi... di lema tak urung sering di rasa saat ia puas dengan impiannya dan kemudian harus tersadar dan kembali dalam dunia nyata, hidup segan matipun tak mau.

Kembali penyakitnya datang, maka dirasa dunia terasa kejam baginya, badannya terasa letih, keluhannyapun ada-ada saja, yang mata mengantuk, badan kurang fit dan dunia luar terasa menakutkan, bahkan bertemu manusia lain bagai bertemu bahaya dari neraka, dan seperti hari-hari sebelumnya diputuskannya untuk kembali keperaduan pengap yang setia menanti, setelah puas ia santap pagi, tentunya....

Pono itu sejatinya ia punya nama. Sarung kumal pelengkap lenanya sudah mengurung dirinya siap mengantar sadarnya ke alam mimpi, ketika tiba-tiba...

“Assalamualaikum..” satu suara memberi salam.

Dengan malas Pono menyahut, “Waalaikumsalam..”

Dia bangun dari ranjangnya. Melangkah menuju pintu depan. Ketika dibuka pintu depan, berdiri diluar pintu seorang anak kecil membawa sebuah wadah.

“Pempek Tuan?” ucap si bocah menawarkan.

Pono bingung. Bodohnya dia meninggalkan segala kenikmatan mimpi hanya untuk meladeni seorang anak penjual pempek. Tapi mulutnya berucap lain, “Berapa?” tanyanya.

“Sebuah seribu Tuan,” jawab si bocah.

Pono meratapi kebodohannya, mengapa mulutnya berbeda suara dengan hatinya. Tapi begitulah manusia, apa yang dimulut sering pula beda dengan apa yang dihati.

“Baiklah, aku beli lima buah saja,” ucap Pono.

“Terima kasih Tuan,” si bocah segera menyiapkan pesanan Pono, sedang Pono sendiri segera kedalam mengambil uang untuk membayar. Tak lama ia kembali, di angsurkannya uang sejumlah lima ribu kepada si bocah.

“Terimkasih Tuan,” kata sibocah lantas menyimpan uang pemberian Pono dibalik kantungnya.

Selagi si bocah menata kembali dagangannya Pono memperhatikan. Bocah ini sepantasnya tidak bekerja di jam segini? Badannya terlihat kurus, pakaiannyapun sederhana. Tapi wajahnya terlihat riang, seakan tak ada kerisauan dalam hidupnya. Tak sadar mulut Pono membuka, “Apakah kau bahagia dengan dirimu sekarang?”

Si bocah memandang heran pada Pono, tapi menjawab, “Saya melakukan apa yang harus saya lakukan Tuan.”

“Permisi Tuan,” pamit bocah itu kemudian. Pono hanya mengangguk. Tak segera ditutupnya pintu rumahnya, dipandanginya mata hari yang mulai menghangat sambil merenungi ucapan si bocah. Itulah, kata Pono dalam hati, kenapa aku tak puas dengan hidup dan manusia-manusia yang ada. Mencari-cari cela segala kekurangan dan  mematut-matutkan diri dalam kepantasan? Bukankah setiap insan memiliki status dan peran yang sudah digariskan, bukan mengenai tinggi atau rendahnya, tapi bagaimana kita bisa menjalankan peran sesuai dengan status yang kita miliki dengan semestinya, mewarnai indahnya dunia.

Dengan kesadaran itu Pono tersenyum. Ia telah temukan kebahagiaan.

 -------------------------




Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Newer Posts Newer Posts Older Posts Older Posts

Related Posts

Your Ads Here

Comments

Post a Comment