Di Bedakin II

Di Bedakin II
Posted by MrR4m34t
Your Ads Here

BUKAN BUAT YANG PENAKUT

Oleh: B o w


Huntoro bangun dari tidurnya, kamarnya gelap, lampu kamar rupanya belum ia hidupkan sore tadi. Jam berapa ini? Pikirnya. Ah, pasti menjelang tengah malam. Matanya yang telah terbiasa sejenak memandangi sekeliling kamar,semua tampak rapi. Kemdian Huntoro bangkit dari kasurnya. Dia harus bertugas. Di ambilnya jaket yang tergantung dibalik pintu, dikenakannya. Tanpa menimbulkan suara Huntoro perlahan keluar dari kamar. Di ruang tengah ibunya terlelap didepan televisi, ingin ia pamit, tapi diurungkannya.

Beberapa hari ini raut wajah ibunya selalu kusut, ada semacam beban yang sepertinya dirasakan, entah apa. Mungkin salah satunya karena dia. Yah, bagaimanapun Huntoro adalah anak bungsu, anak yang tentu mendapat perhatian khusus oleh ibunya, dan di usia masuk kepala tiga, mata pencaharian Huntoro belumlah dapat diandallkan, sebagai penjaga sekolah memang pendapatannya bisa dikata pas-pasan.

Malam ini diingatnya betul malam jum'at, Huntoro tahu, sebagian orang menganggap malam jum'at malam yang keramat. Tapi baginya malam jum'at sama saja seperti malam-malam lain, tak ada rasa takut dirasakannya, apalagi setelah kejadian yang dialaminya beberapa waktu yang lalu.

Sinar rembulan tampak mengintip dibalik awan, tanpa berbekal senter Huntoro mulai berkeliling di area sekolah. matanya awas memandang kesana-kemari, melihat kalau-kalau ada hal yang mencurigakan.

Kuuk! Kuuk!

Terkejut Huntoro mendengar suara tiba-tiba, badannya spontan berbalik keasal suara. Sesosok hitam mengepakkan sayap dan terbang menjauh seakan tahu keberadaan Huntoro. Ah, burung hantu. Rupanya si burung lebih terkejut ketimbang dia, tak sadar bibir Huntoro tersenyum. 

Bonggol pohon dimana sebelumnya burung itu mendekam dipandanginya agak lama, ia tahu sisa pohon apa itu. Pohon Kemboja. Pohon kemboja besar dihalaman sekolah. Dulu Huntoro selalu merinding tiap kali keliling dan berada di dekat-dekat pohon itu, dan maunya pohon itu ditebang saja. Tapi heran, ketika beberapa waktu lalu pihak sekolah memutuskan untuk menebang pohon dengan alasan bermacam-macam bahkan mengaitkan dengan hal-hal berbau mistik dan klenik, hati Huntoro bergetar, dan kini setelah pohon itu telah di tebang, ada semacam kehilangan dirasakannya.

Awan menutupi rembulan, malam semakin larut, suasana makin dingin. Tak mau berlarut terbawa lamunan, Huntoro kembali melanjutkan tugasnya, kembali ia langkahkan kaki mengelilingi sekitar sekolah, tiap ruang diperiksanya dengan teliti, demikianlah Huntoro, yang berprinsip bertanggung jawab pada tugasnya.

Selesai memeriksa kondisi sekolah dan setelah dirasakannya aman. Huntoro kini melangkah kearah belakang, kedapur. Sebelum pulang Huntoro ingin duduk santai sambil minum kopi di dapur, mungkin sambil merenungi hidupnya yang belum menemukan titik perubahan.

Ruang dapur yang berada di samping gudang itu gelap. Lampunya mati. Huntoro tak tahu kenapa pihak sekolah belum mengganti, sedang dia sendiri tak mampu mengganti lampu. Tapi biarlah, ia sudah hapal betul segala letak peralatan di dapur. Sesampai di dapur dilepas jaketnya, disampirkannya di sebuah kursi, kemudian dengan mantap Huntoro menghampiri meja untuk mulai meracik kopi.

Selagi dia sibuk membuat kopi, dirasakan ada sesuatu menjatuhi kepala dan bahunya. Huntoro mengibaskan rambutnya, serbuk-serbuk halus bertaburan dari rambutnya. Keningnya mengerut, disentuhnya serbuk dibahunya, serbuk berwarna putih, coba diciumnya, baunya harum. Harum bedak? Huntoro membalikkan badannya, kepalanya mendongak keatas, kearah taburan serbuk itu.

Di samping dapur ada tower air, pandang mata Huntoro merayap keatas tower, ada sesosok berwarna putih bergoyang-goyang di dudukan tower itu, sesosok tubuh berambut panjang terurai tertiup angin, tangannya melambai-lambai menebarkan sesuatu berupa serbuk berwana putih. Pandang Huntoro menatap kaku ke wajah makhluk itu, wajah yang pucat, matanya yang hitam memandang Huntoro dengan lekat, tampak seraut senyum mengejek dibibirnya.

"Kunti! Kau..!" gertak Huntoro, tangannya mengepal, tubuhnya bergerak menuju kearah tower. Ia melompat, bagai melayang memburu sosok perempuan berbaju serba putih itu.

Tahu diburu, terdengar suara cekikikan dari mulut simakhluk, dengan ringan seperti tertiup angin tubuhnya meninggalkan tower, terus menghilang di kegelapan menyisakan suara ketawa yang samar.

Kini Huntoro berdiri diatas tower, tangannya tetap mengepal, arah pandangnya tertuju ke lenyapnya makhluk bergaun putih. Tak tahu berbuat apa Huntoro kemudian terduduk. Rembulan kembali tampak dibalik mega, dinginnya udara malam tak lagi dirasa, pikiran Huntoro kembali ke masa beberapa hari lalu.

Dia ingat, kejadiannya hampir sama seperti malam ini, dia yang telah selesai memeriksa keadaan sekitar sekolah memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menyeruput kopi. Selagi dia sibuk menyeduh kopi, Kunti menaburinya dengan serbuk putih seperti barusan, memang ulah Kunti tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena ia sekedar iseng. Tapi waktu itu berbeda dengan sekarang, Huntoro begitu ketakutan, apalagi melihat penampakan Kunti yang begitu menakutkan.

Huntoro lari, lari lintang pukang saking takutnya. Sayang, ia tak lagi memperhatikan arah mana ia lari. Bukannya lari pulang, ia malah lari ke arah kebun dibelakang sekolah. Lari serabutan menubras-nubras. Dan yang tak diingatnya pula, kebun dibelakang sekolah dipenuhi semak-semak karena jarang dibersihkan. Huntoro terus lari, sampai kemudian ia terjungkal, tersandung pinggir sebuah sumur tua yang terlupakan, sumur kering yang sudah lama tak digunakan. Tak ayal tubuhnya jatuh deras kedalam sumur diiringi jeritan yang memilukan, jeritannya berhenti ketika kepalanya menghantam batu di dasar sumur. Huntoro mati.


Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Newer Posts Newer Posts Older Posts Older Posts

Related Posts

Your Ads Here

Comments

Post a Comment